Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN KELOMPOK 1

ARKEOLOGI MARITIM DAN BAWAH AIR

Disusun untuk memenuhi tugas.


Mata Kuliah: Dasar-Dasar Arkeologi
Dosen Pengampu: Dr. Mhd.Nur, M.S

Oleh :
Nabilah Nur Yasinda (2010712022)
Nissy Yulia Putri (2010711002)
Qurata Aini (20107122006)

ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ANDALAS

2021
A. Paradigma Arkeologi Maritim
Orientasi kajian arkeologi maritim terletak pada setiap aktifitas manusia melalui tinggalan
sarana manusia yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kemaritiman di masa
lampau (Najemain, 2001). Menurut Edy Sedyawaty (2001) arkeologi maritime memiliki dua
ranah garapan, yaitu mempelajari segala sesuatu yang terkait dengan kelautan dan pelayaran,
namun datanya terdapat di daratan dan menangani segala tindakan di bawah air yang
berkaitan dengan peninggalan masa lampau. Keith Muckleroy (1978) di dalam bukunya
“Maritime Archaeology” memberikan pengembangan mengenai arkeologi maritime subjek
arkeologi maritim. Subjek arkeologi maritim direlasikan dengan dua topik kajian yaitu
arkeologi perkapalan atau pelayaran (nautical archeology) dan arkeologi bawah air (under
water archeology). Keith hanya memfokuskan penelitiannya pada perahu dan kapal
tenggelam. Arkeologi maritim merupakan bagian dari spesialisasi arkeologi bawah air, tidak
semua sisa-sisa aktivitas kemaritiman itu terendam di dalam air, seperti para arkeolog
maritim banyak bekerja di bawah air, pesisir pantai, sungai, danau, dan lahan basah.
Arkeologi maritim mempelajari kapal karam, penguburan kapal, masyarakat pantai seperti
desa nelayan dan lingkungan industri, termasuk arkeologi shipyard, kapal mengambang, dan
tentu saja bangkai kapal yang tenggelam.

B. Kapal Karam
Dalam arkeologi, kapal karam memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Hal ini karena adanya
anggapan bahwa kapal karam menyimpan “harta karun” bahkan terkadang juga diperparah oleh
pemberitaan yang berlebih dari media massa sehingga menyebabkan sekelompok orang cenderung
ingin memilikinya karena dapat dijadikan simbol kekayaan atau prestise (Scott-Ireton and McKinnon,
2015:158). Tetapi, banyak juga para nelayan tidak tahu mengenai “harta karun” di kapal karam,
sehingga membuat para kolektor barang antik ingin memburu. Hal ini menyebabkan maraknya
penjarahan terhadap situs kapal tenggelam, walaupun pemerintah sudah melindungi situs kapal karam
sebagai sumber daya arkeologi maritime dalam UU No.11 Tahun 2010. Di dalam aturan tersebut
mengatur soal izin investasi barang muatan kapal tenggelam (BMKT). Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) menyatakan asing boleh masuk dan berinvestasi dalam mencari harta karun dari
muatan kapal karam zaman dahulu di Indonesia. Penjarahan situs kapal karam dilakukan dengan
bongkar paksa sehingga menyebabkan kerusakan pada terumbu karang terganggunya ekosistem laut.
Penjarahan ini sering dilakukan oleh para kolektor melalui para nelayan yang dibayar menyelam dan
mengambil harta muatan kapal tersebut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan KKP mencatat sekitar
463 titik lokasi kapal tenggelam di perairan Indonesia. UNESCO juga mencatat 5.000 kapal
tenggelam di Asia Tenggara dan 10% dari di perairan Indonesia.
Kapal karam juga dimanfaatkan sebagai objek wisata sebagai upaya pelestarian sumberdaya
arkeologi maritim, seperti situs di Desa Sungai Padang, Kepulauan Bangka Belitung. Di des aini
terdapat dua lokasi situs kapal karam. Lokasi pertama adalah tenggelamnya kapal kayu yang saat ini
sudah rusak dan tidak berbentuk seperti kapal lagi. Bagian-bagian kapal yang sebagian besar
merupakan balok-balok kayu tersebut terendapkan pada area lereng terumbu pada kedalaman
mulai dari + 7 meter hingga di dasar laut pada kedalaman kurang lebih 16 meter. Bagian
kapal yang terendapkan pada lereng terumbu sebagian berada di bawah reef rubble,
sedangkan untuk bagian yang terendapkan pada dasar laut sebagian tertutup oleh lapisan
pasir. Selain itu pada beberapa bagian kapal banyak yang sudah ditumbuhi oleh terumbu
karang. Luasan distribusi temuan di Situs Karang Kapal pada lokasi pertama tersebar
sepanjang kurang lebih 70 meter, dengan pola sebaran tidak beraturan. Sedangkan situs kapal
karam pada lokasi kedua adalah situs kapal tenggelam yang memiliki kedalaman 3 sampai 10
m dari per-mukaan laut dengan visibility 3 sampai 5 meter. Penyebab tenggelamnya kapal
pada lokasi kedua dapat dilihat dari sebaran temuan yang berada di tengah-tengah karang
keras kemungkinan besar karena menabrak hamparan karang keras yang melintang dari barat
ke timur. Terlebih jika dilihat dari kedalaman temuan komponen kapal yang berada pada
kedalaman antara 3-5 meter.

C. Benda Cagar Budaya Bawah Air


Berdasarkan wilayahnya, kapal karam dan keramik termasuk Cagar Budaya Bawah Air
(CBBA). Konvensi The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) mendefinisikan Cagar Budaya Bawah Air sebagai jejak-jejak manusia yang
bercirikan budaya, historis, ataupun arkeologis yang sebagian atau keseluruhan telah
berada di bawah air secara periodis ataupun terus menerus minimal selama 100 tahun.
Terdapat tiga jenis peninggalan bawah air, yaitu pertama situs, struktur, artefak, dan sisa-
sisa manusia bersama dengan konteks arkeologis dan lingkungannya. Kedua, kapal,
pesawat terbang, atau kendaraan lainnya bersama dengan muatannya dalam konteks
arkeologis dan lingkungannya. Ketiga, benda-benda prasejarah. Sehingga, pipa, kabel,
dan instansi lainnya yang diletakkan di dasar laut tidak termasuk ke dalam jenis
peninggalan bawah air.
Di Indonesia juga terdapat peninggalan kapal karam dan keramik, karena Indonesia
adalah negara kepulauan dengan letak yang strategis dan padatnya jalur pelayaran.
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM), Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendata dari tahun 2006 sampai
dengan tahun 2015, sebanyak 47 lokasi situs CBBA, diantaranya:
1. 2006
 Kapal Cina di Selayar, Sulawesi Selatan, 21 m.
 Kapal Jepang (perang) di Barang Lompo, Sulawesi Selatan, 32 m.
2. 2007
 Kapal besi (perang) di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 22-28 m.
3. 2008
 Kapal VOC (kargo) di Sagori, Buton, Sulawesi Tenggara, 7 m.
4. 2009
 Kapal besi di Perairan Pulau Nangka, Bangka Belitung, 28 m.
 Kapal kargo Aquila di Wayame, Teluk Ambon, Ambon, 17-35 m.
 Kapal perang Mawali di Selat Lembe, Bitung, Sulawesi Utara, 20-28 m.
 Kapal perang Tosimaru di Halmahera Utara, Maluku Utara, 3 - 7 m.
 Kapal besi di Tidore, Maluku Utara, 50 m.
5. 2010
 Persebaran keramik di Perairan Pulau Genting, Karimunjawa, 2 m.
 Kapal besi di Perairan Seruni, Karimunjawa, 10 m.
 Kapal kargo Indonor di Perairan Kemojan, Karimunjawa, 10 m.
 Kapal kayu (kargo) di Perairan Pulau Parang, Karimunjawa, 34-38 m.
 Kapal besi (kargo) di Perairan Kumbang, Karimunjawa, 2-13 m.
 Kapal besi di Per. Taka Menyawakan, Karimunjawa, 3-9 m.
 Kapal kayu (kargo) di Perairan Geleang, Karimunjawa, 48 m.
 Kapal kayu (kargo) di Perairan Menjangan Kecil, Karimunjawa, 28-30 m.
6. 2011
 Pesawat tempur di Pulau Meti, Halmehara Utara, Maluku, 34 meter.
 Kapal besi Hawaimaru di Teluk Kao, Halmehara Utara, Maluku, 6-10 meter.
 Kapal besi Kawaimaru di Teluk Kao, Halmehara Utara, Maluku, 6-12 meter.
 Komponen kapal besi di Pulau Solsol, Halmehara Utara, Maluku, 5 meter.
 Kapal besi Barnabas di Pulau Wangeotak, Halmehara Utara, 6-12 meter.
 Kapal besi di Pulau Sebira, Kep. Seribu, DKI Jakarta, 37 meter.
 Kapal besi di Pulau Tidung, Kep. Seribu, DKI Jakarta, 43 meter.
 Kapal kayu di Pulau Belanda, Kep. Seribu, DKI Jakarta, 40 meter.
 Kapal besi di Gosong Congkak, Kep. Seribu, DKI Jakarta, 30 meter.
 Kapal besi Tabularasa di Pulau Pramuka, Kep. Seribu, DKI Jakarta, 38 meter.
 Kapal besi di Pulau Papatheo, Kep. Seribu, DKI Jakarta, 15-30 meter.
 Kapal besi di Pulau Kumbang, Kep. Karimunjawa, 12-5 meter.
 Kapal kayu mati 1 di Batu Lawang, Kep. Karimun Jawa, 53 meter.
 Kapal kayu mati 2 di Batu Lawang, Kep. Karimunjawa, 53 meter.
 Fragmen besi di Pulau Nyamuk, Kep. Karimunjawa, 34 meter.
 Kapal kayu di Pulau Parang, Kep. Karimunjawa, 28 meter.
7. 2012
 Mobil jeep di Pulau Kapa-kapa, Morotai, 4 meter
 Pesawat terbang di Pulau Sumsum, Morotai, 1-6 meter
 Kapal besi di Boho-boho, Morotai, 30-48 meter
 Kendaraan perang, Boho-boho, Morotai, 6-10 meter
 Pesawat tempur, Wawama, Morotai, 25-48 meter
 Kapal barang di Karang Batu, Kep. Bintan, Riau, 15-38 meter
 Pesawat tempur B 24 di Togean, Sulawesi Tengah, 14-22 meter.
8. 2014
 Sebaran keramik di Natuna, Kep. Riau, 17 meter.
 Kapal perang Perth di Serang, Banten, 17-22 meter.
 Sebaran keramik di Bintan, Kep. Riau, 23 meter.
9. 2015
 Sebaran keramik di Natuna, Kep Riau (2), 18 meter.
 Sebaran keramik, di Bintan, Kep. Riau (2), 23 meter.
 Sebaran keramik, di Belitung, 3-17 meter.
 Pesawat tempur B 24, Togean, Sulawesi Tengah (2), 14-22 meter.

Selain itu ada CBBA ada juga UNCLOS 1982 yang merupakan perjanjian
internasional tentang pengaturan laut. UNCLOS 1982 memuat dua ketentuan (Pasal
149 dan 303) yang menetapkan kewajiban bagi negara-negara untuk melindungi
budaya bawah air warisan, namun tanpa memberikan peraturan atau rincian tindakan
yang dapat diambil. Pasal 303(4) UNCLOS mengizinkan adanya peraturan yang lebih
spesifik tentang warisan budaya bawah air. Karena Konvensi UNESCO 2001 secara
khusus didedikasikan untuk perlindungan warisan budaya bawah air, menjamin
pelestariannya dan memfasilitasi kerja sama antar Negara, maka konvensi ini dapat
dibilang melengkapi UNCLOS 1982, sesuai amanat pasal 303 (4) di atas. Lagipula,
pasal 3 Konvensi UNESCO 2001 menegaskan bahwa konvensi ini tidak dimaksudkan
atau dirancang untuk mengubah ketentuan dalam UNCLOS 1982 atau hukum
internasional lainnya.
D. Keramik Cina di Bawah Air
Pada masa lalu, keramik sangat digemari masyarakat dunia. Menurut Listiyani,
peneliti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, dalam “Keramik BMKT
Hasil Survei Kepurbakalaan di Kabupaten Belitung”, jurnal Relik No. 06 September
2008, hampir semua muatan kapal karam ditemukan keramik dalam jumlah banyak.
Keramik—keramik itu ada ditemukan dalam keadaan utuh dan ada pula yang sudah
tidak utuh. Keramik yang banyak diangkat dari kapal tenggelam adalah dari Tiongkok
masa Dinasti Qing dan Tang. Keramik kuno dari Cina di Indonesia ditemukan sekitar
abad ke 2 -20 M. Keramik ini didapat karena pada masa lalu, kerajaan-kerajaan yang
Berjaya membeli atau menukar rempah-rempah dengan keramik. Menurut tinjauan
arkeologi, keramik tertua diduga dibawa oleh migran Tiongkok pada mas Dinasti
Han. Selain itu, persebaran keramik di Indonesia banyak berasal dari Cina. Seperti
keramik yang ditemukan pada kapal tenggelam di perairan Cirebon yang hampir
seluruh keramik berasal dari Dinasti Tang dan sebagiannya dibuat di Provinsi
Zhejiang tempat pembakaran (kiln). Selain itu ada juga keramik dari Dinasti Sung
pada abad ke-11-15. Keramik dari Dinasti Ming memiliki bentuk yang khas, yaitu
memiliki warna putih-biru yang paling banyak dicari orang. Keramik tersebut banyak
memiliki model dan desain, tak hanya piring dan mangkok, tapi juga teko, cangkir,
guci, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Masyhur Syahruddin (2008) Kajian Awal untuk Pengembangan Highlight Penelitian Balai
Arkeologi Ambon. Kapata Arkeologi vol. 4 Nomor 7.

Novita Arsyandini, Ardiwijaya Roby (2020) Pemanfaatan Situs Karang Kapal sebagai Objek
Wisata Minat Khusus. Balai Arkeologi Sumatera Selatan.

https://jurnalmaritim.com/
https://arkenas.kemdikbud.go.id/
https://www.republika.co.id/
https://www.arkeologiindonesia.com/
https://jendela.kemdikbud.go.id/
https://news.detik.com/x/
https://historia.id/

Anda mungkin juga menyukai