Anda di halaman 1dari 3

Realitas Sebatas Layar

Oleh ISAURA TIOMAHITA PUTRICAHYANI SINAGA*) *Pemimpin Redaksi LPM DIANNS Periode 2011

Sore itu saya baru saja selesai menunaikan niat saya tentang 12 jam tanpa handphone. Yang saya maksud disini adalah secara sengaja pergi beraktivitas di luar rumah tanpa menggunakan handphone dan meninggalkannya dalam keadaan off di kamar tidur. Niat saya hidup primitif seperti itu dimulai dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore. Tapi alamak...!!! masih jam 12 siang saja saya sudah merasa bagai kehilangan separuh tangan saya yang biasanya jari ini berkutik dengan keypad-keypad mungil dikala bosan dijejali teori perkuliahan di dalam kelas. Tombol-tombol yang setidaknya berjumlah 20an yang rajin terpencet itu diantaranya saya gunakan untuk ber-sms ria dengan teman-sanak saudara-kekasih. Alih-alih bersosialisasi, mempererat kekeluargaan, menjalin relasi dan lain lain yang ternyata hanya menghasilkan relasi yang dangkal. Serta sekedar ber-asyik ria dengan situs facebook melalui mobileweb-nya untuk memenuhi hasrat purba setiap orang, narsistik. Bagaimana tidak narsis, dalam facebook saya dapat dengan mudah merekonstruksi diri sedemikian rupa melalui update status-upload foto-posting tulisan yang semuanya dimaksudkan untuk membangun eksistensi diri. Hp-ku = kekasih-ku? Yang terjadi dengan niat awal saya bukanlah 12 jam tanpa handphone melainkan 12 jam tanpa hanphone milik sendiri. Saya justru bolak-balik meminjam handphone teman & memakai pulsanya untuk sms kekasih karena khawatir bila dia menghubungi nomor saya dan mendapati handphone saya yang tidak aktif dalam waktu lama akan menjadi sebab meletusnya cekcok karena kesalahpahaman atau asumsi-asumsi liar yang melayanglayang di pikiran sang kekasih (yang sebenarnya juga sering terjadi pada saya sendiri). Secara tidak sadar hubungan saya dengan kekasih yang seharusnya merupakan hubungan antara 2 insan manusia saja faktanya malah diintervensi oleh perangkat canggih berupa handphone sehingga menjadi hubungan antar 2 manusia ditambah 1 benda mati.

Hp-ku = ruang sosial-ku? Ada lagi yang berbeda, biasanya saya dapat berkoordinasi dengan instant menerima undangan rapat melalui sms atau pemberitahuan tentang perubahan jam kuliah. Tapi saat itu tidak. Akhirnya lagi-lagi saya meminjam handphone teman & memakai pulsanya untuk keperluan koordinasi. Sampai tercetus sindiran dari seorang teman makanya gak usah sok-sok an puasa handphone. yang ada malah ngerepotin orang, pinjem sana pinjem sini Heran. Betapa mudahnya jaman di kehidupan saya saat ini tapi tetap tidak membuat saya beranjak sebagai seorang pemalas. Saya toh sering telat bahkan tidak hadir undangan rapat padahal sudah berkali-kali menerima sms pemberitahuannya. Bayangkan saja jika saya hidup di jaman pra-kemerdekaan RI dimana belum ada handphone. Tapi mengapa Bung Karno dan para founding fathers saat itu tetap bisa berkoordinasi dan giat berkonsolidasi hingga tercipta sebuah kemerdekaan RI yang sampai saat ini bisa saya nikmati secara cuma-cuma. Ada sesuatu yang kurang dan rasanya tangan ini gatal jika tidak mengakses facebook melalui layar handphone. Sebuah jejaring sosial yang telah terkonvergensi dengan kecanggihan teknologi handphone. Memang saya akui, facebook sangat mengasyikan dan memberi ruang lebar untuk membangun identitas diri. Padahal dalam dunia nyata, membangun sebuah identitas tidaklah semudah itu, butuh waktu dan proses yang tidak instant. Hp-ku = organ tubuh-ku? Saya juga heran, tak jarang wajah saya dihiasi raut cemberut serta mahalnya senyum ketika berinteraksi face to face dengan sesama, tapi kok justru di dalam sms tak jarang saya mengumbar senyum semanis madu melalui emoticons berupa smile. Suatu fitur yang diciptakan produsen raksasa handphone dengan memasukan unsur emosi dan perasaan konsumennya sehingga memungkinkan seseorang mengungkapkan & mengekspresikan emosinya secara cepat & praktis, dimana kebutuhan manusia untuk mengekspresikan rasa sedih, gembira, takjub, kagum, cinta, kangen, empati, puas bahkan marah bisa terluapkan hanya dengan beberapa pencetan tombol handphone. Benarlah kata Jean Baudrillard, realitas telah menguap!. Realitas kini tak sekedar dapat

diceritakan, direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas kini dapat dibuat, direkayasa, dan disimulasi. Dalam realitas buatan, segala sesuatu bercampur baur. Sehingga alih-alih memposisikan manusia sebagai manusia seutuhnya, yang terjadi adalah sebaliknya yaitu pemandangan yang sangat mencemaskan. 12 jam tanpa handphone pun akhirnya saya lewati meskipun ternyata saya belum bisa benar-benar tanpa handphone. Jadi yang bisa saya pahami, perubahan bentuk komunikasi melalui handphone pun tidak dapat lagi terelakan. Mungkin jika boleh, manusia akan meminta pada Tuhan agar ditanamkan pada tubuhnya seperangkat handphone layaknya organ tubuh. Tapi perlu diingat, teknologisasi pada handphone ibarat pedang bermata dua, sebagai pembawa sekaligus penghancur nilai-nilai.

Dimuat di Buletin Radikal Edisi Ospek 2011 LPM DIANNS FIA UB

Anda mungkin juga menyukai