Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH ARTIKEL BENCANA KELOMPOK KEILMUAN KEPERAWATAN KOMUNITAS Change in contraceptive Methods Following the YogyakartaEarthquake and its

Association with the Prevalence of Unplanned Pregnancy

TUGAS Untuk Memenuhi Tugas Artikel blok 4.4 Disaster Management Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM

Disusun oleh : Firqoh Nur Azizah Nandia Septiyorini Melina Defita Sari Arifka Uli Nur H Al Ana Mustika Pandu Kaswari Amanda Kurniasih Listyanti Aninda Dyah Wardani Habibi Rohman Rosyad Norma Hesty Pertiwi Handitya Daniswari 12873 12818 12824 12782 12753 12784 12850 12862 12834 12823 12817 12869

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana merupakan setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologi, hilangnya nyawa manusia, memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Salah satu contoh dari bencana adalah bencana alam, seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, tsunami, dll. Melihat posisi dan kondisi geografis Indonesia, Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, memiliki lebih dari 128 gunung berapi aktif, dan sekitar 150 sungai, baik besar maupun kecil, yang melintasui wilayah padat penduduk. Melihat kondisi yang seperti ini, tidak menutup kemungkinan munculnya berbagai macam bencana di Indonesia. Bencana mengakibatkan berbagai dampak pada kehidupan manusia, baik dampak kesehatan, ekonomi, sosial, fisik, maupun psikologi. Pada aspek kesehatan bencana menyebabkan rusaknya fasilitas dan gangguan dalam layanan kesehatan masyarakat, sehingga tidak dapat digunakan untuk menangani kondisi darurat. Selain itu, saat kejadian bencana, terdapat beberapa kelompok rentan yang menjadi ptioritas penanganan bencana, salah satunya adalah wanita dan anak-anak. Salah satu yang menjadi perhatian penting adalah kontrasepsi. Hal ini dikarenakan kehamilan yang tidak diinginkan dihubungkan dengan adanya tingkat kematian ibu dan bayi saat terjadi bencana. Berdasarkan latar belakang di atas, sebagai mahasiswa keperawatan perlu mengetahui mengenai bencana beserta dampaknya terutama dampak pada kesehatan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan penelusuran jurnal dan analisis jurnal terkait dengan bencana dan kesehatan. B. Tujuan Untuk mengetahui dampak bencana terutama pada bidang kesehatan reproduksi C. Manfaat Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai dampak bencana terutama pada bidang kesehatan reproduksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KONTRASEPSI 1. Definisi Kontrasepsi berasal dari kata Kontra berarti mencegah atau melawan, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah

menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut. 2. Cara Kerja Pada dasarnya prinsip kerja kontrasepsi menurut Sudarmo, dkk (2001) adalah meniadakan pertemuan antara sel telur (ovum) dengan sel mani (sperma) dengan cara: a. b. Menekan keluarnya sel telur Menghalangi masuknya sperma ke dalam saluran kelamin wanita sampai mencapai ovum c. Menghalangi nidasi

3. Macam-Macam a. Kontrasepsi Steril Yaitu pencegahan kehamilan dengan mengikat sel indung telur pada wanita (tubektomi) atau testis pada pria (vasektomi). Proses sterilisasi ini harus dilakukan oleh ginekolog (dokter kandungan). Efektif bila Anda memang ingin melakukan pencegahan kehamilan secara permanen, misalnya karena faktor usia. b. Kontrasepsi Teknik 1) Coitus Interruptus (senggama terputus): ejakulasi dilakukan di luar vagina. Efektivitasnya 75-80%. Faktor kegagalan biasanya terjadi karena ada sperma yang sudah keluar sebelum ejakulasi, orgasme berulang atau terlambat menarik penis keluar. 2) Sistem kalender (pantang berkala): tidak melakukan senggama pada masa subur, perlu kedisiplinan dan pengertian antara suami istri karena sperma maupun sel telur (ovum) mampu bertahan hidup s/d 48 jam setelah ejakulasi. Efektivitasnya 75-80%. Faktor kegagalan karena salah menghitung masa subur
2

(saat ovulasi) atau siklus haid tidak teratur sehingga perhitungan tidak akurat. 3) Prolonged lactation atau menyusui, selama 3 bulan setelah melahirkan saat bayi hanya minum ASI dan menstruasi belum terjadi, otomatis Anda tidak akan hamil. Tapi begitu Ibu hanya menyusui < 6 jam / hari, kemungkinan terjadi kehamilan cukup besar. c. Kontrasepsi Mekanik 1) Kondom: Efektif 75-80%. Terbuat dari latex, ada kondom untuk pria maupun wanita serta berfungsi sebagai pemblokir / barrier sperma. Kegagalan pada umumnya karena kondom tidak dipasang sejak permulaan senggama atau terlambat menarik penis setelah ejakulasi sehingga kondom terlepas dan cairan sperma tumpah di dalam vagina. Kekurangan metode ini: y Mudah robek bila tergores kuku atau benda tajam lain y Membutuhkan waktu untuk pemasangan y Mengurangi sensasi seksual 2) Spermatisida: bahan kimia aktif untuk 'membunuh' sperma, berbentuk cairan, krim atau tisu vagina yang harus dimasukkan ke dalam vagina 5 menit sebelum senggama. Efektivitasnya 70%. Sayangnya bisa menyebabkan reaksi alergi. Kegagalan sering terjadi karena waktu larut yang belum cukup, jumlah spermatisida yang digunakan terlalu sedikit atau vagina sudah dibilas dalam waktu < 6 jam setelah senggama. 3) Vaginal diafragma: lingkaran cincin dilapisi karet fleksibel ini akan menutup mulut rahim bila dipasang dalam liang vagina 6 jam sebelum senggama. Efektivitasnya sangat kecil, karena itu harus digunakan bersama spermatisida untuk mencapai efektivitas 80%. Cara ini bisa gagal bila ukuran diafragma tidak pas, tergeser saat senggama, atau terlalu cepat dilepas (< 8 jam ) setelah senggama. 4) IUD (Intra Uterine Device) atau spiral: terbuat dari bahan polyethylene yang diberi lilitan logam, umumnya tembaga (Cu) dan dipasang di mulut rahim. Efektivitasnya 92-94%. Kelemahan alat ini yaitu bisa menimbulkan rasa nyeri di perut, infeksi panggul, pendarahan di luar masa menstruasi atau darah menstruasi lebih banyak dari biasanya.
3

d. Kontrasepsi Hormonal Dengan fungsi utama untuk mencegah kehamilan (karena menghambat ovulasi), kontrasepsi ini juga biasa digunakan untuk mengatasi ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron dalam tubuh. Harus diperhatikan beberapa faktor dalam pemakaian semua jenis obat yang bersifat hormonal, yaitu: 1) Kontraindikasi mutlak: (sama sekali tidak boleh diberikan):kehamilan, gejala thromboemboli, kelainan pembuluh darah otak, gangguan fungsi hati atau tumor dalam rahim. 2) Kontraindikasi relatif (boleh diberikan dengan pengawasan intensif oleh dokter): penyakit kencing manis (DM), hipertensi, pendarahan vagina berat, penyakit ginjal dan jantung. Kontrasepsi hormonal bisa berupa pil KB yang diminum sesuai petunjuk hitungan hari yang ada pada setiap blisternya, suntikan, susuk yang ditanam untuk periode tertentu, koyo KB atau spiral berhormon. Pengertian Kontrasepsi hormonal adalah alat atau obat kontrasepsi yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kehamilan dimana bahan bakunya mengandung preparat estrogen dan progesterone. Jenis Kontrasepsi Hormonal Berdasarkan jenis dan cara pemakaiannya dikenal tiga macam kontrasepsi hormonal yaitu : Kontrasepsi Suntikan, Kontrasepsi Oral (Pil) Kontrasepsi Implant. 1) Kontrasespi Suntikan Teridiri dari: D Depo provera yang mengandung medroxyprogestin acetate 50 Mg. D Cyclofem yang mengandung medroxyprogesteron acetate dan estrogen. D Norethindrone enanthate (Noresterat) 200 mg yang mengandung derivate testosteron. Mekanisme kerja: D Menghalangi pengeluaran FSH dan LH sehingga tidak terjadi pelepasan ovum untuk terjadinya ovulasi dengan jalan menekan pembentukan releasing faktor dari hipotalamus.
4

D Mengentalkan lender serviks sehingga sulit untuk ditembus oleh spermatozoa. D Merubah suasana endometrium sehingga menjadi tidak sempurna untuk implantasi dari hasil konsepsi. Keuntungan: D Noristerat pemberiannya sederhana diberikan 200 mg sekali setiap 8 minggu untuk 6 bulan pertama 3 x suntikan pertama kemudian selanjutnya sekali tiap 12 minggu. D DMPA pemberiannya diberikan sekali dalam 12 minggu dengan dosis 150 mg. D Tingkat efektifitasnya tinggi D Tidak mengganggu pengeluaran laktasi dan tumbuh kembang bayi. D Suntikan tidak ada hubungannya dengan saat bersenggama. D Tidak perlu menyimpan atau membeli persediaan. D Kontrasepsi suntikan dapat dihentikan setelah 3 bulan dengan cara tidak disuntik ulang, sedangkan IUD dan implant yang non-bioderdable harus dikeluarkan oleh orang lain. D Bila perlu, wanita dapat menggunakan kontrasepsi suntikan tanpa perlu memberitahukan kepada siapapun termasuk suami atau keluarga lain. D Tidak ditemukan efek samping minor seperti pada POK yang disebabkan estrogen, antara lain mual atau efek samping yang lebih serius seperti timbulnya bekuan darah disamping estrogen juga dapat menekan produksi ASI. Kerugian D Perdarahan yang tidak menentu D terjadinya amenorhoe yang berkepanjangan D Berat badan yang bertambah D Sakit kepala D Kembalinya kesuburan agak terlambat beberapa bulan D Jika terdapat atau mengalami side efek dari suntikan tidak dapat ditarik lagi. D Masih mungkin terjadi kehamilan, karena mempunyai angka kegagalan 0.7%. D Pemberiannya harus dilakukan oleh orang yang profesional. D Menimbulkan rasa sakit akibat suntikan
5

D Memerlukan biaya yang cukup tinggi. e. Kontrasepsi oral (pil) Pengertian Kontrasepsi oral adalah kontrasepsi untuk wanita yang berbentuk tablet, mengandung hormon estrogen dan progestrone yang digunakan untuk mencegah hamil. Kontrasepsi oral terdiri atas lima macam yaitu : Pil kombinasi, dalam satu pil terdapat estrogen dan progestrone sintetik yang diminum 3 kali seminggu. Pil sekunseal, Pil ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan urutan hormon yang dikeluarkan ovariun pada tiap siklus. Maka berdasarkan urutan hormon tersebut,estrogen hanya diberikan selama 14 16 hari pertama di ikuti oleh kombinasi progestrone dan estrogen selama 5 7 hari terakhir. Pil mini, merupakan pil hormon yang hanya mengandung progestrone dalam dosis mini ( kurang dari 0,5 mg) yang harus diminum setiap hari termasuk pada saat haid. Once a moth pil, pil hormon yang mengandung estrogen yang Long acting yaitu biasanya pil ini terutama diberikan untuk wanita yang mempunyai Biological Half Life panjang Morning after pil, merupakan pil hormon yang mengandung estrogen dosis tinggi yang hanya diberikan untuk keadan darurat saja, seperti kasus pemerkosaan dan kondom bocor. Kerugian (Efek samping) Nousea Nyeri payudara Gangguan Haid Hipertensi Acne Penambahan berat badan. Keuntungan Mudah menggunakannya
6

Cocok untuk menunda kehamilan pertama dari pasangan usia subur muda. Mengurangi rasa sakit pada saat menstruasi Dapat mencegah defesiensi zat besi (Fe) Mengurangi resiko kanker ovarium. Tidak mempengaruhi produksi ASI pada saat pemakaian pil yang mengandung estrogen. f. Kontrasepsi Implant Pengertian Implant adalah metode kontrasepsi yang hanya mengandung progrestin dengan masa kerja panjang, dosis rendah, dan reversible untuk wanita. Mekanisme Kerja Kontrasepsi implant mekanisme kerjanya adalah menekan ovulasi, membuat getah serviks menjadi kental,dan membuat endometrium tidak sempat menerima hasil konsepsi. Waktu Mulai menggunakan Implant Implant dapat dipasang selama siklus haid hari ke-2 sampai hari ke-7 Bila tidak hamil bisa dilakukan setiap saat Saat menyusui antara 6 minggu sampai 6 bulan pasca persalinan Pasca keguguran implant dapat segera di insersikan Bila setelah beberapa minggu melahirkan dan telah terjadi haid kembali, insersi dapat dilakukan setiap saat, jangan melakukan hubungan seksual selama 7 hari. Keuntungan Efektifitas tinggi setelah dipasang Sistem 6 kapsul memberikan perlindungan untuk 5 tahun. Tidak mengandung estrogen Efek kontraseptif segera berakhir setelah implantnya dikeluarkan Implant melepaskan progestin dengan kecepatan rendah dan konstant, sehingga terhindar dari dosis awal yang tinggi. Dapat mencegah terjadinya anemia Kerugian
7

Insersi dan pengeluaran harus dikeluarkan oleh tenaga terlatih. Petugas medis memerlukan latihan dan praktek untuk insersi dan pengangkatan implant. Lebih mahal Sering timbul perubahan pola haid Akseptor tidak dapat menghentikan implant sekehendaknya sendiri. Efek Samping Pada umumnya efek samping yang ditimbulkan implant tidak berbahaya. Yang paling sering ditemukan adalah gangguan haid yang kejadiannya bervariasi pada setiap pemakaian, seperti pendarahan haid yang banyak atau sedikit, bahkan ada pemakaian yang tidak haid sama sekali. Keadaan ini biasanya terjadi 3 6 bulan pertama sesudah beberapa bulan kemudian. Efek samping lain yang mungkin timbul, tetapi jarang adalah sakit kepala, mual, mulut kering, jerawat, payudara tegang, perubahan selera makan dan perubahan berat badan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi Pada penelitian yang dilakukan oleh Kusumaningrum dan Palarto (2009) faktorfaktor yang mempengaruhi atau memiliki hubungan yang bermakna dengan pemilihan jenis kontrasepsi yang digunakan adalah umur istri, jumlah anak, dan tingkat pendidikan. Faktor tingkat kesejahteraan keluarga, kepemilikan jamkesmas, tingkat pengetahuan, dukungan pasangan, serta pengaruh agama tidak memiliki hubungan yang bermakna. B. Contraceptive Failure Rates 1. Faktor Resiko Kegagalan kontrasepsi dari kegagalan metode pengendalian kelahiran itu sendiri, dari penghentian metode oleh pengguna, atau dari penggunaan metode tertentu. "Kontrasepsi karena kegagalan yang melekat pada kegagalan metode sendiri hampir selalu dikacaukan oleh seseorang Penggunaan Tidak Teratur method "ketika kontrasepsi. Menduduki peringkat untuk efektivitas atas tahun pertama penggunaan, memanfaatkan data dari Survei Nasional 1995. Pertumbuhan Keluarga (NSFG) dan 1994-1995 Survei Pasien Aborsi (dikoreksi untuk aborsi yang tidak dilaporkan), long-acting metode seperti Norplant dan DMPA
8

menunjukkan tingkat kegagalan terendah (2-3%). Kegagalan meningkat dengan kombinasi kontrasepsi oral (8%), diafragma dan penutup serviks (12%), kondom laki-laki (14%), pantang berkala (21%), penarikan (24%) dan spermisida (26%) 4. Dengan demikian, pemilihan metode sangat mempengaruhi kemampuan pasangan untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan. Trussell dan Vaughn juga menggunakan data dari tahun 1995 NSFG untuk menghitung probabilitas kegagalan kontrasepsi untuk metode kontrasepsi reversibel dan untuk menghitung metode yang berhubungan penghentian dan dimulainya kembali pemakaian berikutnya. Dalam satu tahun memulai metode reversibel, kegagalan kontrasepsi terjadi pada angka 9% perempuan. Selama masa penggunaan reversibel metode, seorang wanita yang khas akan mengalami 1,8 kegagalan metode dan akan menghentikan penggunaan metode hampir 10 kali. Ketika mempelajari penghentian metode , Trussell mencatat bahwa 31% perempuan berhenti. Kontrasepsi untuk metode yang berhubungan dengan alasan dalam 6 bulan pertama digunakan, 44% pada waktu tahun pertama. Enam puluh delapan persen kembali menggunakan kontrasepsi dalam 1 bulan menghentikannya dan 76% melanjutkan penggunaan selama waktu 3 bulan. Dari catatan ada fakta bahwa perempuan berpenghasilan rendah kecil kemungkinan untuk melanjutkan penggunaan kontrasepsi setelah penghentian. Tingkat kegagalan kontrasepsi juga berbeda secara substansial antara kelompokkelompok perempuan tertentu. Menurut Fu, remaja dan wanita di bawah usia 25 tahun cenderung memiliki tingkat kegagalan lebih tinggi dari wanita berusia 25-29, nilainya lebih tinggi dibandingkan yang berusia 30 dan perempuan lebih tua. Enam belas persen (16%) dari remaja (usia 19 atau di bawahnya) metode yang menjadi kegagalan selama tahun pertama penggunaan, dibandingkan dengan 13% dari wanita berusia 20-24 dan 12% perempuan berusia 25-29. Di semua kelompok umur, kegagalan tertinggi tingkat adalah kalangan perempuan yang belum menikah, khususnya mereka yang kumpul kebo. Tujuh belas persen (17%) dari menikah, wanita kumpul kebo mengalami kegagalan kontrasepsi saat tahun pertama penggunaan kontrasepsi dibandingkan dengan 13% dari mereka belum menikah, tidak kumpul kebo dengan rekan-rekan. Tingkat kegagalan juga lebih tinggi berpenghasilan rendah pada perempuan, dengan beberapa variasi sepanjang deretan ras dan etnis. Wanita Amerika Afrika dinilai sama
9

tingkat kegagalan kontrasepsi (19%) tanpa penghasilan. Tingkat kegagalan kontrasepsi lebih rendah di antara perempuan Hispanik dan Putih dengan angka dari 15% dan 10% masing-masing, namun, mereka tingkat bervariasi secara signifikan oleh pendapatan. Hispanik danPutih perempuan dengan pendapatan di bawah 200% dari tingkat kemiskinan federal hampir dua kali lebih mungkin mengalami kegagalan kontrasepsi dari mereka yang pendapatannya tinggi (Trerweiler, 2000). 2. Alasan perempuan dalam menggunakan kontrasepsi Para wanita lebih cenderung untuk kontrasepsi jika: - mereka memiliki sikap positif tentang kontrasepsi. - mereka mampu membahas masalah seksual dengan teman dan pasangan mereka. - mereka puas dengan perawatan kesehatan reproduksi yang mereka terima pada kunjungan terakhir mereka. Perempuan lebih puas dengan pelayanan jika: - staf sopan, hormat dan membantu dan berusaha menilai kebutuhan mereka. - gender di klinik cocok dengan preferensi mereka sendiri. - klinik itu bersih dan pelayanannya efisien serta terorganisasi (Trerweiler, 2000). 3. Tingkat Kerhasilan Penggunaan Kontrasepsi Di bawah ini menunjukkan persentase perempuan yang hamil ketika sengaja menggunakan kontrasepsi selama satu tahun. Pemakaian Kondom Pada Pria Dari 100 Wanita, dengan Pria yang menggunakan Kondom: Penggunaan Tidak Teratur: 14 Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 3 Wanita Menjadi Hamil Penarikan Dari 100 Wanita, dengan Pria yang menggunakan metode Penarikan: Penggunaan Tidak Teratur: 19 Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 4 Wanita Menjadi Hamil Birth Control Pills - Kombinasi Dari 100 Wanita Menggunakan Pil Kombinasi Kontrol Kelahiran Penggunaan Tidak Teratur: 5 Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 1 atau KurangWanita Menjadi Hamil
10

Birth Control Pills - Progestin-Only Dari 100 Wanita Menggunakan Pil Lahir mengandung pengendalian progestin Penggunaan Tidak Teratur: 5 Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 3 Wanita Menjadi Hamil Suntikan hormon - Depo Provera Dari 100 Wanita Menggunakan Suntikan hormon: Penggunaan Tidak Teratur: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil

Dari 100 Wanita Menggunakan Suntikan estrogen / progestin: Penggunaan Tidak Teratur: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil Hormonal Implan Dari 100 Wanita Menggunakan Implan hormonal Penggunaan Tidak Teratur: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil Hormon patch - Ortho-Evra Dari 100 Wanita Menggunakan Patch Hormon: Penggunaan Tidak Teratur: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil Vagina hormonal Ring - NuvaRing Dari 100 Wanita Menggunakan Ring hormonal Vagina: Penggunaan umum: Sebuah perkiraan, belum diketahui Penggunaan Sempurna: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil Spermisida Dari 100 Wanita Menggunakan Spermisida: Penggunaan Tidak Teratur: 26 Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 15 Wanita Menjadi Hamil Kontrasepsi Spons Dari 100 Wanita Spons Menggunakan Kontrasepsi Penggunaan Tidak Teratur: 13 Wanita Menjadi Hamil
11

Penggunaan Sempurna: 9 Wanita Menjadi Hamil Diafrakma Dari 100 Wanita Menggunakan sebuah Diafragma Penggunaan Tidak Teratur: 20 Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 6 Perempuan Menjadi Hamil Serviks Cap Dari 100 Wanita Menggunakan Cap Serviks Penggunaan Tidak Teratur: 18 Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 4 Wanita Menjadi Hamil Kondom bagi perempuan Dari 100 Wanita yang Menggunakan Kondom bagi Perempuan Penggunaan Tidak Teratur: 21 Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 5 Wanita Menjadi Hamil Tembaga IUD (alat kontrasepsi) Dari 100 Wanita Menggunakan Tembaga IUD: Penggunaan Tidak Teratur: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil IUD (alat kontrasepsi) Dari 100 Wanita Menggunakan IUD: Penggunaan Tidak Teratur: 3 Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 3 Wanita Menjadi Hamil Metode Amenore Laktasi Dari 100 Wanita Menggunakan Metode LAM: Penggunaan Tidak Teratur: 2 Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 2 Wanita Menjadi Hamil Keluarga Berencana Alami Dari 100 Wanita Menggunakan Keluarga Berencana Alami Penggunaan Tidak Teratur: 24 Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 2 sampai 9 (rata-rata 6) Perempuan Menjadi Hamil

Sterilisasi Perempuan
12

Dari 100 Wanita Menggunakan Sterilisasi Wanita Penggunaan Tidak Teratur: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil Penggunaan Sempurna: 1 atau Kurang Wanita Menjadi Hamil

Tanpa Metode Kontrasepsi Dari 100 Wanita Tidak Menggunakan Alat Kontrasepsi Hasilnya: 85 Wanita Menjadi Hamil (Trerweiler, 2000)

C. Bencana 1. Pengertian Bencana dalam Ilmu Kedokteran adalah eskalasi dari keadaan emergensi, dimana pada kasus emergensi pasien bersifat individual, sedangkan pada bencana kasus bersifat massal (mass casualty). Bencana medik adalah kejadian yang melibatkan kasus massal, yang mana diluar jangkauan sumber daya tersedia untuk menanganinya (Suryono, 2006). Menurut Susanto (2006), adalah peristiwa yang disebabkan oleh alam atau ulah manusia yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa atau nyawa manusia, kerusakan harta benda, dan lingkungan. Bencana alam adalah peristiwa yang disebabkan oleh gejala alam, seperti gunung meletus, tanah longsor, banjir, gelombang pasang, angin ribut, dan banjir lahar. Bencana alam dapat mengakibatkan korban, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan (Warto, et.al., 2002). Bencana dapat diakibatkan oleh dua hal, yaitu bencana internal (Internal Disaster) yaitu bencana yang menimpa pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, maupun bencana eksternal (External Disaster) yaitu bencana yang menimpa masyarakat sehingga terjadi eskalasi kasus sejak ditempat kejadian, transportasi sampai pelayanan di rumah sakit. Bencana internal dapat terjadi bila telah terjadi kerusakan fisik, infrastruktur, padamnya listrik, kesulitan penyediaan air bersih, tidak lengkapnya SDM, persediaan obat tidak mencukupi, logistik tidak cukup (Suryono, 2006).

2. Jenis-jenis bencana Tipe bencana menurut Suryono (2006), yang dapat menimbulkan korban masal adalah:
13

a. Bencana alam, meliputi : 1) Gempa bumi (tektonik, vulkanik), 2) Letusan gunung (awan panas, lahar), 3) Tsunami (Seismic Sea Wave), 4) Angin ribut (misal: cleret tahun, typhoon, hurricane), 5) Banjir bandang,f) Tanah longsor, 6) Kebakaran hutan, 7) Kekeringan, 8) Gas beracun (misal: kawah Sinila Dieng), dan 9) Benturan meteor atau asteroid pada planet bumi. b. Bencana non-alam, meliputi : 1) Kecelakaan hebat (misal: kecelakaan pesawat terbang di Medan), 2) Kerusuhan sosial (perang suku, antar golongan, demonstrasi yang rusuh), 3) Gas beracun (misal gas serine di Jepang, dan Bhopal India),4) Perang konvensional, kuman atau biologi, 5) Bencana nuklir (perang atau kecelakaan reaktor nuklir), dan 6) Terorisme.

3. Fase-fase Bencana Menurut Santamaria (1995) cit. Arina (2006) ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, a. Fase preimpact merupakan fase warning, yakni tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan satelit & meteorologi cuaca. Pada fase inilah seharusnya segala persiapan dilakukan baik dari pemerintah, lembaga, dan warga. b. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk survive. Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan. c. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap penolakan hingga penerimaan. Menurut Warto, et.al. (2002), korban bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: a. Korban primer, yaitu semua orang yang berada di daerah bencana yang kehilangan sanak keluarga, luka berat, meninggal, dan kehilangan harta benda. b. Korban sekunder, yaitu semua orang yang berada di wilayah daerah bencana atau di daerah rawan bencana yang mengalami kerugian ekonomi akibat bencana. c. Korban tertier, yaitu semua orang yang berada di luar daerah bencana, tetapi ikut menderita akibat bencana.
14

4. Dampak-dampak Bencana Menurut World Psyciatric Assosiation (2005) dalam buku yang berjudul Disasters and Mental Health mengungkapkan bahwa pengaruh bencana dapat dikurangi dengan kemampuan untuk mempengaruhi adaptasi secara psikologis, dengan kemampuan struktur komunitas untuk beradaptasi pada kejadian dan konsekuensinya atau dengan jumlah dan berbagai bantuan dari luar. Pengaruh trauma dan bencana mungkin bermacam-macam dengan pengalaman yang baru terjadi yang mengingatkan orang pada kejadian lampau. Pengaruh trauma dan bencana juga berdampak pada komunitas, perbaikan lingkungan yang dipengaruhi kejadian traumatik. Pada bagian ini kita menguji respon psikiatrik, psikologis dan konsekuensi prilaku pada trauma dan bencana (World Psyciatric Assosiation, 2005). Dampak sosial dari bencana mengakibatkan adanya kebiasaan atau kegiatan yang berubah karena adanya kehilangan, perpisahan ataupun kematian pasangan hidup, anak atau orang di sekeliling. Selain itu, bencana juga dapat melumpuhkan kegiatan perekonomian masyarakat akibat rusaknya sarana dan prasarana fasilitas perekonomian (Purnomo, et.al., 2010). Kejadian traumatik skala besar bisa berdampak besar pada kehidupan sosial dan tingkah laku dari seseorang, serta dapat membuat perubahan yang besar pada masyarakat (World Psyciatric Assosiation, 2005). Menurut Purnomo, dampak bencana dibagi menjadi tiga yaitu, dampak psikologis, perubahan perasaan, dan perubahan proses berfikir. Dampak psikologis yaitu adanya perubahan terhadap psikis/kejiwaan/mental yang ditandai dengan adanya perubahan perilaku, marah, panik, kacau dan trauma. Perubahan perasaan dapat ditandai dengan munculnya rasa cemas akan masa depan, sedih, tertekan, putus asa, tidak berdaya, dan mudah tersinggung. Adapun perubahan dalam berpikir ditandai dengan mudah lupa dan sulitnya memusatkan perhatian (Purnomo, et.al., 2010).

15

BAB III ANALISIS JURNAL A. Isi Jurnal PENDAHULUAN 27 Mei 2006, terjadi gempa tektonik dengan skala 6,2 SR di Yogyakarta dan Jawa tengah. Bencana ini memakan korban meninggal 5.700 jiwa (4.695 di propinsi Yogyakarta dan 1.057 di propinsi Jawa Tengah), serta korban luka-luka sekitar 37.000 sampai dengan 50.000 jiwa. Kabupaten terparah yang terkena dampak gempa tersebut adalah Kabupaten Bantul. Bantul merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Yogyakarta, yang terdiri dari 17 kecamatan, 74 desa, dan 933 dusun. WHO melaporkan, setelah kejadian gempa tersebut, populasi yang beresiko tinggi di Bantul antara lain 11.973 bayi, 45.246 anak di bawah 5 tahun, 864 anak di bawah 5 tahun dengan berat badan rendah, dan 12.981 ibu hamil. Gempa dengan skala besar ini menyebabkan efek yang luas pada populasi yang terkena dampak, terutama pada wanita serta yang mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya. Beberapa penelitian mengenai bencana menyebutkan, sebagian besar penelitian meneliti mengenai dampak kesehatan mental akibat bencana. Penelitian sebelumnya mengenai bencana baik bencana alam maupun bencana teknologi mengindikasikan dengan jelas bahwa bencana menyebabkan dampak negatif terhadap kesehatan mental seseorang. Faktor resiko yang paling umum mengenai masalah psikologi paska bencana antara lain adalah jenis kelamin yaitu perempuan, penyakit psikiatri sebelumnya, kerusakan bangunan dan rumah yang serius, derajat paparan terhadap gempa bumi, serta kurangnya dukungan sosial. Di samping hal tersebut, hal ini menunjukkan pula bahwa stress terkait pengalaman terhadap bencana gempa bumi ini juga berkaitan dengan konsekuansi serius yang harus dialami oleh ibu hamil dan juga janin, diantaranya adalah umur kehamilan yang terlalu muda, meningkatnya kejadian bayi dengan BBLR, berkurangnya rasio jenis kelamin pada persalinan, dan meningkatnya kejadian aborsi spontan dan kelahiran preterm. Di sisi lain, pusat pelayanan kesehatan juga mengalami gangguan akibat terjadinya gempa bumi dikarenakan berbagai infrastruktur seperti rumah sakit, pusat kesehatan, dan beberapa balai pengobatan mengalami kerusakan. Kontrasepsi adalah salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dikarenakan kehamilan yang tidak diharapkan sangat erat

16

kaitannya dengan meningkatnya morbiditas selama kehamilan, serta perilaku kesehatan selama kehamilan juga berkaitan dengan efek samping yang terjadi pada ibu dan janin. Sebelum gempa bumi terjadi, sebanyak 65% wanita yang telah menikah di propinsi Yogyakarta menggunakan alat alat kontrasepsi. Di antara beberapa metode kontrasepsi modern, yaitu suntik, pil, dan IUD adalah yang paling sering digunakan. para perempuan ini mendapatkan pelayanan kontrasepsi dari beberapa sarana pemerintahan seperti puskesmas atau dari sarana kesehatan yang lain. Beberapa puskesmas mengalami kerusakan ketika gempa terjadi. Hal ini menghambat beberapa wanita untuk mendapatkan akses melakukan kontrasepsi selama bencana terjadi. Tetapi, tidak didapatkan laporan mengenai perubahan metode kontrasepsi selama periode paska bencana dan kaitanyya dengan kehamilan yang tidak direncanakan. Dengan demikian, kami mengkaji akses terhadap kontrasepsi serta metode yang digunakan sebelum dan selama 1 tahun ketika gempa bumi terjadi di Bantul. Selanjutnya, kami mengevaluasi prevalensi kehamilan yang tidak direncanakan kaitannya dengan proses pengambilan keputusan pasangan mengenai alat kontrasepsi yang akan digunakan setelah bencana serta hal yang mendasari mereka dalam melakukan perubahan mengenai metode kontrasepsi yang digunakan. SUBJEK dan METODE PENELITIAN 2.1. Subjek penelitian Responden pada penelitian ini ada 450 wanita yang sudah menikah. Peserta studi direkrut melalui kerjasama kader (komunitas sukarelawan untuk perawatan kesehatan) dari kecamatan Jetis dan Pleret, Kabupaten Bantul, Provinsi Yogyakarta, antara Juli dan Agustus 2007. 2.2. Methode penelitian Kuesioner diserahkan kepada para kader selama pelatihan yang dilakukan oleh PSIK, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Satu kader diminta untuk

mendistribusikan kuesioner untuk dua atau tiga calon peserta di desanya. Syarat menjadi responden adalah wanita berusia 21 49 tahun dan sudah menikah sebelum gempa terjadi. 2.2.1. Kuisioner Kuesioner ini berisi pertanyaan terbuka mengenai latar belakang para peserta (nama, usia, suamiusia, alamat, jumlah anak-anak, usia ketika menikah, tinggi dan berat badan),
17

penggunaan dari metode kontrasepsi sebelum bencana (pasangan diskusi tentang metode kontrasepsi agar dapat memutuskan pada metode untuk digunakan, metode kontrasepsi, alasan untuk tidak menggunakan metode kontrasepsi), metode kontrasepsi setelah bencana (kesulitan dalam mengakses metode kontrasepsi pasangan diskusi tentang metode kontrasepsi agar dapat memutuskan pada metode untuk digunakan). 2.2.2. Analisis Dalam studi ini, analisis dilakukan pada kelompok peserta yang menggunakan metode kontrasepsi apapun sebelum bencana. Pertama, dilakukan perbandingan dari metode kontrasepsi sebelum dan setelah bencana. Kemudian, kesulitan dalam mengakses metode kontrasepsi selama situasi bencana yang dianalisis. Selanjutnya, dilakukan diskusi pasangan mengenai metode kontrasepsi agar dapat memutuskan metode kontrasepsi mana yang akan dipilih. Selanjutnya, prevalensi kehamilan yang tidak direncanakan dihitung berdasarkan metode kontrasepsi yang digunakan setelah bencana dibandingkan dengan metode yang digunakan sebelum bencana, dan pada contraceptive failure rates (CFR) atau perubahan tingkat kegagalan kontrasepsi sebelum dan setelah bencana. 2.3. Pertimbangan Etik Izin untuk melakukan studi diberikan oleh kelembagaan review board Kobe University School of Medicine, School of Nursing, Universitas Gadjah Mada, dan oleh para peserta melalui persetujuan mereka. 2.4. Analisis Statistik Hasil yang ditampilkan adalah berupa frekuensi, persentase, mean dan standar deviasi. Analisis perbedaan antara dua proporsi digunakan untuk perbandingan antara kelompokkelompok. Confidence interval (95%) dihitung. P <0,5dianggap sebagai perbedaan yang signifikan. HASIL Latar belakang partisipan Sebelum bencana, metode kontrasepsi digunakan oleh 365 partisipan (81.1%); 85 partisipan (18.9%) tidak menggunakan metode kontrasepsi apapun. Rata-rata usia partisipan yang menggunakan kontrasepsi adalah 33.4 tahun.Rata-rata usia suami 37.3 tahun. Rata-rata urutan anak ke 1.8. rata- rata responden menikah pada usia 21.8 tahun. Rata-rata body mass index (BMI) partisipan yaitu 22.4kg/m2.
18

Methode kontrasepsi sebelum dan sesudah bencana Sebelum dan sesudah bencana kebanyakan responden menggunakan injeksi (KB suntik), diikuti oleh IUD dan pil. Setelah bencana prosentase partisipan yang menggunakan KB suntik dan implan mengalami penurunan. Sebaliknya, prosentase partisipan yang menggunakan pil meningkat. Coitus interuptus secara significant juga meningkat setelah terjadinya bencana. Sebelum bencana tidak ada responden yang melaporkan penggunaan metode coitus interuptus. Setelah bencana, tujuh partisipan menggunakan metode ini. kondisi lain

menunjukkan ada 14 partisipan yang tidak menggunakan metode apapun stelah bencana. 18,9% melaporkan bahwa mereka tidak menggunakan metode kontrasepsi sebelum terjadinya bencana. Alasan mereka tidak menggunakan kontrasepsi adalah sebagai berikut: ingin hamil (51,8%), hamil (9,4%), kesuburan terkait alasan (7,1%), metode terkait alasan (12,9%), dan waktu terkait alasan (1,2%). Kesulitan pengkajian metode kontrasepsi selama situasi bencana Dari 365 partisipan yang menggunakan metode kontrasepsi sebelum bencana, 40 parisipan (11%) mengungkapakan pengalaman kesulitan mereka untuk mendapatkan metode kontrasepsi selama situasi bencana. Alasan untuk sulitnya mendapatkan akses metode kontrasepsi antara lain: kebanyakan partisipan mengungkapakan bahwa tidak tersedianya alat atau metode kontrasepsi (42,5%). Karena kesulitan ini, 3 dari 40 partisipan tidak mengguankan metode kontrasepsi apapun. Alasan lain yaitu kontrasepsinya terkubur di reruntuhan rumah, tidak tahu bagaimana cara mendapatka kontrasepsi dan alasan finansial. Beberapa diskusi pasangan tentang metode kontrasepsi sebelum dan sesudah bencana pasangan berdiskusi tentang metode kontrasepsi untuk dapat memutuskan metode yang digunakan sebelum dan setelah bencana,beberapa di antara mereka mengungkapkan

pengalaman kesulitan dalam mengakses metode kontrasepsi selama situasi bencana yang dibagi ke dalam beberapa tipe, termasuk diskusi antara suami dan istri, keputusan antara suami dan istri atau dampak bagi petugas kesehatan. Dari 40 partisipan menceritakan kesulitan mereka dalam mengakses atau mendapatkan metode kontrasepsi selama situasi bencana. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebanyak 72,5 % pasangan mengguankan metode yang sama sebelum dan sesudah terjadinya bencana. Kehamilan yang tidak direncanakan

19

Prevalensi kehamilan yang tidak direncanakan berdasarkan metode kontrasepsi setelah bencana dibandingkan dengan metode sebelum terjadinya bencana dan perubahan pada metode CFR sebelum dan sesuda bencana. Prevalensi tertinggi kehamilan yang tidak direncanakan terlihat pada partisipan yang kesulitan untuk mengakses metode kontrasepsi dan mereka yang mengubah metode kontrasepsi setelah terjadinya bencana dari CFR rendah menjadi CFR tinggi (28,6%). DISKUSI Ini merupakan demonstrasi yang pertama kali tentang perubahan metode kontrasepsi dan efeknya dalam prevalensi kehamilan yang tidak terencana dalam situasi bencana. Setelah bencana, presentase partisipan yang menggunakan KB suntik dan implan menurun. Tetapi, presentasi partisipan yang menggunanakna KB pil meningkat. Coitus interruptus meningkat secara signifikan setelah bencana. Hasil ini membantu untuk menginovasi metode kontrasepsi dalam situasi bencana. Di Indonesia, penyediaan alat kontrasepsi dilakukan pada system kesehatan dengan memanfaatkan infrastuktur kesehatan dibawah pimpinan kementrian kesehatan, termasuk Puskesmas, klinik pribadi, posyandu, RS, farmasi, dan klinik militer. Pendistribusian pil KB dibantu oleh kader kesehatan; untuk injeksi dan implan, suplai tergantung dari pelayanan yang disediakan oleh tenaga kesehatan. Dikarenakan gempa bumi, 245 fasilitas kesehatan di provinsi Yogyakarta mengalami kerusakan yang parah, dan 99 fasilitas kesehatan mengalami kerusakan sedang. Sesuai dengan pelayanan kesehatan yang ada di Bantul, 15 dari 26 (57,7%) puskesmas mengalami kerusakan yang parah, 34 puskesmas pembantu juga mengalami kerusakan, 17 pustu mengalami kerusakan lebih dari 50% dan 16 pustu mengalami kerusakan ringan. Kerusakan bangunan fisik mengakibatkan peralatan juga rusak dan tidak bisa diperbaiki. Perawat dan bidan tidak bisa melakukan pemasangan IUDs, implan ataupun injeksi. Kerusakan itu juga berkontribusi dalam hasil penelitian ini. Dalam penelitian ini, 81,1% responden menggunakan kontrasepsi sebelum bencana. Lebih dari 60% wanita di Yogyakarta yang sudah menikah telah menggunakan kontrasepsi. Pada tahun 2003, Yogyakarta merupakan 1 dari 5 provinsi di Indonesia yang mencapai prevalensi tertinggi dalam pengguanaan kontrasepsi. Sebelum dan sesudah bencana, sebagian besar responden dalam penelitian menggunakan KB suntik, lalu diikuti IUDs, dan pil. Pada tahun 2002-2003 data demografi di Indonesia menurut survey kesehatan menunjukkan bahwa
20

diantara metode modern, KB suntik merupakan kontrasepsi yag biasa digunakan oleh wanita yang belum menikah dan ang sudah menikah, lalu diikuti dengan KB pil. Metode tradidional tidak biasa digunakan di Indonesia; walau bagaimanapun juga, dalam situasi bencana menyebabkan beberapa pasangan mengalami kesulitan dan dalam pengambilan keputusan dibuat pasangan dalam perubahan metode kontrasepsi. Selama situasi bencana , diantara 40 responden melaporkan kesulitan dalam mengakses kontrasepsi, kebanyakan dari responden mengatakan tidak tersedianyan alat kontrasepsi. Perubahan dalam suplai alat kontrasepsi berhubungan dengan keputusan wanita dalam penggunaan metode kontrasepsi. Analisis dari diskusi pasangan terkait metode kontrasepsi, ditemukan bahwa sebagian besar partisipan telah mendiskusikannya dengan pasangan mereka; namun, situasi bencana membuat mereka merubah metode kontrasepsi tersebut. Tidak seperti keputusan pelayanan kesehatan yang lain, pilihan metode KB kebanyakan tergantung pada lingkungan personal klien, pilihan, dan prioritas tidak mengutamakan faktor medis. Pengambilan keputusan dalam keluarga, khususnya dalam hubungan pernikahan, akan dipengaruhi oleh nilai-nilai suami-istri dan norma-norma yang mengatur hubungan tersebut. Komunikasi antara suami dan istri mengenai KB memiliki hubungan yang signifikan dengan pola pengambilan keputusan terhadap KB, baik mengenai jumlah anak dan penggunaan kontrasepsi. Diskusi antara pasangan diharapkan dapat meningkatkan penggunaan alat kontrasepsi karena sejumlah minoritas wanita menyebutkan penolakan KB oleh suami sebagai alasan untuk tidak menggunakan kontrasepsi, meskipun tidak pernah mendiskusikan mengenai KB dengan suami mereka. Edukasi dan motivasi yang efektif dapat menurunkan angka kegagalan kontrasepsi (CFR). Dalam situasi bencana, penting bagi tenaga kesehatan untuk mendorong pasangan untuk mempertahankan komunikasi yang baik, dan dalam waktu yang sama memberikan edukasi pasangan tersebut mengenai resiko kegagalan dari setiap metode kontrasepsi untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Dalam penelitian ini, total prevalensi kehamilan yang tidak terencana dari partisipan yang menggunakan metode kontrasepsi sebelum terjadi bencana sebesar 5,9% (19 dari 322). Namun, ketika persentase dibandingkan antara partisipan yang mengalami kesulitan dalam mengakses metode kontrasepsi (n=40) dengan partisipan yang tidak mengalami kesulitan dalam mengakses metode kontrasepsi (n=307), prevalensi kehamilan yang tidak diinginkan secara signifikan lebih tinggi pada waktu awal (13,2% vs 4,9%, p<0,05). Lebih jauh, temuan
21

dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kehamilan yang tidak direncanakan disebabkan oleh perubahan metode kontrasepsi, dari yang memiliki angka kegagalan lebih rendah ke yang memiliki angka kegagalan lebih tinggi (misalnya dari metode KB suntik menjadi metode coitus interruptus atau tidak menggunakan metode KB sama sekali). Dalam penelitian ini tidak terdapat kasus kehamilan tidak terencana pada partisipan yang menggunakan metode KB yang sama (dengan metode KB sebelum bencana), atau pada patrisipan yang mengubah metode KB mereka dari metode yang memiliki angka kegagalan tinggi ke metode dengan angka kegagalan rendah (contoh: dari metode coitus interruptus menjadi metode KB suntik). Lebih jauh, prevalensi tertinggi kehamilan tidak terencana terlihat pada kelompok partisipan yang mengalami kesulitan dalam mengakses metode kontrasepsi dan yang mengubah metode kontrasepsi dari metode kontrasepsi dengan angka kegagalan rendah dengan metode kontrasepsi dengan angka kegagalan tinggi. Prevalensi kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia sebesar 8%, terhitung dalam periode 5 tahun (survei tahun 1997-2003).

22

B. Analisis Jurnal KASUS Perawat Bella merupakan perawat klinis yang bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah di kota Yogyakarta. Perawat Bella tiap harinya selalu menghadapi pasien dalam keadaan amuk, depresi, menarik diri, dan penyakit gangguan jiwa lainnya. Tugas tersebut memang menjadi makanan sehari-hari dari perawat Bella karena perawat bella memang merupakan salah satu perawat jiwa di bangsal Jiwa rumah sakit S. Suatu ketika, datang berita buruk mengenai sebuah tsunami besar yang menghantam kota Aceh, dan 7 negara lainnya. Perawat Bella sangat ingin ikut berpartisipasi dalam mengatasi dampak dari bencana besar tersebut. Namun, dalam melakukan sebuah intervensi, Perawat Bella perlu sebuah data untuk memudahkannya merencanakan intervensi. Dan saat itu, perawat Bella tertarik menjadi relawan di sebuah negara, yaitu India tepatnya di wilayah Nagapattinam di Tamil Nadu India Selatan yang juga memiliki banyak korban dari bencana
23

tsunami yang terjadi. Untuk itu, perawat Bella mengumpulkan informasi dan tindakan apa yang kiranya sesuai untuk dilakukan di daerah tersebut terkait dengan dampak psikologis para korban bencana. ANALISIS Ada beberapa faktor resiko yang menyebabkan terjadinya PTSD. Faktor resiko terjadinya PTSD pasca bencana dibagi menjadi dua kategori, yaitu faktor sebelum terjadinya bencana dan faktor saat terjadinya bencana. Pada hasil penelitian didapatkan hasil bahwa jumlah yang paling banyak mengalami kasus PTSD adalah kelompok usia remaja (12-18 tahun) dan kelompok wanita. Faktor usia dan jenis kelamin ini memang merupakan faktor resiko yang masuk dalam kategori faktor resiko sebelum terjadinya bencana. Prevalensi perempuan dan golongan anak muda lebih banyak mengalami PTSD dikarenakan perempuan lebih rentan stress, rendahnya dukungan sosial, bawaan respon biologis yang spesifik, dan tipe pengalaman trauma. Selain remaja, prevalensi PTSD juga terdapat pada anak-anak. Prevalensi PTSD yang terjadi pada anak mungkin diakrenakan anak yang selamat menjadi saksi langsung terjadinya bencana alam, kematian anggota keluarga dan komunitas, kerusakan komunitas, dan transmisi terus-menerus dari terpaparnya bencana. Hasil penelitian juga memaparkan bahwa dari seluruh responden yang terdeteksi mengalami PTSD, paling banyak mengalami PTSD berat yaitu sebesar 51.5%. Kelompok PTSD berat ini mengalami beberapa kehilangan, kehilangan terbanyak terdapat pada kehilangan kekayaan yaitu sebanyak 133 individu, lalu 24 kehilangan kehidupan, dan 4 kehilangan multipel. Faktor kehilangan ini juga merupakan salah satu faktor resiko yang masuk pada kategori faktor resiko saat terjadinya bencana. Kehilangan ini akan menimbulkan rasa duka bagi korban. Jika korban tidak berhasil mengatasi rasa duka tersebut maka akan berdampak pada gangguan jiwa seperti PTSD. Melihat dampak yang ditimbulkan dari adanya bencana besar seperti tsunami, maka penting dilakukan sebuah intervensi untuk menangani masalah fisiologis dan psikologis, khususnya pada kasus PTSD. Sehingga berdasarkan Technical Guideline for Health Crisis Responses on Disaster, terdapat dua tahap yang bisa dilakukan, yaitu tahap kegawatdaruratan akut dan tahap rekonsilidiasi.

24

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Setelah bencana, presentase partisipan yang menggunakan KB suntik dan implan menurun. Tetapi, presentasi partisipan yang menggunanakna KB pil meningkat. Coitus interruptus meningkat secara signifikan setelah bencana. Banyak wanita mengalami kesulitan dalam mengakses metode kontrasepsi selama dalam situasi bencana, menyebabkan kehamilan yang tidak terencana.

B. SARAN Dalam situasi bencana, tenaga kesehatan seharusnya tidak hanya aktif memberikan alat/metode kontrasepsi, namun juga harus mengedukasi pasangan mengenai resiko kegagalan dari setiap metode kontrasepsi untuk mencegah kehamilan yang tidak terencana. C. IMPLIKASI KEPERAWATAN 1. Perawat sebagai pendidik Perawat dapat memberikan lebih banyak ilmu dan informasi serta penelitian atau evidance based nursing (EBN) kepada mahasiswanya mengenai dampak suatu bencana khusunya pada wanita yang telah menikah dan menggunakan kontrasepsi. 2. Perawat sebagai klinisi Perawat dapat memberikan edukasi kepada wanita yang telah menikah dan pasangannya mengenai pemakaian alat kontrasepsi, macam-macam alat kontrasepsi berserta resiko kegagalan dari tiap-tiap alat kontrasepsi dan melakukan pemasangan alat kontrasepsi. 3. Perawat sebagai advokat Perawat dapat berperan sebagai konsultan bagi pasien wanita menikah dan pasangannya yang akan menggunakan alat kontrasepsi. 4. Perawat sebagai peneliti Perawat diharapkan melakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak suatu bencana terkait dengan kesehatan dan lebih khusunya pada kesehatan wanita yang telah menikah.

25

DAFTAR PUSTAKA Arina. 2006. Nurse in Disasters. Online: 19 Febuari 2011. Available from:

http://thewhitepublisher.blogspot.com/2006/10/nurse-in-disaster-sejak-bencana.html

Purnomo., dkk. 2010. Dampak Dampak Bencana. Online: 15 Juni 2011. Available from:http://www.dampak_dampak_bencana_bnpb.go.id/website/file/pubnew/104.pdf

Suryono, B. 2006. Peran Medik Pada Penanganan Korban Bencana. Online: 19 Febuari 2011. Available from: www.desentralisasi-

kesehatan.net/id/moduldm/id/tt_2/bacaan/Peran_Medik_pd_Penanganan_korban_Bencan a.pdf+%22+tipe+bencana%22&hl=id&ct=clnk&cd=18

Susanto, A.B. 2006. Dissaster Management Di Negri Rawan Bencana. Jakarta: PT Aksara Grafika Pratama

Trierweiler, K. 2000. Contraceptive Failure, How Clinicians Can Promote, Effective Contraceptive Practice. Colorado : Colorado Department of Public Health and Environment.

Warto., Cahyono, S.A., Probokusumo, P.N. 2002. Pengkejian Manajemen Penanggulangan Korban Bencana Pada Masyarakat di Daerah Rawan Bencana Alam Dalam Era Otonomi Daerah. Yogyakarta: Departemen Sosial RI Badan Pelatihan dan

Pengembangan Sosial

World Psyciatric Assosiation. 2005. Disasters and Mental Health. Online: 22 Febuari 2011. Available from: http://www.wpanet.org/

http://www.scribd.com/doc/14044745/FAKTORFAKTOR-YANG-BERHUBUNGANDENGAN-PENGGUNAAN-ALAT-KONTRASEPSI-SUNTIK-DI-DESA-SIBOWITAHUN-2008
26

Kusumaningrum, Radita et al. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis Kontrasepsi yang Digunakan pada Pasangan Usia Subur. Laporan Akhir Penelitian Karya Tulis Ilmiah: UNDIP, Semarang. Available from:

http://eprints.undip.ac.id/19194/1/Radita_Kusumaningrum.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19183/4/Chapter%20II.pdf

http://kesehatan.kompas.com/read/2008/10/23/18083856/KB.Cegah.Kehamilan.Tidak.Direncana kan.

27

Anda mungkin juga menyukai