Anda di halaman 1dari 2

ACFTA dan Persaingan Tak Sehat

10 Februari 2012 oleh pyandri Sejak ditandatangi pada tanggal 4/11/2004, Pemerintah RI bersama negara-negara Asean menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the Association of South East Asian Nations and the Peoples Republic of China. Penandatangan inilah yang melandasi ACFTA yang efektif diberlakukan pada Januari 2010 lalu. D Dampak ACFTADengan kesepakatan ini, sejak Januari 2010 lalu sebanyak 83 persen dari 8738 produk impor China bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa bea masuk sepeserpun. P Pertanyaannya, apakah ACFTA itu berdampak positif bagi perekonomian Indonesia? Dalam data BPS, Indonesia untuk pertama kalinya mencetak surplus perdagangan dengan China pada Oktober 2011 sebesar US$ 106 juta. Sementara total surplus perdagangan Indonesia pada Oktober 2011 mencapai US$ 1,15 miliar. Nilai impor dari China mencapai US$ 2,134 miliar, sementara ekspor Indonesia ke China pada Oktober 2011 mencapai US$ 2,241 miliar. Nilai ekspor tersebut masih didominasi bahan bakar mineral sebesar US$ 21,99 miliar dan lemak dan minyak hewan/nabati US$ 17,31 miliar. Nilai ini tentu bukan menjadi patokan utama. Sebab, pemain industri bahan bakar mineral adalah perusahaan skala besar dan bahkan dimiliki pemerintah. Sehingga, upaya mendorong surplus perdagangan boleh jadi bukan disebabkan oleh faktor ekonomi seperti kenaikan produktivitas dan peningkatan daya saing, tetapi lebih karena faktor politik. Pada faktanya, neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan China kembali defisit pada November 2011. Apalagi, memasuki semester kedua tahun 2011 terjadi trend penguatan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dolar Amerika Serikat (AS). Sehingga, penguatan nilai tukar itu bisa menjadi pemicu importir memasukkan barang-barang dari luar negeri. Karena itu, pernyataan bahagia bahwa surplus perdagangan Indonesia-China disebabkan oleh kinerja ekonomi adalah sesuatu yang ceroboh. Sebab itu, membaca data secara agregat memang bisa membuat kita aduhai terlelap. Padahal, jika neraca perdagangan itu dilihat secara sektoral, terdapat sektor-sektor ekonomi yang menderita karena desakan impor. Salah satu industri terdampak adalah mainan anak-anak. Industri ini terus tertekan sebagai akibat dari nilai impor dari China yang terus melonjak. Catatan Asosiasi Penggiat Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (Apmenti) menyatakan, sekitar 80-90% impor mainan berasal dari China. Pada 2011, realisasi impor mainan selama 10 bulan di 2011 mencapai US$ 60,237 juta. Melonjak 30,7% dibanding periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai US$ 46,08 juta. Tingginya nilai impor ini tentu terkait dengan kurangnya bahan baku, pasokan komponen, ketidakstabilan dan mahalnya ongkos energi, serta kesulitan permodalan. Kondisi ini kemudian memaksa produsen mainan untuk mengurangi produksi mainannya. Pengusaha mainan akhirnya lebih memilih mengimpor ketimbang memproduksi sendiri. I Indikasi KartelNamun demikian, praktik impor ini terindikasi tidak sehat. Menurut catatan Kemenperin, ditemukan indikasi tindakan dumping pada 38 produk yang diimpor dari China m melalui skema ACFTA.Lima diantaranya adalah elektronik, furnitur, logam, tekstil dan produk tekstil, serta mainan anak-anak. Dalam kaitan itu, sampai dengan Oktober 2011 Kemendag

telah mencabut ijin 215 importir terdaftar (IT) mainan anak-anak. Selain itu, impor mainan juga terindikasi praktik kartel. Indikasi ini semakin kuat karena pola perdagangan internasional umumnya menggunakan pola rantai penawaran (supply chain). Sistem ini menghubungkan mata rantai, dari sejak agen sampai rak-rak di pasar tanpa ada titiktitik penjualan. Artinya, mulai produksi, perdagangan, pengolahan hingga ritel tidak hanya terindustrialisasi dan mengglobal, tetapi juga semakin terkonsentrasi di tangan segelintir korporasi multinasional (MNCs), termasuk asosiasi-asosiasi perdagangan. Hasil olah data membuktikan, nilai elastisitas silang mainan China dengan mainan Indonesia adalah 0,85%. Mainan buatan China delapan kali lebih diminati dibanding buatan Indonesia. Itu artinya, selera konsumen terhadap mainan buatan China lebih tinggi jika dibandingkan dengan selera terhadap mainan buatan Indonesia. Dalam konteks ini, produk mainan Indonesia a adalah barang subtitusi.Sebab itu, tidak ada perubahan signifikan dalam permintaan mainan buatan Indonesia ketika harganya turun. Kenaikan harga satu rupiah hanya menyebabkan p permintaan mainan Indonesia menurun sebesar 0,04%.Makna intuitifnya adalah konsumen akan beralih ke produk mainan China ketika harganya lebih murah. Makanya jangan heran kalau kemudian konsumen ramai-ramai membeli produk mainan China. Kartel termasuk kelompok cara berdagang tak sehat. Per definisi, kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya. Praktiknya, kartel bisa dilakukan melalui tiga cara: harga, produksi dan wilayah pemasaran. Akibatnya, terciptanya praktik monopoli oleh para pelaku kartel. Secara makroekonomi kartel mengakibatkan inefisiensi alokasi sumberdaya dengan munculnya deadweight loss. Di sisi konsumen, mereka akan kehilangan pilihan harga. Karena itu, kartel dianggap sebagai dosa terberat pelaku usaha karena tidak saja merugikan konsumen tapi juga mencederai alokasi sumberdaya yang efisen. Makanya, kalau tidak ada kebijakan pemihakan, industri mainan dalam negeri dalam waktu dekat bisa gulung tikar. Hal ini berlaku jika tidak ada insentif dari pemerintah untuk dapat meningkatkan daya saing dan melindungi produsen mainan dalam negeri. T Tindakan KPPUPertanyaannya kemudian, apa tindakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai the last resort bagi pelaku usaha dan konsumen di Indonesia? Tentu, harapannya adalah melakukan tugasnya sebagaimana amanah UU. No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Akhirnya, dari sini pesannya menjadi jelas. Tidak ada cara lain bagi pemerintah selain bertindak cepat demi meminimalisasi dampak kerusakan industri mainan di dalam negeri. Upaya jangka pendek seperti pemberian insentif untuk dapat meningkatkan daya saing dan m melindungi industri tersebut harus dilakukan.Dalam jangka panjang, pelatihan inovasi serta kreativitas dengan melibatkan teknologi baru harus dilakukan. Termasuk perbaikan kebijakan energi dan infrastruktur. Telah dimuat di Harian Umum Suara Tangsel, 10 Pebruari 2012

Anda mungkin juga menyukai

  • KEBUDAYAAN
    KEBUDAYAAN
    Dokumen6 halaman
    KEBUDAYAAN
    Steffani Sarah Pratiwi Mewengkang
    Belum ada peringkat
  • Perdata Buku 3 Dan Perdata Buku 4
    Perdata Buku 3 Dan Perdata Buku 4
    Dokumen23 halaman
    Perdata Buku 3 Dan Perdata Buku 4
    Steffani Sarah Pratiwi Mewengkang
    Belum ada peringkat
  • Batu Ginjal
    Batu Ginjal
    Dokumen6 halaman
    Batu Ginjal
    Steffani Sarah Pratiwi Mewengkang
    Belum ada peringkat
  • Sosial Politik
    Sosial Politik
    Dokumen1 halaman
    Sosial Politik
    Steffani Sarah Pratiwi Mewengkang
    Belum ada peringkat
  • Perubahan Masyarakat
    Perubahan Masyarakat
    Dokumen19 halaman
    Perubahan Masyarakat
    Steffani Sarah Pratiwi Mewengkang
    Belum ada peringkat
  • Laporan Hasil Pengamatan Biologi
    Laporan Hasil Pengamatan Biologi
    Dokumen5 halaman
    Laporan Hasil Pengamatan Biologi
    Steffani Sarah Pratiwi Mewengkang
    Belum ada peringkat
  • Praper
    Praper
    Dokumen1 halaman
    Praper
    Steffani Sarah Pratiwi Mewengkang
    Belum ada peringkat
  • Perayaan Ekaristi
    Perayaan Ekaristi
    Dokumen4 halaman
    Perayaan Ekaristi
    Steffani Sarah Pratiwi Mewengkang
    Belum ada peringkat
  • Perayaan Ekaristi
    Perayaan Ekaristi
    Dokumen4 halaman
    Perayaan Ekaristi
    Steffani Sarah Pratiwi Mewengkang
    Belum ada peringkat