Anda di halaman 1dari 32

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan dunia yang semakin maju, peradaban manusia juga tampil gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum kemasyarakatan dunia mulai muncul, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Begitu pula dengan kemajuan di bidang kesehatan yang semakin hari semakin pesat. Seperti masalah euthanasia yang telah hangat diperbincangkan masyarakat. Euthanasia muncul sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Di sisi lain, pasien sudah dalam keadaan kritis sehingga tak jarang pasien atau keluarganya meminta dokter untuk menghentikan pengobatan terhadap yang bersangkutan. Dari sinilah dilema muncul dan menempatkan dokter atau perawat pada posisi yang serba sulit. Dokter dan perawat merupakan suatu profesi yang mempunyai kode etik sendiri sehingga mereka dituntut untuk bertindak secara profesional. Pada satu pihak ilmu dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun istilahnya hidup secara vegetatif). Dokter dan perawar merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu menyembuhkan penyakit pasien, sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Masyarakat mempunyai hak untuk memilih yang harus dihormati, dan saat ini masyarakat sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih hidup atau mati. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, hukum dan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju.

Di indonesia masalah ini diperbicangkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam seminarnya tahun 1955 yang melibatkan para ahli kedokteran dan ahli hukum positif serta para ahli hukum islam. Pro dan kontra terhadap Euthanasia itu masih berlangsung terutama ketika masalahnya dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan hak mati itu hak siapa dan dari sudut manakah harus dilihat. Oleh sebab itu, melalui makalah ini diharapkan bisa mengungkap suatu pandangan yang komprehensif mengenai hukum Euthanasia atas permintaan pasien dan keluarga pasien, akan tetapi tetap harus meninjau terlebih dahulu dari segi kedokteran dan hukum positif.

1.2.

Perumusan Masalah a. Apa definisi euthanasia dan apa saja macam-macamnya? b. Bagaimana sejarah euthanasia? c. Bagaimana euthanasia di berbagai negara? d. Bagaimana kriteria mati menurut kedokteran? e. Bagaimana euthanasia menurut beberapa aspek? f. Bagaimana peranan tenaga medis dalam euthanasia g. Bagaimana euthanasia dilihat dari paradigma pasien dan keluarga pasien?

1.3.

Tujuan Penulisan

a. Mengetahui apa definisi euthanasia dan apa saja macammacamnya b. Mengetahui sejarah penerapan euthanasia c. Mengetahui euthanasia menurut berbagai negara d. Mengetahui kriteria mati menurut kedokteran e. Mengetahui peranan tenaga medis dalam euthanasia f. Mengetahui euthanasia dilihat dari paradigma pasien dan keluarga pasien

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Euthanasia Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering pula disebut mercy killing pada hakekatnya

pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan mengenai perubahan yang Namun, pesat ini dramatis uniknya, rupanya atas pemahaman dan oleh

euthanasia. yang

kemajuan tidak diikuti

perkembangan

perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain. o Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti pembunuhan tanpa penderitaan (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh. o Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti mati baik. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai mati cepat tanpa derita. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan:

Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.

2.2 Klasifikasi Euthanasia a. Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi: Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis. b. Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa

euthanasia dapat dibedakan menjadi: Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk

memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien. Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus

malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia

dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup. Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas sendiri (APS). c. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori: Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau

mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang

mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.

(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui atau bahwa penolakannya hidupnya. akan

memperpendek

mengakhiri

Penolakan

tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Euthanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan. Euthanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan euthanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau

langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Euthanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna

memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga seseorang, misalnya akibat yang menghendaki kematian keluarga karena

keputusasaan

ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.

d. Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu : Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.

Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak

berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien. Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal controversial

e. Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu : Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) Eutanasia hewan Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela

f.

Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti J.Wundeli yaitu: Euthanasia murni : usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya.Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik. Euthanasia ini tidak menimbulkan masalah apapun. Euthanasia pasif : tidak dipergunakannya semua

kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan.

Euthanasia tidak langsung:usaha memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat.Di sini kedalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik,hipnotik dan analgetika yang mungkin de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja. Euthanasia aktif: proses kematian diperingan dengan

memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung.Ini yang disebut sebagai mercy killing.Dalam euthanasia aktif masih perlu dibedakan pasien menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana keinginanya dapat di ketahui.

2.3 Kriteria Mati Kriteria mati menurut IDI adalah sebagai berikut : Meyakini adanya prakondisi tertentu yaitu pasien dalam keadaan koma, nafas berhenti, tidak responsif, dibantu ventilator; ada tanda-tanda telah terjadi kerusakan otak struktural yang tidak dapat diperbaiki lagi Meyakini bahwa tidak ada penyebab koma dengan berhentinya napas yang reversible, misalnya intoksikasi obat, hypotermia, dan gangguan metabolik endokrin. Meyakini bahwa refleks-refleks batang otak telah hilang secara permanen (refleks terhadap cahaya, refleks kornea, refleks vestibulo-okular, refleks muntah, refleks terhadap rangsangan yang cukup kuat di tubuh).

2.4 Euthanasia Menurut Aspek Hukum. Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan

berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.

Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau

keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup

antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk

kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih memiliki pandangan & kebijakan yang berlainan. Apabila diperhatikan lebih lanjut sebagai berikut : Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun. Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan

pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun. Pasal 344 KUHP dinyatakan: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, maka dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Pasal 345: Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri. Pasal 359: Menyebabkan matinya seseorang karena

kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun. Pasal 388 KUHP dinyatakan: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313, 1314, 1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

10

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengertian Euthanasia dan Klasifikasi Euthanasia Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan

membedakan kematian kedalam tigajenis: 1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah, 2. 3. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar, Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter. Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga dengan hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negative dan berikut adalah contoh-contoh tersebut : 1. Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang sebenarnya dokter sudah tahu bahwa

11

seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya sekaligus. 2. Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri hasan) yang mengalami koma selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya. Hal tersebut di atas adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang dilakukan secara aktif oleh medis. Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnyasebagaiberikut : 1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat

mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya kematiannya. 2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan dihentikan akan dapat mempercepat

12

otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut. Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia si negatif) yang itu mencegah sakit atau

perpanjangan

penderitaan

anak

keduaorangtuanya.

3.2 Sejarah Eutanasia Istilah eutanasia pertamakali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya yang berjudul sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun 400-300 SM. Dalam supahnya tersebut Hippokrates menyatakan; "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dari dokumen tertua tentang eutanasia di atasa, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan oleh Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek eutanasia. Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di Negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa Negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter

mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela. Kelompokkelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun

13

demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris. Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan". Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia. Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan

eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika. (Wikipedia). Sebagaimana kita ketahui, nazi yang saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler, menganggap bahwa orang cacat merupakan hambatan terhadap kemajuan suatu bangsa, sehingga secara besar-besaran nazi melakukan eutanasia secara paksa kepada semua orang cacat di Berlin, Jerman. Terdapat beberapa catatan yang cukup menarik terkait dengan praktek eutanasia di beberapa tepat di jaman dahulu kala, berikut sedikit uraiannya: a. Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk

melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga. b. Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.

14

c.

Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.

d.

Di beberapa Negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902

memperlakukannya sebagai kejahatan khusus. e. Di Amerika Serikat, khususnya di semua Negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat. f. Satu-satunya Negara yang dapat melakukan tindakan

eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.

3.3 Eutanasia pada Beberapa Negara di Dunia Sejauh ini, eutanasia telah menjadi perdebatan hangat dan banyak bermunculan kelompok-kelompok yang pro maupun yang kontra terhadap praktek pencabutan nyawa ini. Di beberapa Negara di dunia, eutanasia telah dilegalkan dan diatur dengan prosedur-prosedur khusus misalnya diNegara Belanda dan Belgia serta ditoleransi di Negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss, namun di beberapa Negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark termasukdi Indonesia. a. Indonesia Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada

15

peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguhsungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsurunsur delik dalam Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa

penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Eutanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.

b. Belanda Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undangundang yang mengizinkan eutanasia, undang-undang ini

dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal eutanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Eutanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan

16

eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

c. Belgia Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia diNegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian". Belgia kini menjadi Negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan Negara bagian Oregon di Amerika ). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya

17

d. Australia Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undangundang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

e. Amerika Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak Negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya Negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah Negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri

berbantuan, bukan eutanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di Negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta

memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak

18

berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang

dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya. Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa

dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU Negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia.

f. Republik Ceko Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospil bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum Negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.

g. Cina Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang

19

sakit.

Akhirnya

polisi

menangkapnya namun

juga 6

si

dokter

yang

melaksanakan

permintaannya,

tahun

kemudian

Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.

3.4 Kriteria Mati. Perbincangan Euthanasia berkaitan erat dengan masalah definisi mati, namun definisi tentang mati itu sendiri tampaknya mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan semakin majunya perkembangan ilmu pengatahuan, terutama dibidang teknologi kedokteran. Dahulu ukuran kematian dilihat pada nafas kemudian ukuran itu ditanggalkan dan diganti bahwa kematian itu diukur dengan tidak berfungsinya jantung. Oleh karena itu, di daerah yang tidak mempunyai pengukur jantung biasanya cukup hanya dengan mengetahui gerak nadi. Dan kini diketahui bahwa jantung ternyata digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak dikepala. Jadi, kalau hanya terjadi pendarahan pada otak belum tentu penderita mati. Para ahli kedokteran tampaknya sepakat bahwa yang menjadi patokan dalam menentukan kematian adalah batang otak. Jika batang otak beul-betul mati maka harapann hidup seseorang sudah terputus. Untuk menentukan kerusakan otak pada manusia menurut Prof. Mahar Madjono tidaklah terlalu sulit: Bagi rumah sakit yang tidak mempunyai alat Electro Enceflograf (EEG) yakni alat ditektor otak, maka cukup dengan mengetes refleksi kornea mata, apakah

20

pupil (anak mata) masih memberi reaksi terhadap cahaya. Bisa juga dengan memeriksa refleks vestibula okular (meneteskan 20cc air es ke telinga kiri dan kanan, kemudian memeriksa reaksi motoriknya pada mata). Tindakan ini bisa dilakukan oleh setiap dokter, walaupun dengan peralatan rumah sakit yang sederhana

3.5 Euthanasia Menurut Beberapa Aspek Aspek Hak Asasi. Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat. Aspek Ilmu Pengetahuan. Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan seseorang ataupun tidak boleh pengurangan mengajukan penderitaan, haknya untuk apakah tidak

diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana..

21

Aspek Kode Etik Kedokteran Dokter yang melakukan tindakan Euthanasia (aktif khususnya) bisa diberhentikan dari jabatannya karena melanggar kode etik kedokteran. Di dalam kode etik kedokteran yang ditetapkan oleh Mentri Kesehatan nomor : 434 / Men.Kes / SK / X / 1983 yang di sebutkan pasal 10 : Setiap Dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani. Berarti bahwa baik menurut Agama dan Undang-undang Negara, maupun menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan : a. Menggugurkan Kandungan (Abortus Provactus). b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin ada sembuh lagi (Euthanasia)

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti: a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir. b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang. c. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya. Aspek Agama Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan

melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia,

22

walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya 3.6 Peranan Tenaga Medis dalam Euthanasia Pada dewasa ini, para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis. Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter dan tenaga kesehatan lainnya (termasuk perawat). Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulangkali memohon dokter

23

untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia. Atau bahkan keluarganya sendiri yang mengajukan permintaan euthanasia, karena tidak tega melihat anggota keluarganya yang tergolek koma dan tanpa perkembangan adanya tanda-tanda akan sembuh kembali. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, & dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan, yang berbunyi : a. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. b. Euthanasia dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Seharusnya sebagai tenaga medis (khususnya dokter dan perawat) harus memberikan pelayanan yang optimal untuk kliennya. Walaupun klien hanya memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk sembuh, tetapi kematian sudah ada yang mengatur dan kita tidak boleh mendahului kehendak-Nya. Kasus-kasus yang sering terjadi adalah euthanasia pasif, dimana kondisi klien sudah tidak

memungkinkan untuk sembuh dari komanya dan ditambah pihak keluarga sudah tidak sanggup lagi untuk membiayai semua

pengobatannya. Sehingga oleh pihak Rumah Sakit menyetujui untuk melepas semua alat bantu yang menempel pada tubuh klien, dan tidak lama kemudian klien meninggal. Kasus tersebut sama halnya kita mengurangi umur sesorang untuk hidup lebih lama di dunia ini.

24

Berikut

tindakan

perawat

sebagai

tenaga

medis

saat

menangani pasien yang ingin euthanasia : a. memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya b. membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang dihadapinya c. mengoptimalkan system dukungan d. membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang telah dihadapi e. membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan keyakinannya. Tetapi pada khakekatnya tujuan dari tim medis adalah memberikan pelayanan kepada klien bukan untuk menganiaya atau membunuh kliennya. Dan apabila tim medis atau pihak Rumah Sakit sudah tidak sanggup untuk menangani, maka kembalikan saja kepada pihak keluarganya. Tetapi semata-mata bukan dengan tujuan untuk mengakhiri kehidupan kliennya

3.7 Euthanasia Dilihat Dari Paradigma Pasien Dan Keluarga Pasien Manusia memang punya hak untuk membunuh dirinya sendiri, hal seperti itu tidak melanggar hukum. Karena bunuh diri adalah suatu tragedi, aksi sendiri. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang menyatakan bahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien agar tetap hidup. Desakan, melawan permintaan pasien, menunda kematian dengan alasan hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan, tidak bijak, atau tidak terdengar sebagai perilaku medis. Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di rumah, bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien merasa nyaman dengan sisa waktunya.

25

Hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri pun masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap

pengobatannya. Hal ini berarti para dokter harus mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan pertimbangan yang matang. Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas. Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain disni tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapatpendapat tersebut. Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan & jantung kembali normal, tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat permanen. Secara klinis dia tergolong hidup, tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya bertahan hidup dengan bantuan berbagai alat medis. Bantuan alat medis tersebut menjadi patokan penentuan kematian pasien tersebut. Permasalahan penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan atau dihentikan. Jika dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa pada kematian. Yang sering terjadi ditengah masyarakat adalah euthanasia pasif dan hal ini sering tidak disadari dan dibiarkan berlalu. Pihak keluarga tidak tega menyaksikan anggota keluarganya sekarat tak berdaya di ruang perawatan rumah sakit, beban di samping itu

ketidakmampuan

untuk

menanggung

biaya

perawatan

26

sehingga terpaksa tidak bisa mendapatkan pertolongan medis yang layak, dan pada akhirnya harus menghadapi ajal bukan pada jamnya. Contoh lain adalah, seorang pasien koma yang hidupnya diulur berkat bantuan mesin jantung dan paru-paru, sewaktu-waktu bisa langsung ajal juga jika mesin penunjang hidup itu dihentikan. Pasien demikian tidak meninggal secara alami, melainkan meninggal sebelum waktunya. Pasien sesungguhnya masih punya harapan untuk tidak kehilangan nyawa. Itu lantaran sebetulnya harapan untuk hidup masih berada ditangan kekuasaan manusia. Kalau saja ia kecukupan ekonomi, kematian yang tidak harus terjadi itu belum akan terjadi. Dan kalau saja mesin penyambung hidup itu tidak dihentikan, kematian bukan pada jamnya itu belum akan terjadi. Demikian juga dengan kasus euthanasia. Kendati setiap orang merasa punya hak untuk mati, tapi kematian seyogyanya tetap ada pada tangan Tuhan. Dengan kata lain, biarkanlah hak untuk hidup tetap di tangan Tuhan saja, bukan dihibahkan kepada tangan kita yang betapa kecil begini. Namun, dengan memilih euthanasia, kekuasaan jadi berbelok pada tangan manusia. Termasuk itu juga argumentasinya untuk kasus yang di mata medis sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Bukankah kita sebagai umat percaya masih menyimpan sepotong mukjizat dalam keyakinan kita. Hukum suatu negara boleh saja berpihak terhadap euthanasia, tapi kekuasaan Tuhan tak elok kalau sampai kita belokkan. Contoh kasus euthanasia di Indonesia sendiri, yaitu pada tanggal 22 Oktober 2004, melihat penderitaan istrinya yang tidak kunjung berakhir, Panca Satrya Hasan Kusuma memohon agar istrinya (Agian Isna Nauli, 33 tahun) yang sudah koma sekitar tiga bulan setelah melahirkan putra keduanya, disuntik mati saja setelah tergolek koma selama 2 bulan . Dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Ini merupaka perubahan dalam dinamika masyarakat yang kian mengglobal yang ditandai semakin mudahnya masyarakat mengakses

27

informasi dari berbagai belahan dunia maka semakin sering masyarakat bersentuhan dengan nilai-nilai asing (di luar

kebiasaan/norma-norma

komunitasnya).

Namun,

perubahan

paradigma berfikir masyarakat bukanlah sebagai arah sebuah kemajuan berfikir, tetapi hanya kebingungan dalam berfikir. Hal ini dialami oleh Hasan yang mengajukan euthanasia terhadap istrinya dan hal yang sama juga terjadi pada Siti Zulaekha yang akan diajukan euthanasia oleh keluarganya. Permohonan untuk melakukan

eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya. Contoh kasus selanjutnya adalah seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada

pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia). Perlu dipahami lebih lanjut, kedua kasus di atas berbeda karena di Amerika euthanasia diperbolehkan oleh hukum sedangkan

28

di Indonesia sangat dikecam. Dan alasan kedua keluarga mengajukan permohonan euthanasia sedikit berbeda, Hassan mengajukan

permohonan selain karena tidak tega melihat istirnya yang sekarat juga karena ketidakmampuan keluarga untuk membiayai semua biaya perawatan istrinya di Rumah Sakit, sedangkan di Amerika alasan keluarga mengajukan euthanasia adalah untuk mengakhiri

penderitaan anaknya. Akantetapi baik secara hukum, yuridis, etik, maupun agama euthanasia tidak dibenarkan, karena euthanasia sama halnya dengan penganiayaan dan juga pembunuhan. Dan euthanasia juga berarti merampas hak seseorang untuk hidup lebih lama serta merampas kesempatan untuk memperoleh mukjizat dari Tuhan. Karena hidup, mati, jodoh, dan rezeki adalah ketetapan dari Tuhan yang tidak bisa kita tolak dan elakkan.

29

BAB IV PENUTUP 4.1 Simpulan Dahulu ukuran kematian dilihat pada nafas kemudian ukuran itu ditanggalkan dan diganti bahwa kematian itu diukur dengan tidak berfungsinya jantung. Dan kini diketahui bahwa jantung ternyata digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak dikepala. Jadi, kalau hanya terjadi pendarahan pada otak belum tentu penderita mati. Para ahli kedokteran tampaknya sepakat bahwa yang menjadi patokan dalam menentukan kematian adalah batang otak. Jika batang otak beul-betul mati maka harapann hidup seseorang sudah terputus
Eutanasia merupakan suatu

tindakan atau praktik untuk

menghilangkan nyawa orang tanpa adanya rasa sakit dan biasanya


dengan menggunakan suntik mati, alasan dilakukannya eutanasia

adalah

untuk

menghilangkan

rasa

sakit

dari

pasien

atau

penderitaan yang dianggap terlalu menyiksa selain itu alasan lainnya


adalah karena keluarga sudah tidak mampu membiayai biaya perawatan di Rumah Sakit. Semua alasan di atas tidak dapat diterima baik dari segi etika, yuridis, agama, maupun hukum di Indonesia sendiri. Karena pada hakekatnya euthanasia , baik euthanasia aktif maupun pasif bukanlah suatu cara untuk meringankan penderitaan pasien, tetapi merampas haknya untuk dapat hidup lebih lama dan merampas kesempatan baginya untuk memperoleh mukjizat dari Tuhan. Karena seperti yang kita ketahui hidup, mati, jodoh, dan rezeki merupakan suatu ketetapan Tuhan yang tidak seorangpun yang dapat kita prediksi.

Di Indonesia sendiri kasus euthanasia disamakan dengan kasus pembunuhan yang diatur oleh peraturan perundangundangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa

menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,


30

yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun" Oleh karena itu, pada kasus Satrya Hasan Kusuma yang mengajukan euthanasia pada istrinya untuk di euthanasia di tolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

4.2 Saran Untuk menghadapi masalah yang berkaitan dengan adanya Euthansia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut : 1) Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya yang amat terbatas maupun rumah sakit yang peralatannya lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara : a) Menghentikan perawatan atau pengobatan, artinya membawa pasien pulang kerumahnya. b) Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya. 2) Umat islam diharapkan tetap berpegang teguh terhadap

kepercayaannya yang menganggap segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang dating dari Allah. Hal itu hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakal. Dan justru keadaan yang kritis tersebut merupakan masa penentuan kokoh dan tidaknya iman seseorang, serta konsekuensi dari sikap yang di ambil akan dipertanggung jawabka dikemudian hari. 3) Para dokterk diharapkan tetap berpegang kepada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.

31

32

Anda mungkin juga menyukai