Anda di halaman 1dari 79

PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA

SKRIPSI DISUSUN DAN DIAJUKAN KEPADA FAKULAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM ISLAM OLEH: MUSA ARIPIN NIM : 01350726 PEMBIMBING : PROF. DR. KHOIRUDDIN NASUTION, MA. DRS. OCKTOBERRINSYAH, M. AG

1. 2.

AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2005

ABSTRAK PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA Perkawinan merupakan transaksi (akad) yang istimewa dalam Islam melebihi transaksi lainnya semisal jual beli. Oleh karenanya ketika akan melakukan perkawinan tersebut perlu pertimbangan yang matang dan pemenuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang mendukung tercapainya tujuan perkawinan. Salah satu ketentuan yang diharapkan dapat membawa kepada tercapainya tujuan perkawinan tersebut adalah adanya persetujuan atau kebebasan anak gadis dalam menentukan calon suaminya. Lebih lanjut tentang adanya persetujuan anak gadis tersebut, ternyata di kalangan fuqaha terjadi perbedaan pendapat. Hal ini diindikasikan dengan terpecah mereka kepada dua kubu. Kubu pertama menyatakan bahwa persetujuan hukumnya hanya sekedar sunat, tanpa ada persetujuan pun, perkawinan tetap sah. Sedangkan kubu lain berpendapat persetujuan adalah sesuatu yang menentukan (wajib). Artinya apabila persetujuan tidak ada, maka perkawinan batal alias tidak sah. Pada golongan pertama termasuk imam Sya>fii< yang mana pendapatnya diikuti mayoritas masyarakat Indonesia. Sedangkan di golongan kedua diikuti oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang juga merupakan salah satu tokoh besar dalam dunia Islam. Perbedaan pendapat di antara Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan mayoritas fuqaha merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut memberikan kesempatan kepada penyusun untuk membuka tabir apa sesungguhnya yang menjadikan para ulama tersebut berbeda pendapat. Disamping itu, untuk menyempurnakan penelitian ini penyusun mencoba menemukan relevansi pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tersebut dengan perundang-undang tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Persoalan persetujuan anak gadis dalam perkawinan termasuk dalam ranah fiqh, yang mana fiqh itu sendiri bersumber dari nash. Oleh karena itu penyusun dalam mendekati persoalan ini menggunakan pendekatan normatif induktif. Disamping itu, juga menghubungkannya teori al-Maqa>s}id asy-Syari<ah atau yang lebih dikenal sebagai memelihara lima unsur pokok dalam syari'at agama (h}ifz ad-Di<n, h}ifz alNafs, h}ifz al-'Aql, h}ifz an-Nasl, dan h}ifz al-Ma>l). Dengan harapan apa yang menjadi tujuan syariah berupa maslahah bisa dimunculkan. Berdasarkan metode yang digunakan akhirnya bisa dilihat bahwa akar dari perbedaan pendapat diantara Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan mayoritas fuqaha adalah karena Ibn Qayyim al-Jawziyyah menggunakan mant}u>q nas} (makna eksplisit) yang dikuatkan dengan illat as}-s}uqr dalam is|tinba>t hukumnya. Sementara mayoritas fuqaha menggunakan mafhu>m mukha>lafah (makna implisit) dalam is|tinba>t hukumnya yang dikuatkan dengan memakai illat al-bikr. Penelitian yang dilakukan penyusun juga memberikan jawaban bahwa pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah tersebut sejalan dengan perundangan yang berlaku di Indonesia.

Prof. Dr. Khoiruddin Nasution Dosen Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Nota Dinas Hal : Skripsi Saudara Musa Aripin Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Di Yogyakarta

Assalamu'alikum Wr. Wb. Setelah membaca, meneliti dan mengoreksi serta menyarankan perbaikan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa skripsi saudara: Nama N.I.M Judul : Musa Aripin : 01350726 : Pandangan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah Tentang Persetujuan Anak Gadis dalam Perkawinannya sudah dapat diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu dalam jurusan al-Ahwl asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan ini kami mengharap agar skripsi saudara tersebut di atas dapat segera dimunaqasyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih. Wassalamu'alikum, Wr. Wb. Yogyakarta, 12 Syafar 1426 H 22 Maret 2005 M

Pembimbing I

Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A NIP: 150 246 195 Drs. Octoberrinsyah, M.Ag Dosen Fakultas Syari'ah

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Nota Dinas Hal : Skripsi Saudara Musa Aripin Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Di Yogyakarta

Assalamu'alikum Wr. Wb. Setelah membaca, meneliti dan mengoreksi serta menyarankan perbaikan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa skripsi saudara: Nama N.I.M Judul : Musa Aripin : 01350726 : Pandangan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah Tentang Persetujuan Anak Gadis dalam Perkawinannya sudah dapat diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu dalam jurusan al-Ahwl asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan ini kami mengharap agar skripsi saudara tersebut di atas dapat segera dimunaqasyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih. Wassalamu'alikum, Wr. Wb.

Yogyakarta, Syafar 1426 H Maret 2005 M Pembimbing II

Drs. Ocktoberrinsyah, M.Ag NIP: 150 289 435

PENGESAHAN Sripsi berjudul PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA Yang disusun oleh: MUSA ARIPIN NIM:01350726 Telah dimunaqasyahkan di depan sidang munaqasyah pada tanggal 05 April 2005 M/ 26 Syafar 1426 H dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam. Yogyakarta, 28 Syafar 1426 H 07 April 2005 M DEKAN FAKULTAS SYARIAH UIN SUNAN KALIJAGA Drs. H. Malik Madaniy, MA NIP: 150 182 698 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua Sidang Drs. Abdul Halim, M.Hum NIP:150 242 804 Pembimbing I Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A NIP: 150 246 195 Penguji I Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A NIP: 150 246 195 Sekretaris Sidang Drs. Abdul Halim, M.Hum NIP: 150 300 640 Pembimbing II Drs. Ocktoberrinsyah, M.Ag NIP: 150 289 435 Penguji II Drs. H. Muhyidin NIP. 150 221 269

KATA PENGANTAR

, , .,
Alhamdulillah penyusun panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan berkah, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Baginda besar Nabi Muhammad SAW, untuk keluarga, para sahabat, dan seluruh umat di segala penjuru dunia, khususnya kita semua. 'A<mi>n. Penyusun merasa bahwa skripsi dengan judul "PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA ini bukan merupakan karya penyusun semata, tetapi juga merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penyusun juga merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu saran dan keritikan yang membangun sangat penyusun harapkan. Selanjutnya tidak lupa penyusun haturkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan dan bantuan sehingga terselesainya skripsi ini, semoga amal baik tersebut mendapat balasan dari Allah SWT. 'Amin Ya Rabbal 'Alamin. Sebagai rasa hormat dan syukur, ucapan aterima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Amin Abdullah, selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

2.

Bapak Drs. H. Malik Madaniy, MA, selaku Dekan Fakultas Syari'ah UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta. 3. 4. Bapak Udiyo Basuki, SH, selaku Penasehat Akademik. Bapak Prof. Dr. Khoiruddin Nasution M.A, selaku Pembimbing I yang

telah mencurahkan segenap kemampuannya dalam upaya memberikan dorongan dan bimbingan kepada penyusun. 5. Bapak Drs. Ocktoberrinsyah, M.Ag, selaku Pembimbing II yang dengan

senang hati meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penyusunan skripsi ini. 6. Bapak Udiyo Basuki, SH, selaku pembimbing akademik yang telah

banyak memberikan pengarahan dan dukungan kepada penyusun selama kuliah 7. Bapak, Ibu, Kakak, Adik tercinta yang telah memberikan dorongan

moral demi kelancaran penyusunan skripsi ini. 8. Teman Syarif Muhammad,Oong (Fathurrahman), Sodri, Abdul Mujib,

M. Chasanuddin, Abdul Qadir Jailani, Muhammad, Mas Abun, Mas Qowim, Teman-teman etnis, Teman-teman kos Ibu Sarimo dan teman-teman lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan semuanya dan semua pihak yang telah memberi motivasi kepada penyusun dan membantu dalam kelancaran terselaikannya skripsi ini Akhinya penyusun hanya berharap, semoga semua yang telah dilakukan menjadi amal saleh dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penyusun sendiri khususnya, dan para pembaca pada umumnya. 'Amin-'Amin-'Amin ya Rabbal 'Alamin.

Yogyakarta, 29 Muharram 1426 H 10 Maret 2005 M Penyusun

Musa Aripin NIM. 01350726 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i ABSTRAK ......................................................................................................ii NOTA DINAS ................................................................................................. iii PENGESAHAN .............................................................................................. v

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .................................. vi


MOTTO .......................................................................................................... xi KATA PENGANTAR .................................................................................... xii PERSEMBAHAN .......................................................................................... xv DAFTAR ISI ................................................................................................... xvi

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ...................................................................... B.Pokok Masalah .................................................................................... C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................................... D.Telaah Pustaka .................................................................................... 1 5 5 6

E.Kerangka Teoritik ................................................................................

F.Metode Penelitian ................................................................................ 12 G.Sistematika Pembahasan ..................................................................... 14 BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DAN KEBEBASAN WANITA A. Dasar Hukum .......................................................................... 17 B..........................................Pandangan Ulama-Ulama Fiqh 22

BAB III : IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH DAN PERSETUJUAN ANAK GADIS A.Riwayat hidup 31 B.Paradigma Pemikiran Hukum Ibn Qayyim al-Jawziyyah ................................ 35 1. Dasar-Dasar Hukum ..................................................... 35 2. Metode Istinba>t Hukum ......................................... 43 3. Anak Gadis dan Persetujuannya Dalam Perkawinan Perspektif Ibn Qayyim al-Jawziyyah ............................................ 44 BAB IV : ANALISIS A. Analisis pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah ....................... 53

B.Relevansinya Dengan Konteks Sekarang ......................................................... 64 BAB V : KESIMPULAN A. Kesimpulan ........................................................................... 68 B. Saran ..................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 70 LAMPIRAN-LAMPIRAN: I. II. TERJEMAHAN ............................................................................................. I BIOGRAFI TOKOH ..................................................................................... IV

III.

CURRICULUM VITAE ................................................................................ VI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah


Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut syariat Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri yang diberikan oleh Islam khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk lainnya.1 Mengenai hakikat perkawinan itu sendiri, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab II pasal 2 menyebutkan sebagai berikut: perkawinan hukum Islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat (mis|a>qan gali<z}}a>) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, kemudian disebutkan dalam pasal 3, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah.2 Hal ini sesuai dengan firman Allah3:

Mahmud asy-Syubbag, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, alih bahasa Bahruddin Fanani, cet. III (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 23
2

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Arkola, t.t.), hlm. 180 Ar-Ru>m (30) : 21


Mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah seperti di atas, sudah barang tentu bukanlah hal yang sederhana. Untuk mencapai hal itu Islam menawarkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang harus dipenuhi. Mahmud Syaltut dalam bukunya Akidah dan Syariah Islam menawarkan lima prinsip sebagai prosedur yang harus dipenuhi dalam pembinaan keluarga pada fase pranikah. Pertama saling mengenal dan memahami (at-Taa>ruf) di antara kedua mempelai. Dengan proses saling mengenal dan saling memahami ini diharapkan masing-masing mempelai mengetahui keadaan calon pasangannya. Dalam hal ini Islam mewasiatkan bahwa kriteria yang harus dipenuhi dan didahulukan dalam menentukan adalah kebaikan akhlak dan agama serta tidak semata-mata memandang keadaan fisik, harta dan keturunan. Kedua adalah al-Ikhtiba>r yaitu tahap penjajakan yang dilaksanakan dengan melakukan khit}bah. Dalam khit}bah ini calon suami diperbolehkan melihat wajah, tangan dan telapak kaki si wanita dan juga diperbolehkan berdiskusi untuk mengetahui pemikiran masing-masing. Dari pelaksanaan khit}bah ini diharapkan timbul rasa suka pada masing-masing calon mempelai. Ketiga arRi<d}a> (kerelaan), disini syarit Islam tidak mencukupkan pada dua prinsip di atas semata namun juga mengaharuskan adanya kerelaan dalam arti yang sebenarnya dari kedua mempelai. Keempat Kafa>ah yaitu kesejajaran antara kedua mempelai. Ini dimaksudkan agar tidak ada kesenjangan di antara keduanya setelah mengarungi bahtera

rumah tangga. Kelima mahar atau mas kawin, dalam mahar ini syariat mengajarkan agar nilai mahar dalam batas yang wajar.4 Dari keterangan di atas jelaslah bahwa kerelaan (ar-Ri<d}a>( merupakan prinsip pembinaan keluarga yang harus dipenuhi jika memang ingin terwujudnya keluarga yang harmonis dan bahagia. Konsep kerelaan atau persetujuan itu sendiri lebih lanjut harus dipisahkan, karna persetujuan itu sendiri memiliki dua subjek yang memiliki status hukum berbeda di kalangan ulama fiqh dalam hal ini yang dimaksud adalah janda atau gadis. Mazhab Sya>fii< misalnya menyebutkan bahwa kalau persetujuan dari janda maka status hukumnya adalah wajib. Lain halnya kalau persetujuan datangnya dari anak gadis menurut ulama Sya>fii<ah tidak begitu penting (hanya sekedar sunat), bahkan menurut ulama Sya>fii<ah ketika sudah memenuhi syarat-syarat tertentu maka orang tua dalam hal ini tidak perlu lagi meminta persetujuan anak gadis. Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Antara ayah dan anak tidak ada permusuhan 2. Calon suami sekufu 3. Mahar yang sesuai 4. Calon suami sanggup memberikan mahar 5. Bukan dengan laki-laki yang membuatnya menderita dalam pergaulan5 Berbeda dengan mazhab Sya>fii<, mazhab H}a>nafi< berpendapat bahwa antara status hukum persetujuan antara janda dengan anak gadis sama saja, keduanya

Mahmud Syaltut, Akidah dan Syariat Islam,alih bahasa Fahruddin HS., cet.III (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 157-163. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa Asad Yasin, cet. II (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), II: 467.
5

wajib dimintai persetujuan. Lebih lanjut menurut ulama H}a>nafi<ah yang membedakan antara janda dengan anak gadis adalah pada tanda persetujuannya; kalau janda harus tegas, sedangkan anak gadis cukup dengan diamnya.6 Mazhab H}anbali< mensikapi persoalan ini dengan diwakili dua kubu. Di satu pihak dengan diwakili oleh Ibn Quda>mah dalam kitabnya al-Mugni<

menyebutkan bahwa persetujuan anak gadis bukanlah sesuatu yang menentukan artinya bahwa tanpa adanya persetujuan anak gadis pun perkawinan tetap sah, walaupun si anak gadis tidak menginginkan perkawinan itu, dan beliau cendrung mengakui hak ijbar bagi wali. Sementara di pihak lain Ibn Qayyim al-Jawziyyah bersikukuh bahwa anak gadis pun tetap harus dimintai persetujuan ketika akan menikahkannya.7 Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih lanjut dalam karyanya Za>d al-Maa>d berpendapat bahwa orang tua wajib meminta persetujuan kepada anak gadis ketika akan menikahkannya.Hukum ini juga mewajibkan agar gadis yang sudah dewasa tidak dipaksa untuk dinikahkan, dan ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan persetujuannya. Inilah pendapat jumhur salaf dan mazhab H}a>nafi< serta satu riwayat dari Imam Ah}mad.8 Ibn Qayyim al-Jawziyyah Sebagaimana diketahui adalah sosok pemikir Islam yang banyak mewarnai khazanah intelektual pemikiran hukum Islam. Satu hal yang menarik adalah walaupun mazhab H}anbali< mayoritas berpendapat persetejuan anak gadis sekedar sunat atau penyempurna, tetapi beliau berani berbeda pendapat.

Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet. I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 79
7

Ibid., hlm. 85-92

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d (Mesir: Mus{t}a>fa> al-Ba>bi< alH}alabi< wa Awla>dih,1390/ 1970), IV: 3
8

Melihat konteks pada masa sekarang seiring dengan perkembangan zaman, yang mana dulunya kaum wanita biasanya dipingit dirumahnya sehingga mereka cendrung berwawasan sempit dan kurang mengenal dunia luar, maka kondisi sekarang bisa dilihat bahwa kaum wanita adalah golongan yang berwawasan dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi pakar dalam disiplin ilmu tertentu. Berangkat dari kenyataan inilah ditambah lagi bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah Sya>fii<ah yang nota bene yang menganggap persetujuan tidak begitu penting (sunnat), maka penulis tertarik untuk mengangkat pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah ini sebagai pembahasan dalam karya ilmiyah untuk alternatif.

Pokok Masalah
Dari deskripsi latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah pokok yaitu : 1. Bagaimana pendapat dan apa yang menjadi landasan pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan? 2. bagaimana relevansi pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan konteks sekarang di Indonesia?

Tujuan dan Kegunaan


Tujuan Untuk mendeskripsikan tentang pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan. Untuk memberikan gambaran relevansi pemikiran Ibn Qayyim dengan konteks sekarang di Indonesia. Kegunaan

a. Mengenalkan konsep berfikir Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang diharapkan dapat berguna bagi pengembangan pemikiran keIslaman. b. Untuk menambah khazanah keilmuan hukum Islam terutama tentang sejauhmana relevansi pemikiran ibn qayyim al-jawziyyah dalam kaitan ini dikaitkan dengan konteks sekarang.

Telaah Pustaka
Dari hasil penelusuran yang dilakukan penyusun terhadap literatur yang membahas tentang pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah serta literatur yang membahas tentang persetujuan anak gadis, dapat penyusun paparkan sebagai berikut: Karya yang mengkaji pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah di antaranya, adalah: Telaah Atas Konsep Ibn Qayyim al-Jawziyah Tentang Sadd az|-Z|ari<ah dan Aplikasinya dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia9 Oleh Sholahuddin Siregar. Karya ilmiah berupa skripsi. Dalam skripsi ini, penyusun berkesimpulan bahwa Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat sadd az|-z|ari<ah merupakan upaya menutup semua jalan yang membawa kepada kemudharatan. Pembahasan skiripsi ini hanya berbicara tentang konsep sadd az|-z|ari<ah nya Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Hiyal Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah10 oleh Ikmal Munthador,

penyusun dalam skripsi ini menyimpulkan bahwa Ibn Qayyim Al-Jawziyyah berpendapat hiyal yang menyebabkan sesuatu yang haram menjadi tampak halal, sesuatu yang yang wajib menjadi tampak tidak wajib haruslah dicegah. Sementara
Sholahuddin Siregar ,Telaah Atas Konsep Ibn Qayyim al-Jawziyah Tentang Sadd az|-Z| ari<ah dan Aplikasinya dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2001) Ikmal Munthador, Hiyal Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003)
10

Hiyal yang diakui Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah hiyal yang dikonfirmasi oleh nash. Skripsi ini hanya membahas konsep Hiyal Jawziyyah Sedang pada kajian persetujuan anak gadis dalam perkawinan, dari penelusuran yang dilakukan penulis terhadap literatur yang ada belum ditemukan karya ilmiah yang mengangkat secara khusus tentang tentang pembahasan ini. Akan tetapi, memang ada sejumlah skripsi yang sekilas membicarakan tentang tema ini di antaranya, Ijbar dan Kebebasan Wanita Dalam Menentukan Pasangan Perspektif Mahmud Syaltut11 oleh Mushtofa Kamal.skiripsi ini menggunakan maslahah yang berkonsentrasi pada hifz} an-nafs, yang pada gilirannya skiripsi ini menyimpulkan bahwa memberikan hak kepada perempuan untuk bebas memilih calon suamniya merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi demi mewujudkan tujuan perkawinan itu sendiri. Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbar Wali Nikah12oleh Niswatul Imamah. Skiripsi ini berusaha menggunakan maslahah sebagai pisau analisisnya untuk membedah pemikiran Ibn Taimiyyah dengan mengembalikan akar persoalan kepada otentisitas hadis. Salah satu babnya berbicara tentang hak perempuan dalam memilih pasangan, menekankan bahwa perempuan maupun laki-laki mempunyai hak yang sama dalam menentukan pasangan. Masalah persetujuan anak gadis dalam perkawinan sendiri tidak pernah lepas dari pembahasan buku fiqh klasik maupun modren, biasanya masalah itu dibahas sebagian bagian dari topik wali dan belum menjadi topik yang mandiri, kitab al-Umm13
Musthofa Kamal, Ijbar dan Kebebasan Wanita dalam Menentukan Pasangan Perspektif Mahmud Syaltut, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003)
12 Niswatul Imamah, Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbar Wali Nikah, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003) 13 11

menurut pandangan Ibn Qayyim al-

Muhammad Idris asy-Sya>fii<<<, al-Umm, edisi al-Muzni< (ttp.: tnp., t.t.)

karya asy-Sya>fii< dengan jelas menggambarkan hal ini, Ibn Rusyd dalam bukunya Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id mencoba menganalisis pendapat para imam mazhab tentang pembahasan ini14. Fiqih Lima Mazhab15 oleh Muhammad Jawad Mughniyah. Karya ini memuat pandangan dari berbagai mazhab. Dari buku modren diwakili oleh buku Islam: Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan I)16, ketika berbicara tentang wali, dalam salah satu sub babnya menyinggung tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan dengan mengutip pandangan dari mazhab yang empat. ketika akan membahas lebih lanjut tentang persetujuan anak gadis menurut pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, penulis menggunakan kitab yang dikarangnya sendiri yaitu Za>d al-Maa>d. Ibn Qayyim dalam kitabnya tidak membahas secara khusus tentang pembahasan ini, akan tetapi Ibn Qayyim memberikan satu pasal tentang orang tua yang akan menikahkan putrinya, dengan membahas yang masih gadis dan janda sekaligus.Walaupun dengan sumber yang sangat terbatas untuk dijadikan rujukan penulis, namun penulis tetap optimis bahwa pembahasan ini tetap layak dan menarik untuk dijadikan sebagai sebuah kajian ilmiah. A. Kerangka Teoritik Syariah memiliki dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Pada dimensi vertikal terkandung aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan

Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002)
14

Muhammad Jawad Mughniyah.,Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B dkk., cet. V (Jakarta: PT.Lentera Basritama, 2000) Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet. I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004)
16

15

tuhan (ibadah), sementara pada dimensi horizontal syariah berisi aturan tentang hubungan antar manusia, yang kemudian dikenal dengan isitilah muamalah.17 Muamalah menurut Ibn Abidin terbagi menjadi lima bagian, yaitu: mua>wad}ah ma>liyah (hukum kebendaan), muna>kah}at (hukum

perkawinan), muh}asanah (hukum acara), amanah dan aryah (pinjaman), dan tirkah (harta warisan).18 Munakahat sebagai bagian dari muamalah ketika diaplikasikan diawali dengan akad. Akad adalah segala yang dilakukan oleh seseorang dengan iradahnya (kehendaknya), dan syara menetapkan kepada orang tersebut beberapa natijah hak.19 Defenisi di atas menjelaskan, suatu akad dikatakan sah apabila dilakukan dengan kerelaan (tanpa paksaan) para pihak. Syariah juga mempunyai tujuan ketika dihadirkan di tengah-tengah manusia, yaitu sebagai rahmat bagi manusia, sebagaimana ditegaskan Allah dalam beberapa ayat al-Quran, diantaranya:20
21

Para ulama sepakat bahwa syariah mengandung kemaslahatan untuk manusia. Namun ulama berbeda pendapat tentang, apakah maslahah itu yang mendorong Allah untuk mendatangkan syariah?. Dalam hal ini ada dua pendapat: 1. Ulama yang berpegang pada prinsip bahwa perbuatan Allah itu tidak

terikat kepada apa dan siapa pun (yang dianut oleh ulama kalam
Abd. Salam Arief. Pembaharuan Pemikiran Islam Antara Fakta dan Realita, cet. I (Yogyakarta: Lesfi, 2003), hlm. 83 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, cet. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 3 Muhammad Hasby ash- Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet. IVX (Semarang: PT. Pustaka Rizi Putra, 2001), hlm. 24
19 20 18 17

Al-Anbiya> (21) : 107

21

Asya>riyah). Menurut mereka, Allah berbuat sesuai dengan keinginan-Nya,22 sebagaimana firman Allah:23


2. Ulama yang berpegang pada prinsip keadilan dan kasih sayang Allah pada hambanya (yang dianut oleh ulama kalam al-Mutazilah) berpendapat bahwa memang untuk kemaslahatan umat itulah Allah mendatangkan syariah.24 Sejumlah defenisi maslahah dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, tetapi seluruh defenisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al-Ghaza>li< mengemukakan bahwa pada prisipnya maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syariah.25 Maslahah yang dimaksud bukanlah sekedar maslahah yang didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, akan tetapi lebih jauh bahwa sesungguhnya maslahah tersebut harus sejalan dengan tujuan syariah.26 dalam menentukan maslahah adalah kehendak dan tujuan syariah dan bukan kehendak manusia.27 Tujuan syariah yang harus dipelihara itu, lanjut al-Ghaza>li<, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang
Mereka berpendapat bahwa bukan untuk memaslahatkan umat itu Allah menetapkan hukum. Jadi, tujuan syariah itu bukan untuk memaslahatkan umat, meskipun semua hukum Allah itu tidak luput dari kemaslahatan. Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, cet. II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 206
23 22

Hu>d (11) :107 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, hlm. 206 Dikutip oleh Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, hlm. 326 Dikutip oleh Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 114

24

25

hlm. 114
26

27

melakukan perbuatan yang intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syariah di atas, maka dinamakan maslahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala aspek bentuk mudharat yang berkaitan dengan kelima aspek tersebut juga dinamakan maslahah.28 Wanita dalam kerangka memelihara jiwa seharusnya diberikan kekuasaan atas dirinya sendiri, misalnya bebas untuk kapan ia mau menikah, kapan mau memilih pasangan, dan kapan ia akan mempunyai anak. Hal ini sesuai dengan perumusan bahwa syariah adalah apa yang disyariatkan Allah dalam al-Quran dan Sunnah yang berupa suruhan dan larangan serta petunjuk bagi manusia untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.29 B. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library recearh), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis dengan jalan mempelajari, menelaah dan memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan materi pembahasan. 2. Sifat Penelitian

28

Ibid.

Asymuni A. Rahman, Reaktualisasi Hukum Islam Kearah Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, 1994), hlm. 135

29

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis30, yaitu memaparkan konsep persetujuan anak gadis menurut pandangan Ibn Qayyim untuk kemudian menilai sejauhmana relevansi pemikiran beliau dengan konteks sekarang. 3. Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengkaji dan menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini. Adapun sumber primer penelitian ini adalah hasil karya Ibn Qayyim al-Jawziyyah yaitu Za>d al-Maa>d31. Sedangkan literatur-literartur yang termasuk kategori sumber skunder adalah kitab-kitab yang membahas tentang fikih munakahat di antaranya adalah kitab al-Umm karya ima>m asy-Sya>fii<, Fiqih Lima Mazhab32 oleh Muhammad Jawa>d al-Mugniyyah, , Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), oleh Khoiruddin Nasution.33 sedangkan literatur lainnya yang berkaitan dengan topik pembahasan ini dapat dijadikan sebagai penunjang dalam penelitian ini baik yang berupa buku, majalah, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya.

deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang meliputi proses pengumpulan data, penyusunan, dan penjelasan atas data. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dan diinterpretasi sehingga metode ini sering disebut metode penelitian analitik. Ciri yang mendasar dari metode ini adalah bahwa ia lebih memusatkan diri pada pemecahan msalah-masalah aktual. Lihat Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik, cet. V (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 139-140
31

30

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d (Mesir: Mus{t}a>fa> al-Ba>bi< alH}alabi< wa Awla>dih,1390/ 1970) Muhammad Jawa>d al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B, cet. V (Jakarta: PT.Lentera Basritama, 2000)
32

Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet. I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004)

33

4. Pendekatan penelitian Pendekatan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah pendekatan normatif34 artinya pendekatan yang berbasis pada teori-teori dan konsep-konsep hukum Islam. 5. analisis data. Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan penyusun menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan cara berfikir induktif35. penyusun berusaha menganalisa pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis untuk kemudian menghubungkannya dengan konteks sekarang. C. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini, dan agar lebih sistematis dan konprehensif sesuai dengan yang diharapkan, maka dibuat sistematika pembahasan sebagai berikut: BAB I merupakan pendahuluan sebagai pengantar yang mengarahkan pembahasan. Bab I memuat Latar Belakang Masalah, Pokok Masalah, Tujuan Dan Kegunaan, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Maksud pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal/formal dan atau normatifnya. Maksud legal-formal adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak. Dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, cet. I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 141 Analisis induktif dalam penelitian kualitatif digunakan karena beberapa alasan. Diantaranya adalah dengan proses induktif lebih dapat menggali kenyataan-kenyataan ganda yang terdapat dalam data; analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti dengan objek menjadi lebih eksplisit; analisis lebih dapat meguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan kepada suatu latar lainnya. Lihat Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. XVI (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 5
35 34

BAB II setelah pada bab I diketahui arah pembahasan, maka tahapan selanjutnya penulis mengenalkan lebih dekat tentang objek dari pembahasan ini. Pada bab ini memuat tentang keberadaan dan kepribadiannya-Riwayat Hidup-. Penyusun juga menggambarkan Paradigma pemikiran hukum yang lebih menekankan berpegang kepada al-Quran dan Sunnah ketika mengambil dasar hukum. BAB III mengupas secara umum tentang persetujuan anak gadis dalam proses perkawinan. Hal ini diperlukan sebagai perbandingan antara pendapat Ibn Qayyim alJawziyyah dengan ulama-ulama lain sehingga bisa dinilai pendapat siapa sesungguhnya yang paling relevan untuk saat ini. Untuk mencapai pemahaman yang utuh tentang pembahasan ini, maka pada bab ini juga diangkat tentang kebebesan wanita dalam perkawinanan. Bab ini berisi Dasar-Dasar Hukum Ulama yang menyangkut masalah pembahasan ini, dan juga Pandangan mereka seputar hal ini. BAB IV setelah diuraikan pandangan beliau tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan dan gambaran umum dari ulama-ulama lain tentang pembahasan ini, maka dalam bab ini penyusun melakukan Analisis Terhadap Pendapat Ibn Qayyim alJawziyyah dan Relevansinya Dengan Konteks Sekarang. BAB V sebagai penutup dari bab-bab sebelumnya yang juga tentunya berisi kesimpulan pembahasan yang dilakukan terhadap penelitian ini, saran-saran dan usul yang mungkin dapat berguna bagi pengembangan hukum Islam di masa depan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DAN KEBEBASAN WANITA

A. Dasar hukum Secara umum bisa dikatakan bahwa ketika para ulama membahas tentang persetujuan gadis dalam perkawinan, mereka biasanya menggunakan hadis-hadis sebagai dasar hukum bagi kasus ini. Ulama terpisah menjadi dua pendapat ketika membahas kajian ini. satu pihak menyatakan bahwa persetujuan gadis dalam perkawinan hanya sekedar sunat atau penyempurna, sedangkan di pihak lain berpendapat bahwa persejuan gadis dalam pernikah adalah wajib, artinya tanpa ada persetujuan darinya perkawinan tidak sah. Berikut ini sejumlah hadis yang dijadikan pegangan bagi pendapat yang menyatakan bahwa persetujuan si gadis hanya sekedar sunnat antara lain: Hadis dari Ibn Abba>s, Nabi bersabda:36


Hadis Ibn Abba>s tersebut menjelaskan bahwa wanita ada dua golongan. Pertama janda dan kedua gadis. Kekuasaan bapak gadis selaku wali terhadap kedua golongan ini tidak sama. Permulaan hadis tersebut menegaskan bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya. Mafhu>m Mukha>lafah-nya adalah bahwa bapak lebih berhak terhadap diri gadisnya.37

Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h} Muslim bi Syarh}i an-Nawawi<, cet V (beirut: dar al-fikr, t.t.), IX: 202, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Istiz|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Su>kut,Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis dari Sai<d bin Mansu>r dan Qutaibah bin Sai<d diceritakan Sufya>n diceritakan Jiya>d bin SaAd
36

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, cet I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), I: 207

37

Riwayat yang menerangkan bahwa gadis diminta persetujuannya, hendaklah diartikan bahwa hukum meminta persetujuan itu adalah sunat bagi bapak sekedar membesarkan hati anak gadisnya dan wajib hukumnya bagi selain bapak.38 Hadis dari Khansa> binti Khida>m:39


Perkataan perawi hadis yang berupa sedangkan ia janda jelas suatu isyarat yang menunjukkan illat atau sebab dari penolakan (tidak diakui) rasul. Hal yang sebaliknya adalah jika ia gadis maka perkawinannya akan diterima Rasul.40 Hadis dari Ibn Abba>s, Nabi bersabda:41


Dalam hadis ini gadis yang tidak berbapak dan sudah dewasa dikatakan yati<mah dari segi menurut ilmu balaghah, karena istilah yati<mah adalah sebenarnya adalah term bagi anak yang tidak berbapak yang belum dewasa menurut arti yang hakiki.42 Perkataan mernjadi qarinah karena orang yang belum dewasa tidak dianggap sah perintahnya dan haruslah kita menunggu sampai ia dewasa.43
38

Ibid.

Bukha>ri<, S}ah}i<h} Bukha>ri<, cet. III (Beirut: Da>r al-Fikr, 1401/1981), V: 135, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Iz}a> Zawwajahu Ibnatahu wa Hiya Ka>rihah fa Nika>huhu Mardu>d. Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Isma>il diceritakan Ma>lik dari Abdul ar-Rah}ma>n.
39 40

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, hlm. 209

Jala>l ad-Di<n as-Suyu>ti<,Sunan an-Nasa>i bi Syarhi al-H}a>fiz Jala>l adDi<n as-Suyu>ti<, , cet I (Beirut: Da>r al-Fikr, 1248/1930), VI: 85, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Istiz}a>n al-Bikr Fi< Nafsiha>, sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Muh}ammad bin Ra>fi diceritakan oleh Abdul ar-Razza>q diceritakan oleh Muammar bin ar-Ra>syid dari S}a>lih} bin Kaisa>n 42 Ibid., hlm. 209
41 43

Ibid.

Jadi, gadis yang tidak berbapak wajib diminta persetujuanya. Ini menunjukkan bahwa gadis yang berbapak tidak perlu bapak meminta persetujuannya.44 Adapun hadis yang dijadikan pegangan bagi pendapat yang menyatakan bahwa seorang bapak wajib meminta persetujuan anak gadisnya ketika akan menikahkannya adalah sebagai berikut: Hadis dari Abu> Hurairah yang diriwayatkan oleh jamaah:45


Dalam hadis Abu> Hurairah ini, terdapat pengertian yang berupa larangan Rasul untuk menikahkan gadis tanpa seizinnya, sebagaimana beliau menikahkan janda tanpa seizinnya. Secara implisit hadis tersebut menjelaskan sahnya akad nikah tergantung ada atau tidak persetujuan wanita yang akan dinikahkan. Persetujuan tersebut bila dari janda berwujud ucapan sendangkan dari gadis cukup dengan diamnya saja. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara gadis dengan janda adalah terletak pada cara penyampaian persetujuan itu sendiri.46 Hadis dari Ibn Abba>s:47

44

Ibid.

Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h} Muslim bi Syarh}i an-Nawawi<, cet V (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), IX: 202, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Istiz|an fi< an-nika>h} bi anNut}q wa al-Bikr bi as-Suku>t,Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan Ubaidillah bin Umar bin Maisarah al-Qawa>ri<ri< diceritakan Kha>lid bin al-H}a>ris diceritakan Hisya>m bin Yah}ya>.
45

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, cet I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 211 Abu> Da>ud, Sunan Abi<< Da>ud, cet. I (Beirut: Da>r al-Fikr,t.t.), II: 232, hadis nomor 2096,Kita>b an-Ni<kah, Ba>b al-Bikr Yuzawwijuha> Abu>ha> wa la> Yastamiruha>. sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Us|ma>n bin Abi< Syaibah diceritakan oleh H}usain bin Muhammad diceritakan oleh Jari<r bin H}azi<m.
47

46

( )
Hadis ini menceritakan suatu kasus pada masa Nabi di mana ketika itu seorang gadis datang menghadap beliau untuk mengadukan bapaknya yang telah menikahkannya tanpa persetujuannya. Terhadap kasus ini Nabi memberikan kepada si gadis hak khiyar (kesempatan untuk memilih) karena perkawinan dilangsungkan tanpa persetujuan si gadis. Hadis ini menunjukkan bahwa seorang bapak tidak sah menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuannya.48 Wanita yang datang kepada pada hadis ini bukanlah Khansa> binti Khida>m wanita yang disebutkan pada hadis sebelumnya yang memang sudah janda. Jadi, ada dua wanita dengan status yang berbeda, yang pertama janda dan yang kedua masih gadis. Akan tetapi Nabi memberikan perlakuan yang sama terhadap kedua wanita itu.49 Hadis dari Siti A<isyah:50


Hadis dari Siti A<isyah:51
48

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan., hlm. 212

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Zaadul Maad (Bekal Menuju Akhirat), alih bahasa Kathur Suhardi, cet V (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), V: 386 Bukha>ri<, S}ah}i<h} Bukha>ri<, cet. III (Beirut: Da>r al-Fikr, 1401/1981), V: 135, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b la> Yaju>zu Nika>h} al-Mukrah. Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Muh}ammad bin Yu>suf dari Sufya>n bin Sai<d dari Abdul al-Ma>lik bin Juraij
50

49

Jala>l ad-Di<n as-Suyu>ti<,Sunan an-Nasa>i bi Syarhi al-H}a>fiz Jala>l adDi<n as-Suyu>ti<, , cet I (Beirut: dar al-fikr, 1248/1930), VI: 86-87, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b al-Bikr Yuzawwijuha> Abu>ha> wa Hiya Ka>rihah, sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Ziya>d bin Ayyu>b diceritakan Ali< bin Gura>b diceritakan oleh Kahmas bin al-H}asan
51


Perkataan fata>tun dalam hadis Siti A<isyah ini, diasumsikan sebagai wanita yang masih gadis. Demikian juga perkataan wanita tersebut di depan Rasul yang berupa tetapi aku hanya ingin memberitahukan kepada para wanita bahwa bapak tidak mempunyai suatu urusan (hak) apa pun jelas menunjukkan bahwa bapak tidak mempunyai hak ijbar terhadap anak gadisnya, karena perkataan an-nisa> (para wanita) mencakup seorang wanita yang masih gadis.52

B. Pandangan Ulama-Ulama Fiqh Ada pemetaan menarik yang dibuat oleh Ibn Rusyd tentang perbedaan pendapat ulama tentang kebebasan wanita dalam memilih pasangan yang dapat dirinci sebagai berikut:53 1. Para ulama sepakat bahwa untuk wanita janda diwajibkan ada

persetujuannya.

52

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan., hlm. 213

Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), II: 398-404
53

2.

Janda yang belum balig, menurut imam Ma>lik dan imam Ha>nafi<,

wali boleh memaksanya untuk menikah, sedangkan menurut imam Sya>fii< wali tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya. 3. Mengenai gadis kecil para imam mazhab sepakat bahwa ia boleh

dinikahkan tanpa persetujuannya, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang siapa yang boleh menikahkannya tanpa persetujuannya. Menurut Sya>fii yang boleh menikahkannya tanpa persetujuannya adalah bapak dan kakeknya, sedangkan imam Ma>lik mengatakan yang boleh hanya bapaknya saja atau orang yang mendapat penyerahan dari bapak untuk melakukan akad itu jika calon suami telah ditentukan bapak, dan pendapat imam Ha>nafi< adalah setiap orang yang mempunyai hak wali terhadap si gadis boleh menikahkanya walaupun tanpa persetujuannya, akan tetapi setelah dewasa si anak gadis mempunyai hak khiya>r (memilih). 4. Ulama berbeda pendapat tentang persetujuan sendiri itu jika wanitanya

gadis dewasa. Imam Ma>lik dan imam asy-Sya>fii< berpendapat persetujuan hanya sekedar sunat, bahkan bapak sebagai wali bisa memaksa anak gadis untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, sedangkan menurut imam Ha>nafi< harus ada persetujuan dari si gadis. Berikut diuraikan lebih lanjut pendapat empat mazhab tentang pembahasan ini. a. Mazhab Ma>liki<

Dalam kaitan persetujuan dan kebebasan wanita dalam memilih pasangan (calon suami), imam Ma>lik membedakan antara janda dengan gadis. Untuk janda harus ada persetujuan dengan tegas sebelum akad nikah. Adapun gadis dan janda yaang belum dewasa yang belum digauli oleh suaminya ada perbedaan antara bapak sebagai wali

dengan wali di luar bapak. Bapak sebagai wali menurut beliau berhak memaksa anak gadisnya dan janda yang belum dewasa (hak ijbar) untuk nikah, sedangkan wali selain bapak tidak mempunyai hak ijbar. Dengan kata lain, seorang bapak boleh menikahkan anak gadis dan janda yang belum dewasa walaupun tanpa persetujuan keduanya.54 Otoritas yang dimiliki bapak itu lanjut imam Ma>lik karena memang syara mengkhususkan demikian, atau karena kasih sayang seperti yang dimiliki seorang bapak tidak akan dimiliki oleh wali yang lain.55 Kemudian az-Zarqa>ni< menuliskan dua pandangan Iya>d tentang pembahasan ini, pertama bahwa wanita yang masih gadis, walinyalah yang lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam perkawinannya, kedua, sedangkan wanita janda lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam perkawinannya.56 Kedua pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi57


Pendapat pertama, dengan mengambil mafhu>m mukha>lafah dari hadis ini, sedangkan pendapat kedua dengan menghubungkan hadis ini dengan hadis Nabi:58


Dalam perkembangan selanjutnya, ketika membahas tentang persetujuan janda dalam perkawinannya, ulama mutaakhiri<n dalam mazhab Ma>lik terpecah kepada
Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 70
55 54

Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, hlm. 407 Ibid., hlm. 71 lihat catatan kaki no. 1

56

57

Abi I<sa> Muh}ammad bin Sawrah, Sunan at-Tirmi<zi< (Beirut: Da>r al-Fikr, 1408/1988), III: 407, hadis nomor 1101, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Ma> Ja>'a illa bi Waliyyi", Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis dari Ali bin H}ujr diceritakan Syari<k bin Abdullah dari Abi< Ish}aq

58

tiga kelompok, pertama. bapak boleh menikahkanya tanpa persetujuannya apabila perceraiannya terjadi sebelum ia dewasa, ini adalah pendapat Asyha>b. Kedua, bapak tetap boleh menikahkannya walaupun perceraiannya terjadi setelah ia dewasa, ini pendapat Sahnu>n. dan ketiga, bapak tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya baik perceraiannya terjadi sebelum atau sesudah ia dewasa, ini pendapat Abu>Tamma>m.59 b. Mazhab H}ana>fi

Menurut Abu H}ani<fah, persetujuan wanita (calon istri) gadis atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya, kalau mereka tidak setuju, maka akad nikah tidak boleh dilanjutkan. Walaupun yang menjadi wali adalah bapak kandung mereka sendiri.60 Adapun dasar penetapan harus adanya persetujuan gadis dalam perkawinan, menurut abu H}ani<fah adalah kasus di masa Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menolak perkawinan seorang gadis yang dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak tidak menyetujui, yakni kasus yang terjadi pada al-Khansa>. dalam kasus ini, alKhansa> menemui dan melaporkan kasus yang menimpa dirinya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya yang tidak ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya apakah kamu diminta izin (persetujuan)? al-Khansa> menjawab saya tidak senang dengan pilihan bapak. Nabi lalu menetapkan perkawinannya sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya bersabda/berpesan nikahlah dengan orang yang kamu senangi.61 al-Khansa> berkomentar, bisa saja aku menerima pilihan bapak,
59

Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, hlm. 402 Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 75

60

Lihat catatan kaki no. 4


61

tetapi aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak wanitanya dan nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa>, nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda, seperti dicatat sebelumnya.62 Kasus al-Khansa> ini menjadi salah satu dalil tidak adanya perbedaan antara janda dengan gadis tentang harus adanya persetujuan dari yang bersangkutan dalam perkawinan. Perbedaannya hanya terletak pada tanda persetujuan itu sendiri; kalau gadis cukup dengan diamnya saja, sementara janda harus tegas.63 Imam H}ana>fi dalam hal kebebasan wanita dalam memilih pasangan kelihatan lebih toleran Terbukti bahwa menurut beliau seorang wanita yang sudah balig dan berakal sehat boleh menikahkan dirinya baik ia masih perawan atau sudah janda. Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat, calon suami yang dipilihnya itu sekufu dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahal mis|il. Akan tetapi kedua syarat ini mempunyai konsekwensi hukum apabila tidak terpenuhi yaitu wali boleh menentang perkawinan itu bahkan wali bisa meminta q}}a>d}i< untuk membatalkan perkawinan itu.64 c. Mazhab asy-Sya>fii<

Imam Sya>fii< membuat klasifikasi terkait dengan kebebasan wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yakni: pertama, gadis yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga, janda. Untuk gadis yang belum dewasa, batasan
62

Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 77 Ibid.

63

Muhammad Jawa>d al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. dkk.cet V (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000), hlm. 345
64

umurnya adalah belum lima belas tahun (15) atau belum haid, maka seorang bapak dalam hal ini menurut beliau boleh menikahkan si gadis walaupun tanpa seizinnya, dengan syarat perkawinan itu menguntungkan bagi si anak gadis. Pandangan beliau ini didasarkan pada tindakan Abu> Bakar yang menikahkan A<isyah kepada Nabi, dan umur A<isyah ketika itu baru sekitar tujuh tahun. Adapun perkawinan gadis dewasa, ada hak berimbang antara bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada mafhu>m mukha>lafah hadis yang menyatakan janda lebih berhak terhadap dirinya. Menurut imam asy- Sya>fii mafhu>m mukha>lafah hadis ini bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak gadisnya65, meskipun dianjurkan musyawarah antara bapak dengan si anak gadis, berdasarkan firman Allah:66


Dari penjelasan asy-Sya>fii, akhirnya bisa dilihat bahwa dalam kasus gadis dewasa pun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak gadis. Kesimpulan ini didukung oleh ungkapan asy-Sya>fii sendiri yang menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan (( tetapi hanya sekedar pilihan ((76. Adapun perkawinan seorang janda menurut beliau harus ada persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan pada kasus perkawinan yang ditolak Nabi karena ia nikahkan oeh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak
Hal ini didukung pernyataan ulama Sya>fiiyyah bahwa apabila bapak sebagai wali tidak perlu lagi meminta izin kepada anak gadisnya apabila telah memenuhi ketujuh syarat berikut: pertama, antara bapak dengan anak tidak ada permusuhan. Kedua, anatara si anak gadis dengan calon suaminya tidak ada permusuhan. Ketiga, calon suaminya sekufu. Keempat, calon suami sanggup memberikan mahar. Kelima, mahar yang sesuai. Keenam, mahar merupakan mata uang setempat, ketujuh mahar dibayar kontan, lihat Abdul ar-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala al-Maza>hib al-Arbaah (Beirut: Da>r al-Afka>r, t.t.), IV: 35
65 66

Ali Imra>n (3) : 159 Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 84

67

disenangi ditambah lagi tanpa diminta persetujuannya terlebih dahulu.68 Dengan demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.ketetapan ini diperkuat hadis lain.69 Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya (( berarti untuk sempurnanya perkawinan harus dengan persetujuannya dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mencegahnya untuk nikah.70 d. Mazhab H}anbali<

Dalam al-Mugni<, Ibn Quda>mah seorang ulama besar dari mazhab ini mengklaim, ulama sepakat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita itu senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Ibn Quda>mah sendiri cendrung berpendapat, bapak berhak memaksa anak gadisnya baik dewasa atau belum, menikah dengan pria sekufu walaupun wanita tersebut tidak setuju.71 Menurut beliau, dasar bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa adalah firman Allah:72


Pada prinsipnya ayat ini berbicara tentang masa iddah seorang wanita yang belum haid atau wanita yang sudah putus haid. Logika sederhana adalah iddah muncul

Lihat catatan kaki no. 4


68 69

. lihat catatan kaki no. 9


Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 85 Ibid., hlm. 88 At}-T}alaq (65) : 4

70

71

72

karena talak, dan talak muncul karena nikah.73 Dasar pendapat ini sesuai dengan hadis fili< Nabi:74


Menurut ibn Quda>mah, disamping sebagai dalil bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa, hadis ini juga menunjukkan tidak adanya permintaan izin dari Abu> Bakr (bapak/wali) kepada A<isyah. Ibn Rusyd dalam bukunya Bida>yah al-Mujtahid, menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat para ulama tentang perlu tidaknya persetujuan wanita dalam perkawinannya bermuara pada illat yang dipakai oleh para ulama itu sendiri. Dalam kaitan ini ada dua illat yang dipakai ulama sebagai dasar argumennya yang masingmasing illat mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda. Illat yang dimaksud adalah kegadisan seorang wanita dan kedewasaannya.75 Ulama yang menggunakan illat kedewasaan wanita sebagai dasar argumentasi, maka konsekwensi hukumnya adalah wanita dewasa tidak boleh dipaksa untuk menikah oleh siapa pun dan persetujuannyalah yang menentukan sah tidaknya suatu akad nikah.illat inilah yang digunakan oleh imam H}ana>fi.76

73

Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 89

Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h} Muslim bi Syarh}i an-Nawawi<, cet V (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), IX: 202, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Tazwi<j al-A<b al-Bikr as}S}agi<rah,Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan Yah}ya> bin Yah}ya> Abu Mu'a>wiyah dari Hisya>m bin Urwah.
74 75

Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, hlm. 403 Ibid.

76

Ulama yang menggunakan illat kegadisan wanita, maka konsekwensinya adalah gadis dewasa boleh dipaksa walinya (bapak) untuk menikah. Jadi persetujuannya bukanlah sesuatu yang menentukan. Imam Sya>fii menggunakan illat ini.77 Ada yang menggunakan kedua illat tersebut sebagai satu kesatuan tanpa dipisah-pisah. Dengan kata lain, apabila illat kebelumdewasaan dan kegadisan masih melekat pada diri seorang wanita maka ia tetap bisa dipaksa untuk menikah. Menurut pendapat ini, persetujuan seorang wanita menentukan dalam perkawinannya ketika ia sudah berstatus janda dan dewasa. Illat digunakan oleh imam Ma>lik.78 BAB III IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH DAN PERSETUJUAN ANAK GADIS A. Riwayat Hidup Ibn Qayyim al-Jawziyyah, nama populer untuk Syams ad-Di<n abu> Abdillah Muhammad bin Abi> Bakr bin Ayyub bin Saad bin Haris| az-Zari ad-Dimasyqi79. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dilahirkan di Damaskus pada tanggal 7 Syafar 691 H. bertepatan dengan 29 Januari 1292 M. dan wafat80 pada tanggal 13 Rajab 751 H. bertepatan dengan 1350 M.81
77

Ibid. Ibid. Depag. RI, Ensiklopedia Islam di Indonsia , (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993), II: 403

78 79

mengenai tahun masehi dari tahun wafatnya terdapat perbedaan. Dalam Dairah alMaa>rif al-Isla>miyyah disebutkan tahun 1356 M. Tetapi di dalam Encyclopedia Of Islam dan dalam karya Ibn Qayyim al- Jawziyyah sendiri seperti di dalam Ilam al-Muwa>qiin dan Z|a>d alMaa>d disebutkan 1350 M.. Menurut Mukhtar Basya, tahun kelahiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah 691 H tersebut bertepatan dengan 1292 M. Sedangkan tahun wafatnya 751 H bertepatan dengan tahun 1350 M. lihat Muhammad Mukhtar Basya, at-Taufiq al-Ilhamiyyah (Mesir: at-Atmiriyyah, 134 H), hlm. 346. Dari beberapa sumber tersebut hanya dalam Dairat al-Maa>rif al-Isla>miyyah, yang menyebutkan tahun wafat Ibn Qayyim al- Jawziyyah yaitu tahun 1356 M. sedangkan dalam beberapa sumber lainnya termasuk karya beliau sendiri menyebutkan 1350 M., jadi tahun 1350 M. sebagai tahun wafat beliau lebih dapat diterima karena terdapat dalam karyanya.
81

80

Bernard Lewis (ed.) Dkk., Encyclopedia Of Islam (Leiden: E.J Brill, 1973), III: 821

Ibn Qayyim al- Jawziyyah hidup dilingkungan ilmiah yang sempurna. Beliau mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk pengembangan ilmu, sehingga banyak karya intelektualnya dapat dijadikan sumber ilmu.82 Nama al-Jawziyyah
83

sendiri diambil

dari satu sekolah yang dibangun oleh Muh}yy ad-Din bin H}a>fiz bin Abu> Farj Abdul ar-Rah}i<m al-Jawzi, yang mana ayah Ibn Qayyim al- Jawziyyah adalah salah satu pengurus (qayyim) di dalamnya.84 Ibn Qayyim al- Jawziyyah sangat mencintai ilmu, maka tidak heran kemudian kalau beliau mempunyai sejumlah guru85, diantaranya Ibn Taimiyyah. Beliau berguru pada Ibn Taimiyyah sejak 712 H. setelah sang guru datang dari Mesir. Pikiran dan ideide Ibn Taimiyyah sangat mempengaruhi Ibn Qayyim al- Jawziyyah. Beliau bahkan menempuh jalan yang dilakukan oleh gurunya itu dalam memerangi orang-orang yang menyimpang dari agama. Meskipun beliau sangat mencintai dan menghormatinya gurunya, tetapi tidak jarang beliau berbeda pendepat dengannya, jika menurutnya sesuatu itu benar dan jelas dalilnya.86

RA. Gunadi dan M. Shoelhi (peny.), Khazanah Orang Besar Islam, Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol, cet. II (Jakarta: Republika, 2003), hlm. 107 Disamping fungsinya sebagai tempat menuntut ilmu, madrasah al-Juwziyyah ini juga dipakai sebagai Mah}kamah Syari<iyyah bagi mazhab H}anbali< di Damaskus. Bernard Lewis (ed.) dkk., Encyclopedia Of Islam, hlm. 821 Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Hijrah Paripurna Menuju Allah dan Rasulnya, alih bahasa Fadhli Bahri, cet. I (Jakarta: Pustaka Azzam, 1999), hlm. 9 Diantara guru-gurunya adalah asy-Syi<hab an-Nablisi< al-a<bid, al-Q}a>d}i< Taqi< ad-Di<n Sulaima>n (Ibn Taimiyyah), Fat}i<mah binti Jawhar, I<sa> al-Mut}a>im, Abu> Bakr bin Abdul ad-Da>im. Tetapi yang paling banyak mempengaruhi pemikirannnya adalah Ibn Taimiyyah. Bahkan kelak bersama sang guru, beliau menjadi salah satu tokoh penganjur kebebasan berfikir. Menentang ajaran-ajaran yang dikembangkan kelompok al-Muti<}lah, al-Jahmiyyah, dan alMukha>lifah. Ibid., hlm. 107
86 84 83

82

85

Depag. RI, Ensiklopedia, II: 403

Berkat kedalaman dan keluasan ilmunya Ibn Qayyim al- Jawziyyah87 yang sebagian besar diperoleh dari gurunya Ibn Taimiyyah beliau kemudian dijuluki Syaikh al-Isla>m yang kedua setelah gurunya tersebut.88 Ibn Qayyim al-Jawziyyah berusaha mengajak orang kembali berpegang kepada al-Quran dan as-sunnah sebagaimana ulama Salaf dan mengajak meninggalkan perbedaan pertikaian mazhab. Juga Ibn Qayyim al-Jawziyyah mengajak bebas berfikir dan memerangi taklid buta. Usaha dan ajakan itu tidak hanya dibidang Ilmu Kalam, tapi juga di bidang Fiqh dan Tasyawuf. Dalam masalah Fiqh Ibn Qayyim al-Jawziyyah sekalipun mengikuti aliran Ahmad bin H}anbal, namun juga mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan paham Ahmad bin H}anbal. Beliau termasuk priode keenam, priode ini ditandai dengan meluasnya faham fanatik dan taklid kepada ulama-ulama mujtahid yang empat,89 tetapi Ibn Qayyim al-Jawziyyah menolak taklid dan membuka pintu ijtihad serta kebebasan berfikir.90 Pada dasarnya pemikiran-pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah bersifat pembaharuan. Tak terkecuali dalam bidang Tasawuf. Ibn Qayyim al-Jawziyyah menghendaki agar Tasawuf dikembalikan ke sumber aslinya yaitu al-Quran dan assunnah dan tanpa penyimpangan-penyimpangan. Ajaran-ajaran Tasawuf seharusnya
Beliau pernah dipenjara bersama gurunya itu pada akhir kehidupannya di sebuah benteng karena menentang acara ziarah kekuburan al-Khalil (Nabi Ibrahim A.S ). Selama dipenjara, beliau selalu membaca al-Quran dan melakukan perenungan-perenungan, justru kehidupan penjara banyak membuka cakrawala pemikirannya mengenai berbagai persoalan kehidupan. Beliau baru dikeluarkan di penjara setelah Ibn Taimiyyah meninggal dunia. Lihat Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Kalimah Tayyibah, Alih Bahasa Kathur Suhardi, cet. III (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1999), hlm. 107
88

87

Ibid.,hlm. 14

Amir Syarifudin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1990), hlm 294
90

89

M. Khud}a>ri< Bek, Ta>rikh at-Tasyri al-Isla>mi< (Mesir: Asy-Syadah, 1454),

hlm 365

memperkuat Syariat dengan itu beroleh kesegaran dan penghayatan hakiki yang tumbuh dari kedalaman batin manusia.91 Karir Ibn Qayyim al-Jawziyyah sangat sederhana dan selalu dihalang-halangi oleh golongan oposisi, sebagaimana Neo-Hanbalisme yang dikembangkan oleh Ibn Taimiyyah juga ditentang oleh kalangan pemerintah.92 Banyak ulama yang mempunyai keutamaan pada masa hidup Ibn Qayyim alJawziyyah yang belajar kepadanya93 dan memanfaatkan karya-karyanya.94 Gelora pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang tegas dengan berpegang kepada al-Quran dan Sunnah Rasul, menolak taklid, menyerang bidah dan khurafat, dapat dipahami apabila kita melihat situasi dan kondisi masyarakat dimana Ibn Qayyim

M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, cet. I (Jakarta: PT. Raja grapindo Persada, 1996), hlm. 222 Hal ini disebabkan mazhab resmi yang berlaku dan diakui oleh pemerintah di Damaskus ketika itu adalah mazhab Sya>fii<. ini bisa dilihat dari satu-satunya gedung pengadilan (Mah}kamah Syari<ah) yang ada pada saat itu hanyalah pengadilan agama mazhab Sya>fii< yang diketuai oleh Ta>qi<< ad-Di<n as-Subki. Sedangkan pengadilan mazhab H}anbali< sendiri tidak pernah memiliki gedung pengadilan, sehingga untuk kepentingan itu madarasah al-Jawziyyah sering dialih fungsikan menjadi tempat pengadilan agama mazhab H}anbali<. Lihat Bernard Lewis (ed.) dkk., Encyclopedia Of Islam , hlm. 821 Diantara murid-muridnya atau yang dipengaruhi oleh ide-ide dan ajaran-ajarannya adalah Ibn Kas|ir, seorang tradisionalis bermazhab Syafii< , Zain ad-Di<n bin Rajab, seorang ahli sejarah, Ibn Hajar al-Asqalani<,juga Ibn Quda>mah al-Maqdi<si<, seorang pemuka ahli Hadis dan Fiqh, Syams ad-Di<n Abu> Abdillah Muh}ammad bin Abdul Qadi<r bin Muhyy ad-Di<n Usamah bin Abdul Ar-Rah}ma>n al-H}anbali<, serta kedua putranya sendiri, yakni Ibra>hi<m, pakar ilmu Fiqh, Nahw dan S}araf dan Syari<f ad-Di<n Abdullah yang menggantikan mengajar ayahnya di madarash S}adriyyah. Lihat Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Pesona Keindahan, alih bahasa Hadi Mulyono, cet. I (Jakarta: Pustaka Azzam, 1999), hlm 174-175 Warisan Ibn Qayyim al- Jawziyyah berupa kitab-kitab yang ditulisnya banyak sekali. Diantaranya Ilam al-Muwa>qqii<n Rabb al-A<lami<n, kitab T}uruq al-H}ukmiyyah Fi< as-Siya>sah asy-Syari<ah, kitab Igasta al-Lah}fan, kitab Ahka>m Ahlu az|-Z|immah. Kitab di atas dalam bidang Fiqh. Dalam bidang ilmu Kalam antara lain al-Kahfiyyah Al-S}afiah Fi alIntis}a>r Li al-Farq an-Najiyyah, asy-Syifa al-A<qil Fi Masa>il al-Qa>d}a wal Qadr wal H}ikmah, kitab ar-Ru>h,dan lain-lain. Dalam bidang Tasawuf antara lain Mada>rij as-Sa>liki<n Baina Al-Manzil Iyyaka Nabudu Wa Iyyaka Nastii<n, Rawd}ah al-Muh}ibbin Wa Nuzhah alMustaqi<m, al-J<awab al-Ka>fi< liman saala an ad-Dawa> asy-Sya>fi<. Lihat Ibid., hlm. 223
94
93

91

92

al-Jawziyyah hidup.95 Di timur Hulaghu Khan datang mengobrakabrik umat Islam dan dari barat kekuatan-kekuatan yang membentuk perang salib, sementara Aqidah dan pemikiran umat Islam dalam keadaan beku (jumud) dibalut oleh lumpur taklid, khurafat dan bidah.96 Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu Ijtihad telah ditutup dan diterima secara umum di zaman tersebut. Disamping itu, pengaruh tarekattarekat bertambah mendalam dan meluas di dunia Islam. Demikianlah kehidupan yang melanda orang Islam pada masa itu, penuh dengan bentrokan fisik dan perpecahan sesama mereka, disebabkan mereka menyimpang dari ajaran agama. Keadaan seperti ini membutuhkan terjadinya perubahan dan pembaharuan

kesempatan seperti inilah yang paling tepat untuk mengajak dan mengarahkan bangsa kembali kepada ajaran Islam. Kondisi tersebut mendorong Ibn Qayyim al- Jawziyyah untuk menegakkan dakwah perdamaian, mempersatukan paham Aqidah dan Fiqh, membuang pertikaian sesama orang Islam serta membuka kembali pintu ijtihad dengan tetap berpegang kepada al-Quran dan as-sunnah. B. 1. Paradigma Pemikiran Ibn Qayyim al- Jawziyyah Dasar-dasar hukum Dalam karyanya yang berjudul Ilam al-Muwaqqii<n dijelaskan, ada tujuh sumber hukum yang dipakai Ibn Qayyim al-Jawziyyah ketika mengistinba>tkan hukum dari suatu kasus yang ditemuinya. Sumber-sumber hukum tersebut adalah:
Ibn Qayyim al- Jawziyyah hidup pada akhir abad ketujuh Hijriah dan awal ke delapan atau akhir abad ketiga belas dan pertengahan abad keempat belas Masehi, yang dalam sejarah disebut sebagai abad pertengahan keadaan politik dunia Islam saat itu sangat memprihatinkan sekali, saat itu negri Islam bagaikan sebuah kekuasaan kecil yang dikuasai orang asing dengan sesuka hati untuk memecat dan mengangkat penguasa lihat Ibnu Kasir, al-Bida>yah wa an-Niha>yah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), IV: 176
96 95

Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Pesona Keindahan, hlm 222

pertama, nash al-Quran dan as-sunnah; kedua, ijma; ketiga, fatwa shahabat; keempat qiyas; kelima, istis}h}a>b; keenam urf ; dan ketujuh sadd az|-z|ari<ah. a. Nash Nash yang dimaksud oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah teks-teks al-Quran dan as-sunnah. Menurutnya seorang ahli hukum jika menemukan suatu persoalan yang menghendaki pemecahan hukum, maka pertama-tama ia harus mencari jawaban persoalan tersebut kepada nash. Apabila ia mendapatkan nash, maka wajib menetapkan hukum berdasarkan nash tersebut.97 Untuk memperkuat pandangan tersebut Ibn Qayyim al-Jawziyyah mengemukakan bukti dalam al-Quran sebagai berikut:98


Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang mukmin tidak dibenarkan mengambil alternatif hukum yang lain sesudah Allah dan Rasulnya untuk menetapkan hukum, dan barang siapa mengambil alternarif lain, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata.99 Ibn Qayyim al-Jawziyyah mendahulukan teks-teks Hadis sebagai dasar/sumber hukum daripada Ijma, rayu, maupun qiyas ( analogi).100
Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Ilam al-Muwaqqii<<<<>n al-Ilmiyyah, 1991), I: 24
97 98

(Beirut: Da>r al-Kutub

Al-ah}za>b (33) :36 Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Ilam al-Muwaqqii<n , I: 40

99

Sikap Ibn Qayyim al- Jawziyyah tersebut sesuai dengan para imam mazhab yang empat, yang juga mendahulukan teks-teks Hadis daripada pendapat mereka sendiri. Imam asy-Sya>fii< misalnya, ia berkata:

100


Dalam riwayat lain disebutkan :

Selanjutnya Ibn Qayyim al-Jawziyyah menjelaskan posisi as-sunnah terhadap al-Quran yang menurutnya ada tiga fungsi, yakni: pertama, as-sunnah menguatkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Quran; kedua, as-sunnah menjelaskan alQuran dan sekaligus tafsir baginya; dan ketiga as-sunnah berdiri sendiri dalam menetapkan hukum101. b. Ijma Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam menerapkan hukum selain di atas jarang menggunakan kata ijma sesuai ungkapan-ungkapannya atau tidak mengetahui sesuatu yang menolaknya. Ia bekata:102

c. Fatwa Shahabat Mayoritas ulama mengakui fatwa Shahabat sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Demikian pula menurutnya, dibolehkan mengambil fatwa yang bersumber dari golongan Salaf, dan fatwa-fatwa para Shahabat.103 Fatwa mereka lebih utama daripada
Lihat M. Hasby ash-Shiddiqi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 355-356
101

Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Ilam al-Muwaqqi<in, II: 220 Ibid., I: 88

102

Beliau mengambil pendapat Shahabat yang paling mendekati al-Quran dan Hadis. Bila terjadi fatwa Shahabat, maka menurut Ibn Qayyim al- Jawziyyah ada tiga tingkatan, yaitu: 1) Mendahulukan pendapat khalifah yang empat (Khulafa ar-Rasyidin) daripada pendapat Shahabat yang lain. 2) Jika mayoritas diantara Khulafa ar-Rasyidin berpendapat, maka pendapat mayoritas yan lebih benar dan jika pendapat mereka jadi mendua maka pendapat Abu Bakar dan Umar menjadi

103

fatwa ulama kontempoter.104 Karena fatwa para Shahabat lebih dekat pada kebenaran. Masa hidup mereka lebih dekat dengan masa hidup Rasul. Imam asy-Sya>fii< dalam qawl qadi<m seperti dikutip al-Baihaqi<, mengatakan bahwa semua Shahabat berada di atas kita dalam hal kualitas keilmuan, ijtihad, wara, dan intelektualnya. Menurutnya pendapat mereka lebih mulia dan lebih utama daripada pendapat kita secara keseluruhan.105 Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah pandangan tersebut didasarkan pada firman Allah:106


d. Qiyas Pada firman Allah dijelaskan bahwa Allah mengqiyaskan hidup setelah mati kepada terjaga (bangun) setelah tidur, dan membuat beberapa perumpamaan, serta menerapkannya beraneka ragam. Semua itu adalah qiya>s aqli<, dimana Allah ingin mewujudkan bahwa hukum sesuatu dapat diterapkan kepada kasus lain yang serupa. Perlu diketahui bahwa qiyas yang dipakai oleh Ibn Qayyim al- Jawziyyah dalam proses

benar.

3) Menurut imam asy-Sya>fii<, jika dua orang Shahabat ( yang sama tingkatan kwalitasnya)
berfatwa, maka perhatikanlah kedua pendapat tersebut dan pendapat yang lebih dekat kepada alQuran dan al-Sunnah yang dipilih.
104

Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Ilam al- Muwaqqi<in, IV: 90 Ibid., IV: 93 At-Tawbah (9) : 100

105

106

pengambilan kesimpulan (dalil) terbagi dalam tiga bagian, yaitu: Qiya>s Illat, Qiya>s Dala>lah, dan Qiya>s Syabah.107 1) Qiyas Illat Qiyas ini terdapat dalam al-Quran, diantaranya sebagai berikut:108


Ayat ini menjelaskan sebelum kamu terdapat umat-umat seperti kamu, maka perhatikanlah keburukan yang menimpa mereka, akibat mereka mendustakan ayat Allah dan para Rasul-Nya umat sebelum kamu adalah as}al (pokok), sedangkan kamu adalah farun (cabang), sedangkan illat (alasan ) yang mengumpulkan adalah kedustaan, hukumnya adalah kehancuran (kebinasaan).

2) Qiya>s Dala>lah Yang dimaksud dengan qiya>s dala>lah adalah mengumpulkan antara sumber pokok dengan cabang berdasarkan petunjuk illat (alasan). Firman Allah yang menjelaskan tentang adanya qiya>s dala>lah:109

107

Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Ilam al- Muwaqqi<in, I: 104-105 Ali< Imra>n (3) : 137 Fus}s}ilat (41) : 39

108

109


Allah menunjukkan kepada hamba-hambanya dengan sesuatu yang dapat dilihat oleh mereka dalam kehidupan nyata untuk melihat kehidupan yang lebih jelas. Hal ini merupakan qiyas (analogi) kehidupan kepada kehidupan, dan mengungkapkan sesuatu dengan yang menyetarainya.sedangkan illat(alasan)nya adalah kesempurnaan

kekuasaan dan hukum Allah, sedangkan menghidupkan bumi merupakan petunjuk (dali>l) yang menunjukkan illat. 3) Qiya>s Syabah Qiyas jenis ini tidak digunakan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah karena Allah hanya menggunakannya dalam menceritakan orang-orang yang berbuat kebatilan dan juga al-Quran mamakainya dalam rangka penolakan atau untuk mencela seperti halnya analogi yang diambil oleh orang Musyrik. e. Istis}h}a>b Ibn Qayyim al-Jawziyyah menggunakan dasar hukum ini, walaupun ulama berbeda pendapat dalam masalah Istis}h}a>b. Beliau membaginya dalam tiga bagian, yakni:110 Istis}h}a>b Bara>ah al-As}liyyah, Istis}h}a>b as}si}fah, dan Istis}h}a>b Hukm al-Ijma> 1) Istish}a>b Bara>ah al-As}liyyah

110

Dikutip Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh , Cet. III (Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu, 2001),

II: 348

Arti lughawi al-bara>ah adalah bersih. Dalam hal ini pengertiannya adalah bersih atau bebas dari beban hukum. Dihubungkan dengan kata al-as}liyah yang secara lughawi artinya: menurut asalnya, dalam hal ini maksudnya adalah pada prinsip atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang menetapkan hukumnya. Hal ini berarti pada dasarnya seseorang bebas dari beban hukum, kecuali ada dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya beban hukum atas orang tersebut.111 2) Istis}h}a>b as}-si}fah Istis}h}a>b bentuk kedua mengandung arti mengukuhkan berlakunya satu sifat yang pada sifat itu berlaku suatu ketentuan hukum, baik dalam bentuk menyuruh atau melarang, sampai sifat tersebut mengalami perubahan yang menyebabkan berubah hukum, atau sampai ditetapkan hukum pada masa berikutnya yang menyatakan hukum yang lama tidak berlaku lagi.

3) Istis}h}a>b Hukm al-Ijma> Istis}h}a>b bentuk ketiga mengandung arti mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah ditetapkan melalui ijma ulama, tetapi pada masa berikutnya ulama berbeda pendapat mengenai hukum tersebut karena sifat dari hukum semula telah mengalami perubahan. f. Sadd az|-Z|ari<ah
111

Umpamanya seseorang bebas dari kewajiban puasa Syawal, karena memang tidak ada dalil yang mewajibkannya. Demikian pula pada dasarnya seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti secara meyakinkan bahwa ia bersalah. Prinsip inilah yang dewasa ini populer dengan apa disebut praduga tak bersalah. Istis}h}a>b bara>ah al-as}liyyah ini,mengandung prinsip tersebut sampai ada dalil yang menetapkannya. Lihat ibid.

Beliau membagi az|-z|ari<ah dalam empat bagian dengan memandang akibat yang ditimbulkan : pertama, az|-z|ari<ah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan yang mengakibatkan kerusakan akal, kedua, az|-z|ari<ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan yang merusak, seperti nikah muhallil, ketiga az|-z| ari<ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannnya, seperti berhiasnya seorang peremupuan dalam masa iddah., dan keempat, az|-z|ari<ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakannya jauh lebih kecil dibanding kebaikannya, seperti melihat wajah perempuan saat dipinang.112 g. Urf Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam berbicara urf jarang mengungkapkan

metodologi urf itu sendiri, beliau hanya menyebutkan adanya dalil :


Yakni syarat yang berdasarkan urf (tradisi) adalah seperti syarat yang berdasarkan pada lafaz 2. Metode Istinba>t Hukum Metode yang beliau pakai semuanya diwarnai dalam tulisan-tulisan, baik yang tertuang dalam kitabnya Ilam al-Muwaqqii<n secara khusus, maupun yang lainnya yang bercorak hukum. Bahkan secara umum juga terlihat dalam tulisan yang becorak Aqidah bahkan, Filsafat dan Tasawuf.
112

Dikutip Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh , Cet. III (Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu, 2001),

II: 402

Secara keseluruhan langkah dan metode yang dipakai beliau dalam pembahasan fiqh yaitu: a. Mengemukakan Nash kemudian megeluarkan hukumnya tanpa

memandang pendapat Fuqaha Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam metode pembahasannya berbeda dengan Fuqaha sebelumnya dimana Fuqaha biasanya mengemukakan masalah-masalah kemudian mengaitkan dengan dalil. Ibn Qayyim al-Jawziyyah mempergunakan nash sebagi dasar pembahasannya kemudian beliau mengeluarkan hukumnya.

b. Mengemukakan pendapat ulama tanpa fanatik kemudian menukilnya. Ibn Qayyim al-Jawziyyah tidak cukup dengan nash juga mengikuti pendapat Fuqaha dalam menetapkan pilihan seperti dicontohkan dalam pemeliharan anak (h}ad}anah)113 c. Mengemukakan dalil yang sesuai dan tidak sesuai menurutnya. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam masalah khilafiyah tidak cukup hanya mengemukakan pendapatnya disertai dalil-dalil tetapi juga mengemukakan dalil-dalil

113

Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Ilam al- Muwaqqi<<<in, IV: 237

orang yang membantah pendapatnya kemudian beliau mengomentari pendapat orang tersebut.114 d. Tidak menyamakan atau mengambil dalil al-Quran saja tetapi dilengkapi dengan Hadis Hal ini dilakukan supaya jangan terjadi pengada-adaan terhadap yang bukan ditujukan nash. 3. Anak Gadis dan Persetujuannya Dalam Perkawinan Persperktif Ibn Qayyim al-Jawziyyah Wanita dalam istilah arab terbagi menjadi dua status yakni anak gadis (al-bikr) dan janda (as|-s|ayyib). Kedua status tersebut mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda dikalangan fuqaha. Pada dasarnya anak gadis dalam pandangan dari penelurusan penulis, Ibn Qayyim al-Jawziyyah tidak berbeda dengan pendapat umum yang berlaku. Yaitu wanita yang belum menikah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih lanjut membagi anak gadis menjadi dua macam status yaitu anak gadis yang sudah balig dan anak gadis yang belum balig.115 Dalam kajian ini penyusun membatasi pembahasan pada bagian anak gadis yang sudah balig. Seperti biasanya bahwa ketika Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat tentang sesuatu hal, maka langkah pertama yang beliau lakukan adalah mengemukan sejumlah dalil, kemudian mengambil hukum dari dalil tersebut.

114

Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Ilam al-Muwaqqii<n, IV : 493

bn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d (Mesir: Mus}t}a>fa> al-Ba>bi< alH}alabi< wa Awla>dih, 1390/1970), IV: 3
115

Di dalam kitabnya yang berjudul Za>d al-Maa>d sebelum berbicara tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan ada sejumlah hadis yang beliau angkat, seperti tertulis dalam bukunya Za>d al-Maa>d yaitu:

: " 116 " ( :" ) 711 " : " : : "811 : 119 "
Dari rangkaian nash di atas Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat bahwa hukum yang diambil dari sana adalah seorang gadis yang sudah dewasa tidak boleh
Bukha>ri<, S}ah}i<h} Bukha>ri<, cet. III (Beirut: Da>r al-Fikr, 1401/1981), V: 135, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Iz}a> Zawwajahu Ibnatahu wa Hiya Ka>rihah fa Nika>huhu Mardu>d. Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Isma>il diceritakan Ma>lik dari Abdul ar-Rah}ma>n.
116

Abu> Da>ud, Sunan Abi<< Da>ud, cet. I (Beirut: Da>r al-Fikr,t.t.), II: 232, hadis nomor 2096,Kita>b an-Ni<kah, Ba>b al-Bikr Yuzawwijuha> Abu>ha> wa la> Yastamiruha>. sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Us|ma>n bin Abi< Syaibah diceritakan oleh H}usain bin Muhammad diceritakan oleh Jari<r bin H}azi<m.
117

Bukha>ri<, S}ah}i<h} Bukha>ri<, cet. III (Beirut: Da>r al-Fikr, 1401/1981), V: 135, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b la Yunkih}u al-Abu> wa Gairahu al-Bikr wa la as|-S| ayyiba illa bi Rid}a>ha>. Sanad hadis ini marfu>, hadis dari Mua>z bin Fad}a>lah diceritakan oleh Hisya>m bin Yahya dari Abi< Salamah.
118

Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h} Muslim bi Syarh}i an-Nawawi<, cet V (beirut: dar al-fikr, t.t.), IX: 202, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Istiz|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Su>kut,Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis dari Sai<d bin Mansu>r dan Qutaibah bin Sai<d diceritakan Ma>lik diceritakan Yah}yabin Yah}ya.
119

dipaksa untuk menikah, dan ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan persetujuannya. Inilah pendapat jumhur Salaf dan mazhab Abu H}anafi< serta satu riwayat dari imam Ah}mad. Juga pendapat yang sesuai dengan hukum Rasulullah SAW., baik dalam bentuk perintahnya maupun larangannya, atau dalam kaidah-kaidah syariah maupun kemaslahatan umatnya.120 Beliau menuliskan dalam kitabnya bahwa pendapat yang sesuai dengan hukum Rasulullah adalah diberikannya hak memilih bagi anak gadis yang tidak ingin untuk menikah. Hadis ini diriwayatkan secara mursal bukan karena adanya illat, melainkan memang memilik status musnad dan mursal. Bila mengikuti pendapat Fuqaha : bahwa menjadikan status hadis ini merupakan ziyadah (tambahan), maka orang yang menjadikan hadis tersebut muttas}il jelas lebih didahulukan daripada yang menjadikannya berstatus mursal. ini merupakan hal yang wajar terjadi dalam tradisi Hadis. Bila menilai Hadis tersebut mursal seperti sebagaian besar ahli Hadis, memang hadis tersebut benar-benar berstatus mursal. Akan tetapi didukung Hadis shahih lain, qiyas dan kaidah-kaidah syara sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya. Dengan

demikian, pendapat di atas dapat dirumuskan dalam kategori berikut ini:121 Pendapat yang menjelaskan bahwa persetujuan anak gadis wajib sesuai dengan perintah Nabi adalah sabda beliau:122

Pernyataan ini adalah perintah yang jelas, karena berbentuk khabar (berita) yang berfungsi memperkuat apa yang diberitakan dan menegaskannya. Hukum asalnya
120

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, IV: 3 Ibid., hlm. 3 Bukha>ri<, S}ah}i<h} Bukha>ri, V: 135

121

122

bahwa perintah menunjukkan lil wuju>b (keharusan), selama tidak ada ijma yang bertentangan dengannya.123 Pernyataan yang menjelaskan bahwa pendapat di atas sesuai dengan larangan Nabi adalah sabda beliau:124


Di dalam hadis ini terkandung perintah, larangan, sekaligus hukum kebolehan untuk memilih. Penetapan hukum ini merupakan cara yang paling tepat. Kewajiban persetujuan anak gadis sesuai dengan kaidah-kaidah syara adalah seorang gadis yang sudah dewasa dan mampu berpikir matang, sang ayah tidak diperkenankan menggunakan harta miliknya meski sedikit kecuali atas persetujuannya. Seorang ayah tidak diperkenankan memaksa anak gadisnya tersebut supaya ia mengeluarkan hartanya meski sedikit tanpa mendapat persetujuannya. Bagaimana mungkin sang ayah diperbolehkan mengeluarkan harta yang paling berharga bagi anak gadisnya tanpa melalui persetujuannya kemudian memberikannya kepada seorang lakilaki pilihannya, sementara si gadis tidak menginginkan laki-laki tersebut. Sudah pasti bahwa menggunakan seluruh harta sang gadis tanpa persetujuannya itu lebih ringan baginya daripada harus dipaksa nikah dengan seorang laki-laki yang bukan pilihannya sendiri. Pernyataan ini sekaligus menegaskan sebuah pendapat yang menyatakan bahwa bila sang gadis mensyaratkan harus sekufu' kemudian sang ayah memenuhinya, maka yang dijadikan sandaran hukum adalah persyaratan yang diajukannya, meski laki-laki tersebut tidak disukainya atau bahkan buruk budi pekertinya.125
123

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d, hlm. 3 Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h} Muslim bi Syarh}i an-Nawawi<, IX: 202 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d, hlm. 4

124

125

Kewajiban persetujuan anak gadis sesuai dengan kemaslahatan ummat adalah jelas sekali bahwa menikahkan janda merupakan kemaslahatan tersendiri baginya karena sesuai dengan keinginannya dan ia rela. Dengan perkawinan itu si janda dapat mencapai tujuan nikah sekaligus terhindar dari kemafsadatan karena telah ditinggal oleh mantan suaminya.126 Satu hal lagi yang menjadi ciri khas, Ibn Qayyim al-Jawziyyah tidak hanya menyodorkan pendapatnya an sich akan tetapi beliau juga mengemukakan pendapat yang berseberangan. Lebih lanjut dapat dilihat dalam kitabnya Za>d al-Maa>d tentang hal ini, golongan yang berbeda pendapat dengan beliau berkata bahwa Rasulullah SAW memberikan keputusan hukum secara berbeda antara wanita janda dan gadis, sebagaimana sabda beliau:127


Sabda Nabi yang lain:128


Bila dalam kasus seorang janda, ia lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya sendiri, sementara dalam kasus seorang gadis, sang ayah lebih berhak atas dirinya. Jika tidak

126

Ibid.

Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h} Muslim bi Syarh}i an-Nawawi<, cet. V (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), IX: 202, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Istiz|an fi< an-nika>h} bi anNut}q wa al-Bikr bi as-Su>kut,Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan Ubaidillah bin Umar bin Maisarah al-Qawa>ri<ri< diceritakan Kha>lid bin al-H}a>ris diceritakan Hisya>m bin Yah}ya.
127

Penulis tidak menemukan lafaz hadis yang pas dengan teks hadis ini, sementara yang ditemukan penulis adalah lihat Ima>m anNawawi<, S}ah}i<h} Muslim bi Syarh}i an-Nawawi<, cet. V (beirut: dar al-fikr, t.t.), IX: 202, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Istiz|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi asSu>kut, sedangkan yang menggunakan lanjutannya menggunakan lihat Jala>l ad-Di<n as-Suyu>ti<,Sunan an-Nasa>i< bi Syarhi al-H}a>fiz Jala>l ad-Di<n as-Suyu>ti<, cet. I (Beirut: Da>r al-Fikr, 1248/1930), VI: 84, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Istiz}a>n al-Bikr Fi< Nafsiha>.

128

demikian, tentu tidak ada makna yang khusus bagi seorang janda. Begitu pula dalam bentuk persetujuan, Nabi membedakan antara keduanya. Bila ia seorang janda, maka bentuk persetujuannya adalah dengan jalan mengungkapkannya, sedangkan bentuk persetujuan bagi seorang gadis adalah dengan diam. Semua ini menunjukkan atas ketiadaan dipandang persetujuan dari seorang gadis, sehingga tak ada wewenang baginya bila bersama sang ayah.129 Maka jawaban yang diajukan adalah bahwa tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan kebolehan sang gadis dinikahkan tanpa melalui persetujuannya, sementara ia sendiri sudah memasuki usia dewasa dan mampu berpikir matang. Dan pendapat lain yang menyatakan bahwa seorang ayah boleh menikahkan anak gadisnya dengan seorang laki-laki yang tidak disenanginya sekalipun, bila laki-laki itu sekufu', ditolak dengan jelas oleh hadis-hadis yang dijadikan sandaran hukum bagi pendapat ini. Tidak ada dalil yang lebih kuat dari pada hadis Nabi SAW berikut ini.130


Hadis ini dapat dipahami dengan jalan mafhu>m mukha>lafah. Pendapat yang menyatakan bahwa boleh menikahkan gadis tanpa persetujuannya biasanya menggunakan Hadis ini sebagai hujjah. Seandainya mereka mengajukan Hadis ini sebagai hujjah, maka tidak boleh mendahulukannya atas mant}u>q as}-s}ari<h} (bunyi nash yang sudah jelas). Bila dikatakan bahwa Hadis ini dipahami dengan mafhu>m mukha>lafah seperti disinggung di atas, dan dalam mafhu>m mukha>lafah terkandung makna yang umum. Maka yang benar, dalam mafhu>m
129

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d, hlm. 4

Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h} Muslim bi Syarh}i an-Nawawi<, cet. V (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), IX: 202, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Istiz|an Fi< an-Nika>h} bi anNut}q wa al-Bikr bi as-Suku>t. Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis dari Sai<d bin Mansu>r dan Qutaibah bin Sai<d diceritakan Sufya>n diceritakan Jiya>d bin SaAd.
130

mukha>lafah tidak terkandung makna umum, apabila ada dalil yang terkandung di dalamnya mengarah pada pengertian bahwa takhs}is} (mengkhususkan), yakni menegaskan hukum selain takhs}i<s} itu sendiri. Sudah jelas bahwa pembagian hukum selain takhs}i<s} ke dalam dua kategori; penetapan hukum dan penegasannya, juga terkandung faedah. Penetapan hukum lain terhadap perkara yang didiamkan juga terkandung faedah, meski di sana tidak terdapat kebalikan dari hukum mant}u>q (bunyi nash). Upaya untuk memerinci hukum tersebut juga terkandung faedah. Coba renungkan sabda Nabi SAW:131


Setelah sabdanya:


Pasti untuk menentang pendapat yang menyatakan bahwa Seorang gadis boleh dinikahkan tanpa persetujuan dan izinnya, seolah ia tidak punya wewenang sama sekali terhadap dirinya sendiri. Sehingga kedua Hadis di atas dapat dipertemukan demi menghindari terjadinya kekeliruan pemahaman. Jadi jelas bahwa meski seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya sendiri, bukan berarti bahwa seorang gadis tidak memiliki wewenang atas dirinya.132 Lebih lanjut Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW memberikan keputusan hukum tanda persetujuan seorang gadis adalah dengan diam, sedangkan tanda persetujuan seorang janda adalah dengan mengungkapkan persetujuannya secara langsung. Bila seorang gadis memberikan persetujuannya dengan
Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h} Muslim bi Syarh}i an-Nawawi<, cet V (beirut: dar al-fikr, t.t.), IX: 202, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Istiz|an Fi< an-Nika>h} bi anNut}q wa al-Bikr bi as-Suku>t. Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis dari Qutaibah bin Sai<d diceritakan Sufya>n diceritakan Jiya>d bin SaAd.
131 132

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d, hlm. 4

mengungkapkan melalui kata-kata, itu lebih kuat status hukumnya. Untuk mendukung pendapat ini Ibn Qayyim al-Jawziyyah juga mengutip pendapat Ibn H}azm, beliau berkata: Tidak sah menikahkan seorang gadis kecuali ia diam. Pendapat inilah yang sesuai dengan kenyataan zahiriyahnya.133

BAB IV ANALISIS C. Analisis pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah Secara ideal-normatif, Islam sesungguhnya tidak membedakan antara pria dengan wanita, atau dengan kata lain Islam menolak segala bentuk diskriminasi yang berbau gender. Islam sebagai pembawa keselamatan dan kerahmatan bagi seluruh alam (rah}matan lila<lami<n) menempatkan drajat dan posisi wanita pada kedudukan yang mulia.134 Wanita sebagai kenyataan sosial masyarakat Arab pada masa Nabi, menjadi salah concren yang ingin dibela al-Quran, disamping kelompok budak, kaum fakir miskin, anak-anak miskin, dan sederet kaum lemah lainnya. Bahkan al-Quran secara khusus mendokumentasikannya dalam satu surat khusus yang bernama an-Nisa>.135

Ibid., hlm. 5 Masdar F. Masudi, Meletakkan Maslahat Sebagai Kerangka Acuan Syariah,Ulumul Quran, Vol. 4: 3, (1995), hlm, 94
134

133

Nurjanah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, cet. I (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. v

135

Sejumlah indikasi bisa diketengahkan untuk melihat pembelaan al-Quran terhadap wanita diantaranya:136 pertama, ayat al-Quran yang secara tegas menyebutkan bahwa wanita dan laki-laki adalah sejajar seperti:137


Kedua, sejumlah ayat yang secara tegas merombak kebiasaan Arab pra-Islam. Di antara indikasi tersebut adalah larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan yang baru lahir, karena menurut masyarakat Arab pra-Islam anak perempuan itu akan mencemarkan nama baik keluarga. Prilaku ini jelas diprotes al-Quran.138


Ketiga, larangan al-Quran mewariskan wanita, bahkan lebih dari itu Islam juga memberikan hak waris kepada wanita.139

.
Hal ini merupakan bukti nyata bahwa al-Quran berusaha membebaskan wanita dari budaya yang mendiskriminasikannya. Karena harus diakui ketika al-Quran diturunkan rezim patriarki Arab masih sangat kental.140
Khoiruddin Nasution, Fazlurrahman TAZZAFA+Academia, 2002), hlm. 3-4
137 138 136

Tentang

Wanita,

cet.

(Yogyakarta:

Al-Baqarah (2) : 187 Al-Ana>m (6) : 151 An-Nisa> (4) : 19 dan 7 ibid.

139

140

Pembelaan al-Quran terhadap wanita tersebut menjadi salah satu misi pokok yang diperjuangkan oleh Nabi Muhammad dengan agama Islam yang dibawanya. Akan tetapi bukti sejarah berkata lain, hampir sepanjang sejarah muslim, kaum wanita ditempatkan pada posisi inferior sementara laki-laki berada pada posisi superior. Padahal al-Quran menempatkan posisi wanita sejajar dengan laki-laki.141 Munculnya praktek yang inferior terhadap wanita dalam sejarah muslim, bukan tanpa alasan. Hal ini disebabkan antara lain adanya sejumlah nash terkesan mengisyatkan adanya kemungkinan itu142. Di antaranya adalah:143


Faktor lain yang menyebabkan munculnya praktek yang inferior terhadap wanita adalah pengaruh metode studi nash yang dipakai para ulama. Bisa dikatakan bahwa umumnya ulama tradisional, menggunakan pendekatan parsial dalam mengkaji alQuran dan sunnah Nabi, Yaitu menyelesaikan satu masalah dengan cara memahami salah satu atau beberapa nash secara berdiri sendiri, tanpa menghubungkan dengannya dengan nash lain yang relevan.144 Salah satu fakta yang berbicara tentang praktek yang inferior terhadap wanita adalah hak kebebasannya dalam menentukan calon suami. Wanita dewasa yang masih gadis menurut mayoritas imam mazhab tidak mempunyai kebebasan untuk memilih pasangan dan hak itu sepenuhnya menjadi otoritas bapak sebagai wali. Padahal dengan kedewasaan seorang wanita memungkin ia untuk menyampaikan apa yang ada dalam

141

Khoiruddin Nasution, Fazlurrahman, hlm. 2 Ibid., hlm. 5 An-Nisa> (4) : 11 Khoiruddin Nasution, Fazlurrahman Tentang, hlm. 9

142

143

144

hati dan pikirannya. Dan dengan kedewasaan itu pula seorang wanita memiliki kapasitas untuk melaksanakan apa yang ada dalam pikirannya.145 Pendapat mayoritas imam mazhab tersebut bila diteliti lebih jauh masih merupakan peninggalan tradisi arab pra Islam. Sejarah menuliskan bahwa sebelum kedatangan Islam, seorang bapak memiliki hak utnuk memilihkan suami bagi putrinya dan putrinya tidak berhak untuk menentang. Bahkan tradisi Arab pra Islam yang tidak menghargai hak wanita adalah tidak jarang para bapak saling menukar putri mereka untuk menikah satu sama lain. Ini dikenal dengan nikah syi<ga>r dalam Islam, akan tetapi kemudian nikah dengan jenis seperti ini dibatalkan sekaligus diharamkan oleh Islam.146 Sebelum memberikan penilaian lebih jauh dalam persoalan ini, ada baiknya penulis menguraikan bagian-bagian yang menjadi ruang perdebatan para ulama dalam membahas kajian ini, agar memperoleh pemahaman yang konprehensif tentang persoalan ini. Salah satu Bagian yang menjadi perdebatan berkaitan dengan hak wanita dalam memilih pasangan adalah illat yang dijadikan sebagai dasar argumen untuk menentukan ada tidaknya hak kebebasan itu sendiri. Sebagian ulama dalam kaitan ini menjadikan kegadisan (al-bikr) sebagai illat dalam penentuan hukumnya, sementara ulama yang lain dengan menggunakan illat masa kecil (as}-s}ug}r), bahkan ada ulama yang menjadikan illat bagi kasus ini dengan menggabungkan kedua illat tersebut.147
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiyai Atas Wacana Agama Dan Gender, (Yogykarta: LKiS, 2001), hlm. 83-84
146 S. M. Khamenei, Risalah Hak Asasi Wanita: Studi Komparatif antara Pandangan Islam Dan Deklarasi Universal HAM, alih bahasa Quito R. Motinggo, cet. I (Jakarta: al-Huda, 2004), hlm. 81 145

Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), II:
147

Dalam kasus ini, ada kritikan yang disampaikan oleh Ibn Taimiyah, yang menyatakan bahwa sesungguhnya menjadikan kegadisan sebagai alasan yang mewajibkan untuk membatasi hak wnita adalah bertentangan dengan prinsip Islam, dan menjadikan hal itu sebagai illat untuk membatasi atau mengahalangi kaum wanita merupakan pembuatan illat dengan sesuatu sifat yang tidak ada pengaruhnya dalam syara.148 Beliau menambahkan bahwa illat yan benar untuk kasus ini adalah masih kecil Ibn Qayyim al-Jawziyyah sependapat dengan gurunya Ibn Taimiyyah bahwaillat yang dijadikan sebagai pijakan hukum ada tidaknya hak tersebut adalah illat usia kecil, sehingga menurut beliau gadis yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih calon suaminya. Dengan kata lain tidak seorang pun yang bisa memaksanya untuk menikah. Bagian lain yang menjadi dasar perbedaan pendapat para ulama dalam kaitan ini adalah metode para ulama dalam mengis|tinba>tkan hukum pada kasus ini. Dengan metode is|tinba>t hukum yang berbeda tersebut berimplikasi kepada penetapan hukum yang berbeda pula walaupun pada dasarnya nash yang digunakan sama. Metode is|tinba>t hukum yang digunakan para ulama ada dua macam dalam hal ini yaitu mafhu>m mukha>lafah dan mantu>q nas}. Mafhu>m mukha>lafah sebagai pisau analisis digunakan oleh imam Sya>fii<, Ma>liki< dan H}anbali< terhadap kasus ini, membawa mereka pada

403-404 Dikutip oleh Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa Asad Yasin, cet. II (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), II: 471
148

pendapat bahwa persetujuan anak gadis hanya sekedar sunat dengan berdasarkan hadis149


Jika janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya, maka mafhu>m mukha>lafahnya adalah wali lebih berhak terhadap diri anak gadisnya, sehingga kemudian mereka berpendapat meminta persetujuan seorang gadis tidak diperlukan lagi. Dengan hadis yang sama pula ulama yang berpegang pada mantu>q nas} diwakili oleh imam H}a>nafi< dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yang menyatakan bahwa persetujuan anak gadis adalah wajib. Ibn Qayyim lebih lanjut mengkritik golongan yang menggunakan mafhu>m mukha>lafah terhadap kasus ini dengan mengatakan bahwa pemahaman yang muncul dari mantu>q nas} semestinya didahulukan daripada pemahaman yang menggunakan mafhu>m mukha>lafah. Sebab penetapan hukum suatu kasus tertentu belum tentu menetapkan hukum sebaliknya untuk kasus lainnya. Adalah sesuatu yang mungkin kasus lain mempunyai dasar hukum sendiri.150 Perbedaan pendapat berkenaan dengan persoalan persetujuan gadis dalam perkawinan, Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih lanjut memberikan analogi bahwa seorang bapak tidak memiliki hak tas}arruf terhadap harta milik anak gadisnya yang rasyi<dah tanpa persetujuannya, apalagi terhadap bud}unya (kehormatannya) yang merupakan hartanya yang paling berharga. Lalu, bagaimana mungkin seorang bapak

Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h} Muslim bi Syarh}i an-Nawawi<, cet V (beirut: dar al-fikr, t.t.), IX: 202, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Istiz|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Suku>t. Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis dari Sai<d bin Mansu>r dan Qutaibah bin Sai<d diceritakan Sufya>n diceritakan Jiya>d bin saAd.
149

Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 92

150

dibolehkan mentas}arrufkan harta yang paling berharga tersebut sementara si gadis tidak setuju. Pada akhirnya persolan pada kebebasan dan persetujuan wanita dalam memilih calon suami, bermuara pada apakah perlu (wajib) atau tidak (sunnah). Ibn Qayyim al-Jawziyyah sebagai salah satu ulama besar dalam lingkungan mazhab H}anbali<, dalam menyikapi persoalan ini lebih sepakat dengan pandangan Abu> H}ani<fah.151 Beliau berpendapat dalam hal ini sebagai sesuatu yang diperlukan (wajib). Dengan pertimbangan kemaslahatan gadis yang bersangkutan, maka hal ini diserahkan sepenuhnya kepada si gadis dan bukan kepada wali.152 Pendapat yang mendukung persetujuan dan kebebasan wanita dalam konteks ke Indonesiaan, Khoruddin Nasution, dalam tulisannya yang dimuat dalam jurnal asySyirah menjelaskan bahwa tidak ada paksaan dalam memilih pasangan bagi wanita, berdasarkan sejumlah hadis yang digunakan para fuqaha untuk memecahkan persoalan ada tidak persetujuan dan kebebasan wanita dalam menentukan pasangan, pada prinsipnya hadis-hadis tersebut menekankan pentingnya persetujuan wanita yang bersangkutan. Sebaliknya, dasar yang digunakan fuqaha yang berpendapat bahwa persetujuan gadis tidak diperlukan dan tidak adanya kebebasan wanita dalam menentukan pasangan adalah lemah, sebab hanya menggunakan mafhum mukhalafah dari nash yang menyebut bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya. Padahal secara

Barangkali inilah bukti konkrit sekaligus implikasi dari perkataan beliau. Ibn Qayyim pernah berkata bahwa sepantasnyalah seorang mufti tidak memberikan fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepadanya, sesuai dengan pendapat mazhab yang diikutinya. Sementara dalam permasalahan tersebut, ia mengetahui bahwa pendapat dari mazhab lain lebih unggul dibandingkan pendapat mazhabnya atau ia mengetahui sandaran dalil yang dimilikinya lebih shahih. Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, alih bahasa Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, cet I (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 148 Ibn Qoyyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d (Mesir: Mus}t}a>fa> al-Ba>bi< alH}alabi< wa Awla>dih, 1390/1970), IV: 3
152

151

tekstual (eksplisit) ada nash yang menyebutkan harus ada persetujuan dari wanita yang akan nikah. Beliau menambahkan bahwa penekanan hadis-hadis yang mengharuskan adanya persetujuan wanita yang akan nikah terdistorsi (sengaja atau tidak), untuk mendukung praktek dan pemahaman yang sangat patriarkal yang sudah mapan oleh para fuqaha. Sebab para fuqaha itu tinggal dan hidup dalam masyarakat yang patriarkal tersebut.153 Khoiruddin nasution dalam mendukung pernyataan di atas, menawarkan satu teori yang bisa dijadikan parameter untuk mengukur ada tidaknya hak kebebasan seorang wanita dalam menentukan pasangan yaitu menghubungkan nash yang berbicara tentang kebebasan dan pemaksaan wanita dalam perkawinan dengan nash yang berbicara dengan perkawinan itu sendiri (paling tidak dengan status akad nikah dan tujuan perkawinan)154 Dalam kaitan ini lebih lanjut, beliau menguraikan bahwa tujuan perkawinan ada tiga macam yang diisyaratkan oleh al-Quran, yakni pertama, untuk mengembang biakkan umat manusia (reproduksi) di bumi, sesuai dengan firman Allah:155


Kedua, pemenuhan kebutuhan seksual, firman Allah:156

Khoruddin Nasution, Mensikapi Kitab-Kitab Fikih Konvensional dalam Menjamin Hak Wanita dalam Menentukan Pasangan, asy-Syirah, No. 8, (2001), hlm. 140-141
154 155

153

Ibid. 146 Asy-Syu>ra> (42) : 11 Al-Maa>rij (70) : 29-31

156

. .
Ketiga untuk memperoleh ketenangan (saki<nah), cinta (mawaddah dan kasih sayang (rah}mah). Dalam firman Allah:157


Berdasarkan status dan tujuan perkawinan tersebut lanjut beliau, dapat ditulis minimal dua catatan sebagai berikut. Pertama, perkawinan dalam Islam adalah transaksi yang mulia, melebihi transaksi pada umumnya. Padahal untuk absahnya suatu transaksi (akad) biasa ada keharusan bahwa orang-orang yang mengadakan taransaksi adalah orang-orang yang mukallaf, dengan syarat (1) si mukallaf mempunyai akal fikiran yang berfungsi dengan baik (aqil), (2) transaksi dilakukan atas kehendak sendiri (tidak dipaksa), sesuai dengan an-Nisa> (4) : 29.158 , (3) transaksi dilakukan oleh orang yang dewasa. Bisa dianalogikan bahwa untuk sahnya transaksi biasa saja harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memenuhi syarat-syarat tersebut, bagaimana mungkin akad nikah, satu transaksi yang melebihi transaksi yang biasa dapat dilakukan dengan paksa (tanpa persetujuan si gadis) dapat dilakukan. Kedua, perkawinan dalam Islam mempunyai tujuan yang sangat mulia dan melahirkan akibat-akibat hukum yang cukup luas. Sebab akad nikah merupakan langkah awal untuk menentukan nasib para pasangan (hidup sebagai suami istiri) selama hidup di dunia. Oleh karena itu, semakin jelas bahwa
157

Ar-Ru>m (30) : 21

158

mestinya akad nikah dillakukan pihak-pihak dengan penuh kesadaran dan pertimbangan matang. Tuntunan ini semakin menunjukkan,bahwa keputusan mempelai sebagai pihak-pihak yang merasakannya akibat kelak harus benar-benar mendapatkan perhatian.159 Perkawinan berkaitan langsung dengan perasaan wanita, dialah nanti yang akan merasakan manis indah maupun pahit getirnya perkawinan. Oleh karena itu persetujuan dan kebebasannya dalam menentukan calon pendampingnya adalah sesuatu yang menentukan dalam perkawinan.160 Islam mengariskan salah satu misi utamanya adalah memperjuangkan hak-hak wanita, maka pandangan yang relevan dalam persoalan ini adalah memberikan hak kepada wanita untuk memilih pasangan mereka. Ini akan menunjukkan kemerdekaan pribadi mereka yang direnggut secara sadar atau tidak oleh tradisi yang mengelilinginya.161 Berdasarkan hak-hak keIslamannya, seorang gadis dewasa dapat menolak siapa saja yang ia anggap tidak memenuhi syarat sebagai suaminya. Tidak yang dapat memaksakan perkawinan kepadanya. Maka jika dikatakan bahwa apabila ia tidak setuju dengan pernikan yang disodorkan kepadanya, maka perkawinan itu tidak sah.162 Bila diteliti lebih jauh akan kelihatan bahwa Ibn Qayyim al-Jawziyyah masih mengakui praktek ijbar terhadap gadis yang belum dewasa. Hal ini diindikasikan

159

Khoruddin Nasution, Mensikapi Kitab-Kitab Fikih, hlm. 146

Mohammmad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau Dengan Hamdallah, cet. VII (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), hlm. 93
161

160

S. M. Khamenei, Risalah Hak Asasi, hlm. 80 Ibid.

162

dengan ketika illat dewasa (balig) sebagai illat yang menentukan ada tidaknya kebebasan wanita dalam menentukan pasangan. Balig seperti dituliskan dalam Esiklopedia Islam di Indonesia bagi wanita adalah ketika wanita mendapat haid, atau dalam fiqh disebutkan 7 sampai 9 tahun. Dan mayoritas ulama menetapkan batas usia paling akhir adalah 15 tahun, baik untuk pria maupun wanita.163 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dengan kata lain masih membolehka adanya praktek perkawinan dibawah umur. Padahal kematangan umur dari pasangan sangat diperlukan untuk menjaga keutuhan sebuah rumah tangga. Berkaitan dengan perkawinan gadis dibawah umur ada pendapat menarik dari Ibn Syibrimah yang dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili<, beliau mengatakan bahwa mengawinkan gadis di bawah umur tidak sah, demi kemaslahatan anak gadis yang bersangkutan, juga keluarga. Pendapat ini memberikan tuntutan rasional karena rumah tangga itu yang akan menjalani adalah anak perempuannya maka seorang bapak harus memberikan kesempatan anak gadisnya untuk tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa, yang dapat memilih jalan hidupnya serta menentukan jodohnya. Perkawinan hendaknya dilangsungkan setelah masing-masing mencapai taraf kematangan, baik secara fisik-biologis maupun mental-psikogis.164 D. Relevansinya Dengan Konteks Sekarang Ibn Qayyim meyakini bahwa maksud ditaklifkannya hukum adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi manusia. Oleh
163

Departemen Agama R.I, Ensiklopedia Islam di Indonesia (Jakarta: CV. Anda Utama,1993), I:

183 K. M. Ikhsanuddin dkk. (ed.), Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren (Yogykarta: Yaysan Kesejahteraan Fatayat, t.t.), hlm. 119
164

karena itu, implemenatasi hukum berdasarkan pada maslahat. Hukum berubah karena pertimbangan maslahat.165 perubahan dan perkembangan pemikiran hukum Islam yang berpijak pada kemaslahatan akan berubah sesuai dengan waktu dan ruang bukan saja dibenarkan, tetapi merupakan suatu kebutuhan, khususnya bagi umat Islam yang mempunyai kondisi dan budaya yang berbeda dengan Timur Tengah, seperti Indonsia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan: pertama, banyak ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berlaku di Indonesia merupakan produk ijtihad yang didasarkan pada kondisi dan kultur Timur Tengah. Padahal, apa yang cocok dan baik bagi umat Islam di Timur Tengah, belum tentu baik dan cocok bagi umat Islam di Indonesia. Kedua, kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini terus berkembang dan semakin beragam.166 Pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang mewajibkan adanya persetujuan anak gadis sesungguhnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di indonesia. Dalam undang-undang perkawinan no. 1/1974 (ps. 6 ayat (1)167 jo. ps. 16 ayat (1)168 ) KHI menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan calon mempelai. Manfaat adanya persetujuan adalah agar masing-masing calon suami istri, memasuki gerbang perkawinan dan berumah tangga, benar-benar dapat dengan senang

165

Ibid., hlm. 111

Abdul Halim, Ijtihad Kontemporer: Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam Indonesia, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigam Ushul Fiqh Kontemporer, cet. I (Yogyakarta: Fakults Syariah UIN Sunan Kalijaga + ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 231
167

166

perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

168

hati membagi tugas dan hak kewajibannya secara proporsional. Dengan demikian tujtuan dari perkawinan itu dapat tercapai 169 Bisa dilihat bahwa apa yang menjadi pendapat dari Ibn Qayyim sejalan dengan perundang-undang di Indonesia, bahkan boleh dikatakan bahwa maslahat yang dicitacitakan oleh beliau lebih disempurnakan lagi oleh perundang-undangan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya perundang-undangan yang mengatur tentang batasan usia pria maupun wanita yang boleh untuk menikah170, dalam perundangundangan itu tersebut secara jelas disebutkan bahwa batas usia untuk pria 19 tahun sedangkan untuk wanita 16 tahun. Sehubungan dengan hal tersebut, maka calon suami istri yang telah matang jiwanya agar keduanya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan harmonis, dan diharapkan tidak berakhir dengan perceraian. Kematangan usia diperlukan, karena berdasarkan pengamatan dan analisis berbagai pihak terhadap kasus-kasus tidak harmonis dan bubarnya sebuah rumah tangga, seringkali disebabkan oleh ketidak matangan usia dan ketidakstabilan integritas pribadi, sehingga sangat berpengaruh di dalam menyelesaikan problem yang muncul dalam bahtera rumah tangga.171 Maka jelaslah bahwa dari perspektif maqa>sid asy-syari<ah, konsep maslahah sangat relevan dengan dimensi pluralitas dan dinamika kehidupan manusia. Sebab dengan konsep maslahah, bukan hanya konsep sisi perubahan dan perubahan
169

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. IV (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000),

hlm. 73-74 Undang-undang no.1/1974 tentang perkawinan, pasal 7 ayat (1) disebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.jo. KHI buku I tentang perkawinan pasal 15 ayat (1) disebutkan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 undang-undang no. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
171 170

Abdul Halim, Ijtihad Kontemporer, hlm. 238

perkembangan zaman saja yang bisa dianulir, melainkan aspek lokalitas dan dan pluralitas juga tidak terabaikan, sehingga hukum Islam tidak akan kaku, sesuai dengan arahan syariah. Maslahah secara praktis berbeda pada setiap zaman, maka fiqh sebagai produk dari fuqaha harus disesuaikan dengan konteks sosial dimana fiqh itu diterapkan, namun tentunya tidak bertentangan dengan tujuan syariah itu sendiri.172 Dengan konsep maslahah sebagai faktor perubahan hukum menjadikan hukum bersifat fleksibel dan dapat beradaptasi dengan perubahan sosial.173 Maslahah sebagai faktor perubahan hukum bukanlah sesuatu yang baru di dunia Islam. Teori ini dimunculkan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah sekitar tujuh abad yang lalu.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan


172

M. Hasby asy-Syiddiqi, Filsafat Hukum Islam, cet. V (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm.

337 Thobieb al-Asyhar, Fiqh Progresif: Menjawab Tantangan Modernitas, cet. I (Jakarta, Fkku Press, 2003), hlm. 104
173

Dari uraian yang telah dipaparkan di atas tentang persetujuan anak gadis dalam pernikahan menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpsendapat harus ada persetujuan gadis bila

ingin menikahkannya. Sementara mayoritas fuqaha berpendapat persetujuan gadis hanya sekedar sunat, bahkan bapak sebagai wali bisa memaksa anak gadis untuk menikah. 2. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam kasus ini berpegang kepada mantu>q

nas} yang dikuatkan dengan menggunakan illat masa kecil (as}-s}ugr), sedangkan mayoritas fuqaha berpegang kepada mafhu>m mukha>lafah yang dikuatkan dengan menggunakan illat al-bikr. 3. Dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yakni dalam

undang-undang tentang perkawinan No. 1/1974 (ps. 6 ayat (1) jo. ps. 16 ayat (1) ) KHI menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan calon mempelai. Hal ini menandakan bahwa perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah. B. Saran-Saran
1.

Dalam

memahami

persoalan

persetujun

anak

gadis

dalam

pernikahannya hendaknya tidak dipahami secara parsial sehingga pemahaman yang muncul sesuai dengan cita-cita syariah untuk mewujudkan maslahah di tengah-tengah manusia dapat dirasakan.
2.

Ada satu

tambahan menarik dari Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yaitu

ketika memberikan kebebasan kepada anak gadis untuk menentukan calon suaminya, disamping dengan syarat dewasa beliau juga menambahkan syarat

yang dipenuhi si gadis yaitu si gadis mesti rasyi<dah. Parameter yang bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana rasyi<dah yang dimiliki seorang gadis tersebut adalah dengan melihat sejauh mana pendidikan yang diperolehnya. Dengan pendidikan yang diperolehnya diharapkan si gadis lebih siap menghadapi problem-problem yang muncul dalam rumah tangganya. Alangkah baiknya dalam hal ini, pemerintah membuat semacam peraturan batas jenjasng pendidikan yang telah diikuti si gadis maupun calon suaminya ketika akan menikah. 3. Penelitian berkaitan dengan persetujuan anak gadis dalam

pernikahannya sebagaimanan dilakukan penyusun dalam kesempatan ini masih terbuka bagi peneliti-peneliti selanjutnya. Selain karena dalam penelitian ini mengkaji pemikiran tokoh yakni Ibn Qayyim al-Jawziyyah, studi ini belum cukup untuk ukuran penelitian yang sempurna.

DAFTAR PUSTAKA
Al-quran/Tafsir Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: CV. Jaya Sakti,1997. Ismail, Nurjanah, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, cet I ,Yogyakarta: LKiS, 2003 Hadis/ Ilmu Hadis Bukha>ri<, S}ah}i<h} Bukha>ri<, cet. III, 5 jilid, Beirut: Da>r al-Fikr, 1401/1981 Da>ud, Abu>,Sunan Abi<< Da>ud, cet. I, 4 jilid, Beirut: Da>r al-Fikr, t.t

Hasby, ash-Shiddiqi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1981 Nawawi<, Ima>m an-, S}ah}i<h} Muslim bi Syarh}i an-Nawawi<, cet. V, 18 jilid Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Suyu>ti<, Jala>l ad-Di<n as-, Sunan an-Nasa>i bi Syarhi al-H}a>fiz Jala>l ad-Di<n as- Suyu>ti<, cet. I, 6 jilid, Beirut: Da>r al-Fikr, 1248/1930 Tirmi<zi,< Abi I<sa> Muh}ammad bin Sawrah at- Sunan at-Tirmi<zi, 5 jilid, Beirut: Da>r al-Fikr, 1408/1988 Fiqh/Ushul Fiqh} Adhim, Mohammad Fauzil, Kupinang Engkau Dengan Hamdallah, cet. VII, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999 Arief, Abd. Salam, Pembaharuan Pemikiran Islam Antara Fakta dan Realita, cet. I, Yogyakarta: Lesfi, 2003 Asyhar Thobieb al-, Fiqh Progresif: Menjawab Tantangan Modernitas, cet. I, Jakarta, Fkku Press, 2003 Halim, Abdul,Ijtihad Kontemporer: Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam Indonesia, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigam Ushul Fiqh Kontemporer, cet. I, Yogyakarta: Fakults Syariah IAIN Sunan Kalijaga + ar-Ruzz Press, 2002 Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, cet. I, Jakarta: Logos Publishing House, 1996 Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003 Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. II, 3 jilid, Jakarta: Pustaka Amani, 2002 Ikhsanuddin K.M., dkk. (ed.), Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren ,Yogykarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat, t.t. Jawziyyah, Ibn Qayyim al-, Za>d Al-Maa>d, 4 jilid, Mesir: Mus{t}a>fa> alBa>bi< al-H}alibi< wa Awla>dih,1390/ 1970 , Ilam al-muwaqqii<n, 4 jilid, Beirut: Da>r alKutub al-Ilmiyyah, 1991 Jazi>ri>, Abdul ar-Rah}ma>n al-, al-Fiqh ala> al-Maza>hib al-Arbaah, 4 jilid, Beirut: Da>r al-Afka>r, t.t. Masudi, Husein, Fiqh Perempuan Refleksi Kiyai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogykarta: LKiS, 2001

Masudi, Masdar F.,Meletakkan Maslahat Sebagai Kerangka Acuan Syariah, Ulumul Quran, Vol. 4: 3, 1995 Mughniyyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B dkk., cet. V, Jakarta: PT.Lentera Basritama, 2000 Nasution, Khoiruddin, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet. I, Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004 Nasution, Khoruddin,Mensikapi Kitab-Kitab Fikih Konvensional dalam Menjamin Hak Wanita dalam Menentukan Pasangan, asy-Syirah, No. 8, 2001 Qaradhawi, Yusuf al-, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, alih bahasa Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, cet. I, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003 , Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa Asad Yasin Jakarta: Gema Insani Press Rahman, Asymuni A., Reaktualisasi Hukum Islam Kearah Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syariah IAIN Sunan Kali Jaga, 1994 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000 Shiddieqi, M. Hasby ash-, Filsafat Hukum Islam, cet. V, Jakarta: Bulan Bintang, 1993 , Pengantar Fiqh Muamalah, cet. IVX, Semarang: PT. Pustaka Rizi Putra, 2001 Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002 Syaltut, Mahmud, Akidah dan Syariat Islam,alih bahasa Fahruddin Hs. cet. III, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh II, cet. II, 2 jilid, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001 , Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1990), hlm 294 Syubbag, Mahmud asy-, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, alih bahasa Bahruddin Fanani, cet. III, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994 Lain-lain Bek, M. Khud}a>ri< ,Ta>rikh at-Tasyri al-Isla>mi< , Mesir: AsySyadah, 1454

Departemen Agama. RI, Ensklopedi Islam di Indonesia, 3 jilid, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993 Gunadi, RA. dan M. Shoelhi (peny.), Khazanah Orang Besar Islam, Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol, cet. II, Jakarta: Republika, 2003 J., Moleong, Lexi, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. XVI Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002 Jawziyyah, Ibn Qayyim al-, Hijrah Paripurna Menuju Allah Dan Rasulnya, alih bahasa Fadhli Bahri, cet. I Jakarta: Pustaka Azzam, 1999 , Kalimah Tayyibah, Alih Bahasa Kathur Suhardi, cet. III, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999 , Pesona Keindahan, alih bahasa Hadi Mulyono, cet. I, Jakarta: Pustaka Azzam, 1999 Khamenei, S. M., Risalah Hak Asasi Wanita: Studi Komparatif antara Pandangan Islam Dan Deklarasi Universal HAM, alih bahasa Quito R. Motinggo, cet. I, Jakarta: al-Huda, 2004 Lewis, Bernard (ed.) dkk., Encyclopedia Of Islam, Leiden: E.J Brill, 1973, III Mansur, M. Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, cet. I, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1996 Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, cet. I, Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004 Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik, cet. V, Bandung: Tarsito, 1994 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola, t.t.

LAMPIRAN I

TERJEMAHAN BAB HLM I 1 FN 3 TERJEMAHAN "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". "Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki". "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". "Aku tidak mengetahui sesuatu yang menolaknya". "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surgasurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". "Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnahsunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)". "Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) -Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu". "Dari Khansa' binti Khidam bahwa bapaknya menikahkannya, sedang ia janda. Ia tidak menyetujui; karena itu, ia datang mengadu kepada Rasul, lalu Rasul menolak pernikahannya ". "Bahwa seorang gadis datang kepada Rasulullah menerangkan bahwa bapaknya telah menikahkannya sedang ia tidak setuju; maka rasulullah memberikan hak khiyar (memilih) kepadanya ".

I I II

10 10 21

18 20 20

II II

22 23

24 28

II

24

30

II

25

31

II

29

36

II

30

37

II

30

38

II II II II II II II II III III

30 31 32 33 34 35 36 36 39 42

39 42 44 47 48 50 51 52 6 15

III

42

16

III III III

45 48 49

23 31 37

"Tidak dinikahkan seorang gadis sehingga diminta izinnya. Para shahabat berkata: wahai rasullah bagaimana izinnya? Jawab rasulullah: izinnya adalah diamnya ". "Seorang gadis diminta izin tentang dirinya dan izinnya adalah diamnya ". "Seorang gadis dimintai izin". "Tidak dinikahkan seorang gadis sehingga dimintai izin" "Tidak dinikahkan seorang janda sehingga dimintai perintahnya, tidak dinikahkan seorang gadis sehingga dimintai izin ". "Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya, sementara seorang gadis bapaknya meminta izinnya ". "Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya". "Dan gadis bapaknya meminta izinya". "Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya". "Tidak ada perintah wali terhadap janda; dan anak gadis yang tidak mempunyai bapak (yatim) dimana perintahnya dan diamnya adalah pengakuannya ". "Dari A<isyah ia berkata: aku bertanya kepada Rasulullah, apakah wanita itu diminta perintahnya mengenai pernikahannya? Rasulullah mengiyakannya. Aku bertanya lagi: gadis diminta izinya (perintahnya), maka ia malu-malu lalu diam. Kemudian Rasul bersabda: diamnya adalah izinmya ". "Dari A<isyah bahwa seorang wanita muda mendatanginya kemdian si wanita bercerita: bapakku telah menikahkanku dengan anak saudaranya untuk mengangkat drajatnya dengan perantaraanku dan aku benci. Kemudian aisyah berkata tunggulah sampai rasul datang. Maka ketika rasul datang si wanita itu kemudian menceritakan perihal dirinya kepada beliau. Rasul kemudian mengutus seseorang untuk memberikan pengarahan kepada bapak si wanita. Lalu urusan itu diserahkan sepenuhnya kepada si wanita. Kemudian wanita itu berkata: sesungguhnya aku telah mengizinkan (membenarkan) perbuatan bapakku itu, tetapi aku hanya ingin memberitahukan kepada para wanita bahwa bapaknya tidak mempunyai urusan (hak) apa pun ". "Tidak ada pernikahan tanpa wali". "Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu". "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah

III IV IV IV

50 52 53 53

39 4 5 6

IV IV

54 60

10 22

IV

60

23

mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuanperempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya". "Dari A<isyah ia berkata: Rasul menikahihu ketika aku berumur enam tahun dan serumah denganku ketika aku berumur sembilan tahun". "Mereka itu adala pakaian bagi kamu, dan kamu pun pakaian bagi mereka". "Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan". "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa"- "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan." "Bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan". (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas..

LAMPIRAN II BIOGRAFI TOKOH Asy-Sytib Nama lengkapnya adalah Ab Ishq Ibrhm bin Mus Muh}ammad al-Lakhm asySytib al-Garndi. Ia belajar di Branada, yakni kota kerajaan Bani Nasr. Beliau sangat selektif terhadap kitab-kitab yang dikajinya dan fanatik dengan kitab-kitab sehingga mengesampingkan buku-buku karya ulama' sesamanya. Di samping itu, beliau juga banyak mengkaji karya-karya al-Juwaini, al-Gazali, ar-Rz, al-Qarfi, dan lain-lain. Ia meninggal dunia pada hari senin 8 Syaban 790 H, yang bertepatan pada ranggal 30 Agustus 1388 M. di antara karya-karyanya yanga terkenal ialah al-Muwa>faqah dan al-I'tis}a>m

Hamka Nama lengkapnya ialah Haji abdul Karim Amrullah, ia merupakan ulama' yang produktif dalam menulis dan mubalig besara yang berpengaruh di Asia Tenggara. Beliau lahir pada tanggal 16 Pebruari 1908 di Maninjau Sumatera Barat. HAMKA merupakan ketua MUI yang pertama, di samping itu beliau juga seorang pujangga yang banyak mengarang buku-buku roman, di antaranya ialah: Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelumnya ia menulis: Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939), Merantau di Deli, serta biografi orang tuanya dengan judul: Ayahku (1949). HAMKA adalah salah satu seorang yang banyak meninggalkan karya-karya bagi bangsa Indonesia, terhitung di antara judul buku yang dituliskannya lebih kurang 118 buah. Pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta ia menghembuskan nafas terakhir. Buku-buku atau kitab-kitabnya yang paling terkenal dan dikutip oleh sarjana-sarjana (kaum intlektual), yaitu kitab Tafsir alAzhar yang telah ditulisnya sebanyak 30 jilid bn Rusyd Nama lengkapnya adalah Abu< al-Wali<d Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Rusyd, lahir di Cordova, Andalusia pada tahun 520 H/1126 M dalam sebuah keluarga yang terkenal sebagai pakar hukum Islam. Ayahnya, kakeknya, malah ibn Rusyd sendiri terkenal sebagai pakai hukum Islam pada masanya. Diantara karya-karyanya yang terkenal antara lain adalah Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah alMuqtas}id, buku ini mengangkat persoalan hukum Islam, kemudian buku al-Kulliyah fi< At}-T}ib, yang membicarakan seputar medis. Beliau termasuk di antara para pendukung kebebasan kehendak. Tapi menurutnya, kebebasan ini ada batasnya. Sebab, manusia dan mahkluk tunduk di bawah hukum alam yang diciptakan Allah. Beliau wafat dalam usia 71 tahun, pada tahun 595 H/1198 M. Imm asy-Sya>fii< Imam Syafi'i nama lengkapnya ialah Muh}ammad bin Idrs asy-Sya>fi' alQuraisyi, ia dilahirkan di Gazza pada tahun 150 H. bertepatan dengan wafatnya imam Abu> Hani>fah. Beliau dikenal sebagai pendiri mazhab Sya>fi'i<. Imam Syafi' berasal dari keluarga yang tidak mampu dan dibesarkan dalam keadaan yatim. Sejak kecil beliau giat mempelajari hadis dari ulama' hadis yang ada di Makkah, dan disaat usianya yang belum balig ia telah hafal Al-Qur'an. Ketika berumur 20 tahun ia meninggalkan kota Makkah, guna mempelajari ilmu fiqh dari imam Mlik kemudian setelah itu ia pergi ke Iraq untuk mempelajari ilmu fiqh dari murid imam Hanaf. Setelah imam Mlik meninggal dunia beliau pergi ke Yaman, di sana ia menetap dan mengajarkan ilmunya. Tak lama setelah itu ia kembali ke Makkah dan mengajar rombongan jama'ah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia. Karya-karya beliau yang termasyhur ialah kitab al-Umm dan ar-Risa>lah yang merupkan karyanya yang monumental dalam bidang usul fiqh.

LAMPIRAN III CURRICULUM VITAE

Nama Tempat/ Tgl Lahir Jenis Kelamin Agama Nama Orang Tua/ Wali Ayah Ibu Pekerjaan Orang Tua/ Wali Ayah Ibu Alamat Orang Tua/ Wali

: Musa Aripin : Simangambat/ 15 Desember 1980 : Laki-laki : Islam : H. Ali Imran Hutajulu : Hj. Mas Bulan Harahap : Pegawai Negri Sipil (PNS) : Pegawai Negri Sipil (PNS) : Simangambat Kec. Siabu Kab. Mandailing Natal Propinsi Sumatra Utara

Riwayat Pendidikan: 1. SDN. No. 1 Simangambat, lulus tahun 1994 2. MTs Musthafawiyah Purba Baru, lulus tahun 1998 3. MA Musthafawiyah Purba Baru, lulus tahun 2001 4. Masuk UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2001

Anda mungkin juga menyukai