Anda di halaman 1dari 4

Aksi Seksual Pria oleh Evan Regar, 0906508024

Selama kehidupan seksual seorang pria, banyak rangsang yang terlibat dalam mencetuskan aksi seksual ini. Rangsang yang penting di antaranya rangsang neuronal dan rangsang psikologis. Persarafan Organ Kelamin Laki-Laki Sebelum membahas aksi seksual pria, penting untuk memahami anatomi persarafan organ kelamin laki-laki. Organ kelamin laki-laki dipersarafi baik secara parasimpatik, simpatik, maupun somatosensorik dan somatomotorik. 1 Tabel di bawah ini menjelaskan hal di atas: Jenis Parasimpatik Asal S2-S4 MS Perjalanan Ganglia pelvica, radix parasympathica [Nn. splanchnici pelvici] Plexux mesentrici superior et inferior Truncus sympathicus Plexus testicularis Plexus hypogastricus superior N. hypogastricus Plexus hypogastricus inferior N. pudendus Organ Penis Corpus cavernosum Testis Fungsi Vasodilatasi Ereksi Pengaturan darah aliran

Simpatik

T10 T12 MS L1 L2 MS

Gl. bulbourtehralis Vas deferens Glandula vesiculosa prostata M. sphincter vesicae M. ischiocavernosus M. bulbospongiosus Kulit skrotum dan kulit penis

Somatomotorik, somatosensorik

S2 S4 MS (Sakral)

Nn. scrotales posteriores N. dorsalis penis

Ekspulsi cairan kelenjar, kontraksi, transpor sperma ke uretra, ekspulsi isi ke uretra Penutupan v.u untuk mencegah ejakulasi retrograd, ekspulsi ejakulat keluar ke uretra

Aksi seksual pria secara garis besar terdiri atas dua peristiwa, yakni: (1) ereksi dan (2) ejakulasi. Secara lebih mendetil, peristiwa yang terjadi mulai dari inisiasi rangsang seksual hingga tercapai orgasme adalah: (1) fase rangsangan (termasuk terjadinya ereksi dan kewaspadaan seksual yang meninggi); (2) fase plateau (di mana terjadi respons tubuh seperti peningkatan tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, serta tonus otot); (3) fase orgasme (termasuk di antaranya ejakulasi dan kepuasan dan kesenangan seksual yang mencapai puncak); dan yang terakhir adalah fase resolusi (kembalinya ke keadaan sebelum terangsang).2 Untuk terjadi suatu aksi seksual pria, banyak faktor harus dilibatkan. Faktor yang memengaruhi antara lain adalah faktor neuronal, faktor psikologis, dan faktor sosial. Hal ini dapat dipahami bahwa adanya salah satu faktor saja yang tidak mendukung aksi seksual, maka aksi seksual ini tidak dapat terjadi. Sebaliknya, dorongan yang kuat terhadap salah satu faktor dapat menimbulkan aksi seksual. Sebagai contoh, rasa gugup dan canggung dapat mengakibatkan ketidakberhasilan aksi seksual, meskipun stimulus neuronal sudah cukup besar. Sebaliknya, tanpa reaksi neuronal, dapat terjadi aksi seksual yang dapat diceritakan pada fenomena mimpi basah (nocturnal emission) yang kerap terjadi terutama pada masa remaja.3 Integrasi keseluruhan faktor yang dapat mendukung terjadinya aksi seksual umumnya dilangsungkan di medulla spinalis (bukan di otak). 3 Pada hewan yang segmen medulla spinalisnya direseksi hingga bagian lumbar dapat tetap mengalami ereksi dan ejakulasi, dengan rangsangan neuronal yang cukup meskipun tanpa keterlibatan sistem saraf pusat yang lebih tinggi. Ereksi Bagian ujung penis, tepatnya glans penis merupakan salah satu titik yang paling peka untuk menginisiasi aksi seksual pria. Hal ini dikarenakan glans penis memiliki ujung saraf yang sangat sensitif terhadap rangsangan, khususnya rangsangan taktil (pada umumnya selama kegiatan persenggamaan berupa aksi

glans penis yang mengenai dinding vagina). Rangsangan dari glans penis diteruskan oleh n. pudendal, meneruskan ke pleksus sakralis, dan akhirnya tiba di medulla spinalis. Di medulla spinalis terdapat jaras yang membawa informasi ini menuju sistem saraf pusat, maupun jaras yang langsung direspons di medulla spinalis itu sendiri. 1 Rangsangan dari sistem saraf pusat diteruskan melalui serabut parasimpatis yang melalui ganglion pelvis ke penis, melalui pelepasan mediator yang terutama adalah nitrit oksida (NO), di samping ujung saraf ini juga menghasilkan ACh dan VIP (vasoactive intestinal polypeptide). NO adalah senyawa yang mampu mengakibatkan relaksasi otot polos4 di a. helisina. A. helisina merupakan cabang a. profunda penis yang lansung bermuara ke dalam ruang-ruang di dalam korpus kavernosum. Akibatnya darah mengalir dengan deras ke dalam ruang kavernosa sampai terisi penuh darah. Sementara itu, aliran balik darah dari ruang kavernosa ini seharusnya dijalankan oleh vena-vena di sekitarnya menjadi terganggu akibat desakan korpus kavernosum akibat terisi darah. Kondisi ini digambarkan sebagai suatu kondisi vasokongesti. Dengan demikian selama periode ini penis menjadi tegang dan tegak, yang dikenal dengan fenomena ereksi. Sementara itu, pada korpus spongiosum tidak terlalu tegang sehingga uretra yang melintasi di tengah-tengahnya dapat terbuka dan memungkinkan cairan semen memancar sewaktu ejakulasi. Setelah ereksi, penis kembali menjadi lemas yang dikenal dengan detumesen. 5 Ereksi merupakan suatu refleks spinal yang melalui penelitian termutakhir berhasil menentukan pusat ereksi, yakni di medulla spinalis bagian inferior (terutama lokasi sakral dan lumbal). Pembuluh darah yang terutama terlibat dalam proses ereksi cukup unik mengingat pembuluh darah ini banyak yang merespons persarafan parasimpatis (pada umumnya pembuluh darah hanya merespons persarafan simpatis). Sistem saraf yang lebih tinggi (misal: otak) diduga dapat memediasi refleks spinal yang terjadi, melalui aksi fasilitasi atau inhibisi. Melalui interaksi yang kompleks ini dapat terjadi suatu gangguan pada pria, yang disebut sebagai disfungsi ereksi (impotensi). Kelainan lain terjadi berupa ereksi yang tidak henti-hentinya terjadi, biasnaya disertai dengan rasa nyeri. Keadaan ini disebut sebagai priapismus dan biasanya disebabkan oleh kelainan pembuluh darah, saraf, serta penggunaan obat-obatan (seperti sildenafil / Viagra).4 Lubrikasi Selama rangsangan seksual sedang berlangsung, persarafan otonom parasimpatis juga berperan dalam merangsang kelenjar uretra dan bulbouretra untuk mensekresikan mukus. Mukus ini dapat mengalir melalui uretra selama koitus terjadi. Mukus berperan sebagai lubrikan (pelumas) dalam koitus, yang membantu mengurangi sensasi yang tidak mengenakkan selama coitus berlangsung. Meskipun demikian, lubrikan pada umumnya disediakan oleh saluran kelamin wanita.2,3 Ejakulasi (Emisi dan Ekspulsi) Ejakulasi juga merupakan suatu proses yang melibatkan refleks spinal, melalui reseptor yang juga sama seperti yang menyebabakn ereksi dan lubrikasi. Namun demikian, terdapat perbedaan intensitas rangsang yang mana rangsang yang lebih lemah akan menimbulkan ereksi dan lubrikasi saja. Intensitas yang lebih tinggi dapat mencapai suatu keadaan ejakulasi.2 Emisi merupakan suatu proses yang diperantarai oleh rangsang simpatis yang berasal dari pusat refleks di medulla spinalis dan berjalan melalui pleksus simpatetik hipogastrik dan pelvis dan menuju ke organ target. Proses ini didefinsiikan sebagai suatu kontraksi yang menghantarkan sperma, cairan prostat, serta cairan vesikula seminalis (yang ketiganya secara kolektif disebut sebagai semen) menuju uretra. Semen juga bercampur dengan cairan yang disekresikan oleh kelenjar bulbouretra. Selama proses ini, sfinger di kandung kemih umumnya tertutup untuk mencegah semen memasuki kandung kemih atau urin yang tercampur bersama dengan semen. Proses ini secara terkoordinasi memastikan semen telah berada di uretra pars spongiosa, sehingga penutupan sfingter kandung kemih tidak memengaruhi pergerakan semen yang juga sempat melintasi sfinger ini. Proses kontraksi terjadi berurutan, dimulai dari vas deferens serta ampula, lalu lapis otot kelenjar prostat, barulah kelenjar vesikula seminalis.

Secara tiba-tiba, terjadi peningkatan konten dari uretra oleh semen yang memberikan impuls rangsang ke otot-otot polos di radix penis. Otot-otot ini adalah mm. ischiocavernosus (yang menyelimuti cruri penis, asal dari korpus kavernosus) dan m. bulbospongiosum (yang menyelimuti bulbus penis). Kontraksi ini berlangsung secara rimtikal (dengan interval sekitar 0,8 detik2) mengakibatkan kompresi di jaringan erektil penis, sehingga terjadi peningkatan tekanan di saluran jaringan erektil penis, dan akhirnya terjadi pengeluaran semen ke lingkungan eksterior. Keseluruhan rangkaian proses ini dikenal dengan istilah ekspulsi. Seringkali ekspulsi ini disebut juga sebagai proses ejakulasi. Orgasme Orgasme adalah suatu sensasi kepuasan selama berhubungan seksual yang diibaratkan sebagai suatu puncak kenikmatan hubungan seksual (sexual climax). Orgasme tercapai akibat kontraksi ritmis yang terjadi selama ekspulsi semen dan diikuti dengan kontraksi involunter otot-otot pelvis, peningkatan respons generalisir tubuh (seperti denyut jantung yang dapat mencapai 180 bpm, pernapasan yang berat, kontraksi otot rangka, dan peningkatan aktivitas sistem saraf pusat, terutama emosi). Keseluruhan faktor ini dapat dikatakan sebagai suatu respons fisiologi otonom yang tercapai dengan persepsi lega dan puas, terutama setelah ekspulsi semen (intense pleasure due to the feeling of release and complete gratification). Resolusi Periode ini ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah yang menuju ke penis, mengakibatkan ereksi berakhir (detumesen). Proses relaksasi berlangsung, kembalinya tonus otot ke normal, disertai dengan sistem respiratori dan kardiovaskular yang kembali ke aktivitas basalnya, dan kerap disertai dengan perasaan lemas dan lelah. Terminasi dari aktivitas seksual ini dapat berlangsng dalam 1-2 menit.2,4 Rasa bahagia dan lega juga diduga akibat pelepasan neurohormon oksitoksin dan prolaktin, dan melalui suatu studi menggunakan fMRI tampak penurunan aktivitas di beberapa belahan saraf pusat, disertai dengan peningkatan aktivitas metabolik di lobus limbik otak (pusat emosional).6 Infus hormon oksitosin selama ejakulasi membuktikan adanya suatu periode refrakter dan jumlah oksitosin ini berkaitan dengan lamanya periode refrakter. Periode refrakter menurut studi juga bervariasi, antara 15 menit di laki-laki 18 tahun, hingga 20 jam di laki-laki berusia 70 tahunan, dengan rata-rata untuk segala usia berkisar antara setengah jam. Setelah proses resolusi, terdapat suatu periode refraktori yang menyebabkan proses aksi seksual ini tidak dapat berlangsung, paling tidak selama beberapa saat. Ada pula yang menyebutkan bahaw periode refraktori ini diduga akibat hipersensitivitas dan hiperreaktivitas glans penis terhadap stimuasli taktil, sehingga rangsangan kembali ke daerah ini dalam waktu singkat justru menimbulkan sensasi nyeri yang akan menekan aktivitas seksua. lDengan demikian, dipercayai bahwa laki-laki tidak dapat mengalami beberapa seri orgasme dalam waktu beberapa menit, seperti yang dapat ditemui pada wanita. Tinjauan Fisiologis Posisi Koitus 7 Meskipun pendekatan yang digunakan untuk meninjau secara fisiologis hubungan posisi koitus masih rancu, salah satu upaya yang telah berhasil dilakukan adalah meninjau posisi ketika melakukan koitus dengan mencitrakannya dengan MRI, terutama untuk melihat bagaimana interaksi antara penis dan vagina dalam proses koitus ini. Studi yang dilakukan terhadap beberapa posisi seksual menggambarkan bagaimana penetrasi penis terhadap vagina, sentuhan terhadap dinding anterior dan posterior vagina, yang mungkin terlibat dalam proses pembangkitan sensasi seksual di berbagai posisi yang berbeda. Secara nalar, dapat dibayangkan bahwa semakin mudah posisi koitus yang memungkinkan jumlah sperma yang lebih mudah masuk ke dalam posisi tertentu, mungkin dapat menjadi tinjauan mengenai kaitan posisi koitus dengan kehamilan. Dalam studi ini, berhasil disimpulkan bahwa posisi koitus menentukan impak glans penis ke vagina, yang mana dapat mengakibatkan perbedaan stimulasi, sehingga dapat menimbulkan persepsi kepuasan yang berbeda. 7

\ Gambar Skema persarafan organ genitalia pria1 Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. Putz R, Pabst R, editors. Sobotta atlas anatomi manusia. Jilid 2. Jakarta: EGC; 2007 Sherwood L. Human physiology. From cells to system. Seventh edition. Canada: Cengage Learning; 2010. p. 759-64 Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006. p. 1000-3 Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 12th edition. Virginia: John Wiley & Sons; 2009. p. 1093-95 Jusuf AA. Sistem reproduksi wanita dan pria. Jakarta: Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011 Georgiadis JR, Reinders AA, Paans AM, Renken R, Kortekaas R. Men versus women on sexual brain function: prominent differences during tactile genital stimulation, but not during orgasm". Human Brain Mapping. 2008: 30 (10): 3089101 Faix A, Lapray JF, Callede O, Maubon A, Lanfrey K. Magnetic resonance imaging of sexual interc ourse: second experience in mssionary position and initial experience in posterior position. Journal of Sex & Marital Therapy. 2002: (28):63-76

7.

Anda mungkin juga menyukai