Anda di halaman 1dari 16

Edisi 41 - Juli 2007

AGROFUEL
Gelombang Kedua Involusi Pertanian

SALAM

Pembaruan Tani - Juli 2007

Agrofuel di Indonesia: kebijakan energi yang keliru


Siapa yang tak tergiur terlibat dalam bisnis perkebunan di negara-negara seperti Indonesia, Brasil, Argentina, ataupun negara-negara di kawasan Asia dan Amerika Latin lainnya. Sebut saja misalnya pemodal nasional, keluarga besar perusahaan H.M Sampoerna setelah menjual sahamnya kepada perusahaan rokok milik asing Phillip Moris serta merta diberitakan bahwa mereka akan membuka jutaan hektar lahan untuk perkebunan tebu. Atau rencana investasi modal dari Swiss akan membuka perkebunan tanaman jarak di Nusa Tenggara Timur dengan nilai investasi 1 trilliun rupiah, bukan angka yang main-main. Di Brasil perusahaan semacam Cargill membeli pabrik gula perkebunan tebu di Cevasa di wilayah Ribeiro Preto, So Paulo. Memang menurut catatan sejarah perkebunan merupakan warisan sistem kolonial untuk memenuhi kebutuhan bahan mentah negara-negara industri kaya seperti Amerika Serikat, Jepang, maupun Eropa. Minat perusahaan-perusahaan besar terhadap perkebunan sawit, tebu, jarak, jagung dan kedelai memang tidak segencar beberapa puluh tahun yang lalu. Begitu tingginya ekspansi modal pada sektor perkebunan tersebut mengikuti trend global. Hal ini semakin kukuh setelah Presiden Amerika George Bush seperti yang diberitakan Herald Tribune (1/06/07) menyatakan kebijakan baru Amerika adalah menerima target pengurangan gas emisi dunia. Walau pada tahun 2000 menolak secara tegas apa yang diatur di protokol Kyoto mengenai pemanasan global. Yang kita ketahui isu perubahan iklim, pemanasan global begitu dekat dengan isu lingkungan mulai merambah ke ranah politik global dan mempengaruhi langsung ke ruang politik nasional. Terlebih soal energi yang berasal dari pertambangan seperti minyak, gas dan batu bara yang kian berkurang dan mempengaruhi langsung terhadap perubahan iklim. Di Indonesia, Presiden kemudian mengeluarkan Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada pasal 1 ayat 3 mulai digulirkan penggunaan nuklir dan ayat 4 mengenalkan istilah biofuel. Amerika Serikat juga menargetkan penggunaan agrofuel sebanyak 35 milyar galon per tahunnya. Padahal jelas lahan pertanian mereka tidak cukup untuk memenuhi target tersebut (Holt-Gimenez, 2007), Gayung bersambut maka berlomba-lomba setiap daerah menyatakan siap menyediakan lahan hingga jutaan hektar, bukan main. Padahal kita tahu bahwa lahan-lahan pertanian di Indonesia sudah disesaki oleh 25,4 juta petani kecil alias gurem. Serta merta masih banyak lahan-lahan tersedia. Kalau kita telusuri lagi dengan isu perubahan iklim dan agrofuel siapa yang didiuntungkan? Siapa lagi kalau bukan perusahaan-perusahaan besar. Sebut saja Unilever, Pepsi, Quaker, dan Monsanto. Mereka adalah pemain di bidang pengolahan hasil minyak kelapa sawit, sedangkan Monsanto bermain paten di benih kedelai. Di Indonesia data yang ada menunjukkan bahwa dari total luas lahan sawit yang ditanami sebesar 5,5 juta hektar sebanyak 4 juta hektar (67 persen) dikuasai oleh perusahaan swasta sementara sisanya dikelola oleh perkebunan kecil. Dalam usaha perkebunan sawit ini terdapat sembilan perusahaan yang dapat dikatakan sebagai pemain utama yaitu PT Salim Plantation, PT Golden Agri Resources, Texmaco Group, PT Asian Agri, PT Astra Agro Lestari Tbk, Hashim Group, Surya Dumai Group, PT PP London Sumatera Indonesia Tbk, Duta Palma Group dan PT Bakrie Sumatera Plantation. Kesembilan perusahaan raksasa ini memegang kontrol terhadap 2.920.102 hektar lahan sawit dengan proporsi terbesarnya dikuasai oleh PT Salim Plantation dengan total lahan 1.155.745 hektar (Hernanda dan Sihombing, 2007). Tiap tahunnya luasan perkebunan sawit selalu meningkat, sedangkan luasan lahan pertanian pangan makin menyempit. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang digulirkan sejak tahun lalu masih menjadi macan kertas apalagi program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. Keberpihakan program-program pemerintah hanya kepada perusahaan besar saja. Indikatornya sederhana, program agrofuel yang digulirkan pemerintah Amerika begitu cepat direspon, lahan-lahan disediakan dengan mudah bahkan dengan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 95 tahun, dan kemudahankemudahan perizinan. Bahkan departemen pertanian mencarikan lahan bagi PT. Medco yang siap menanami padi dengan sistem SRI (menanam padi dengan sistem intensifikasi), tidak tanggung Medco siap mendanai untuk lahan seluas 10.000 ha. Apa yang didapat oleh petani dan rakyat miskin? Tak lain adalah melonjaknya harga minyak goreng, harga beras yang naik turun, harga gula, susu dan terigu. Khsusus minyak goreng bahan mentah berupa minyak sawit lebih menguntungkan dijual ke pasar internasional dari pada memenuhi kebutuhan nasional. Inilah yang oleh Sritua Arif katakan bahwa kita ini dalam situasi ekonomi politik terjajah, cirinya (i) sebagai penyedia bahan baku bagi negara kaya,(ii) sebagai pasar hasil produksi negara-negara kaya,(iii) sebagai tempat berputarnya uang surplus dari perusahaan-perusahaan asing, yang di Indonesia kita sebut sebagai investasi.

Penanggung Jawab: Henry Saragih Pemimpin Umum: Zaenal Arifin Fuad Pemimpin Redaksi: Achmad Yakub; Dewan Redaksi: Ali Fahmi, Agus Rully, Tejo Pramono, M Haris Putra, Indra Lubis, Irma Yani; Redaktur Pelaksana: Cecep Risnandar Redaktur: Muhammad Ikhwan, Tita Riana Zen, Wilda Tarigan, Syahroni; Reporter: Elisha Kartini Samon, Susan Lusiana (Jakarta), Tyas Budi Utami (Jambi), Harry Mubarak (Jawa Barat), Muhammad Husin (Sumatera Selatan), Marselinus Moa (NTT). Sekertaris Redaksi: Tita Riana Zen Keuangan: Sriwahyuni Sirkulasi: Supriyanto, Gunawan; Penerbit: Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Alamat Redaksi: Jl. Mampang Prapatan XIV No.5 Jakarta Selatan 12790. Telp: +62 21 7991890 Fax: +62 21 7993426 Email: pembaruantani@fspi.or.id website: www.fspi.or.id

DAFTAR ISI
Agrofuel: pertarungan manusia melawan mesin Perjuangan petani di jalur Pantura APBN-P 2007 tidak berpihak pada rakyat UU Penanaman Modal digugat ke Mahkamah Konstitusi Impor Benih khianati petani Rakyat Korea melawan Free Trade Agreement (FTA)

6 8 10 11 12 14

Redaksi menerima tulisan, artikel, opini yang berhubungan dengan perjuangan agraria dan pertanian dalam arti luas yang sesuai dengan visi misi Pembaruan Tani. Bila tulisan dimuat akan ada pemberitahuan dari redaksi.

Pembaruan Tani - Juli 2007

UTAMA

AGROFUEL

Gelombang kedua involusi pertanian


Program agrofuel yang digembar-gemborkan pemerintah SBY dianggap menguntungkan petani dan lebih ramah terhadap lingkungan. Pertanyaannya petani mana yang diuntungkan? dan apakah agrofuel benar-benar lebih ramah terhadap lingkungan?
Sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu mengapa kami menggunakan istilah agrofuel bukannya biofuel. Sejumlah besar gerakan sosial dunia, mulai dari gerakan petani, gerakan lingkungan sampai pembela hak-hak binatang menanggapi skeptis terhadap istilah biofuel. Mengingat, setiap kata yang menggunakan bio mempunyai rasa yang lebih ramah pada lingkungan. Padahal, kenyataannya program biofuel yang diusung banyak pihak ini tidak lebih ramah terhadap lingkungan. Untuk lebih menghindari kerancuan itu, maka kami lebih memilih kata agrofuel. Sejak pemerintah mencanangkan produksi agrofuel, dengan keluarnya Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, banyak investasi yang ditanamkan ke sektor perkebunan pemasok bahan baku agrofuel, diantaranya tanaman kelapa sawit dan jarak pagar. Kebun-kebun baru dibuka, hutan-hutan dikonversi hamppir tanpa batas, para petani dibujuk untuk menanam jarak pagar tanpa ada jaminan jelas kemana harus menjual hasilnya. Dan propaganda tersebut rupanya berhasil, para petani mulai menanam jarak pagar, pembukaan perkebunan sawit tumbuh secara spektakuler. Tentu saja ini menimbulkan akibat yang serius bagi pertanian rakyat. Tengok saja di saat jumlah petani gurem dan petani tanpa lahan mengingkat drastis, dari 52,7 persen di tahun 1993 menjadi 56,5 persen di tahun 2003. Ditambah lagi, secara total jenderal dalam periode yang sama jumlah rumah tangga petani meningkat 2,2 persen per tahun. Sementara itu, menurut laporan BPS tahun 2001 perkembangan luas lahan pertanian tanaman pangan yang nota bene pertanian rakyat, terasa lambat yakni 7,77 juta hektar di tahun 1986 menjadi 7,79 juta hektar di tahun 2002 dengan kata lain hanya meningkat 0,2 persen. Gambaran tersebut jelas menunjukkan involusi di sektor pertanian. Artinya, masyarakat tani di pedesaan mengalami pemiskinan terus menerus karena kepemilikan lahan yang terus berkurang. Di sisi lain, dalam periode yang sama luas lahan perkebunan meningkat secara tajam yakni, 8,77 juta hektar pada tahun 1986 menjadi 16,71 juta hektar pada tahun 2000 atau meningkat hampir 100 persen. Perkebunan sawit menjadi pendorong utama pertambahan luas lahan perkebuanan ini. Apalagi ditambah dengan kebutuhan akan pasokan bahan baku biofuel bagi negara-negara di Eropa. Sekjen FSPI Henry Saragih, menguraikan bahwa sedikitnya 1,5 juta ton CPO asal Indonesia diekspor ke Eropa dan hampir separuhnya diubah menjadi agrofuel. Parlemen Uni Eropa telah mencanangkan, 5,75% dari bahan bakar kendaraan bermotor di sana akan diganti dengan agrofuel pada tahun 2010. Pada tahun 2020, angka itu akan ditingkatkan hampir dua kali lipat menjadi 10%. Ironisnya didalam negeri, rakyat menjerit dan menderita, karena harga minyak goreng jadi sangat mahal. Perusahaan-perusahaan besar pemilik perkebunan sawit rupanya lebih tertarik menjual CPO ke Eropa dibanding menjualnya di dalam negeri. Hal tersebut karena di Eropa, CPO ini diolah jadi pengganti BBM untuk mobil dan industri sehingga harganya menjadi lebih tinggi. Dari segi lingkungan hidup, agrofuel juga tidak memperbaiki apa-apa. Orangorang hanya fokus dalam masalah energi terbarukan saja. Pada kenyataannya, agrofuel adalah industri lapar lahan, dia harus mengkonversi jutaan hektar hutan dan merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati. Artinya, dampak kerusakan dan emisi karbon yang ditimbulkan akibat kerusakan itu jauh lebih besar. Padahal masih banyak energi alternatif yang bisa menggantikan minyak bumi selain agrofuel dan jelas-jelas sangat ramah lingkungan, seperti energi surya, angin, gelombang laut dan panas bumi. Jadi, siapakah yang paling diuntungkan dari program ini? Satu hal yang jelas perbaikan lingkungan tidak dan petani juga tidak. Menurut Deputi Kajian Kebijakan dan Kampanye FSPI, Achmad Ya'kub, di Indonesia dari total luas lahan sawit yang ditanami sebesar 5,5 juta hektar sebanyak 4 juta hektar (67 persen) dikuasai oleh perusahaan swasta besar sementara sisanya dikelola oleh perusahaan perkebunan kecil dan sangat sedikit sekali perkebunan rakyat. Masih menurut Ya'kub, dalam usaha perkebunan sawit ini terdapat sembilan perusahaan yang dapat dikatakan sebagai pemain utama yaitu PT Salim Plantation, PT Golden Agri Resources, Texmaco Group, PT Asian Agri, PT Astra Agro Lestari Tbk, Hashim Group, Surya Dumai Group, PT PP London Sumatera Indonesia Tbk, Duta Palma Group dan PT Bakrie Sumatera Plantation. Kesembilan perusahaan raksasa ini memegang kontrol terhadap 2.920.102 hektar lahan sawit dengan proporsi terbesarnya dikuasai oleh PT Salim Plantation dengan total lahan 1.155.745 hektar. Sialnya lagi, pemerintah Indonesia pun tidak memapu mengontrol perusahaan-perusahaan raksasa ini. Contohnya, ketika harga CPO dunia melambung, pemerintah tidak bisa membujuk perusahaan-perusahaan tersebut untuk menjual CPO-nya ke dalam negeri, akibatnya harga minyak goreng melangit dan rakyat menderita. Secara lebih umum lagi, dengan adanya kebijakan agrofuel ini sektor pertanian tanaman pangan yang banyak digarap warga semakin tersisih. Lahanlahan hanya disiapkan bagi investor besar saja, lama kelamaan rakyat kecil digusur dari ladang-ladangnya. Konflik agraria pun merebak dimana-mana, KPA mencatat ada 1.753 kasus konflik agraria yang melibatkan sekitar 10 juta penduduk. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukkan, terdapat 2.810 kasus skala besar (nasional), 1.065 di antaranya masih ditangani pengadilan dan 1.432 kasus masih berstatus sengketa. Bagi masyarakat tani, perkembangan agrofuel ini akan menjadi gelombang kedua involusi pertanian, setelah masa pertama yaitu ketika revolusi hijau dicanangkan di tahun 70-an. Sektor pertanian rakyat tidak akan berkembang maju malah terjadi sebaliknya, kemunduran yang terus menerus akibat kebijakan yang salah.

UTAMA

Pembaruan Tani - Juli 2007

Kebijakan Agrofuel Indonesia

Pelanggaran terhadap hak pangan


Isu perubahan iklim dan krisis bahan bakar yang berkembang belakangan ini, seakan menjadi pemicu meluasnya penggunaan bahan bakar nabati. Tapi apakah benar energi alternatif dari komoditas pertanian dapat menjadi obat mujarab yang menjawab berbagai permasalahan yang ada? Alih-alih menjadi panacea, agrofuel dapat menjadi bencana. Mayoritas tanaman energi dapat tumbuh dan berkembang baik di wilayah tropis dan subtropis. Sebagai salah satu negara tropis yang subur, saat ini di Indonesia pun tengah terjangkit demam agrofuel.Ekspansi perkebunan tanaman energi, kelapa sawit, jarak, dan tebu, ini sangat mengerikan. Bagaimana dampak ke depannya jika para petani memilih untuk beralih menanam tanaman energi dibandingkan menanam tanaman pangan, yang tentunya memberikan keuntungan lebih rendah dibandingkan tanaman industri? Permintaan yang tinggi akan tanaman energi ini datang terutama dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa (EU). Parlemen Uni Eropa menargetkan penggunaan agrofuel hingga 5,75 persen dari total bahan bakar pada tahun 2010, bahkan menargetkan hingga 10 persen pada tahun 2020. Bahkan Amerika Serikat yang dengan tegas menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto menargetkan penggunaan agrofuel mencapai 35 milyar galon per tahunnya dengan alasan demi mengurangi emisi rumah kaca. Walaupun jelas negara-negara ini tidak mampu untuk memenuhi target mereka jika hanya mengandalkan pertanian mereka sendiri. Dalam konteks Indonesia, topik agrofuel ini amat erat kaitannya dengan komoditas kelapa sawit. Sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar nomor dua di dunia, setelah Malaysia para produsen besar sawit dengan cepat mencium keuntungan yang dapat dihasilkan dari trend agrofuel ini. Kelapa sawit merupakan bahan baku agrofuel yang paling efektif. Pada tabel berikut dapat kita lihat sumbangan Indonesia terhadap pasokan CPO dunia. Pemerintah Indonesia pun bergerak cepat menanggapi situasi yang berkembang ini dengan mengeluarkan Perpres No.5/2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden tentang biofuel (BBN). Lewat kebijakan ini pemerintah Indonesia mencanangkan rencana perluasan perkebunan sawit sebesar 6 juta hektar lahan sawit untuk Program Biofuel pemerintah. Rencana besar ini melibatkan investor dari beberapa negara antara lain China, Singapura, Malaysia dan Indonesia sendiri. Pelanggaran Kedaulatan Pangan Rakyat Permintaan yang tinggi terhadap Crude Palm Oil (CPO) untuk agrofuel telah mendorong naiknya harga CPO di pasaran dunia dan menyebabkan kelangkaan di pasar lokal. Hal ini karena hampir semua produsen kelapa sawit memilih untuk mengekspor produksi mereka ke negara-negara maju ketimbang memenuhi pasar domestik.

Pembaruan Tani - Juli 2007

UTAMA

rakyat
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya hal ini amat sangat merugikan. Minyak kelapa sawit merupakan bahan baku utama untuk minyak goreng yang merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi hampir semua rumah tangga di Indonesia. Langkanya persediaan CPO di dalam negeri telah menyebabkan harga minyak goreng meningkat drastis dalam waktu singkat. Pada pertengahan Mei tahun 2007 ini harga minyak goreng meningkat 35 persen dari harga semula di awal tahun ini, dari sekitar Rp 6500 hingga mencapai Rp 10.000. Kenaikan harga ini tentu amat memberatkan bagi masyarakat kecil yang hampir 75 persen pengeluarannya dihabiskan untuk kebutuhan pangan. Kenaikan harga minyak goreng ini amat erat kaitannya kenaikan harga CPO di pasar internasional yang mencapai US$780 per tonnya pada pertengahan tahun ini, dari sebelumnya rata-rata harga CPO selama tahun 2005-2006 adalah US$500 per ton. Ini merupakan kenaikan harga CPO tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Sekurangnya 1,5 juta ton CPO dari Indonesia diekspor ke Eropa dan hampir semuanya diolah menjadi agrofuel. Para pengusaha yang bergerak di sektor ini tengah menikmati untung besar. Sementara di sisi lain ratusan orang harus rela mengantri berjam-jam demi mendapatkan minyak goreng dengan harga lebih murah yang diberikan pemerintah melalui Operasi Pasar sebagai usaha meredam kekacauan yang timbul di masyarakat akibat kelangkaan minyak goreng. Situasi ini mengindikasikan adanya persaingan antara kendaraan dengan manusia. Dan manusia serta lingkungan akan kalah dalam persaingan ini. Karena jelas bahwa para pemilik kendaraan jauh lebih

Nursery bibit kelapa sawit. Bibitnya saja sudah memakan lahan begitu luas bagaimana kalau gedenya?

kuat dibandingkan orang-orang yang menderita kelaparan. Selain dampaknya terhadap kenaikan harga minyak goreng dalam negeri, perluasan perkebunan kelapa sawit untuk agrofuel dapat dipastikan akan meningkatkan konflik lahan antara petani kecil dengan para pengusaha perkebunan sawit. Perkebunan sawit di Indonesia yang dimulai sejak jaman Belanda telah lama menjadi pemicu terjadinya berbagai konflik lahan di negeri ini. Sebagai contoh, di Sumatera Selatan saja dari 81 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang luas pencadangan arealnya mencapai 554.000 ha, seluruhnya terkait masalah sengketa lahan dengan penduduk setempat. Lahan yang menjadi sengketa dalam perkebunan besar kelapa sawit tersebut seluas 83 ribu ha atau 11% dari luas seluruhnya. Kebijakan yang dilakukan pemerintah terkait perluasan lahan perkebunan sawit untuk bahan bakar nabati semakin mempertajam

ketidakberpihakan pemerintah pada masyarakat kecil. Para petani membutuhkan untuk segera dilaksanakannya reforma agraria yang merupakan solusi mendasar untuk menjawab masalah ekonomi dan sosial yang semakin diperuncing dengan isu agrofuel yang berkembang pesat saat ini. Pelaksanaan reforma agraria juga penting dilaksanakan demi tercapainya kedaulatan pangan, agar baik para petani dapat memperoleh hak mereka untuk menentukan tanaman apa yang ingin mereka produksi tanpa dikontrol oleh para pengusaha agribisnis. Pemerintah di sisi lain perlu untuk turut memperjuangkan hak rakyatnya atas pangan dengan mencegah ketimpangan agraria dan sungguh-sungguh melaksanakan reforma agraria daripada terusmenerus memenuhi permintaan pasar dunia demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang semu. Elisha Kartini Samon

PENDAPAT

Pembaruan Tani - Juli 2007

Agrofuel: pertarungan manusia melawan mesin


HENRY SARAGIH SekjenFSPI
Seperti yang telah saya nyatakan sebelumnya di kolom opini Jakarta Post (26/6), petani di seluruh dunia saat ini sangat khawatir dengan perkembangan agrofuel. Dalam Nylni World Forum for Food Sovereignty (Februari 2007), La Via Campesina bersama ratusan organisasi lain menekankan bahwa prefiks 'bio' dalam biofuel tidak berarti bahan bakar nabati ini ramah lingkungan. Gamblangnya, istilah itu sangat menyesatkan dan secara politis tidak benar. Apa yang akan terjadi kemudian apabila memproduksi agrofuel lebih menguntungkan dibanding memproduksi beras, jagung, singkong, atau kedelai? Tentu saja, petani akan mengganti tanaman pangan mereka dengan tanaman agrofuel. Dalam bahasab teman saya, Joao Pedro Stedile dari Landless Workers' Movement of Brazil (MST) sebagai hukum kapitalisme. Dalam konteks Indonesia, kasus yang paling mencolok adalah pada komoditas kelapa sawit. Kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO) dan minyak goreng yang terjadi beberapa saat terakhir ini terkait pula dengan gencarnya penggunaan CPO sebagai agrofuel. Sebagai penghasil sawit nomor dua terbesar di dunia setelah Malaysia, para pengusaha sawit di Indonesia dengan cepat mencium adanya keuntungan besar yang dapat mereka peroleh dari tren yang sedang berkembang ini. Hal ini bisa dilihat dari rencana Indo Agri dan London Sumatera yang akan memperluas perkebunan mereka menjadi 250.000 hektar pada tahun 2015. Gayung bersambut, alasanalasan berlatar perubahan iklim dan pemanasan global menjadi pengukuhan bagi parlemen Uni Eropa untuk menargetkan penggunaan agrofuel mencapai 5, 75% dari total bahan bakar kendaraan pada tahun 2010 dan digandakan hingga mencapai 10% pada tahun 2020. Amerika Serikat juga menargetkan penggunaan agrofuel sebanyak 35 milyar galon per tahunnya. Padahal jelas lahan pertanian mereka tidak cukup untuk memenuhi target tersebut (Holt-Gimenez, 2007), sehingga harus mengimpor. Para pengusaha agribisnis di negara-negara tropis tempat tanaman sumber tenaga dapat tumbuh, pada akhirnya berlomba untuk memenuhi target Uni Eropa dan Amerika tersebut. Sementara harga minyak goreng, yang notabene berasal dari CPO, meroket. Rakyat negeri ini menderita karena pendapatan mereka terkuras untuk salah satu komoditas sembilan bahan pokok ini. Namun pelaku bisnis tetap cuek bebek, terus mengekspor CPO ke luar negeri. Pemerintah pun keok menghadapi perilaku agrobisnis seperti ini karena semua instrumen ad hoc-nya seperti Pajak Ekspor (PE) dan Domestic Public Obligation (DMO) relatif tak berhasil memecahkan masalah. Sedikitnya 1,5 juta ton CPO dari Indonesia per tahunnya diekspor ke Eropa, dan hampir seluruhnya diolah menjadi agrofuel. Hal ini mengindikasikan bahwa program agrofuel menciptakan persaingan antara kebutuhan industri mesin dan manusia. Pada akhirnya, Monbiot (2007) memprediksikan manusia dan lingkungan akan kalah. Selanjutnya, agrofuel tidak memberikan kontribusi yang signifikan, malah cenderung memperparah pemanasan global. Hal ini bisa dinyatakan lebih lanjut oleh Monbiot, dari kenyataan bahwa ternyata setiap ton minyak kelapa sawit yang diolah menjadi agrofuel selama prosesnya menghasilkan 33 ton emisi karbon dioksida (CO2) yang berarti sepuluh kali lebih besar dari emisi yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil. Persaingan ini akan menyebabkan dampak merusak pada sektor pertanian dan sistem pangan. Petani besar maupun kecil diseluruh dunia akan menangis bertahun-tahun menyaksikan akhir dari ketidakadilan struktur agraria. Dan, dalam konteks petani Indonesia, perkebunan kelapa sawit sebenarnya sudah memarjinalkan rakyat kecil sejak lama, persisnya sejak era penjajahan Belanda. Dalam model produksi kapitalisme, hanya sebagian kecil orang atau perusahaan yang nikmati 67 persen lahan untuk produksi pertanian. Situasi ini harus dihadapi. Petani membutuhkan solusi fundamental yakni reforma agraria, yang secara sosial ekonomi bisa merevolusi ketidakadilan agraria seperti yang telah digambarkan di atas. Secara hukum reforma agraria di Indonesia juga didukung oleh konstitusi (Pasal 33 ayat 3), dan UU Pokok Agraria No. 5/1960. Pertempuran melawan agrofuel, tentunya bukan hanya dilakukan petani saja. Kami membutuhkan anda, kaum buruh, pemuda, dan pencinta lingkungan, karena agrofuel akan menghancurkan lingkungan pada umumnya. Terakhir, konsumen dan masyarakat pada umumnya diharapkan untuk menyuarakan kebutuhan kita ini. Karena, tanpa perlawanan terhadap model kapitalisme yang melahirkan tren agrofuel ini kita akan kehilangan pangan dan hidup kita.

Pembaruan Tani - Juli 2007

PENDAPAT

KARIKATUR

Karikatur diatas ,menjelaskan proses pembuatan biofuel/agrofuel. Untuk membuat agrofuel perlu lahan yang luas, dan intensifikasi pertanian dengan berbagai pupuk kimia dan obat-obatan yang hanya bisa dikerjakan oleh perusahaanperusahaan besar. Dalam pengolahannya memerlukan banyak bahan bakar lagi. (Sumber: www.treehugger.com)

NASIONAL

Pembaruan Tani - Juli 2007

TANAH UNTUK RAKYAT

Perjuangan petani di jalur


Uthem Kitri Madhem Sudagri Kunis Wicakri (orang hidup yang paling utama menanam, yang menengah berdagang, dan yang paling rendah menjadi buruh)
Jalur Pantura merupakan jalan nasional sepanjang 1.316 km yang terletak dibagian utara pulau jawa. Jalan ini melewati setidaknya 5 provinsi yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Secara historis, jalur pantura merupakan jalan yang dibangun oleh Daendles untuk menghubungkan bagian barat hingga bagian timur pulau Jawa. Tak heran, jalur pantura memegang peranan penting dalam proses transformasi pembangunan baik itu secara ekonomi ataupun secara sosial. Sudah sejak lama Pantura dikenal sebagai wilayah lumbung padi Jawa Barat. Topografi dan kondisi cuaca di Pantura memungkinkan petani mengusahakan lahannya seoptimal mungkin untuk menghasilkan padi dan produk palawija. Selain itu, letaknya yang strategis, membuat jalur Pantura diminati oleh para investor untuk meluaskan usahanya. Terbukti, jumlah kawasan industri jalur Pantura semakin meningkat. Hal ini membuahkan perubahan pada pola pendapatan masyarakat Pantura. Lambat laun kebudayaan indusrialis menjadi hasil dari tranformasi struktur ekonomi di wilayah ini. Ekspansi industri dikawasan Pantura, telah membuahkan angka konversi lahan yang cukup tinggi. Kondisi ini telah merubah pola produksi masyarakat, dari masyarakat agraris ke masyarakat industrialis. Sayangnya, perubahan pola pendapatan masyarakat industrialis ini tidak disertai dengan penguatan di sektor pertanian. Terdapat hubungan zero sum game dalam komposisi sektor di jalur pantura ini, artinya, ketika salah satu sektor tumbuh, maka sektor lainnya akan mundur. Dalam hal ini, ketika sektor industri tumbuh pesat, sektor pertanian malah semakin mundur dan tidak mampu menopang roda perekonomian. Celakanya, tercatat beberapa kasus yang menunjukkan adanya ketidakmampuan masyarakat pantura dalam mengakses pangan, padahal, pantura dikenal sebagai lumbung padi. Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor industri sama sekali tidak didukung oleh sektor pertanian yang tangguh. Konversi lahan sawah yang tinggi merupakan akibat dari perluasan sektor industri dan jasa di jalur Pantura ini. Tercatat 110.000 hektar sawah dikonversi ke lahan nonpertanian tiap tahunnya (19992002). Sebagian besar konversi lahan terjadi di Jawa, terutama di Jalur Pantura. Jelas, kondisi ini mengancam kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih jauhnya lagi kondisi ini telah semakin menekan petani untuk keluar dari sistem ekonomi itu sendiri. Keterbatasan kemampuan dan pendidikan menyebabkan petani tidak diterima dalam sektor Industri, sementara itu, petani justru semakin ditekan dengan ketidakmampuannya dalam mengakses sumber-sumber agraria. Secara luasan panen, Jawa merupakan sarangnya petani. Namun, dalam kondisi realnya justru jumlah petani di Jawa sangat sedikit, yang ada justru buruh tani yang menjadi penggarap lahan. Realitas ini terlihat pada kepemilikan lahan didua desa di Kabupaten Batang. Desa Tegal sari dan Depok merupakan dua desa di Jalur Pantura yang masih memiliki luasan sawah yang relatif lebih luas dibandingkan daerah sekitarnya. Terdapat sekitar 350 hektar sawah yang masih bertahan didua desa ini. Penguasaan lahan sawah ini hanya terkonsentrasi pada ahli waris 3 keluarga ningrat dan beberapa persil tanah milik desa (Bondo Deso) yang terkadang hanya dikuasai oleh para birokrat desa saja. Kondisi real yang ada adalah ketidak mampuan petani dalam mengakses penguasaan lahan tersebut. Bahakan hanya untuk menggarap pun petani tersandung pada permasalahan legal politik dan sosial. Inilah yang menyebabkan pertanian sudah tidak bisa dijalankan dengan optimal, petani yang terserap kedalam industri menjadikan pertanian hanya sebagai sampingan, sementara itu petani yang tidak terserap menjadi semakin tertindas karena harus membayar sewa yang tinggi kepada para tuan tanah yang menguasai lahan pesawahan. Kuatnya pengaruh feodalisme yang disertai dengan ulah birokrat desa yang aji mumpung telah membelenggu perjuangan para petani di kedua desa ini. Belum lagi kondisi sosial psikologis masyarakat semi industrialis telah berpengaruh dalam solidaritas petani di dua desa ini. Kendala yang besar baik dari internal ataupun eksternal organisasi tani menghasilkan perjuangan yang sangat alot. Meskipun demikian, dibeberapa titik petani setidaknya telah mendapatkan hak garapan meskipun petani harus menyewa. Di desa Tegal sari, terdapat 150.8 hektar lahan sawah yang masih diperjuangkan status penguasaannya oleh para petani. Awalnya, lahan ini merupakan lahan bekas kebun tebu yang diberikan kepada desa untuk dijadikan tanah bondo deso, lalu ada oknum pegawai desa yang mengatas namakan dirinya sebagi penguasa lahan dan menjual lahan ini kepada sekelompok orang. Sisa lahan yang diakui sebagai hak milik dan sudah dijual kepada segelintir orang tersebut kemudian dijadikan tanah kas desa, bukannya dibagikan kepada petani. Sehingga saat ini petani hanya bisa

Pembaruan Tani - Juli 2007


Doc. FSPI

NASIONAL

pantura
menyewa lahan tanah kas desa dan lahan yang dimiliki oleh para tuan tanah tersebut. Perjuangan secara legal sudah dilakukan oleh anggota kelompok tani di desa tersebut, namun putusan hukum lebih berpihak pada kaum penguasa feodal. Meskipun demikian, sempat terjadi kesepakatan dengan perwakilan dari ahli waris keluarga ningrat untuk memberikan kesempatan kepada petani untuk mengangsur tanah yang petani garap, sehingga suatu saat petani akan mendapatkan hak milik atas tanah tersebut. Namun, hal tersebut tidak memungkinakan bagi petani mengingat pemilik lahan menghargai lahannya dengan harga yang sangat tinggi. Justru sekarang ini, petani ditakut-takuti dengan adanya pengukuran lahan sawah yang digarap oleh petani oleh perwakilan ahli waris keluarga nigrat tersebut. Saat ini masih ada 42 hektar tanah yang justru dikukasai oleh pemerintah daerah kabupaten dan pemerintah desa yang sebenarnya merupakan hak rakyat. Berbeda dengan desa Tegal sari yang sudah banyak mendapatkan pengikisan budaya agraria akibat meningkatnya sektor industri, proporsi masyarakat desa Depok yang masih menggantungkan hidupnya di sektor pertanian masih lebih banyak. Namun, permasalahn tanah juga masih menjadi kendala. Dari 205 hektar lahan sawah yang seharusnya dibagikan kepada petani, saat ini tinggal tersisa 33 hektar sawah saja yang saat ini digarap oleh petani. Sisanya dikuasai oleh para tuan tanah dan sebgaian besar telah berubah menjadi pemukiman, pertokoan, dan kantor-kantor pemerintahan. Berbeda dengan desa Tegal sari, para petani di desa Depok berhasil menempati lahan sawah tersebut tanpa harus menyewa. Karena awalnya status tanah merupakan tanah milik pemerintah daerah maka

Biaya produksi pertanian semakin mahal, ini dirasakan oleh petani Pantura
pada tahun 1998 petani berhasil mendesak pemerintah untuk membagikan hak garap lahan kepada petani dengan perjanjian bagi hasil untuk kepentingan pembangunan desa. Namun, dalam perjalanannya pemerintah desa seringkali membohongi para petani dalam hal bagi hasil ini. Uang hasil bagi hasil bukan digunakan untuk pembangunan desa, melainkan dijadikan sebagai alat untuk menumpuk kekayaan aparat desa. Selain hambatan yang berasal dari aparat desa, pertanian di desa ini juga terancam dengan adanya penjualan kembali lahan yang sudah mendapatkan surat kuasa garap tersebut secara ilegal. Hal ini dikarenakan oleh semakin tidak menjanjikannya tingkat pengembalian dari sektor pertanian sawah ini. Dari gambaran perjuangan yang dilakukan oleh petani pantura tersebut bisa dimengerti bahwa kendala perjuang petani saat ini sangat besar. Perubahan psikologis masyarakat dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industrialis telah mempengaruhi pola pandang akan pentingnya pertanian dan lahan pertanian bagi keberlanjutan kehidupan. Selain itu, masih kentalnya kekuasaan warisan feodalisme serta mental kesewenangan birokrat telah menjadi batu sandungan perjuangan tani. Masyarakat Jawa yang pada dasarnya memiliki falsafah bertani, justru malah semakin tergerus dengan semakin meningkatnya perluasan kawasan industri yang justru ltidak mensejahteraan sebagian besar golongan masyarakat yang ada dijalur pantura ini. Hal ini jelas menyalahi perkembangan ekonomi yang mensyararatkan adanya transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri yang disertai juga dengan transformasi sosial masyarakatnya. Dari kasus ini, disatu sisi perubahan kontribusi berubah ke sektor industri, disisi lain secara interaksi dan budaya, masyarakat masih memiliki psikologis dan kemampuan agraria. Parahnya, masyarakat yang masih membutuhkan agraria ini semakin ditekan dengan adanya konsentrasi penguasaan lahan yang sangat timpang. Secara otomatis, paradigma pembangunan yang tidak menjadikan tanah untuk petani tidak akan membawa masyarakat kedalam suatu pembangunan yang menghasilkan kesejahteraan. Tegasnya, suatu program redistribusi tanah kepada petani yang diikuti proses-proses sosial ekonomi yang mapu memberikan insentif bagi pertanian mutlak harus dilaksanakan. Jika tidak, kehidupan rakyat akan keropos dan tinggal menunggu kehancuran. Susan Lusiana | Syahroni

10

NASIONAL

Pembaruan Tani - Juli 2007

UNDANG-UNDANG

APBN-P 2007 tidak berpihak pada rakyat


Kebijakan pemerintah menambah utang baru dalam Anggaran Perencanaan Belanja NasionalPerubahan ( APBN-P )2007 jelas sangat merugikan. Penambahan utang sebesar Rp 2,8 triliun dalam APBN P 2007 jelas bertolak belakang dari janji pemerintah untuk melepaskan ketergantungan terhadap utang luar negeri. Hal tersebut mengemuka dalam aksi protes FSPI, Walhi, SP, LSADI dan sejumlah organisasi lainnya yang tergabung dalam Koalisi Anti Utang (KAU) di depan kantor Menteri Keuangan, Jakarta (31/7). Pinjaman program yang semula direncanakan Rp 16,3 triliun pada APBN 2007, meningkat jadi Rp 19,1 triliun yang berasal dari pinjaman ADB dan Bank Dunia. Padahal selama ini dari US$365 miliar total komitmen utang luar negeri pemerintah, yang bisa dicairkan hanya US$162 miliar sampai akhir Juni 2005. Kondisi tersebut semakin menambah beban pemerintah melalui pembayaran commitment fee sebesar US$24 miliar hingga tahun 2005. Hal
Doc. FSPI

ini terjadi meskipun total komitmen utang tersebut sebagian besar belum dicairkan. Melihat kondisi demikian, penambahan utang baru bukanlah solusi tepat. Seharusnya pemerintah menghapus komitmen utang yang belum dicairkan sehingga alokasi untuk membayar commitment fee dapat digunakan untuk menutup defisit APBN P 2007. Ditempat terpisah, Sekjen FSPI Henry Saragih mengatakan dalam Nota Keuangan (NK) RUU APBNP 2007 terlihat jelas sikap pemerintah yang memandang pertanian hanya sebagai sektor yang menyumbang devisa negara saja. Pandangan tersebut telah membuat pemerintah hanya melihat potensi ekspor sektor pertanian. Utamanya terlihat ketika pemerintah menjadikan tanaman karet dan kelapa sawit sebagai prioritas kebijakan. Padahal, kedua jenis tanaman ini tidak pernah memberi keuntungan bagi para petani yang umumnya hanya menjadi buruh di perkebunan-perkebunan karet dan kelapa sawit yang dikuasai oleh

perusahaan-perusahaan agribisnis besar. Selain itu, kami memandang bahwa kebijakan ini hanya akan menjauhkan usaha rakyat menegakkan kedaulatan pangan dan sumbersumber agraria yang bermanfaat bagi rakyat banyak. "Kebijakan yang dituangkan dalam NK-RUU APBN-P 2007 ini jelasjelas tidak berpihak kepada masyarakat pada umumnya dan petani pada khususnya," ujar Henry. Ketidak berpihakan kebijakan pemerintah kepada petani khususnya petani kecil yang merupakan mayoritas (56,5%) rumah tangga tani di Indonesia, amat berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor pertanian. Hal ini bahkan jelas-jelas termuat dalam NK-RUU APBN-P 2007 yang menggambarkan betapa pertumbuhan sektor pertanian telah menurun drastis dari 6,4% pada triwulan I tahun 2006 menjadi -0,5% pada triwulan I tahun 2007 ini. Cecep Risnandar

Pembaruan Tani - Juli 2007

NASIONAL
Doc. PEMBARUAN TANI

11

UNDANG-UNDANG

UU Penanaman Modal digugat ke Mahkamah Konstitusi


Ratusan massa aksi berdemonstrasi menggugat UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal di depan gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (5/7). Massa Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dan organisasi lainnya yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme dan Imperialisme (Gerak Lawan) tersebut menuntut Mahkamah Konstitusi untuk mencabut UU Penanaman Modal dengan mengajukan Judicial Review. Menurut massa aksi, Undangundang Penanaman Modal banyak mengandung tiga kecacatan utama. Pertama, UU ini tidak mengedepankan kepentingan nasional justru melayani internasionalisasi modal serta bertentangan dengan konstitusi RI dengan memfasilitasi modal asing menguasai produksi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak (semesta rakyat/warga negara Indonesia). Kedua, UU ini tidak melindungi hak atas pekerjaan rakyat Indonesia, khususnya kaum buruh yang dengan mudah terkena PHK akibat perusahaanya tutup karena pindah lokasi usahanya (capital flight). Ketiga, UU ini akan memperparah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan aktor negara dan aktor non-negara, khususnya korporasi. Selain itu, UU Penanaman Modal ditengarai pesanan dari Bank Dunia sebagaimana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air lewat proyek WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan), atau Rancangan Undang-undang Sumberdaya Agraria lewat proyek LAP (Land Adminitrasi Project), yang secara vulgar lebih memprioritaskan kepentingan modal internasional ketimbang kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, Strategi pembangunan yang mengandalkan pada kucuran investasi asing seperti

Aksi petani, buruh, mahasiswa dan pemuda memprotes RUU Penanaman Modal, di depan Mahkamah Konstitusi, Kamis (5/7)
ini akan berdampak pada upah buruh murah sebagai keunggulan komparatif, perampasan tanah rakyat dan terjadinya kemiskinan serta kekerasan struktural secara massif. Strategi ini diambil pemeintah karena memang struktur kekuasaan nasional tidak terletak di Jakarta, melainkan di kantor-kantor pusat lembaga keuangan internasional dan perusahaan-perusahaan transnasional. Pengadilan Rakyat Beberapa perwakilan massa aksi didampingi tim pengacara menemui Mahkamah Konstitusi untuk menyerahkan materi gugatan. Setelah itu, massa aksi menggelar pengadilan rakyat didepan gedung Mahkamah Kosntitusi. Hakim Ketua pengadilan rakyat yaitu, Jhonson Panjaitan dari PBHI membuka pengadilan dengan menghadirkan saksi-saksi dari FSPI, FSJB, Solidaritas Perempuan dan lainlainnya. Sekjen FSPI Henry Saragih, dalam kesaksiannya mengatakan bahwa UU Penanaman Modal sudah menindas rakyat tani. Dalam UU tersebut, Hak Guna Usaha (HGU) bagi perusahaanperusahaan perkebunan dan Kehutanan bisa diperpanjang sampai 95 tahun. Padahal, di massa penjajahan saja maksimal 70 tahun. UU ini mempunyai watak kolonial bahkan lebih kejam dari penjajahan itu sendiri, ujar Henry. Lebih jauh Henry menegaskan, UU Penanaman Modal akan menjadikan rakyat sebagai kuli di negeri sendiri. Kaum tani dan kalangan rakyat lainnya makin sengsara. Biaya sosial yang ditimbulkan oleh UU ini telah menyebabkan ribuan konflik agraria, kekerasan terhadap petani, perusakan lingkungan dan pemiskinan terhadap rakyat. Mahkamah Konstitusi harus berani mencabut UU Penanaman Modal. Pemerintah juga harus segera menyelenggarakan ekonomi nasional yang mandiri untuk kesejahteraan rakyat dengan melaksanakan Pembaruan Agraria dan membangun industri nasional yang kuat sesuai amanat UUD 1945, tegas Henry. Atas dasar itu, berbagai organisasi rakyat dan LSM merapatkan barisan dan menuntut pencabutan UU Penanaman Modal demi terwujudnya kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat banyak. Gerak Lawan terdiri dari, FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia), ABM (Aliansi Buruh Menggugat), FSBJ (Federasi Serkat Buruh Jabotabek), PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia), API (Aliansi Petani Indonesia), FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia), STN (Serikat Tani Nasional), FMN (Front Mahasiswa Nasional), SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia), Bina Desa Sadajiwa, KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), KAU (Koalisi Anti Utang), Solidaritas Perempuan, IGJ (Institute for Global Justice), ASPPUK, SHMI (Suara Hak Asasi Manusia Indonesia), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), KAM (Kesatuan Aksi Mahasiswa) LAKSI 31, SAINS (Sayogyo Indtitute), LS ADI. Cecep Risnandar

12

NASIONAL

Pembaruan Tani - Juli 2007

PEMBANGUNAN PERTANIAN

Impor benih khianati


Menyikapi masalah pertanian secara umum dan secara khusus atas fenomena impor benih pertanian pada sebulan terakhir ini, ada beberapa hal kritis dan penegasan informasi dari Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) sebagai organisasi kaum tani. Tanah, air dan benih digolongkan terhadap sumbersumber agraria produktif yang seharusnya dimiliki langsung oleh petani. Terkait secara konstitusi dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 (naskah asli), kesemuanya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rencana pemerintah untuk mengimpor benih hibrida (terutama padi) sebesar 1.000-1.200 ton untuk hanya untuk mengejar produktivitas sangat disayangkan. Mengenai benih dan terkait dengan pertanian, kami menegaskan sebagai berikut: Pertama, bahwa produktivitas tidak bisa dikejar dengan intensifikasi belaka. Usaha pemerintah untuk menambah produksi beras hingga 2 juta ton pada tahun ini tidak akan terlaksana jika tidak ada ekstensifikasiatau penambahan lahan pertanian. Untuk itu, reforma agraria adalah jalan satu-satunya. Reforma agraria juga bukan hanya redistribusi atau bagi-bagi lahan (landreform), namun juga menyangkut sumber-sumber agraria produktif seperti yang telah dikemukakan di atas. Menurut hemat kami, untuk membangun pertanian Indonesia menuju kedaulatan pangan, industri benih adalah hal yang pokok dipenuhi negara agraris. Menurut petani, dengan penambahan lahan kita tidak perlu intensifikasi dan input berlebihan. Dalam konteks benih, jika tidak tersedia benih unggul dari pabrik, kita bisa mengembangkan benih unggul dari kearifan lokal. Tercatat puluhan ribu varietas tanaman pangan yang siap dikembangkan di Indonesia, namun tidak didukung oleh pemerintah. Kita cenderung bertindak responsif dan tidak sesuai kebutuhan petani sendiri, sehingga banyak terjadi kasus impor (impor beras, benih, pupuk, pestisida). Selain menguras dana negara, hal ini juga tidak berkesinambungan karena mengakibatkan benih-benih di tingkat lokal yang dikembangkan secara mandiri terancam oleh benih impor. Selanjutnya, pengembangan benih di tingkat lokal tersebut jadi lesu. Kedua, menyangkut mode produksi pertanian. Pertanian kita dicengkeram oleh mode agribisnis yang intinya berkutat pada skala ekonomi pertanian. Pada akhirnya, prakteknya berdampak pada salah kaprah di tingkat lokal. Dalam kasus benih, untuk mengejar keuntungan petani diiming-imingi hasil yang tinggi sehingga terbuai menggunakan benih hibrida. Dalam beberapa kasus, Departemen Pertanian dan PPL malah jadi sales benih hibrida produk perusahaan. Padahal dalam praktek lapangan, benih hibrida belum tentu bisa secara bombastis memberikan produksi atau keuntungan besar bagi petani. Mode produksi yang juga warisan kolonial ini juga sangat membebani petani, terutama karena petani harus terus membeli (menjadi end-user). Benih, harus beli bibit unggul. Pupuk, harus beli urea, atau produk pabrik yang lain. Racun (herbisida, pestisida) juga harus beli lagi. Akibatnya, petani menjadi tergantungdan alih-alih dapat untung, malah jadi rugi. Di Karawang, Subang dan Cirebon dilaporkan petani anggota FSPI yang terjerat utang karena memilih mode produksi pertaniain seperti ini. Dari studi FSPI, tercatat rata-rata 45.4 persen modal petani terutama komoditas padi dihabiskan untuk membeli input luar yang mahal, termasuk benih, pupuk, dan racun. Keuntungan dari mode produksi agribisnis ini tidak sedikitpun jatuh ke tangan petani kita, namun ke produsen agrokimia yang merupakan perusahaan-perusahaan besar. Di tingkat dunia, ada Dupont, Monsanto, Syngenta, Bayer, Limagrain, Dow dan Aventis, yang menguasai 7.215 milyar US$ tiap tahunnya! Pemain di Indonesia pun sama. Tercatat produsen utama benih di Asiatermasuk Indonesiaadalah Bayer, Dupont, East-West Seeds, Monsanto, Syngenta, yang terus meraup laba dan mengisap petani kita. Kasus-kasus ini meniadakan kearifan lokal dan keluhuran budaya Indonesia dalam sektor pertanian. Dulu, pertanian tidak harus mengeluarkan banyak modal. Dengan menguasai semua sumber agrarianya termasuk benih di tingkat lokal, petani bisa secara efektif dan efisien mengelola pertanian berbasis keluarga. Pada saat ini, mode produksi alternatif yang menawarkan benih di tingkat lokal, pertukaran benih, bank benih, dan penangkaran benih unggul dengan kearifan lokal sudah dimulai. Selanjutnya, pertanian organik juga bisa menjadi pilihan karena rendah asupan namun produktivitas tetap bisa dijaga. Ketiga, menyangkut prioritas pembangunan. Secara jangka panjang, industri benih (unggul) harus dimasukkan dalam rencana kerja pembangunan pertanian. Dengan 44 persen lebih angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian, dukungan alam, warisan budaya, serta kebutuhan pangan Indonesia yang besar maka layaklah Indonesia mengandalkan pertanian sebagai prioritas pembangunan. Tidak seperti saat ini, pertanian Indonesia dan petaninya sendiri yang didominasi produsen kecil

Pembaruan Tani - Juli 2007

NASIONAL 13

petani
(subsisten, berlahan kecil, buruh tani) berada dalam kondisi kritis. Dilihat dari logika anggaran (APBN) pun, pertanian bersama kehutanan, perikanan dan kelautan hanya diberi alokasi sebesar 10.5 trilyun rupiah. Bandingkan dengan sektor indusri, konstruksi, transportasi dan ekonomi lainnya (26.2 trilyun) atau pertahanan (32.7 trilyun). Untuk itu, dalam masalah benih ini FSPI memandang bahwa: (a) Jika ingin menghasilkan benih unggul, harus benarbenar dari keinginan petani dan petani sebagai subjeknya, bukan menjadikan kaum tani sekadar end-user atau konsumen belaka (b) Negara dengan perpanjangan tangan pemerintah harus memproduksi benih unggul sendiri, bisa dengan membuat BUMN atau koperasi benih yang distribusinya hingga ke tingkat lokal. Jangan biarkan benih dikuasai perusahaanperusahaan raksasa (c) Jika stok benih unggul belum memadai seperti alasan impor baru-baru ini, hendaknya diberikan batas waktu sampai kapan impor diberlakukan. Hal ini berguna untuk mematok target kemandirian pasokan benih untuk kemajuan pertanian Indonesia. Misalnya benih impor hanya bisa bertahan beberapa tahun ke depan (3 hingga 5 tahun saja), selanjutnya harus mandiri! (d) Menggalakkan bank benih, atau pertukaran benih di tingkat lokal dengan merujuk kearifan lokal dan budaya Indonesia atas dasar gotong-royong (e) Dan akhirnya, sektor pertanian harus menjadi prioritas pembangunan. Dengan struktur tanah yang subur, air yang melimpah dan kekayaan alam yang seakan tiada habisnya, negeri yang gemah ripah loh jinawi ini sangat visible menjadikan pertanian sebagai basis ekonomi. Rakyat dan negara harus berdaulat dan menguasai pertanian dari hulu hingga hilir. Mengutip dari Sajogyo, ahli sosiologi pertanian kita, bahwa benih, sebagai salah satu produksi akhir dari industri pertanianharuslah dimiliki petani sendiri!

FSPI berikan santunan kepada petani Alas Tlogo


Tragedi 30 Mei 2007 yang merenggut nyawa 4 petani dan membuat luka luka beberapa petani lainnya di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan Jawa Timur karena kekerasan, penembakan oleh aparat Marinir TNI Al menyisakan banyak persoalan yang dampaknya masih dirasakan oleh warga sampai hari ini. Kepedihan anggota keluarga korban dengan meninggalnya para korban akibat ditembak tentara semakin bertambah. Dengan meninggalnya Pak Sutam, Rohman sangat berpengaruh terhadap perekonomian keluarga mereka karena dua orang tersebut merupakan tulang punggung kehidupan keluarga. Begitu juga dengan anak dari Mistin dan Khotijah, meninggalnya ibu mereka akan berpengaruh pada perkembangan psikologis mereka, karena dalam usia anak anak peran ibu sangat penting. Tragedi penembakan itu juga menimbulkan trauma bagi warga terutama pada anak-anak dan para ibu, mereka seperti ketakutan kalau melihat ada tentara lewat di desa mereka. Sebagai ormas tani nasional FSPI dan SPJT anggotanya di Jawa Timur yang mempunyai tujuan membangun demokratisasi dan keadilan bagi kaum tani, secara moral terpanggil untuk membela ( advokasi ) warga Alas Tlogo korban penindasan dan kekerasan oleh militer. Selain advokasi yang dilakukan dalam bentuk aksi-aksi untuk mendukung warga dan menekan negara untuk segera menyelesaikan kasus kekerasan dan sengketa agraria di Alas Tlogo, FSPI dan SPJT juga memberikan bantuan kemanusiaan bagi keluarga korban. Bantuan diberikan dalam bentuk santunan untuk kelurga korban, bantuan juga diberikan untuk membantu kas desa sebagai logistik perjuangan. Penyerahan bantuan di wakili oleh anggota SPJT kepada Imam Sugnadi Kades Alas Tlogo tanggal 29 Juli 2007 di rumah Kades, setelah itu bersama sama mengunjungi rumah kelurga korban dan menyerahkan santunan. Basuki

14 INTERNASIONAL

Pembaruan Tani - Juli 2007

PERDAGANGAN BEBAS

Rakyat Korea melawan


Setelah dibukanya perjanjian pasar bebas antara US Korea, saat ini pemerintah Korea bersama dengan Uni Eropa juga melakukan perjanjian pasar bebas Korea Uni Eropa (FTA Korea EU). Bagi Uni Eropa, Korea merupakan pasar yang sangat potensial, disamping wilayah lainnya yaitu ASEAN, Asia selatan, Amerika latin dan India. oleh karena itu EU meminta supaya pemerintah negara negara tujuan pasarnya harus menghapus semua halangan/rintangan yang membuat pasar EU tidak berjalan, dan EU mendesak supaya pasarnya segera dibuka. Dalam jaringan yang dibentuk oleh 16 negara Uni Eropa, seatle to Brusel network, memuat strategi yang
Wilda/PEMBARUAN TANI

dilakukan EU yang ditujukan bagi negara negara tujuan untuk membangun pasar bebas mereka yaitu ; mengangkat issu lingkungan, kesehatan, kemampuan pasar/ daya beli konsumen, hak kekayaan intelektual (HAKI), jasa dan investasi dan persaingan. Mengapa semua isu tersebut dijadikan strategi oleh EU ? alasannya adalah negara negara berkembang sekarang sedang pesat dan berlomba lomba melaksanakan pembangunan, maka sangat membutuhkan dukungan dalam hal investasi, perbaikan pelayanan publik, dll. Paska matinya perundingan WTO, maka target para pengusung pasar bebasr sendiri adalah menghidupkan pasar pasar bilateral, yaitu perjanjian

Konferensi anti perdagangan bebas di Busan, Korea selatan

kerjasama pasar bebas antar negara (di Indonesia sendiri sudah mulai dibuka hubungan Jepang, dan segera akan dibuka dengan Amerika Serikat). Dalam mandat yang dalam kerjasama EU dengan Korea memuat tentang investasi, kompetisi, non-tarif, fasilitas publik, HAKI dan jasa. FTA merupakan WTO plus, karena perjanjian perjanjian yang dibuat tidak diatur dalam sistem global tapi lebih pada hubungan dua negara. Bagi pemerintah Korea, alasan membuka FTA EU Korea adalah untuk meningkatkan GDP (grouth domestic produc) sebanyak 0,7 %. Tapi kenyataanya, GDP-Korea hanya meningkat 0,2 %. Korea tidak pernah membuka pasar dengan EU, tapi sebaliknya EU-lah yang membuka pasarnya dengan Korea. Sebelum dibukanya pasar bebas dengan EU, sekitar 16% produk Korea sudah masuk ke EU, karena itu EU takut kehilangan pasarnya. Korea mengirim produk elektronik dan komputer ke EU, tapi pasar itu hanya dikuasai oleh para konglomerat. Dibukanya FTA EU Korea juga berarti akanterjadi ekspansi investasi ke Korea, yang juga berarti industri akan dikuasai EU, dan mengurangi pasar industri Korea ke EU. Melemahnya industri Korea yang juga akan mengakibatkan semakin banyak buruh yang kehilangan pekerjaan. FTA US Korea mengakibatkan banyak petani da peternak yang mengalami kebangkrutan, dan bagi petani di Korea, kehancuran dunia pertanian juga merupakan kehancuran bagi proses re-generasi dunia pertanian mereka, baik dari sisi budaya bertani maupun profesi sebagai petani. Pasalnya, anak anak muda Korea kini tidak berkenan berprofesi sebagai petani. Karena bagi kalangan muda, hidup sebagai petani tidak menjamin kesejahteraan mereka, parahnya lagi, remaja putri Korea

Pembaruan Tani - Juli 2007


Doc. FSPI

INTERNASIONAL

14

FTA
tidak berkenan dipersunting oleh pemuda tani, sehingga banyak dari pemuda tani memilih mendapatkan istri dari negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, Fhilipina dan beberapa negara miskin di wilayah Asia lainnya. Seperti yang disampaikan Kim, ketua KWPA (Korean Woman Peasant Assosiation), bahwa perkawinan antar bangsa tersebut banyak melahirkan tindak kekerasan dalam rumah tangga, yang dialami oleh perempuan imigran tersebut. Karena para istri tereksploitasi sebagai pekerja di lahan pertanian dan sebagai buruh di rumah tangga mereka. Banyak kasus mereka mendapat perlakuan kasar atau di pukul oleh pasangannya apabila dianggap kurang becus mengelola pertaniannya, sedangkan di sisi lain, undang undang negara tidak mampu memberikan perlindungan terhadap mereka. Langkah langkah perlawanan yang akan dilakukan oleh gerakan rakyat Korea salah satunya adalah membentuk Forum Sosial rakyat Korea melawan Perjanjian pasar bebas (Anti FTA -WTO Forum). Aliansi ini merupakan salah satu alternatif perjuangan bersama seluruh rakyat Korea dalam melawan arus neoliberalisme. Forum sosial rakyat korea melawan FTA ini merupakan aliansi dari berbagai sektor gerakan rakyat di Korea, seperti; sektor petani, buruh, nelayan, konsumen, pencinta lingkungan, perempuan, kelompok penyedia katering sekolah, dan pemuda. Forum ini juga bertujuan untuk membangun aliansi internasional terhadap anti FTA dan WTO, karena harus disadari bahwa FTA ini merupakan WTO jilid II dan jauh lebih berbahaya dari WTO. Karena FTA tidak memuat aturan dan perjanjian mengikat secara global tetapi mampu berselimut dibalik

istilah hubungan persahabat antar negara, akan tetapi memuat prinsip dan kepentingan yang sama diusung oleh WTO. perempuan Korea Selain forum sosial rakyat tersebut, membangun solidaritas rakyat juga merupakan langkah strategis dalam melawan neoliberalisme. Salah satunya seperti yang baru di deklarasi oleh kalangan perempuan Korea, yaitu forum solidaritas perempuan Korea. Mengapa perempuan membentuk forum solidaritas secara khusus? Menurut Ibu Kimshelee, salah satu inisiator forum tersebut ini merupaka bentuk perjuangan perempuan dari

berbagai sektor seperti petani perempuan, buruh perempuan, ibu rumah tangga, pelajar dan berbagai sektor lainnya untuk bersama sama memperkuat dan melindungi hak-hak rakyat Korea, karena pangan adalah bagian dari pada hak azasi manusia. Sama dengan forum sosial rakyat Korea, dua pilar utama perjuangan gerakan ini adalah anti globalisasi dan penyatuan kembali Korea. Dan kunci dari perjuangan forum adalah perlindungan terhadap hak hak rakyat, sehingga rakyat Korea mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dalam mendapatkan makanan yang sehat dan lingkungan yang bersih. Wildajulia Tarigan

16

SERIKAT

Pembaruan Tani - Juli 2007

SEKOLAH PASAWAHAN

Pelepasan lulusan perdana


Pasawahan, sebuah sejarah untuk Serikat Petani Pasundan (SPP) Kabupaten Ciamis yang mencoba membangun sebuah sekolah tingkat pertama berbasis masyarakat, tidaklah sia-sia. Hasil kerja keras membuahkan hasil yang maksimal dengan meluluskan murid pertama yang lulus seratus persen. Itu membuktikan bahwa SMP Plus Pasawahan mampu menciptakan putra-putri bangsa dengan kapasitas ilmu pendidikan yang baik dan itu juga membuktikan bahwa SMP Plus Pasawahan punya kredibilitas yang sangat tinggi untuk membuat suatu perubahan dalam bidang pendidikan, bahkan siswa-siswi alumnus pertamanya mampu bersaing dengan siswa-siswi sekolah tingkat SMP formal pada umumnya. Dari jumlah dua puluh siswa yang telah lulus, ada beberapa siswa yang mendapat nilai tertinggi untuk Bahasa Indonesia dengan nilai yang diperoleh siswa mencapai (9,00), untuk Bahasa Inggris (6,40) dan (8,67) untuk pelajaran Matematika. Menurut Kepala Sekolah SMP Plus Pasawahan, Furkon Fahrudin A.Md. yang mengatakan bahwa keberhasilan ini bukan semata-mata karena sistem pengajaran yang diterapkan sekolah tersebut, tetapi hal ini terjadi karena kegigihan para siswanya yang tekun
Doc. PEMBARUAN TANI

bekerja keras dan serius untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dengan dibarengi kegigihan usaha para gurunya juga. Walaupun kebanyakan guru yang mengajar di Sekolah ini adalah guru relawan, yang tidak memperdulikan soal honor atau gaji. Dan itu yang membuat saya sangat terharu dan banyak bersyukur pada Allah SWT, bahwa perjuangan Serikat Petani Pasundan dalam membangun anak bangsanya tidaklah sia-sia dan saya do'akan pula untuk perjuangan pendidikan ini terus berlanjut . Tegasnya pada Pembaruan Tani, Rabu (27/06). Siap membantu Acara perpisahan alumnus SMP Plus Pasawahan yang berlangsung pada hari Rabu (27/06) dilangsungkan secara sederhana tetapi sangat meriah, dimana para alumni itu juga yang membuat dan memeriahkannya dengan berbagai acara hiburan seperti baca puisi, drama dan kesenian daerah yang ditampilkan dengan secara apik. Disamping itu, selain dihadiri oleh para siswa kelas satu dan dua, orang tua murid dan masyarakat, juga dihadiri oleh Jeje Wiradinata selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ciamis. Hal ini tentu merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi Keluarga

Besar Sekolah SMP Plus khususnya dan umumnya masyarakat sekitar. Dalam sambutannya, Jeje merasa sangat bangga atas keberhasilan sekolah ini bisa menciptakan siswasiswi dengan kapasitas ilmu pengetahuan dan mencapai kelulusan yang maksimal.Saya sangat bangga dan terharu atas lulusnya para siswa dan siswi sekolah yang dibangun dengan keswadayaan Organisasi Tani Lokal (OTL) yang tergabung di Serikat Petani Pasundan dengan mendapatkan nilai yang sangat memuaskan. Saya juga mendukung dan akan berusaha membantu untuk pengembangan sekolah ini, dimana dalam perubahan APBD bulan Agustus nanti saya akan mencoba memplot anggaran biaya untuk pengadaan mebeler sekolah. Tuturnya. Selain berbicara tentang sekolah, Jeje juga memberikan pernyataan sikapnya didepan masyarakat petani yang tergabung di Serikat Petani Pasundan (SPP) dalam kontek agraria, dimana perjuangan SPP yang sudah hampir tujuh tahun ini tinggal menunggu dibukanya satu pintu lagi dalam Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Saya sangat mendukung dan berjanji untuk terlibat apabila dalam proses PPAN tersebut sudah dijalankan di Kabupaten Ciamis dan sudah ada payung hukum yang jelas. Dan apabila ada yang harus ditandatangani oleh beberapa pajabat pemerintahan serta dewan dalam prosesny, maka sayalah yang akan pertama kali menandatanganinya. Ujarnya dengan tegas seraya disambut tepuk tangan meriah dari peserta yang hadir. Sebelum acara berakhir dan ditutup dengan do'a bersama, siswasiswi SMP Plus Pasawahan memberikan kenang-kenganan berupa buku hasil karya tulisan Siswa-Siswi SMP Plus Pasawahan alumni perdana yang berjudul Aku bangga jadi anak desa dan sebuah VCD yang berisi sebuah film dokumenter serta Profil tentang SMP Plus Pasawahan. Harry Mubarak

Siswa dan siswi sekolah Pasawahan, Serikat Petani Pasundan (SPP)

Anda mungkin juga menyukai