Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Asma merupakan penyakit yang sering dijumpai pada anak. Kejadian asma meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan ini diduga berhubungan dengan meningkatnya industri dan pola hidup, sehingga tingkat polusi cukup tinggi meskipun hal ini masih perlu dibuktikan.(2,3) Prevalensi asma anak di Indonesia sekitar 10% pada anak usia 6 7 tahun dan sekitar 6,5% pada anak < 14 tahun.(4) Sekitar 80 90% anak asma mendapat gejala pertama mereka sebelum usia 4 5 tahun. Berat dan perjalanan asma sulit diramalkan. Sebagian anak yang menderita hanya kadangkadang terserang ringan sampai sedang yang mudah diatasi. Sebagian kecil akan menderita asma berat yang sulit diobati, biasanya lebih bersifat menahun daripada musiman, yang menyebabkan ketidakberdayaan dan secara nyata mempengaruhi hari-hari sekolah, aktivitas bermain dan fungsi sehari-hari.(5)

B. Tujuan Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui cara mendiagnosa, pembagian klasifikasi penyakit, serangan asma dan penatalaksanaan asma pada anak.

BAB II

RUMUSAN MASALAH

A. Anamnesis

Nama Lengkap laki: Nama Ayah Pekerjaan Ayah Nama Ibu Pekerjaan Ibu Alamat Masuk RS tanggal Bronchial Tanggal : 04 08 2009

: An. A Umur : Tn. B : Buruh : Ny. S : IRT : Timpik, 2/3, Susukan, Semarang : 04 08 2009

Jenis Kelamin : 2 tahun Umur

: Laki -

: 29 tahun

Pendidikan Ayah: SMU Umur : 27 tahun : SMU

Pendidikan Ibu

Diagnosis masuk : Asma

KELUHAN UTAMA : Sesak Nafas KELUHAN TAMBAHAN : Batuk, pilek 1. Riwayat penyakit sekarang

1 hari SMRS : Pasien tidak mengeluh apapun dan masih bermain bersama teman temannya. Menurut ibunya pasien sering main sampai sore.

1 jam SMRS : Pasien merasakan sesak nafas sekitar jam 6 sore, keluhan sesak didahului oleh batuk batuk. Sesak disertai dengan adanya bunyi mengi. Sesak dipicu jika pasien kedinginan dan kecapean. Sekitar jam 7 malam akhirnya pasien dibawa ke IGD RSUD Salatiga. Tidak ada demam, BAK dan BAB normal.

Riwayat penyakit pada keluarga yang diturunkan Riwayat asma (+) Riwayat penyakit jantung (-)

1.

Riwayat kehamilan dan persalinan :

Pasien lahir dari ibu G1P0 Ao, hamil aterm, BBL 2600 gram, lahir spontan dengan presentasi kepala, setelah lahir langsung nangis, nafas spontan, tidak ada kelainan, persalinan dibantu oleh bidan. Pada waktu hamil, ibu pasien tidak menderita darah tinggi, kencing manis dan tidak ada riwayat perdarahan pada waktu hamil.

2. saja. -

Riwayat makanan Umur 0 4 bulan : pasien hanya diberikan makanan berupa ASI eksklusif

Umur 4 bulan 6 bulan

: diberi makanan berupa ASI dan bubur.

Umur 6 bulan 1 tahun : diberi makanan berupa ASI, nasi tim, buah buahan, air putih/air teh dicampur gula pasir. Umur 1 tahun 2 tahun : diberi makanan berupa nasi + lauk pauk (tempe dan tahu, ikan/daging), buah buahan, minum hanya berupa air putih/air teh + gula pasir), ASI sudah tidak diberikan. Umur 2 tahun sampai sekarang : nasi + lauk pauk (tempe dan tahu 3x sehari, ikan/daging (2 3x). Kesimpulan : Asupan makanan baik (kuantitas dan kualitasnya).

3. Perkembangan dan kepandaian :

Motorik kasar
- Tengkurap dan dapat mengangkat kepala dengan tegak : 3 bulan - Merangkak : 11 bulan - Berjalan : 14 bulan

Motorik halus - Melihat sekitar : 1 bulan - Memegang benda : 4 bulan

Bicara Sosial - Bersuara : 2 bulan - Mampu mengenal - Berkata kata : 20 orang disekitarnya: 4 bulan bulan

- Bicara : 1,5 tahun - Bermain bersama : 10 bulan - Bermain dengan orang lain : 24 bln

Kesimpulan : Perkembangan dan kepandaian normal

. Vaksinasi BCG DPT : +/: I,II,III Pada umur : lahir Pada umur : 2,3,4 bulan

Polio

: I,II,III,IV

Pada umur : lahir,2,3,4 bulan Pada umur : Pada umur : lahir,1 bulan

Campak : Hep. B : I,II

Kesimpulan : Imunisasi dasar belum lengkap

Riwayat penyakit dahulu :

Pasien pernah mengalami gejala sakit yang sama dan pernah dirawat inap di RS.

6.

Sosial, ekonomi dan lingkungan :

Pasien tinggal di lingkungan perkampungan. Tinggal serumah dengan kedua orangtuanya. Rumah dengan ventilasi dan penerangan yang cukup, mempunyai sumur sendiri, kamar mandi dan WC didalam rumah. Keluarga pasien termasuk ekonomi cukup, dengan pendapatan keluarga perbulan : < Rp. 1.500.000. Pasien dibesarkan dalam lingkungan masyarakat yang rata-rata kondisi sosial ekonominya cukup.

7. a. b. c. d. e. f. g.

Anamnesis sistem : Sistem serebrospinal Sistem kardiovaskuler Sistem respirasi Sistem gastrointestinal Sistem muskuloskeletal Sistem integumentum Sistem urogenital : tidak ada keluhan : sesak nafas (+), Sianosis (-) : sesak nafas (+), batuk (+) : muntah (-), mual (-), diare (-) : lemas (-), nyeri sendi (-) : panas (+), sianosis (-) : BAK (+) normal

B . PEMERIKSAAN JASMANI.

KESAN UMUM. Tanda utama : Tampak sesak. Kesadaran : Compus Mentis Nadi Suhu badan Pernafasan : 100 /menit : 36,5 C : 52 x/menit,

Status gizi . Berat badan : 14 kg Tinggi Badan : 86 cm

Menurut NCHS BB/U : normal TB/U : normal

Kesimpulan status gizi : Baik

Kulit pada kulit.

: warna kulit sawo matang, sianosis (-), tidak terdapat tanda-tanda infeksi

Kelenjar limfa : pembesaran limfonodi (-) Otot tremor (-) Tulang Sendi : tonus otot (+) normal, atrofi (-), hipertrofi (-), spasme (-), paralisis (-),

: deformitas (-), fraktur (-), dislokasi (-), krepitasi (-) : pembengkakan (-), kemerahan (-),dislokasi (-), limitasi gerak (-).

PEMERIKSAAN KHUSUS Leher tidak meningkat. Thoraks : deviasi trakhea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), massa (-), JVP

: simetris, retraksi (-), hematom (-),

massa (-), kifoskoliosis (-), pigeon chest (-), barrel chest (-), funnel chest (-), rose spot (-) Jantung Batas kanan atas : batas jantung : : SIC II, LPS dextra kiri atas : SIC 11,LPS sinistra

Batas kanan bawah : SIC IV, LPS dextra kiri bawah : SIC 11,LMC sinistra

Paru - paru

Depan :

Kanan Kiri Inspeksi : tampak simetris, retraksi (+), Inspeksi : tampak simetris, retraksi (+), tidak ada ketinggalan gerak. tidak ada ketinggalan gerak. Palpasi : vokal fremitas kanan sama dengan kiri, ketinggalan gerak (-). Perkusi : Hipersonor pada seluruh lapang paru Auskultasi : suara dasar vesikular , wheezing ekspiratoar (+), Ronkhi (-), krepitasi (-), suara sputum (-). Palpasi : vokal fremitas kanan sama dengan kiri, ketinggalan gerak (-). Perkusi : Hipersonor pada seluruh lapang paru Auskultasi : suara dasar vesikular , wheezing ekspiratoar (+), Ronkhi (-), krepitasi (-), suara sputum (-).

Belakang

Kanan Inspeksi : tampak simetris, tidak ada ketinggalan gerak. Palpasi : vokal fremitas kanan sama dengan kiri

Kiri Inspeksi : tampak simetris, tidak ada ketinggalan gerak. Palpasi : vokal fremitas kanan sama dengan kiri

Perkusi : hipersonor pada seluruh lapang Perkusi : hipersonor pada seluruh lapang paru paru Auskultasi : suara dasar vesikular , wheezing ekspiratoar (+), Ronkhi (-), krepitasi (-). Auskultasi : suara dasar vesikular , wheezing ekspiratoar (+), Ronkhi (-), krepitasi (-).

Perut

: Inspeksi

: datar (+), sikatrik (-)

Auskultasi : peristaltik (+) normal Palpasi : supel, massa (-), nyeri tekan (-) di epigastrium, tes undulasi (-)

Perkusi

: tympani, asites (-)

Hati (terangkan) : Tidak teraba Limpa Anogenital : Tidak teraba : Laki - laki, tidak ada kelainan

Extremitas

: kanan

tungkai : kiri kanan

lengan : kiri

Gerakan Tonus Trofi Clonus

: : : :

bebas normal eutrofi (+) normal -

bebas normal eutrofi (+) normal -

bebas normal eutrofi (+) normal -

bebas normal eutrofi (+) normal -

Reflek fisiologis : Reflek patologis : M. Sign :

Kaku kuduk (-), Kernig (-), brudzinki I (-), bruzinki II (-)

Sensibilitas Udem

: :

(+) normal -

(+) normal -

(+) normal -

(+) normal -

Kepala Bentuk Ubun ubun Muka Mata -/-

: simetris, rambut warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata : mesocephal : ubun-ubun menutup. : tampak simetris, paralisis (-) : cekung -/-, sekret -/-, udem palpebra -/-, conjungtiva anemis -/-, hiperemis sklera ikterik -/-, reflek cahaya +/+,

Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), pembengkakan (-), epistaksis (-), deformitas (-), deviasi septum (-) Mulut Pharing Gigi : Bibir kering (-) : pharing hiperemis (-), tonsil tidak membesar : caries (-)

Tulis dengan singkat data dasar yang mempunyai arti positif untuk penetapan masalah dan selanjutnya meliputi data dasar singkat dari anamnesis/pemeriksaan jasmani dan laboratorium dasar. - Anamnesa : seorang anak perempuan 2 tahun, sesak nafas (+), batuk (+), pilek (+) - Pemeriksaan fisik : KU : tampak sesak, kesadaran compos mentis.

VS Nadi : 100x/mnt Respirasi : 52x/mnt tipe : Thorako abdominal, ekspirasi diperpanjang Suhu : 36,5o C

- Status gizi : baik

C.

Pemeriksaan laboratorium :

Darah lengkap AL Hitung jenis Basofil : 0% Batang : 0% Segmen : 52% Lymphosit : 46% Monosit : 0% KED/LED 1 jam

: Hb : 8,3 ribu/ul Eosinofil : 2% (0-1) (2-5) (51-67) (20-35) (4-8) : 9 mm

: 10,9 gr%

(L : 13-17, P : 12-16)

(dws : 4-10, anak : 9-12) (2-4)

(L : 0-15, P : 0-20)

11 jam :19 mm AE AT HT : 3,56 juta/ul : 266 ribu /ul : 33,4% (L : 0-15, P : 0-20) (150-450) (L : 42-52, P : 36-46)

Daftar masalah Sesak nafas Batuk Wheezing

Kemungkinan penyebab masalah

Diagnosa klinik Diagnosa banding

: Asma Bronkhiale : Bronkopneumonia Bronkiolitis

D. Rencana Terapi

O2

2 liter/menit

Infus KAEN 3A 10 tetes/menit Salbutamol 2,5 mg + 2 ml NaCl dengan nebulizer 5-10 menit Aminophilin bolus 4mg/kg BB Dexamethason 1-2 mg/kg BB/24 jam Latus expectorant 3x1 cth Diit tinggi kalori dan tinggi protein

Usulan Pemeriksaan : Foto thorax Uji faal paru Uji kulit alergi dan imunologi

Prognosis : Dubia Ad Bonam

BAB III

PE MBAHASAN

A.Definisi
Asma bronkhial adalah suatu sindrom klinik yang ditandai dengan peningkatan kepekaan bronkus (hiperreaktivitas bronkus) terhadap berbagai rangsangan. Belakangan ini batasan asma yang lengkap dengan melihat konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA (Global Initiative for Asthma) adalah sebagai berikut : Gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan periode mengi berulang, sesak napas, dada rasa tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan.(9)

B.

Patofisiologi Asma

Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa dan inflamasi saluran napas. Sumbatan jalan napas yang terjadi tidak merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan napas menyebabkan peningkatan tahanan jalan napas, terperangkapnya udara (air trapping), dan distensia paru yang berlebih (hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan napas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch).(5) Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran napas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran napas, sehingga meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin dapat mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus.(5) Ventilasi prefusi yang tidak padu padan (mismatch), hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai keadaan alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi jalan napas yang berat, akan terjadi kelelahan otot napas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapila dan asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal napas. Selain itu dapat pula terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot napas dan masukan kalori yang kurang.(5) Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokontriksi dapat merusak sel alveoli sehingga

produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan akan meningkatkan resiko terjadinya atelektasis.(5)

C.

Klasifikasi Derajat Penyakit Asma

PNAA membagi penyakit asma anak menjadi 3 derajat penyakit, seperti terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 1. Pembagian Derajat Penyakit Asma Pada Anak

Parameter Klinis, Kebutuhan Obat, dan Faal Paru

Asma Episodik Jarang

Asma Episodik Sering (Asma Sedang) > 1 x/bulan

Asma Persisten (Asma Berat)

(Asma Ringan) Frekuensi serangan < 1 x/bulan

Sering Hampir sepanjang tahun tidak ada remisi Lama serangan < 1 minggu 1 minggu Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu Pemeriksaan fisis, di Normal (tidak Mungkin terganggu Tidak pernah luar serangan ditemukan kelainan) (ditemukan kelainan) normal Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid Perlu steroid (anti inflamasi) Uji faal paru, di luar PEF/FEV1 > 80% PEF/FEV1 60 80% PEF/FEV1 < 60% serangan Dikutip dari : PNAA, IDAI, 2002

Penilaian Derajat Serangan Asma Dalam tatalaksana asma jangka panjang, PNAA membagi derajat penyakit asma berdasarkan frekuensi serangan, gejala dan tanda di luar serangan, serta obat yang digunakan sehari-hari menjadi tiga, yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten. Selain klasifikasi derajat penyakit asma, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat serangan yang

terbagi atas serangan ringan, sedang dan berat. Jadi perlu dibedakan disini antara derajat penyakit asma dengan derajat serangan asma.(6) Setiap derajat penyakit asma dapat mengalami derajat serangan yang mana saja, sebagai contoh, seorang penderita asma persisten dapat mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya, bisa saja seorang pasien yang tergolong asma episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.(6) Dengan kata lain derajat serangan asma tidak tergantung pada derajat penyakit asma. Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Global Initiative of Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium (Tabel 3). Butir penilaian di bagian awal merupakan penilaian klinis yang sifatnya cenderung subyektif. Pemeriksaan yang obyektif adalah pemeriksaan PEFR atau FEV1 dengan spirometer, serta pemeriksaan saturasi oksigen. Kendalanya adalah faktor ketersediaan, dan kesulitan manuver pemeriksaan, terlebih pada anak dengan serangan asma berat. Butir-butir penilaian dalam lampiran tersebut tidak harus lengkap ada pada setiap pasien. aplikasi penggunaan tabel tersebut bersifat prediksi awal untuk tindakan selanjutnya. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien memberi respons yang kurang terhadap terapi awal, atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien beresiko tinggi.(6) Tabel 2. Penilaian Derajat Serangan Asma Parameter klinis, fs paru, laboratorium Ringan Aktivitas Berjalan Ancaman henti napas Sedang Berbicara Berat Istirahat

Bayi: menangis Bayi: Bayi: berhenti keras - tangis pendek dan makan lemah - kesulitan makan Penggal kalimat Lebih suka duduk

Bicara Posisi Kewaspadaan Sianosis Mengi

Kalimat Bisa berbaring Mungkin teragitasi Tidak ada Sedang, sering hanya pada akhir respirasi Minimal

Kata-kata Duduk bertopang lengan Biasanya teragitasi Biasanya teragitasi Pusing/bingung Tidak ada Nyaring, sepanjang ekspirasi dan inspirasi Sedang Ada Sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop Berat Ada, nyata Sulit / tidak terdengar (silent chest)

Sesak napas

Otot bantu napas Biasanya tidak

Biasanya ya

Ya

Gerakan paradok torako-

Retraksi

Laju napas

Dangkal, Sedang, ditambah Dalam ditambah retraksi retraksi suprasternal napas cuping intercostal hidung Meningkat Meningkat + Meningkat ++ Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar: Usia < 2 bulan 2-12 bulan 1-5 tahun Laju napas normal < 60 /mnt < 50 /mnt < 40 /mnt

abdominal Dangkal/hilang

Menurun

Laju nadi

6-8 tahun < 30 /mnt Normal Takikardi Takikardi Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar: Usia 2-12 bulan 1-2 tahun Laju napas normal < 160 /mnt < 120 /mnt

Bradikardi

3-8 tahun < 110 /mnt Pulsus paradoksus Tidak ada Ada 10-20 mmHg Ada > 20 mmHg (pemeriksaannya < 10 mmHg tidak praktis) PEFR atau FEV1 (% nilai dugaan/ % nilai terbaik) pra b. dilator > 60% > 80% 40-60% 60-80% < 40% < 60%, respons < 2 jam < 90% < 60 mmHg

Tidak ada (tanda kelelahan otot napas)

- pasca b. dilator SaO2 % PaO2

PaCO2

> 95% 91-95% Normal > 60 mmHg (biasanya tidak perlu diperiksa) < 45 mmHg < 45 mmHg

> 45 mmHg

Diagnosis Berdasarkan definisi di atas, maka mengi berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menunjuk diagnosis, termasuk yang perlu dipertimbangkan

kemungkinan asma adalah anak-anak yang hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat diperiksa tanda-tanda mengi, sesak dan lain-lain sedang tidak timbul.(1) Pada anak kecil dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit asma masih belum diketahui secara pasti, lagi pula bayi dan balita yang mengalmi mengi saat terkena infeksi saluran napas akut banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya. Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dengan bertambahnya umur khususnya umur 3 tahun diagnosis asma menjadi lebih definitif. Bahkan untuk anak di atas umur 6 tahun definisi GINA dapat digunakan. Untuk anak yang sudah besar (> 6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan (uji fungsi paru dengan spirometer). Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, gerak badan, udara kering dan dingin, sangat menunjang diagnosis. Dari pemeriksaan tersebut untuk mendukung diagnosis asma anak didapatkan: 1. 2. 3. Variabilitas pada FEV1 20% Kenaikan 20% FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator Penurunan 20% FEV1 setelah provokasi bronkus.(7)

Jika gejala dan tanda asma jelas, serta repon terhadap pemberian obat asma baik sekali maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila respon terhadap obat asma tidak baik maka perlu dinilai dahulu apakah dosisnya sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar maka perlu dipikirkan kemungkinan bukan asma. Dengan demikian setiap awal yang menunjukkan gejala batuk dan/atau mengi maka diagnosis akhirnya dapat berupa: 1. 2. 3. Asma Asma dengan penyakit lain Bukan asma(7)

Pada pemeriksaan fisik (waktu kumat), terdapat kesulitan bernapas terutama ekspirasi: sesak napas, wheezing expiratoir, sianosis kadang dengan pernapasan cuping hidung. Sesak napas sering memaksa pasien mengambil sikap/posisi setengah duduk, batuk-batuk dengan riak yang lengket. Berkeringat dingin, dada emfisematosa pada anak besar sering mengalami serangan. Pada pemeriksaan paru eksperium diperpanjang, ronkhi kering meniup/mencicir ronkhi basah kasar biasanya ada, kadang juga dijumpai ronkhi basah halus/krepitasi.(8)

D.

Penatalaksanaan

Tujuan Tatalaksana Serangan Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk:(2) ~ Meredakan penyempitan jalan napas secepat mungkin.

~ ~ ~

Mengurangi hipoksemia. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya. Rencana tatalaksana untuk mencegah kekambuhan.

Tatalaksana Serangan PNAA membagi penanganan serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup.

Penanganan di Rumah
Penanganan di rumah dapat dilakukan untuk pasien yang sudah diberi penjelasan atau edukasi mengenai asma secara jelas. Kepada pasien/keluarganya dapat dipesankan jika mendapat serangan asma ringan, berikan obat pereda (bagonis). Bila dengan bronkodilator saja belum membantu, tambahkan steroid oral. Bila hal ini juga tidak berhasil, bawa segera ke klinik atau rumah sakit. Namun bila serangannya sedang, langsung berikan bronkodilator dan steroid. Sedangkan jika serangannya berat, langsung bawa ke rumah sakit.(6,9)

Penanganan di Klinik atau IGD


Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Disamping pemeriksaan klinis dan analisa gas darah, maka pemeriksaan uji fungsi paru (spirometri atau peak flow meter) merupakan bagian integral penilaian serangan asma. Namun di Indonesia penggunaan spirometri belum memasyarakat, karena terbatasnya alat tersebut.(6) Penanganan awal terhadap pasien adalah pemberian bagonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali lagi dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Beberapa peneliti menganjurkan pemberian antikolinergik bersama-sama dengan bagonis pada saat serangan sedang dan berat dengan hasil yang cukup baik. Jika pada penilaian awal pasien jelas dalam serangan berat, maka langsung diberikan nebulisasi bagonis dikombinasikan dengan antikolinergik.(6,9) Pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan refrakter yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi bagonis. Pasien ini cukup sekali dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat obat intravena (steroid dan aminofilin) selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.(6) ~ Serangan ringan

Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan (klinis tetap baik), pasien dapat dipulangkan. Yang harus diingat adalah, pasien harus dibekali obat bronkodilator (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Pada anak asma episodik sering dan asma persisten, obat controller (pengendali) harus tetap diberikan pada saat pasien pulang. Apabila dalam fase observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan sedang.(6,9) ~ Serangan sedang

Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya menunjukkan respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu perlu dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman di atas. Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, berikan oksigen 2 l/menit, kemudian pasien diobservasi di Ruang Rawat Sehari (RRS). Pada keadaan serangan sedang sebaiknya dipasang jalur parenteral untuk persiapan darurat.(6,9) ~ Serangan berat

Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman) maka pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap. Oksigen 2-4 l/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto torals. Jika sejak panilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup diberikan sekali langsung dengan b agonis dan antikolinergik (ipratropium bromide).(6,9) Dahulu keadaan ini dikenal dengan status asmatikus. Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat foto Rntgen toraks guna mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum. (9) Pada tatalaksana di atas, terlihat bahwa peran nebulisasi sangat penting perannya pada saat serangan asma. Namun mengingat saat ini belum semua dokter memiliki alat nebulisasi di tempat praktek maupun di klinik/rumah sakitnya, maka penggunaan obat adrenalin sebagai alternatif dapat digunakan. Adrenalin diberikan secara subkutan, dengan dosis (0,01 ml/kgBB/kali, dengan dosis maksimalnya 0,3 ml/kali. Sesuai dengan panduan tatalaksana di IGD, adrenalin dapat diberikan 3 kali berturut-turut selang 20 menit.(6) Penanganan di Ruang Rawat Sehari Pemberian oksigen sejak dari IGD dilanjutkan. Kemudian berikan steroid sistemik oral berupa prednisolon, prednison, atau triamsinolon. Setelah di IGD menjalani nebulisasi 3 kali dalam 1 jam dengan respons parsial, di RRS diteruskan dengan nebulisasi b agonis antikolinergik tiap 2 jam. Bila responnya baik, frekuensi nebulisasi dikurangi tiap 4 jam, kemudian tiap 6 jam. Jika dalam 12-24 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari

Klinik/IGD. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap untuk mendapat steroid dan aminofilin parenteral.(6) Penanganan di Ruang Rawat Inap(6) ~ Pemberian oksigen diteruskan.

~ Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan intravena dan dikoreksi asidosisnya. ~ Steroid diberikan tiap 6-8 jam, secara bolus IV/IM/oral.

~ Nebulisasi bagonis antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian telah terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. ~ Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:

bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit. selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.

jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 6-8 jam), dosis awal aminofilin diberikan -nya. Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.

~ Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti pemberian peroral. ~ Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat bagonis (hirupan atau oral) atau kombinasi dengan teofilin, yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. selain itu steroid dilanjutkan secara oral hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana. Jika pasien sebelumnya sudah mendapat obat pencegahan atau rumatan, obat tersebut juga diteruskan. ~ Mengenai penggunaan steroid inhaler untuk serangan asma, PNAA belum menganjurkan secara rutin karena belum banyaknya penelitian yang mendukung. Pernah dilaporkan adanya penggunaan steroid secara nebulisasi untuk serangan asma akut dengan hasil yang cukup baik. Dosis yang digunakan sangat tinggi yaitu 1600 ug, yang bila digunakan secara rutin akan mempunyai dampak yang cukup berarti. Penggunaan steroid dosis rendah secara nebulisasi untuk mengatasi serangan asma akut tidak dianjurkan. ~ Jika dengan tatalaksana di atas tidak berhasil, bahkan pasien menunjukkan tanda ancaman henti napas, maka pasien dialihrawat ke Ruang Rawat Intensif. Kriteria Rawat di Ruang Rawat Intensif

Pasien yang sejak awal masuk ke IGD sudah memperlihatkan tanda-tanda ancaman henti napas, langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif (ICU). Secara ringkas kriterianya adalah sebagai berikut :(9) ~ Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau perburukan asma yang cepat. ~ Adanya kebingungan, pusing dan tanda lain ancaman henti napas, atau hilangnya kesadaran. ~ Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di Ruang Rawat Inap.

~ Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (Kadar PaO2 < 60 mmHg dan/atau PaCO2 > 60 mmHg, walaupun tentu saja gagal napas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah)

Prognosis peningkatan Ig E serum dan uji kulit yang positif khususnya terhadap tungau debu rumah pada bayi, dapat memperkirakan mengi persisten pada masa anak. Adanya dermatitis atopik yang sulit diatasi merupakan prediktor terjadinya asma berat.(7)

BAB IV KESIMPULAN

1. Asma bronkhial merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai dengan peningkatan kepekaan bronkus (hiperreaktivitas bronkus) terhadap beberapa rangsangan. 2. PNAA membagi derajat penyakit asma berdasarkan frekuensi serangan, gejala dan tanda di luar serangan, serta obat yang digunakan sehari-hari menjadi tiga, yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering, asma episodik persisten. Dan membagi derajat serangan asma yaitu ringan, sedang, berat. 3. ~ ~ ~ Tujuan tatalaksana pada serangan asma adalah untuk: Meredakan penyempitan jalan napas secepat mungkin. Mengurangi hipoksemia. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya.

Rencana tatalaksana untuk mencegah kekambuhan.

4. Prognosis asma dapat diprediksi dengan adanya suatu kelainan atopik seperti dermatitis atopik yang sulit diatasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Asma. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1985, hal: 1203-1226. 2. Anderson HR. Air Pollution and Trends in Asthma. In Chadwick D, Cardew G (eds), The Rising Trends in Asthma, Chichester: Wiley and Son, 1997, p: 190-207. 3. Koenig JQ. Air Pollution and Asthma. J Allergy Clin Immunol, 1999; 104: 717-22.

4. Wantania JM. Tinjauan Hasil Penelitian Multisenter Mengenai Prevalensi Asma pada Anak Sekolah Dasar di Indonesia, Disampaikan pada KONIKA IX, Semarang, 13-17 Juni 1993. 5. Michael Sly. Asthma. In: Behrman, RE., Kliegman, RM., Arvin, AM (eds); 15th edition, Nelson Textbook of Pediatric, WB Saunders Company, Philadelphia, 1996, p: 628-640. 6. UKK Pulmonologi IDAI, Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak. Revisi tahun 2002. 7. Anonim, Konsensus Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi PP IDAI, Jakarta, 2000.

8. Anonim, Pedoman Tatalaksana Medik Anak RSUP Dr. Sardjito, Unit Penyakit Anak RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, 1991, hal: 209-212. 9. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop Report, 2002.

Anda mungkin juga menyukai