Konstantinopel yang terletak di tepi pantai Laut Marmora di dekat selat Bosporus merupakan
kota transit rempah-rempah pertama di sekitar Laut Tengah yang mengenal barang-barang
antar Eropa Asia. Venesia dan Genoa adalah dua kota dagang yang terletak di pantai Laut
Adriatik dan Laut Liguria. Kedua kota tersebut berperan sebagai tempat berlabuhnya kapal-
kapal dari Eropa yang akan berlayar ke Konstantinopel atau ke ISkandariah untuk membeli
rempah-rempah.
Kota-kota dagang di sekitar Laut Tengah pada umumnya merupakan kota Otonom, artinya
kota yang memperoleh banyak keleluasan untuk mengatur dirinya sendiri dan lain-lain.
Kemajuan yang diperoleh kota-kota dagang di sekitar Laut Tengah rupanya tidak terlepas dari
peran kota-kota dagang lain di sekitarnya. Para pedagang besar seperti dari Inggris dan Belanda
sering mendatangi pusat-pusat perdagangan di Eropa Selatan dengan maksud mendapatkan
barag-barang yang dibutuhkannya.
Akan tetapi sejak kejatuhan kota itu, bangsa-bangsa Eropa harus mencari sendiri barang-
barang kebutuhannya, terutama rempah-rempah. Untuk mengatasi hal tersebut, bangsa-
bangsa Eropa terpaksa melakukan penjelajahan samudra.
Pada pertengahan abad ke-15 beberapa pelaut portugis sudah lama mencoba
menyusuri pantai barat Afrika. Namun, rombongan penjelajah Bartholomeus Diaz
yang pertama berhasil mencapai ujung selatan pantai barat Afrika itu. Diaz
berangkat dari negerinya pada tahun 1486 dan berlayar menyusuri pantai barat
Afrika hingga mencapai sebuah tempat di ujung Afrika dengan kondisi cuaca yang
buruk. Kapal Diaz hanya mampu mengitari daerah itu yang kemudian hari disebut
sebagai Topan Tanjung.
Dengan 3 buah kapal yang bernama Santa Maria, Pinta, dan Nina yang diberikan
Ratu Isabella, Christoper Columbus berhasil mencapai san Salvador di kepulauan
Bahama (perairan Karibia) pada tahun 1492. Kendat tidak mencapai daratan
Benua Amerika, Columbus dianggap telah merintis rute perjalanan ke benua
baru yang sangat berguna bagi para penjelajah samudra berikutnya.
Benua baru yang ditemukan Columbus diberi nama Amerika. Nama ini diambil
sebagai penghormatan bagi seorang pelaut Italia yang ikut dalam pelayarannya,
yaitu Amerigo Vespucci.
Akan tetapi, adanya penutupan pelabuhan itu justru telah mendorong bangsa
Belanda mencari jalan sendiri ke wilayah Nusantara. Cornelis de Houtman
pernah menjadi mualim kapal portugis. Demikian pula Jan Huyghen van
Linschoten yang pernah bekerja untuk portugis di Asia selama 14 tahun.
Pada awalnya, usaha portugis dan spanyol menjelajahi samudra didasari oleh
keinginan mencari rempah-rempah. Harga rempah-rempah mendekati harga
emas karena kelangkaannya. Kedua bangsa Eropa tersebut kenyataannya
melakukan pencarian secara paksa. Akibatnya, muncullah politik menguasai
suatu daerah dengan paksa untuk kepentingan sendiri. Kedatangan bangsa-
bangsa Eropa di Indonesia, terutama portugis dan Belanda, mendapat reaksi
keras dari sebagian besar masyarakat.
Bangsa portugis pertama kali tiba si Maluku, yaitu di pulau Banda pada
tahun 1512. Di Banda, mereka membeli pala, cengkih, dan fuli yang ditukar
dengan bahan pakaian dari india. Setelah selesai melakukan perdagang di
Banda, kapal-kapal portugis sampai di Hitu dan Ternate. Bangsa portugis
diterima penduduk Ternate dengan baik karena dianggap akan memajukan
hubungan perdagangan di antara kedua belah pihak. Bangsa portugis bahkan
diberi kesempatan untuk mendirikan benteng yang ditujukan untuk
melindungi serangan persekutuan Tidore-Spanyol. Bangsa portugis tidak
hanya mendirikan benteng, mereka juga berhasil mengajukan keinginan
untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah yang dituangkan dalam
suatu perjajian.
Sudah sejak lama selat Malak berperan sebagai pintu gerbang lalu lintas
pelayaran dan perdagangan internasional. Kawasan selat Malaka selalu
diperebutkan bangsa-bangsa yang berambisi menanamkan pengaruh dan
kekuasaan. Negeri-negeri yang berperan di kawasan tersebut yakni samudra
pasai, Malaka, Johor, kemudian Aceh Darussakam.
Pada 24 Oktober 1666, angkatan laut VOC berangkat ke Makassar di bawah pimpinan
Laksamana Cornelis Spelman. VOC tiba di depan Benteng Somba Opu pada 15 Desember 1666,
dengan kekuatan 21 kapal perang serta 600 pasukan. Begitu sampai, Spelman mengutus
orangnya menemui Sultan Hasanuddin untuk menyerah dan membayar ganti rugi kepada VOC.
Akan tetapi, tuntutan tersebut ditolak keras oleh Sultan Hasanuddin, karena VOC tidak
memperlihatkan niat baiknya. Menanggapi penolakan dari Sultan Hasanuddin, Laksamana
Spelman menyerang Makassar pada 21 Desember 1666. Serangan VOC tersebut segera dibalas
oleh pejuang Gowa dengan gagah berani.
Setelah satu hari satu malam, pasukan VOC mundur dan mencari aliansi kepada Raja Buton,
Ternate, dan Bone. Begitu berhasil membentuk aliansi, pasukan VOC bersama Arung Palakka
dari Bugis kemudian menyerang Makassar lagi pada 9 Juli 1667. Namun, serangan tersebut
berhasil dipatahkan oleh pasukan dari Kerajaan Gowa-Tallo hingga memaksa VOC dan
aliansinya mundur. Pada 22 Oktober 1667, VOC dan aliansinya menyerang lagi setelah
mendapat bantuan pasukan dari Batavia. Peperangan antara Kesultanan Makassar yang dipimpin
oleh Sultan Hasanuddin melawan Belanda, berakhir pada 18 November 1667 melalui Perjanjian
Bongaya.
Pada masa kolonial, Banten merupakan salah satu kesultanan yang sangat maju sehingga banyak
menarik pedagang untuk singgah di sana, salah satunya Belanda. Di bawah kepemimpinan
Sultan Ageng Tirtayasa sekitar tahun 1650-an, Banten mulai mengalami perkembangan pesat
dan menjadi daerah yang populer.
Kondisi ini kemudian membuat VOC tertarik untuk memonopoli perdagangan di kawasan pesisir
Jawa, termasuk Banten. Untuk bisa mengambil alih wilayah Banten, VOC melakukan Devide et
Impera atau Politik Adu Domba. VOC menghasut putra mahkota Sultan Haji untuk merebut
kekuasaan sang ayah, Sultan Ageng Tirtayasa. Kala itu, Sultan Haji sedang tidak akur dengan
sang ayah. Terjadilah perjanjian antara VOC dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan
Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten. Sementara itu, Sultan Ageng Tirtayasa sejak lama
memang sudah menentang politik pemerintah Hindia Belanda. Hal ini disebabkan tindakan
monopoli perdagangan yang dilakukan VOC. Oleh sebab itu, Sultan Ageng Tirtayasa
memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap VOC.
Sebanyak dua kapal Belanda dirusak oleh Banten, kebun-kebun tebu di daerah Angke-Tangerang
milik Belanda juga dirusak, sehingga VOC terpaksa menutup kantor dagangnya. Pada 1681,
Istana Surosowan berhasil direbut oleh Sultan Haji dan VOC, sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa
berpindah ke daerah Tirtayasa untuk mendirikan keraton baru. Sultan Ageng Tirtayasa segera
mengumpulkan bekal dan kekuatan untuk kembali merebut Istana Surosowan. Satu tahun
berselang, pasukan Sultan Ageng berhasil mendesak pasukan Sultan Haji pada 1682. Sultan Haji
yang mulai kewalahan berusaha meminta bantuan kepada VOC.
Bersama dengan VOC, Sultan Haji mampu meredam perlawanan dan memukul mundur pasukan
Sultan Ageng sampai ke Bogor. Pada akhirnya, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap oleh
VOC pada 1683. Ia pun langsung dibawa ke Batavia dan dijadikan sebagai tahanan. Setelah
Sultan Ageng Tirtayasa digulingkan, Sultan Haji naik menjadi Raja Banten. Dengan
tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC pun usai. VOC
dinyatakan berhasil menaklukkan Banten serta memonopoli perdagangan di kawasan pesisir
Jawa.
Bersama dengan VOC, Sultan Haji mampu meredam perlawanan dan memukul mundur pasukan
Sultan Ageng sampai ke Bogor. Pada akhirnya, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap oleh
VOC pada 1683. Ia pun langsung dibawa ke Batavia dan dijadikan sebagai tahanan. Setelah
Sultan Ageng Tirtayasa digulingkan, Sultan Haji naik menjadi Raja Banten. Dengan
tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC pun usai. VOC
dinyatakan berhasil menaklukkan Banten serta memonopoli perdagangan di kawasan pesisir
Jawa.