Anda di halaman 1dari 27

BAB I PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG Demam Tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus Peyer di distal ileum. Sementara kriteria demam tifoid yaitu penyakit infeksi akut yang disebabkan Salmonella typhi, ditandai adanya demam 7 hari atau lebih, gejala saluran pencernaan dan gangguan pada sistem saraf pusat (sakit kepala, kejang, dan gangguan kesadaran). Batasan serupa dikemukakan oleh Butler (1991), yaitu suatu infeksi bakterial pada manusia yang disebabkan oleh Salmonella typhi ditandai dengan demam berkepanjangan, nyeri perut, diare, delirium, bercak rose, dan spenomegali serta kadang-kadang disertai komplikasi perdarahan dan perforasi usus.1 Penyakit demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan khususnya di negara berkembang. Insidensi demam tifoid masih tinggi meskipun komplikasi dan angka kematian sudah menurun dengan upaya diagnosis cepat dan pemberian antibiotik yang tepat. Pada tahun 2000 daerah yang termasuk mempunyai insidensi tinggi demam tifoid (>100/100.000 kasus/tahun) adalah Asia Selatan, Tengah dan Tenggara. Di Indonesia demam tifoid bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di beberapa rumah sakit besar, kasus tersangka demam tifoid menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6-5,0 %. Berdasarkan data berbasis rumah sakit, demam tifoid lebih sering ditemukan pada kelompok usia sekolah dan dewasa muda. Insidensi pada kelompok usia kurang dari 5 tahun umumnya rendah, meskipun ada suatu laporan berdasarkan studi komunitas insidensinya cukup tinggi mencapai 44%.6

Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid di negara sedang berkembang adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum, dan standar higenitas industri pengolahan makanan yang masih rendah. Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella Typhi yang dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi es, debu, sampah kering dan pakaian, mampu bertahan di sampah mentah selama satu minggu dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur atau produknya tanpa merubah warna atau bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella typhi, melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis.1 Gambaran klinis demam tifoid sangat bervariasi, ringan sampai berat dengan komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Komplikasi dapat terjadi baik pada saat pertama dirawat atau terjadi selama perawatan.6 I.2 PERMASALAHAN Demam tifoid perlu ditangani dengan serius karena penyakit ini merupakan kelompok penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang semua golongan usia. Komplikasi yang ditimbulkan demam tifoid pun bisa berakibat fatal, sehingga penatalaksanaannya harus tepat dan cepat.2 I.3 TUJUAN PENULISAN Tujuan penulisan referat ini diantaranya adalah: 1. Untuk mengetahui komplikasi demam tifoid. 2. Untuk mencegah terjadinya komplikasi dengan pengobatan yang tepat. 3. Untuk memenuhi sebagian syarat kepaniteraan klinik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI Terdapat beberapa definisi dari demam tifoid yang berasal dari beberapa sumber. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran

pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.2
2. Demam Tifoid merupakan penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan

bakterimia,

perubahan

pada

sistem

retikuloendotelial

yang
4

bersifat

difus,

pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus Payer di distal ileum .

3. Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi bakterial dengan gejala diare, penyakit

sistemik, dan adanya rash. Penyebab tersering adalah bakteri Salmonella typhi.10
4. Demam Tifoid dan demam paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus.

Demam paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan manifestasi klinis yang sama atau menyebabkan enteritis akut. Sinonim demam tifoid dan demam paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan paratyphus abdominalis.1

II.2 EPIDEMIOLOGI Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin Karibia dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002 sekitar 16 juta per tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan kematian. Di
3

Indonesia prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Ada dua sumber penularan S.typhi : pasien yang menderita demam tifoid dan yang lebih sering dari carrier yaitu orang yang telah sembuh dari demam tifoid namun masih mengeksresikan S. typhi dalam tinja selama lebih dari satu tahun.2,3,4 II.3 ETIOLOGI

Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi. 1

Bakteri Salmonella Typhi. Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman S.typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37 C (15 C-41 C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4 C selama satu jam, dan 60 C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama.3 Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa. Mereka dapat tetap hidup pada suhu sekeliling atau suhu rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, agen farmakeutika dan bahan tinja. Seperti anggota lain Enterobakteriaseae, Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel stabil panas; antigen H adalah protein labil panas yang dapat muncul pada fase 1 atau 2. Antigen lain adalah polisakarida kapsul virulen (Vi) ada pada S.typhi dan jarang ditemukan pada strain S.paratyphi C. 5 II.4 PATOGENESIS Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu:
1. Proses invasi kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus.

2. Proses kemampuan hidup dalam makrofag. 3. Proses berkembang biaknya kuman dalam makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan dan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non spesifik di saluran pencernaaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular. Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada
5

beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu: (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung. Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan S.typhi sebanyak 1 juta hingga 1 milyar yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada PH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut S.typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh. Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian S.typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman.3 Bagan Patofisiologi Demam Typhoid

FOLIKEL GETAH Multiplikasi TYPHI Bakteriem ILEUM Multiplika Duktus dan Usus KUMAN S. MIKROVILI Mati Fagosit INVASI Hidup Nodus Bakteremia RES Torasiku Berkembang DAN MAKANAN Hati dan Getah Lokal BENING ia Sekunder si SelLimpa INTESTINUM Primer Bening s PMN Biak Mesenterika

II. 5 GEJALA KLINIS Gejala demam tifoid pada anak-anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 7-14 hari (bervariasi 3-60 hari).3 Faktor yang berperan pada gambaran klinis Demam Tifoid, antara lain: Faktor mikroorganisme, yaitu: (1) jumlah mikroorganisme yang tertelan, (2) virulensi dari serotipe dan strain yang tertelan.

Faktor Pejamu/ Hospes


8

Yaitu (1) keasaman lambung, (2) motilitas saluran cerna, (3) flora normal di usus kecil dan usus besar, (4) sistem imunitas humoral dan seluler, (5) malnutrisi, (6) faktor metabolik dan nutrisi, (7) umur, (8) penyakit lain, (9) penggunaan antibiotika, (10), vaksinasi, (11) lamanya sakit.

Faktor lingkungan 7

Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu 1. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari. Dalam minggu II, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu I I I suhu berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu III. 2. Gangguan saluran cerna Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah (rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coatted tongue)., ujung dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda. 3. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak terlalu dalam, berupa apatis sampai somnolen.

Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejala-gejala lain:

Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan diameter 2-4 mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat pada orang yang berkulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam.

Bradikardia relatif; kadang-kadang dijumpai bradikardia relatif yang biasanya ditemukan pada awal minggu ke I I dan nadi mempunyai karakteristik notch (dicrotic notch).4
9

Onset Penyakit Setelah masa inkubasi penderita mulai menunjukkan gejala klinis. Onset penyakit berjalan secara perlahan tetapi bisa juga timbul secara tiba-tiba. Demam makin lama makin tinggi tetapi dapat pula remiten atau menetap. Pada awalnya suhu meningkat secara bertahap menyerupai anak tangga selama 2-7 hari, lebih tinggi pada sore dan malam hari. Akan tetapi demam bisa pula mendadak tinggi. Setelah suhu mencapai sekitar 40C kemudian akan menetap selama minggu kedua, mulai menurun secara tajam pada minggu ketiga dan mencapai normal kembali pada minggu keempat. Sedangkan bayi dan anak kecil mempunyai pola panas yang tidak beraturan. Pada anak besar demam seringkali disertai menggigil. Pada saat awal demam penderita biasanya mengalami gejala yang mirip sindroma flu (flu like sindrome) yaitu sakit kepala, malaise, bradikardi, nyeri menelan, anoreksia, nyeri perut, nyeri otot dan nyeri sendi. Penderita dapat mengalami diare, tetapi lebih sering didapatkan konstipasi. Perjalanan Penyakit Akhir minggu pertama Demam sekitar 38,8C-40C,penderita mengeluh sakit kepala hebat, tampak apatis, bingung dan lelah. Pada saat demam tinggi mulut menjadi kering karena saliva berkurang, lidah tampak kotor dilapisi selaput putih sampai kecoklatan, bisa disertai dengan tepi yang hiperemis dan tremor. Sering juga dijumpai rasa mual dan muntah. Gambaran klinis bronkitis biasanya didapatkan pada kasus demam tifoid berat. Tidak didapatkan nyeri perut yang jelas tetapi penderita merasa tidak enak di perut dan mungkin juga masih disertai konstipasi. Terkadang didapatkan bercak rose di daerah abdomen, dada atau punggung. Minggu kedua Demam tinggi masih berlangsung, bersifat kontinu dengan perbedaan suhu sekitar 0,5C pada pagi dan petang hari. Keadaan umum penderita makin menurun, apatis, bingung, kehilangan kontak dengan orang disekitarnya, tidak bisa istirahat atau tidur. Lidah tertutup selaput tebal, nafas berbau tidak sedap, bibir kering pecah-pecah dan kehilangan nafsu makan serta minum. Pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri
10

bila diraba. Biasanya didapatkan nyeri yang merata di seluruh kuadran bawah, dan distensi abdomen dengan daerah yang meteorismus atau timpani oleh karena konstipasi, penumpukan tinja atau berkurangnya tonus lapisan otot intestin dan lambung 6 Minggu ketiga Memasuki minggu ketiga penderita memasuki tahapan tyfhoid state, yang ditandai dengan disorientasi, bingung, insomnia, lesu dan tidak bersemangat. Bisa didapatkan pula adanya delirium, tetapi jarang dijumpai stupor dan koma. Wajah tampak toksik, mata berkilat dan mungkin kemerahan, kelopak mata cekung, pucat dan flushing di daerah pipi. Penulis lain menggambarkan wajah tifoid yang khas yaitu wajah tanpa ekspresi, suram, kelopak mata setengah terbuka, dilatasi pupil, mulut dan bibir kering. Pernapasan tampak cepat dan dangkal. Abdomen tampak lebih distensi dari sebelumnya. Nodus Peyer mungkin mengalami nekrotik dan ulserasi, sehingga sewaktu-waktu dapat timbul perdarahan dan perforasi. Saat ini penderita mengalami berak lembek dan berwarna coklat tua atau kehijauan dan berbau, hal ini dikenal dengan pea-soup diarrhoea, tetapi mungkin penderita mungkin masih mengalami konstipasi. Pada akhir minggu ketiga suhu mulai menurun secara lisis dan mencapai normal pada minggu berikutnya. 4 Relapse (kekambuhan) Keadaan berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan singkat. Terjadi dalam minggu ke I I setelah suhu badan normal kembali atau setelah terapi dihentikan. Pada kultur darah menjadi positif kembali, meskipun titer antibodi terhadap antigen 0, H, Vi, dan rose spot tidak tampak. Gejala yang timbul pada kekambuhan/relapse lebih ringan dan singkat dibanding penyakit awal. Menurut teorinya, relapse terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan oleh antibiotik. Atau mungkin terjadi pada waktu penyembuhan.4 II. 6 PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.9 1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI
11

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.11 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid. 3 Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).10

2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.2,9 Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktorfaktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.9 Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.4 Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.12 Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.9,18 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat
12

meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.4 Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 7090% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.4,9 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.6 Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (1015%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.4,6 Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.
2,4,11

Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas

kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.13 Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.4,12 Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. 2,4,8,9 3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
13

mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). 2 3.1 UJI WIDAL Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. 2,11 Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.13 Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.14 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.9

14

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.9,13 Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).3 Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.2,8 Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.10 3.2 TES TUBEX Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.4 Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.4 Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.14
15

3.3

METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan

IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4 Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%.17 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.4 Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien. 2
16

3.4

METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak

antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. 9 3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 5 Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.10 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.11 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada
17

pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.21

4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).8 Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.7

II. 7 DIAGNOSIS Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang didapat pada anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dasar ditambah dengan pemeriksaan penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam
18

usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh. Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik.8 Diagnosa banding - Paratifoid fever (A, B, C), gejala lebih ringan dibanding typhoid fever. - Influenza : panas tinggi - Demam Dengue: panas mendadak tinggi cepat - Malaria

II. 8 KOMPLIKASI Demam tifoid merupakan penyakit yang memberikan gejala lokal sistemik. Selain gambaran klinis yang telah diuraikan diatas, dapat terjadi gambaran lain yang tidak biasa atau yang merupakan gambaran demam tifoid. Istilah komplikasi sendiri hingga kini masih menjadi bahan perdebatan. Komplikasi biasanya timbul pada minggu ke-3 atau ke4 dan terjadi pada 25% kasus yang tidak mendapatkan pengobatan. Komplikasi yang paling sering terjadi dan berbahaya adalah perdarahan dan perforasi saluran cerna. Turunnya suhu tubuh secara drastis sering menjadi pertanda terjadinya komplikasi tersebut Kematian sering mengikuti komplikasi ini. Komplikasi tersebut antara lain: Perforasi Usus Perforasi usus merupakan komplikasi pada 1-5 % penderita yang dirawat, biasanya terjadi pada minggu ketiga tetapi bisa terjadi selama masa sakit. Selain gejala yang biasa ditemukan pada demam tifoid, penderita mengeluh perforasi nyeri perut hebat di kuadran kanan tetapi dapat pula bersifat menyebar. Abdomen tampak tegang dengan nyeri lepas dan hilangnya pekak hati dan bising usus. Perforasi menyebabkan tekanan darah turun, nadi bertambah cepat, dan timbul nyeri hebat. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan leukositosis dan pergeseran ke kiri. Perdarahan Usus
19

Terjadi pada 15 % kasus, 25% merupakan perdarahan ringan dan tidak perlu transfusi. Perdarahan hebat dapat menyebabkan syok, tetapi biasanya sembuh spontan tanpa pembedahan. Manifestasi Pulmonal Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, biasanya bersifat ringan dan disebabkan oleh bronkitis (15%). Pneumonia (1-30%) bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi dan empiema. Komplikasi Hematologis Depresi sumsum tulang belakang yang toksik pada penderita dengan manifestasi klinis yang berat, menyebabkan terjadinya anemia, neutropenia, granulositopenia dan trombositopenia. Anemia hemolitik akut bervariasi pada 2%-7% penderita ditandai dengan penurunan hemoglobin secara tiba-tiba tanpa adanya pendarahan disertai hemoglobinuria dan gambaran hemolisis pada pemeriksaan darah tepi. Selain itu dapat terjadi trombositopenia disertai hipofibrinogenemia yamg merupakan gambaran dari DIC. Manifestasi Neuropsikiatri Bervariasi mulai dari sakit kepala, meningismus sampai gangguan kesadaran (disorientasi, sampai delirium, stupor dan koma). Delirium, stupor dan koma merupakan tanda prognosis yang buruk dengan angka kematian kasus lebih dari 40%. Delirium merupakan kelainan yang sering dijumpai dan dapat berkembang menjadi encefalopati. Keadaan ini biasanya membaik dalam 3-4 hari tetapi sering menetap bahkan sampai suhu tubuh dan fungsi metabolik kembali normal. Dilaporkan pula terjadinya schizofrenia terutama dari benua Afrika. Manifestasi lain yang jarang dijumpai adalah kejang, meningitis tifoid, ensefalomielitis, transverse myelitis dengan paraplegia, neuritis dan sindroma Guillan Barre. Meningitis yang disebabkan oleh Salmonella kebanyakan terjadi pada bayi dan neonatus dengan angka mortalitas yang tinggi.

20

Manifestasi Kardiovaskuler Miokarditis ditemukan pada 1-5% penderita demam tifoid. Manifestasi klinis bervariasi mulai dari asimtomatik sampai nyeri dada, payah jantung, aritmia atau syok kardiogenik. Bila muncul pada anak kecil, miokarditis merupakan komplikasi yang serius. Gambaran elektrokardiogram sama seperti gambaran pada miokarditis oleh sebab lain. Gambaran lain yang tidak biasa ditemukan adalah trombosis arteri dan vena dalam.

Manifestasi Hepatobilier Yang biasa ditemukan adalah hepatitis tifosa yang asimtomatik ditandai dengan peningkatan SGOT dan SGPT. Kolesistisis akut dan ikterus yang tidak atau disertai dengan peningkatan enzim didapatkan pada 1-5% kasus. Kolesistisis akut atau kronis dapat terjadi beberapa bulan atau tahun setelah menderita demam tifoid, tetapi jarang ditemukan pada anak-anak. Manifestasi Urogenital Sebanyak 25% penderita demam tifoid pernah mengekspresikan S.typhi dalam air kemih selama masa sakitnya. Kelainan yang paling sering ditemukan adalah proteinuria yang bersifat sementara. Proteinuria pada sebagian kasus disebabkan oleh imun kompleks yang mengakibatkan terjadinya glomerulonefritis. Urin selain mengandung albumin dalam jumlah kecil juga didapati sedikit peningkatan elemen seluler. Manifestasi lain yang mungkin terjadi adalah sindroma nefrotik, sistisis, pielonefritis dan gagal ginjal. Pada keadaan ini sering dihubungkan dengan infeksi Schistosoma haematobium.9 II. 9 PENATALAKSANAAN Tujuan perawatan dan pengobatan demam tifoid anak adalah meniadakan invasi kuman dan mempercepat pembasmian kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, mencegah relaps dan mempercepat penyembuhan.8 TATA LAKSANA a. Umum
21

Isolasi penderita (untuk mencegah penularan)

Tirah baring , anak baring terus di tempat tidur dan letak baring harus sering diubah-ubah. Lamanya sampai 5-7 hari bebas demam dan dilanjutkan mobilisasi bertahap yaitu : hari I duduk 2 x 15 menit, hari II duduk 2 x 30 menit, hari III jalan, hari IV pulang.

Diet bergizi tinggi dan mudah dicerna. Dahulu dianjurkan semua makanan saring, sekarang semua jenis makanan pada prinsipnya lunak, mudah dicerna, mengandung cukup cairan , kalori, serat, tinggi protein dan vitamin, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Makanan saring / lunak diberikan selama istirahat mutlak kemudian dikembalikan ke makanan bentuk semula secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari I makanan lunak, hari II makanan lunak, hari III makanan biasa, dan seterusnya

Masukan cairan harus cukup Kompres hangat bila terjadi panas tinggi b. Farmakoterapi
1. Antibiotika

Antibiotika diberikan berdasarkan tes sensitivitas. Antibiotika yang umumnya dipergunakan antara lain: Lini Pertama: Kloramfenikol , masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik, diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgbb/hari secara intravena dalam 4 dosis selama 10-14 hari, atau Ampisilin, dengan dosis 150-200 mg/kgbb/hari diberikan per oral atau intravena selama 14 hari, atau Kotrimoksazol, dengan dosis 10 mg/kgbb/hari trimetoprim, dibagi 2 dosis selama 14 hari. Lini Kedua, diberikan pada kasus demam tifoid yang resisten terhadap berbagai obat. Seftriakson, dengan dosis 50-80 mg/kgbb/hari, dosis tunggal selama 10 hari

22

Sefiksim , dengan dosis 10-12 mg/kgbb/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14 hari, adalah alternatif pengganti sefriakson yang cukup andal. Siprofloksasin, 10 mg/kgbb/hari dalam 2 dosis. 1. Antipiretik Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak demam diperlukan untuk efektifitas respon imun dan pemantauan keberhasilan pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya kejang dan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan pemberian antipiretik. Dianjurkan pemberian antipiretik bila suhu di atas 38,5C. Umumnya yang digunakan adalah paracetamol dengan dosis 10 mg/kgbb. 2. Kortikosteroid Dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya penurunan kesadaran delirium, stupor atau koma maupun syok. Deksametason diberikan dengan dosis awal 13 mg/kgbb, diikuti dengan 1 mg/kgbb setiap 6 jam selama 2 hari.9

II. 10 PROGNOSIS
Umumnya baik bila belum mengalami komplikasi yang berat.2 II. 11 PENCEGAHAN Usaha pencegahan demam tifoid dapat dibagi dalam: 1. Usaha terhadap lingkungan hidup. Penyediaan air minum yang memenuhi syarat. Pembuangan kotoran manusia yang pada tempatnya. Pemberantasan lalat. Pengawasan terhadap rumah-rumah makan dan penjual-penjual makanan. 2. Usaha terhadap manusia Imunisasi. Menemukan dan mengawasi pengidap kuman (carrier). Pendidikan kesehatan kepada masyarakat.6

23

BAB III KESIMPULAN

Demam tifoid adalah suatu infeksi akut pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun, tersebar di mana-mana, dan ditemukan hampir sepanjang tahun. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun. Dengan keadaan seperti ini, adalah penting untuk melakukan pengenalan dini Demam Tifoid, yaitu adanya 3 komponen utama: Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari),Gangguan saluran pencernaan, dan Gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran. Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari. Makin cepat demam tifoid dapat didiagnosis makin baik. Pengobatan dalam taraf dini akan sangat menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan tubuh masih cukup baik dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat saja. Penularan demam tifoid terjadi melalui mulut, kuman S.typhy masuk kedalam tubuh melalui makanan/minuman yang tercemar ke dalam lambung, ke kelenjar limfoid usus kecil kemudian masuk kedalam peredaran darah. Kuman dalam peredaran darah yang pertama berlangsung singkat, terjadi 24-72 jam setelah kuman masuk, meskipun belum menimbulkan gejala tetapi telah mencapai organ-organ hati, kandung empedu, limpa, sumsum tulang dan ginjal. Pada akhir masa inkubasi 5 9 hari kuman kembali masuk ke aliran darah (kedua kali) dimana terjadi pelepasan endoktoksin menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam tifoid. Masa inkubasi rata-rata 7 14 hari. Manifestasi klinik pada anak umumnya bersifat lebih ringan dan lebih bervariasi. Demam adalah gejala yang paling konstan di antara semua penampakan klinis. Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar riwayat
24

penyakit, gambaran klinik dan laboratorium (jumlah lekosit menurun dan titer widal yang meningkat) . Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman pada salah satu biakan. Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita. Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih. Lalat bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan. Bakteri masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar. Pada kasus yang berat, yang bisa berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa mengalami perdarahan dan perforasi (perlubangan). Komplikasi biasanya timbul pada minggu ke-3 atau ke-4 dan terjadi pada 25% kasus yang tidak mendapatkan pengobatan. Kematian sering mengikuti komplikasi ini. Komplikasi tersebut antara lain: Gangguan metabolik Perdarahan saluran cerna Perforasi saluran cerna Peritonitis Hepatitis tifosa Pnemonia Ensefalopati tifosa Abses otak Meningitis Osteomielitis Endokarditis Abses pada berbagai organ

25

DAFTAR PUSTAKA
1. Noer, Sjaifoellah, dkk; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I edisi 3, FK UI,

Jakarta,1996.
2. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan

Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.
3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI: Ilmu Kesehatan Anak, jilid II,FK UI,

Jakarta, 2002.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Jakarta; Pediatrics Update, FK UI, Jakarta,

2003.
5. Pawitro, E. Udjiani, dkk; Ilmu Penyakit Anak Diagnosa dan Penatalaksanaan,

Salemba Medika, Jakarta, 2002.


6. Behrman, E. Richard., Kliegman, Robert., Arvin, M. Ann; Nelson Textbook of

Pediatrics, EGC, Jakarta, 2000.


7. Ikatan Dokter Anak Indonesia; Sari Pediatri Artikel, Vol.7.No.1, Juni 2005. 8. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi

Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2005, hal.37-50.
9. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.Hoffman SL. Typhoid

Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunters Textbook of Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-58.
10. http://www.klinikku.com/pustaka/medis/inf/tifoid_th.html. 11. http://www.medicastrore.com/med/detail_pyk. 12. http://www.eMedicine.com/MED/topic 2331.htm. 13. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001332 htm. 14. http://www.infeksi.com/hiv/articles.php?Ing=in&pg=15

26

27

Anda mungkin juga menyukai