Anda di halaman 1dari 40

http://nursingbegin.

com/askep-hisprung/
Askep Hisprung
( Asuhan Keperawatan pada Penyakit Hisprung )

Pengertian Hisprung Penyakit Hisprung (Hirschprung) adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus (Ariff Mansjoer, dkk. 2000). Dikenalkan pertama kali oleh Hirschprung tahun 1886. Zuelser dan Wilson , 1948 mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis. Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi kelumpuhan usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.

Hisprung Etiologi Penyakit Hisprung Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik sering terjadi pada anak dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus. Gejala Penyakit Hisprung Akibat dari kelumpuhan usus besar dalam menjalankan fungsinya, maka tinja tidak dapat keluar. Biasanya bayi baru lahir akan mengeluarkan tinja pertamanya (mekonium) dalam 24 jam pertama. Namun pada bayi yang menderita penyakit Hisprung, tinja akan keluar terlambat atau bahkan tidak dapat keluar sama sekali. Selain itu perut bayi juga akan terlihat menggembung, disertai muntah. Jika dibiarkan lebih lama, berat badan bayi tidak akan bertambah dan akan terjadi gangguan pertumbuhan. Patofisiologi Penyakit Hisprung Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionik hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rektum tidak

dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197). Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ). Pemeriksaan Tambahan pada Penyakit Hisprung Pemeriksaan colok dubur untuk menilai adanya pengenduran otot dubur. Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah roentgen perut, barium enema, dan biopsi rektum. Roentgen perut bertujuan untuk melihat apakah ada pembesaran/pelebaran usus yang terisi oleh tinja atau gas. Barium enema, yaitu dengan memasukkan suatu cairan zat radioaktif melalui anus, sehingga nantinya dapat terlihat jelas di roentgen sampai sejauh manakah usus besar yang terkena penyakit ini. Biopsi (pengambilan contoh jaringan usus besar dengan jarum) melalui anus dapat menunjukkan secara pasti tidak adanya persarafan pada usus besar. Biopsi ini biasanya dilakukan jika usus besar yang terkena penyakit ini cukup panjang atau pemeriksaan barium enema kurang dapat menggambarkan sejauh mana usus besar yang terkena. Komplikasi Penyakit Hisprung Enterokolitis nekrotikans, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi dan septikemia. Penatalaksanaan klien dengan Hisprung 1. 2. 3. Konservatif. Pada neonatus dilakukan pemasangan sonde lambung serta pipa rektal untuk mengeluarkan mekonium dan udara. Tindakan bedah sementara. Kolostomi pada neonatus, terlambat diagnosis,enterokolitis berat dan keadaan umum buruk. Tindakan bedah defenitif. Mereseksi bagian usus yang aganglionosis dan membuat anastomosis.

Asuhan Keperawatan pada klien dengan Hisprung A. Pengkajian.

1. Identitas. Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997). 2. Riwayat Keperawatan. a. Keluhan utama.

Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare. b. Riwayat penyakit sekarang.

Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi. c. Riwayat penyakit dahulu.

Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit Hirschsprung. d. Riwayat kesehatan keluarga.

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya. e. Riwayat kesehatan lingkungan.

Tidak ada hubungan dengan kesehatan lingkungan. f. Imunisasi.

Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit Hirschsprung. g. h. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan. Nutrisi.

3. Pemeriksaan fisik. a. Sistem kardiovaskuler.

Tidak ada kelainan. b. Sistem pernapasan.

Sesak napas, distres pernapasan. c. Sistem pencernaan.

Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang menyemprot. d. e. Sistem genitourinarius. Sistem saraf.

Tidak ada kelainan. f. Sistem lokomotor/muskuloskeletal.

Gangguan rasa nyaman. g. Sistem endokrin.

Tidak ada kelainan. h. Sistem integumen.

Akral hangat. i. Sistem pendengaran.

Tidak ada kelainan.

4. Pemeriksaan diagnostik dan hasil. a. b. Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran obstruksi usus rendah. Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian menyempit,

enterokolitis pada segmen yang melebar dan terdapat retensi barium setelah 24-48 jam. c. d. e. B. Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa. Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan aktivitas enzim asetilkolin eseterase. Masalah pemenuhan kebutuhan dasar (pohon masalah).

Pohon Masalah Askep Hisprung C. Diagnosa Keperawatan pada Askep Hisprung 1. 2. 3. 4. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya daya dorong. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang inadekuat. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.

5. D. 1.

Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak. Perencanaan Keperawatan pada Askep Hisprung Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya daya dorong.

Tujuan : klien tidak mengalami ganggguan eliminasi dengan kriteria defekasi normal, tidak distensi abdomen. Intervensi : Monitor cairan yang keluar dari kolostomi. Rasional : Mengetahui warna dan konsistensi feses dan menentukan rencana selanjutnya Pantau jumlah cairan kolostomi. Rasional : Jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan untuk penggantian cairan Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi. Rasional : Untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola defekasi terganggu. 2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang inadekuat.

Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat mentoleransi diet sesuai kebutuhan secara parenteal atau per oral. Intervensi : Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan. Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan Pantau pemasukan makanan selama perawatan. Rasional : Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan 1300-3400 kalori Pantau atau timbang berat badan. Rasional : Untuk mengetahui perubahan berat badan 3. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.

Tujuan : Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami dehidrasi, turgor kulit normal. Intervensi : Monitor tanda-tanda dehidrasi. Rasional : Mengetahui kondisi dan menentukan langkah selanjutnya Monitor cairan yang masuk dan keluar. Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprograrmkan. Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi 4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.

Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur. Intervensi : Kaji terhadap tanda nyeri. Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan. Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri Berikan obat analgesik sesuai program. Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem saraf pusat Daftar Pustaka

Kuzemko, Jan, 1995, Pemeriksaan Klinis Anak, alih bahasa Petrus Andrianto, cetakan III, EGC, Jakarta. Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B. Lippincott Company, London. Mansjoer, dkk. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, ed.3, Media Aesculapius, Jakarta. Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

http://yoedhasflyingdutchman.blogspot.com/2010/04/asuhan-keperawatan-pasiendengan_9077.html
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HISPRUNG Pengkajian 1. Biodata Pasien : Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku/bangsa, pendidikan, alamat, dan nomor register. 2. Biodata Penaggung Jawab : Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat. 3. Riwayat Kesahatan Pasien : Riwayat Kesehatan Dahulu Riwayat Kesehatan Sekarang Riwayat Kesehatan Keluarga 4. Kebiasaan Sehari-hari : Makan dan Minum Eliminasi : BAK dan BAB Personal Hygiene Aktivitas 5. Pemeriksaan Fisik / Head To Toe Diagnosa Dan Intervensi Keperawatan 1. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi ketidakmampuan Kolon mengevakuasi feces ( Wong, Donna, 2004 : 508 ) Tujuan : Anak dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adaptasi sampai fungsi eliminasi secara normal dan bisa dilakukan Kriteria Hasil : Pasien dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adapatasi Ada peningkatan pola eliminasi yang lebih baik Intervensi : Berikan bantuan enema dengan cairan Fisiologis NaCl 0,9 % Observasi tanda vital dan bising usus setiap 2 jam sekali Observasi pengeluaran feses per rektal bentuk, konsistensi, jumlah Observasi intake yang mempengaruhi pola dan konsistensi feses Anjurkan untuk menjalankan diet yang telah dianjurkan 2. Perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh berhubungan dengan saluran pencernaan mual dan muntah Tujuan : Pasien menerima asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan Kriteria Hasil : Berat badan pasien sesuai dengan umurnya Turgor kulit pasien lembab Orang tua bisa memilih makanan yang di anjurkan Intervensi : Berikan asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan Ukur berat badan anak tiap hari Gunakan rute alternatif pemberian nutrisi ( seperti NGT dan parenteral ) untuk mengantisipasi pasien yang sudah mulai merasa mual dan muntah

3. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang (Betz, Cecily & Sowden 2002:197) Tujuan : Status hidrasi pasien dapat mencukupi kebutuhan tubuh Kriteria Hasil : Turgor kulit lembab. Keseimbangan cairan. Intervensi : Berikan asupan cairan yang adekuat pada pasien Pantau tanda tanda cairan tubuh yang tercukupi turgor, intake output Observasi adanya peningkatan mual dan muntah antisipasi devisit cairan tubuh dengan segera 4. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan pengobatanya. ( Whaley & Wong, 2004 ). Tujuan : Pengetahuan pasien tentang penyakitnya menjadi lebih adekuat Kriteria hasil : Pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakitnya, perawatan dan obat obatan. Bagi penderita Mega Colon meningkat dan pasien atau keluarga mampu menceritakanya kembali Intervensi : Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal hal yang ingin diketahui sehubungan dengan penyakit yang dialami pasien Kaji pengetahuan keluarga tentang Mega Colon Kaji latar belakang keluarga Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan serta obat obatan pada keluarga pasien Jelaskan semua prosedur yang akan dilaksanakan dan manfaatnya bagi pasien Menggunakan liflet atau gambar dalam menjelaskan ( Suriadi & Yuliani, 2001: 60 ). Daftar Pustaka 1. A. Price, S. (1995). Patofisiologi. Jakarta: EGC 2. Arief Mansjoer( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Jakarta : Media Aesculapius FKUI 3. Betz, Cecily & Sowden. ( 2002 ). Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa Jan Tambayong. Jakarta : EGC 4. Carpenito. LJ ( 2001 ). Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Alih bahasa Monica Ester. Jakarta : EGC 5. Darmawan K ( 2004 ). Penyakit Hirschsprung. Jakarta : sagung Seto. 6. Hambleton, G ( 1995 ). Manual Ilmu Kesehatan Anak di RS. Alih bahasa Hartono dkk. Jakarta : Bina Rupa Aksara 7. Nelson, W. ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab. Jakarta : EGC 8. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta : Infomedika Jakarta. 9. Suherman. ( 2000 ). Buku Saku Perkembangan Anak. Jakarta : EGC 10. Suryadi dan Yuliani, R ( 2001 ) Asuhan Keperwatan Pada Anak. Jakarta : CV. Sagung Seto 11. Wong, Donna ( 2004 ). Keperawatan Pediatrik. Alih Bahasa Monica Ester. Jakarta : EGC 12. Yupi, S. (2004). Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC

http://asuhankeperawatans.blogspot.com/2010/02/asuhan-keperawatan-hisprung.html

Asuhan Keperawatan Hisprung


A. Pengertian

Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi. Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz,

Cecily & Sowden : 2000 ). Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak laki laki dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000 ). B. Etiologi Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus. C. Patofisiologi Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197). Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ). D. Manifestasi Klinis Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 28 jam pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317). Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total saat lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut.

Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diareberbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 : 317 ). 1. Anak anak a Konstipasi b Tinja seperti pita dan berbau busuk c Distenssi abdomen d Adanya masa difecal dapat dipalpasi e Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 ). 2. Komplikasi a Obstruksi usus b Konstipasi c Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit d Entrokolitis e Struktur anal dan inkontinensial ( pos operasi ) ( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 ) E. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan : a Daerah transisi b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit c Entrokolitis padasegmen yang melebar d Terdapat retensi barium setelah 24 48 jam ( Darmawan K, 2004 : 17 ) 2. Biopsi isap Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 ) 3. Biopsi otot rektum Yaitu pengambilan lapisan otot rektum 4. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase ( Darmawan K, 2004 : 17 ) 5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus ( Betz, cecily & Sowden, 2002 : 197 ) 6. Pemeriksaan colok anus

Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan. F. Penatalaksanaan 1. Medis Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal. Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu : a Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya. b Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama (Betz Cecily & Sowden 2002 : 98 ) Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah ( Darmawan K 2004 : 37 ) 2. Perawatan Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain : a Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini b Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak c Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan ) d Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang ( FKUI, 2000 : 1135 ) Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak anak dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT )

Konsep Tumbuh Kembang Anak

Konsep tumbuh kembang anak difokuskan pada usia todler yakni 1 3 tahun bisa juga dimasukkan dalam tahapan pre operasional yakni umur 2 7 tahun. Menurut Yupi. S ( 2004 ) berdasarkan teori peaget bahwa masa ini merupakan gambaran kongnitif internal anak tentang dunia luar dengan berbagai kompleksitasnya yang tumbuh secara bertahap merupakan suatu masa dimana pikiran agak terbatas. Anak mampu menggunakan simbul melalui kata kata, mengingat sekarang dan akan datang. Anak mampu membedakan dirinya sendiri dengan objek dalam dunia sekelilingnya baik bahasa maupun pikiranya bercirikan egesenterisme, ia tidak mahu menguasai ide persamaan terutama berkaitan dengan masalahmasalah secara logis, tetapi dalam situasi bermain bebas ia cenderung untuk memperlihatkan perilaku logis dan berakal sehat pada tahap ini akan mulai mengenal tubuhnya Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat diukur dengan ukuran berat ( gram, pounnd, kilogram ). Ukuran panjang ( cm, meter ). Umur tulang dan keseimbangan metabolik ( retensi kalium dan nitrogen tubuh ). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi yang lebih komplek dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan ( Soetjiningsih, 1998: 1 ). Pada pertumbuhan fisik dapat dinilai pertambahan berat badan sebanyak 2,2 Kg/ tahun dan tinggi badan akan bertambah kira kira 7,5 cm/ tahun. Proporsi tumbuh berubah yaitu lengan dan kaki tumbuh lebih cepat dari pada kepala dan badan lorosis lumbal pada medulla spinalis kurang terlihat dan tungkai mempunyai tampilan yang bengkok. Lingkar kepala meningkat 2,5 cm/ tahun dan fontanella anterior menutup pada usia 15 bulan. Gigi molar pertama dan molar kedua serta gigi taring mulai muncul ( Betz & Sowden, 2002: 546 ). 1. Strategi Pengurangan Dampak Hospitalisasi Pada Usia Todler Pada usia todler anak cenderung egosentris maka dalam menjelaskan prosedur dalam hubungan dengan cara apa yang akan anak lihat, dengar, bau, raba dan rasakan. Katakan pada anak tidak apa- apa menangis atau gunakan ekspresi verbal untuk mengatakan tidak nyaman. Pada usia ini juga mengalami keterbatasan kemampuan berkomunikasi lebih sering menggunakan perilaku atau sikap. Sedikit pendekatan yang sederhana menggunkan contoh peralatan yang kecil ( ijinkan anak untuk memegang peralatan ) menggunakan permainan. Pada usia ini menjadikan hubungan yang sulit antara anak dengan perawat diperlukan orang tua pada keadaan ini, apapun cara yang dilakukan anaka harus merupakan

pertimbangan pertama. Ibu harus didorong untuk tinggal atau paling sedikit mengunjungi anaknya sesering mungkin ( Yupi, S 2004). 2. Fokus Intervensi a. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi ketidakmampuan Kolon mengevakuasi feces ( Wong, Donna, 2004 : 508 ) Tujuan : 1. anak dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adaptasi sampai fungsi eliminasi secara normal dan bisa dilakukan Kriteria Hasil 1. Pasien dapat melakukan eliminasi dengan beberapa adapatasi 2. Ada peningkatan pola eliminasi yang lebih baik Intervensi : 1. Berikan bantuan enema dengan cairan Fisiologis NaCl 0,9 % 2. Observasi tanda vital dan bising usus setiap 2 jam sekali 3. Observasi pengeluaran feces per rektal bentuk, konsistensi, jumlah 4. Observasi intake yang mempengaruhi pola dan konsistensi feses 5. Anjurkan untuk menjalankan diet yang telah dianjurkan b. Perubahan nutrisi kurang dan kebutuhan tubuh berhubungan dengan saluran pencernaan mual dan muntah Tujuan : 1. Pasien menerima asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan Kriteria Hasil 1. Berat badan pasien sesuai dengan umurnya 2. Turgor kulit pasien lembab 3. Orang tua bisa memilih makanan yang di anjurkan Intervensi 1. Berikan asupan nutrisi yang cukup sesuai dengan diet yang dianjurkan 2. Ukur berat badan anak tiap hari 3. Gunakan rute alternatif pemberian nutrisi ( seperti NGT dan parenteral ) untuk mengantisipasi pasien yang sudah mulai merasa mual dan muntah c. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang (Betz, Cecily & Sowden 2002:197) Tujuan :

1. Status hidrasi pasien dapat mencukupi kebutuhan tubuh Kriteria Hasil 1. Turgor kulit lembab. 2. Keseimbangan cairan. Intervensi 1. Berikan asupan cairan yang adekuat pada pasien 2. Pantau tanda tanda cairan tubuh yang tercukupi turgor, intake output 3. Observasi adanay peningkatan mual dan muntah antisipasi devisit cairan tubuh dengan segera d. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan pengobatanya. ( Whaley & Wong, 2004 ). Tujuan : pengetahuan pasien tentang penyakitnyaa menjadi lebih adekuat Kriteria hasil : 1. Pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakitnyaa, perawatan dan obat obatan. Bagi penderita Mega Colon meningkat daan pasien atau keluarga mampu menceritakanya kembali Intervensi 1. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal hal yang ingn diketahui sehubunagndengan penyaakit yang dialami pasien 2. Kaji pengetahuan keluarga tentang Mega Colon 3. Kaji latar belakang keluarga 4. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan serta obat obatan pada keluarga pasien 5. Jelaskan semua prosedur yang akan dilaksanakan dan manfaatnya bagi pasien Menggunakan liflet aatau agmbar dalam menjelaskan ( Suriadi & Yuliani, 2001: 60 ). DAFTAR PUSTAKA A. Price, S. (1995). Patofisiologi. Jakarta: EGC Arief Mansjoer( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Jakarta : Media Aesculapius FKUI Betz, Cecily & Sowden. ( 2002 ). Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa Jan Tambayong. Jakarta : EGC Carpenito. LJ ( 2001 ). Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Alih bahasa Monica Ester. Jakarta : EGC Darmawan K ( 2004 ). Penyakit Hirschsprung. Jakarta : sagung Seto. Hambleton, G ( 1995 ). Manual Ilmu Kesehatan Anak di RS. Alih bahasa Hartono dkk.Jakarta : Bina Rupa Aksara

Nelson, W. ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab. Jakarta : EGC Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta : Infomedika Jakaarta. Suherman. ( 2000 ). Buku Saku Perkembanagn Anak. Jakarta : EGC Suryadi dan Yuliani, R ( 2001 ) Asuhan Keperwatan Pada Anak. Jakarta : CV. Sagung Seto Wong, Donna ( 2004 ). Keperawatan Pediatrik. Alih Bahasa Monica Ester. Jakarta : EGC Yupi, S. (2004). Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC

http://www.tipsbayi.com/bayi-sembelit-susah-buang-air-besar-pada-bayi.html

A. Bayi Sembelit: Susah Buang Air Besar Pada Bayi

Pola buang air besar pada bayi memang berubah-ubah. Nah bagaimana Anda bisa tahu bahwa pola buang air besar pada bayi Anda masih tergolong normal?

Pola Buang Air Besar Bayi Pada Umumnya


Untuk bayi yang baru lahir, normalnya ia akan buang air besar hingga sebanyak 4 kali setiap hari. Ini akan berlangsung sampai ia berusia 7 hari. Untuk anak berusia 2 tahun, termasuk normal jika ia dapat buang air besar (BAB) 1-2 kali tiap harinya. Anak usia 4 tahun sudah sama pola BAB-nya dengan orang dewasa 1 kali setiap hari.

Nah, karena tidak setiap anak memiliki pola yang persis sama, maka umumnya seorang bayi atau anak akan dianggap mengalami sembelit, jika ia tidak BAB hingga 2 minggu atau lebih.
Oleh karena itu, Anda tidak perlu terlalu khawatir jika melihat bayi Anda sepertinya berjuang keras, bahkan terkadang sampai memerah ketika sedang BAB, padahal terkadang fesesnya encer dan tidak keras. Dia kan masih belajar! Anda juga harus ingat bayi Anda melakukan BAB sambil berbaring lho, tidak seperti orang dewasa Jadi, reaksi-reaksi seperti ini masih tergolong normal.

Kapan Situasinya Menjadi Gawat?

Jika Anda mendapati bayi Anda mengalami kondisi seperti berikut ini, maka segeralah periksakan ke dokter: 1. 2. 3. 4. 5. Feses/kotoran yang keras Demam Terdapat darah pada kotorannya Berat badannya sulit naik Gagal BAB untuk pertama kalinya dalam 24 jam setelah kelahiran

Bayi dalam Periode ASI Eksklusif


Jika bayi Anda masih dalam periode ASI eksklusif -alias belum memperoleh asupan selain ASI- maka masih tergolong normal jika ia tidak BAB hingga 1 minggu. Bahkan terkadang setelah 1 minggu pun fesesnya sama sekali tidak keras. Hal ini disebabkan oleh ASI yang masih sangat mudah dicerna oleh tubuh bayi Anda dan ini juga berarti sebagian besar ASI dapat diserap dengan baik oleh tubuhnya.

http://www.untukku.com/berita-untukku/mengatasi-susah-buang-air-besar-untukku.html
Susah buang air besar atau lebih dikenal dengan nama sembelit merupakan problem yang mungkin pernah dialami oleh anda sendiri. Banyak yang menganggap sembelit hanya gangguan kecil yang dapat hilang sendiri atau hanya karena kurang serat, tetapi tahukah anda bahwa sembelit dapat merupakan tanda adanya hal yang tidak beres pada saluran cerna anda dan dapat mengancam nyawa bila tidak diobati dengan baik ??? Sembelit atau konstipasi dapat diartikan sebagai gangguan pada pergerakan saluran cerna bawah sehingga menimbulkan kesulitan dalam buang air besar atau frekuensi buang air besar yang berkurang. Frekuensi buang air besar pada tiap individu sangat bervariasi dan individual sehingga sembelit hanya dapat dinilai oleh si penderita berdasarkan frekuensi buang air besar biasanya. Gejala Sembelit ini timbul pada 1-2 % dari populasi umumnya. Seringkali sembelit dapat sembuh sendiri atau hanya karena perubahan jenis makanan yang dimakan, tetapi sembelit juga dapat merupakan bagian dari penyakit atau kelainan yang timbul pada saluran cerna bawah. Sebelum kita membahas sembelit, tentu kita harus mengetahui lebih dahulu pergerakan saluran cerna bawah yang normal. Yang disebut saluran cerna bawah terdiri dari usus halus bagian bawah ( jejunum dan ileum ), usus besar, dan dubur, sehingga bila ada gangguan pada salah satu bagian di atas maka gejala sembelit dapat muncul. Pengaturan pergerakan saluran cerna bawah sebagian besar diatur oleh system saraf di luar control sadar manusia kecuali bagian dubur yang dapat diatur secara sadar. Bila sisa makanan yang telah dicerna masuk ke dalam jejunum dan ileum maka akan merangsang system saraf usus untuk menggerakkan usus secara simultan dan teratur mendorong sisa makanan ke usus besar. Setelah sisa makanan sampai ke usus besar maka akan terjadi penyerapan air dan elekrolit dari sisa makanan, kemudian produk sisa tersebut akan disimpan sementara di usus besar dan ketika sudah penuh maka produk sisa dibawa ke rectum. Produk sisa pada rectum inilah yang akan merangsang sensasi ingin buang air besar, tetapi karena dubur diatur secara sadar oleh anda maka anda dapat menahan keinginan buang air besar untuk sementara hingga sampai ke toilet. Karena frekuensi buang air besar tiap individu berbeda, maka anda mengalami sembelit bila frekuensi buang air besar lebih lama dari biasanya, kemudian biasanya disertai dengan gejala kembung dan sakit perut pada bagian bawah, dan bila sembelit telah berlangsung lama dan tidak diobati dengan benar maka dapat timbul gejala sakit kepala, nafsu makan menurun, rasa tidak nyaman pada perut dan dapat mempengaruhi gaya hidup dan keseharian anda. Sembelit sendiri sebenarnya merupakan salah satu gejala yang timbul bila ada gangguan pada saluran cerna bawah. gangguan ini dapat muncul secara primer yang berarti karena memang ada penyakit atau kelainan pada saluran cerna bawah atau secara sekunder karena kebiasaan yang salah dan stress atau adanya penyakit sistemik yang diderita. Penyakit atau kelainan pada saluran cerna bagian bawah antara lain : 1. Sumbatan pada usus akibat fungsi saraf yang terganggu. Gejala yang muncul adalah sembelit disertai nyeri perut yang hebat, kembung, mual dan

muntah, dapat juga disertai gambaran pergerakan usus pada permukaan perut dan mungkin teraba adanya massa pada perut. Keadaan ini dapat muncul tiba-tiba atau perlahan-lahan tergantung dari parahnya sumbatan. Keadaan ini merupakan keadaan yang berbahaya dan sebaiknya anda segera ke rumah sakit. 2. Diverticulitis yang terjadi akibat lemahnya dinding usus, sehingga pada kontraksi yang kuat, terjadi pemutaran usus sehingga usus terlipat dan tersumbat, akibatnya gerakan usus bawah terhenti. Selain sembelit, gejala lain yang muncul adalah nyeri pada perut kiri bawah dan teraba adanya massa pada area tersebut, mual, buang gas, dan demam ringan. Sembelit akibat diverticulitis ini biasanya sifatnya akut / tiba-tiba dan merupakan keadaan yang dapat mengancam nyawa, sehingga sebaiknya anda segera ke rumah sakit terdekat. 3. Iskemia arteri mesenteric yang memperdarahi usus, sembelit muncul secara tiba-tiba dengan kegagalan untuk buang gas dan mengeluarkan tinja, nyeri perut yang hebat, muntah dan tidak ada nafsu makan. Keadaan ini merupakan keadaan yang mengancam nyawa sehingga anda harus segera ke rumah sakit terdekat. 4. Syndrome usus iritabel dimana ditandai dengan perubahan kebiasaan buang air besar yang berhubungan dengan nyeri pada perut. Penyebab sindroma ini hingga kini tidak diketahui. 5. Colitis ulcerative atau radang disertai ulkus pada usus tetapi dibanding sembelit gejala yag lebih sering muncul adalah diare. 6. Hemorrhoids atau ambein, sembelit terjadi karena menghindari nyeri yang muncul bila buang air besar. Selain sembelit dapat terlihat darah menetes setelah selesai buang air besar. 7. Fissure anal atau luka pada lubang dubur. Sembelit terjadi juga akibat menghindari nyeri yang muncul bila buang air besar. Selain sembelit, dapat terlihat darah yang menetes dari dubur ketika buang air besar. 8. Penyakit hirschprung yaitu penyakit bawaan berupa ukuran usus yang sangat besar sehingga daya tampung lebih besar, akibatnya frekuensi buang air besar menurun. 9. Bila sembelit muncul pada orang tua ( > 45 tahun ) maka dapat dicurigai sebagai tanda awal kanker usus besar. 10. Idiopatik / tidak diketahui Penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi pergerakan saluran cerna bawah sehingga menimbulkan sembelit antara lain : 1. Diabetes mellitus yang menyebabkan kerusakan pada saraf sehingga menimbulkan sembelit dan gejala lain seperti sulit menelan, hipotensi orthostatic, pingsan, nyeri akibat kandung kemih yang penuh, dan pada pria disertai impotensi dan ejakulasi retrogard. 2. Multiple sclerosis adalah penyakit yang menyerang saraf secara keseluruhan sehingga salah satu manifestasi kliniknya adalah sembelit selain gejala gangguan saraf lainnya. 3. Hypothyroidism yaitu kurangnya hormone tiroid pada tubuh. Sembelit muncul pada awal penyakit disertai kurang tahan terhadap dingin, berat badan meningkat, dan gejala-gejala lainnya yang terkait hipotriodisme. 4. Dll Kebiasaan yang salah atau stress antara lain : 1. Kebiasaan menahan keinginan buang air besar, akibatnya terjadi gangguan dalam pergerakan saluran cerna bawah. 2. Makanan yang kurang serat 3. Asupan cairan yang kurang ( normalnya minimal 1,5 liter per hari ) 4. Cemas yang kronik sehingga mempengaruhi kerja otot secara keseluruhan dan menurunkan pergerakan daripada usus. 5. Stress emosional yang tiba-tiba dan hebat. 6. Kurangnya latihan fisik / olahraga. 7. Sering mengkonsumsi obat-obatan seperti : - Obat maag yang mengandung aluminium atau kalsium - Antikolinergik atau obat yang mengandung efek antikolinergik seperti anti depressant - Obat anti nyeri ( analgesic ) 8. Penggunaan berlebihan dari obat pencahar 9. Penggunaan narkoba terutama jenis morfin dan turunannya. 10. Efek samping dari terapi radiasi atau operasi pada daerah rectum-anus yang mengenai saraf. Diantara semua penyebab yang ada maka kebiasaan hidup yang salah atau stresslah yang paling sering menimbulkan sembelit tanpa mengurangi kemungkinan akibat penyakit pada saluran cerna bawah dan penyakit sistemik. Bila penyebab sembelit adalah penyakit pada saluran cerna atau penyakit sistemik maka pengobatan disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Pada dasarnya langkah pertama adalah pemberian makanan tinggi serat yang berguna untuk melembutkan kotoran dan menjaga konsistensinya untuk tetap kenyal, obat anti nyeri, dan obat pencahar yang disesuaikan dengan penyebab sembelit yaitu : - Pencahar rangsang yaitu obat yang merangsang keinginan untuk buang air besar. Biasanya obat yang beredar di pasaran merupakan jenis ini. - Pencahar garam dan pencahar osmotic yaitu obat yang menarik air dari lumen usus sehingga konsistensi tinja menjadi lebih lunak dan akibat daya tarik air tersebut, pergerakan usus menjadi lebih aktif. Contohnya adalah laktulosa - Pencahar pembentuk massa yang bekerja dengan cara yang sama dengan pencahar garam, hanya saja obat bekerja di usus besar. Contoh yang dikenal masyarakat adalah agar-agar. - Pencahar emolien yaitu obat yang melunakkan tinja tanpa merangsang pergerakan usus

Sedangkan langkah berikutnya adalah terapi terhadap penyakit dasarnya. Bila penyebab sembelit adalah kebiasaan yang salah maka terapi yang tepat adalah mengurangi hingga menghilangkan kebiasaan yang salah tersebut disertai penggunaan obat pencahar untuk mengeluarkan tinja yang ada. Bila penyebab sembelit adalah stress emosional maka sebaiknya anda menemui psikiater untuk konsultasi lebih lanjut. Setelah sembelit teratasi maka anda tentu perlu melakukan langkah-langkah pencegahan agar tidak terulang lagi, langkah-langkah sederhana yang dapat diambil antara lain : 1. Melatih kebiasaan untuk buang air besar secara teratur. Yang paling baik adalah satu kali sehari terutama pada pagi hari. Keinginan buang air besar dapat dipicu dengan meminum segelas air putih pada pagi hari segera setelah bangun tidur. Hal ini akan menimbulkan rangsangan pergerakan usus halus dan usus besar sehingga kotoran didorong ke rectum dan akhirnya timbul keinginan buang air besar. 2. Minum air putih minimal 1,5 liter sehari 3. Makan makanan yang berserat tinggi seperti sayur-sayuran, gandum, buah-buahan, agar-agar, dll. 4. Olahraga yang teratur misalnya jalan-jalan pagi. 5. Istirahat yang cukup minimal 4 jam sehari 6. Sarana yang dapat merilekskan anda dari tekanan aktivitas sehari-hari 7. Penggunaan suplemen serat dapat dilakukan setelah anda memiliki pola buang air besar yang teratur 8. Bila penyebab sembelit adalah penyakit sistemik maka menjaga kestabilan kesehatan sesuai anjuran dokter anda adalah pencegahan yang baik. (Hygiena Kumala Suci)

http://www.bascommetro.com/2010/05/mekonium.html
Pengertian 1. Bayi baru lahir atau neonatus adalah bayi yang berumur 0-28 hari bayi baru lahir dapat dibagi menjadi dua : a. Bayi normal (sehat) yang memerlukan perawatan biasa. b. Bayi gawat (high risk baby) yang memerlukan penanggulangan khusus seperti adanya asfeksia dan pendarahan. 2. Mekonium adalah tinja pertama bayi matur baru lahir, yang lengket dan berwarna hijau tua. Jika janin tidak mendapat cukup O2 selama kehamilan dan persalinan, janin akan mengeluarkan meconium keluarnya mekonium dari vagina ibu merupakan pertanda bahwa cairan ketuban dan berwarna kekuningan atau hijau muda. (modul 10 : BBL : 1994). Penyebab Janin Mengeluarkan Mekonium Sebelum Persalinan Tidak selalu jelas mengapa mekonium dikeluarkan sebelum persalinan, kadang-kadang hal ini terkait dengan kurangnya pasokan O2 (hipaksia). Hipoksia akan meningkatkan peristaltik usus dan relaksasi sfingter ani sehingga isi rektum (mekonium) di ekskresikan. Bayi-bayi dengan resiko tinggi bawat janin (misal : kecil untuk masa kehamilan / KMK atau hamil lewat waktu) ternyata air ketubannya lebih banyak tercampur oleh mekonium (warna kehijauan) dibandingkan dengan air ketuban pada kehamilan normal (APN 2007). Sindrom Aspirasi Mekonium Hal ini terjadi bila cairan amnium yang mengandung mekonium terintalasi oleh bayi. Aspirasi mekonium menyebabkan kerusakan fisik jalan udara dan menghalangi pertukaran udara. Mekonium membantu pertumbuhan patogen yang mematikan dalam jalan respirasi, karena mekonium merupakan medium yang baik. Bagi pertumbuhan bakteri. Banyaknya mekonium juga mengandung enzim yang bisa merusak sel epitel disaluran nafas bawah. Bila tidak segera dibersihkan / dihisap dengan baik, maka saat bayi aktif bernafas setelah lahir, mekonium itu akan tersedot masuk ke jaringan paru, dan bayipun mengalami sesak nafas.

http://asuh.wikia.com/wiki/Mekonium
Bayi yang pencernaannya normal, akan BAB pada 24 jam pertama setelah dilahirkan. BAB pertama ini disebutmekonium. Biasanya berwarna hitam kehijau-hijauan dan lengket seperti aspal yang merupakan produk dari sel-sel yang diproduksi dalam saluran cerna selama ia dalam kandungan. BAB pertama dalam 24 jam penting artinya, karena menjadi indikasi apakah pencernaannya normal atau tidak. Ada penyakit yang bisa ditentukan dengan melihat apakah BAB pertama dalam 24 jam terjadi atau tidak. Contohnya, penyakit Hirschsprung yang merupakan gangguan pengeluaran tinja akibat tidak adanya syaraf tertentu pada usus sebelah bawah[1]. BAB ini juga bisa dijadikan patokan oleh dokter kalau bayi mengalami masalah pencernaan di kemudian hari. Misalnya, kalau BAB tidak lancar di minggu berikut. Bila catatan menunjukkan bahwa si bayi melakukan BAB pada kurun 24 jam sesudah lahir, dokter

akan mengesampingkan kemungkinan Hirschsprung atau penyumbatan. Jika tidak, dokter akan memikirkan kemungkinankemungkinan ini, dan biasanya jawabannya adalah operasi[1]. Itulah sebabnya, penting bagi para ibu yang habis bersalin untuk menanyakan pada suster/bidan apakah bayinya sudah BAB dalam waktu 24 jam. Jangan lupa mengingatkan suster/bidan untuk mencatatnya di buku anak, karena catatan ini penting di kemudian hari[1].

http://kesehatan.kompas.com/read/2010/04/09/10445167/Bahaya.Terlalu.Sering.Minum.Obat.Pe ncahar
JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak orang yang mengalami sembelit menjadi sangat bergantung pada obat pencahar (laksatif) untuk mengatasi masalah mereka. Padahal sebenarnya jarang sekali orang sampai memerlukan obat pencahar secara teratur, apalagi setiap hari. Obat pencahar justru akan membuat sembelit makin hebat. Bila diminum secara berlebihan, obat pencahar bisa membuang vitamin dan nutrisi lain yang diperlukan sebelum terserap sepenuhnya. Obat pencahar juga bisa menimbulkan pengeluaran air, sodium, potasium secara berlebihan. Di samping itu, kebiasaan memakai obat pencahar cenderung memperlemah otot-otot usus dan mengurangi daya fungsinya. Akibatnya, sekali Anda berhenti minum obat pencahar secara teratur, sembelit bukan saja muncul kembali melainkan akan semakin buruk. Pemakaian obat pencahar secara berlebihan dapat menimbulkan sindrom malas buang air besar (BAB). Kondisi ini membuat usus gagal berfungsi secara benar karena usus jadi bergantung pada obat pencahar untuk melakukan tugas pembuangan itu. Untuk mengatasi sembelit, minum sedikitnya 8 gelas air setiap hari. Secara bertahap tambahkan serat dalam makanan dengan lebih banyak makan buah dan sayuran segar. Lakukan latihan fisik secara teratur karena olahraga akan membantu merangsang kontraksi BAB. Luangkan waktu-waktu tertentu setiap hari untuk melakukan BAB, sekalipun Anda tidak ingin melakukannya. Anda harus berupaya melakukan gerakan BAB agar usus semakin terlatih.

http://www.bayisehat.com/immunization-mainmenu-36/81-sembelit-pada-bayi.html

Sembelit Pada Bayi


Thursday, 21 December 2006 06:18 Immunizations & Disease

NORMALNYA, tinja bayi berubah-ubah sesuai umurnya. Dimulai dengan tinja encer kehijauan (mekonium) pada hari-hari awal pascalahir. Selanjutnya biasanya setelah minggu pertama, tinja bayi berubah sifatnya sesuai dengan susu yang diminumnya. Tinja bayi yang diberi ASI berbeda dengan tinja bayi yang bukan diberi ASI. Sembelit berkait dengan sifat tinja. Apabila konsistensi tinja keras, volume relatif kurang besar dan liat, umumnya lebih sukar dikeluarkan dibanding apabila tinja bayi bersifat normal, yakni lunak, lembab (moist) layaknya pasta gigi atau pisang yang sangat masak. Kapan bayi disebut sembelit? Bila dalam dua hari tidak buang air besar. Normalnya bayi buang air besar satu sampai dua kali setiap hari. Selama konsistensi dan volume tinja normal, baru buang air besar dalam 48 jam tidak bermasalah. Tinja bayi dikategorikan normal jika lunak, lembab (moist), bervolume (berisi) tidak liat, dan tidak pula encer. Bayi dinyatakan sembelit bila dalam dua hari tidak buang air besar, dan tinjanya bersifat keras, dan liat. Bayi yang cukup mengkonsumsi ASI umumnya tidak bermasalah dengan buang air besarnya dan jarang dijumpai kasus sembelit. Demikian juga pada bayi yang sudah mendapat makanan tambahan (makanan padat pendamping ASI), lebih jarang lagi mengalami sembelit, selama makanannya cukup mengandung serat (dietary fiber). Makanan padat pertama berupa bubur susu. Usus bekerja lebih giat apabila makanan harian sudah mulai ada isinya (berbungkah, bulk). Kita tahu makanan pokok bayi awalnya hanya cair (ASI), dan bukan makanan (yang bersifat padat, berisi). Penyebab Sembelit Karena ada berbagi hal menjadi penyebab sembelit, maka perlu mencari apa dasar penyebab sembelit bayi; antara lain masalah organ setempat, misal adanya: kelainan metabolisme, fisura (retak/rekahan), pembengkakan, tumor, kelainan saraf setempat dll. Bila dokter telah menentukan tidak ada masalah dan/atau kelainan seperti tersebut diatas, kemungkinan lain sembelit bisa jadi karena:

Kekurangan cairan, kata lain kurang minum. Metabolisme pada bayi yang tinggi memungkinkan mengeluarkan cairan (kencing, keringat) lebih banyak, bila tidak segera diganti dengan cukup minum sering menyebabkan kurang cairan, hingga menyebabkan tinja keras, tidak lunak dan kurang lembab ( less moist ). Tabel di bawah, dapat digunakan sebagai patokan perhitungan berapa banyak bayi membutuhkan cairan setiap harinya. Maksud cairan adalah ASI (atau minuman lain misal juice, kuah yang sesuai usia bayi dan petunjuk dokter).

Pengeluaran cairan berlebihan juga bisa lingkungan misal karena cuaca panas, membuat bayi banyak berkeringat. Atau ruang ber pengatur udara (AC) meski berhawa sejuk tetapi menyebabkan udara kering, jadi bayi yang berada didalamnya perlu diberi banyak ASI (minum). Residu (sisa pembuangan) yang berlebihan, antara lain pembuangan protein yang umumnya bersumber dari lauk-pauk hewani dan nabati (kacang-kacangan). Dalam hal ini tips yang dapat membantu mengatasi, berilah bayi cairan lebih banyak. Bagi bayi yang sudah mendapat makanan padat, pemberian lebih banyak tepung-tepungan dan buah tertentu (pisang, papaya) sering dapat menolong.

Selain residu protein, residu mineral juga sering membuat sembelit. Protein dan mineral berlebih menjadikan tinja menyerupai kotoran kambing, berbungkilbungkil. Coba tengok bila ibu memberi bayi suplemen (sering disebut) vitamin, apakah juga mengandung mineral misal zat besi (ferum/iron), bila demikian sampaikan keluhan ini pada dokter sambil bertanya apakah suplemen perlu dihentikan dahulu, atau dikurangi dosisnya.

Pemberian obat-obatan tertentu misal antibiotik, obat flu juga memberi efek samping sembelit. Kalau bayi sudah mulai diberi makanan tambahan, dan buah, namun masih sembelit juga, amati jenis sayur mayur dan buahnya. Kalau ternyata sayur mayurnya sudah lengkap (lebih dari satu macam), dan buahnya selain cukup porsinya, berasal dari jenis buah yang tidak bikin sembelit (salak dan buah lain yang banyak getah), kemungkinan penyebabnya bukan itu. Bisa jadi memang kurang mendapat minum air putih. Apabila sudah diberi air putih masih sembelit juga, tentu ada yang tidak beres dengan pencernaannya. Ada beberapa kelainan usus pada bayi baru lahir yang bikin sembelit. Usus yang melipat, terlilit, atau ada bagian usus besar yang mengalami kelainan pada pangkal anus, kesemua itu juga bisa muncul dengan gejala sembelit. Untuk itu perlu pemeriksaan lanjutan lebih dalam guna memastikannya. Kasus bayi sembelit dapat diatasi dengan pemberian pencahar, namun harus atas pengawasan dokter. Jangan memberi sembarang pencahar karena pencahar sendiri bukanlah obat sembelit, melainkan hanya untuk mengatasi sesaat. Penyebab sembelitnya sendiri yang perlu dilacak, agar sembelitnya bisa tuntas ditanggulangi. Oleh : dr. Handrawan Nadesul

http://zahra-youtube.blogspot.com/2010/11/pemeriksaan-labdarah.html
Albumin Albumin adalah protein yang larut air, membentuk lebih dari 50% protein plasma, ditemukan hampir di setiap jaringan tubuh. Albumin diproduksi di hati, dan berfungsi untuk mempertahankan tekanan koloid osmotik darah sehingga tekanan cairan vaskular (cairan di dalam pembuluh darah) dapat dipertahankan. Nilai normal : Dewasa 3,8 - 5,1 gr/dl Anak 4,0 - 5,8 gr/dl Bayi 4,4 - 5,4 gr/dl Bayi baru lahir 2,9 - 5,4 gr/dl Penurunan albumin mengakibatkan keluarnya cairan vascular (cairan pembuluh darah) menuju jaringan sehingga terjadi oedema (bengkak). Penurunan albumin bisa juga disebabkan oleh : 1. Berkurangnya sintesis (produksi) karena malnutrisi, radang menahun, sindrom malabsorpsi, penyakit hati menahun, kelainan genetik. 2. Peningkatan ekskresi (pengeluaran), karena luka bakar luas, penyakit usus, nefrotik sindrom (penyakit ginjal). NATRIUM (Na) Natrium adaiah salah satu mineral yang banyak terdapat pada cairan elektrolit ekstraseluler (di luar sel), mempunyai efek menahan air, berfungsi untuk mempertahankan cairan dalam tubuh, mengaktifkan enzim, sebagai konduksi impuls saraf. Nilai normal dalam serum : Dewasa 135-145 mEq/L Anak 135-145 mEq/L

Bayi 134-150 mEq/L Nilai normal dalam urin : 40 - 220 mEq/L/24 jam Penurunan Na terjadi pada diare, muntah, cedera jaringan, bilas lambung, diet rendah garam, gagal ginjal, luka bakar, penggunaan obat diuretik (obat untuk darah tinggi yang fungsinya mengeluarkan air dalam tubuh). Peningkatan Na terjadi pada pasien diare, gangguan jantung krohis, dehidrasi, asupan Na dari makanan tinggi,gagal hepatik (kegagalan fungsi hati), dan penggunaan obat antibiotika, obat batuk, obat golongan laksansia (obat pencahar). Sumber garam Na yaitu: garam dapur, produk awetan (cornedbeef, ikan kaleng, terasi, dan Iain-Iain.), keju,/.buah ceri, saus tomat, acar, dan Iain-Iain. KALIUM (K) Kalium merupakan elektrolit tubuh yang terdapat pada cairan vaskuler (pembuluh darah), 90% dikeluankan melalui urin, rata-rata 40 mEq/L atau 25 -120 mEq/24 jam wa laupun masukan kalium rendah. Nilai normal : Dewasa 3,5 - 5,0 mEq/L Anak 3,6 - 5,8 mEq/L Bayi 3,6 - 5,8 mEq/L Peningkatan kalium (hiperkalemia) terjadi jika terdapat gangguan ginjal, penggunaan obat terutama golongan sefalosporin, histamine, epinefrin, dan Iain-Iain. Penurunan kalium (hipokalemia) terjadi jika masukan kalium dari makanan rendah, pengeluaran lewat urin meningkat, diare, muntah, dehidrasi, luka pembedahan. Makanan yang mengandung kalium yaitu buah-buahan, sari buah, kacang-kacangan, dan Iain-Iain. KLORIDA (Cl) Merupakan elektrolit bermuatan negatif, banyak terdapat pada cairan ekstraseluler (di luar sel), tidak berada dalam serum, berperan penting dalam keseimbangan cairan tubuh, keseimbangan asam-basa dalam tubuh. Klorida sebagian besar terikat dengan natrium membentuk NaCI (natrium klorida). Nilai normal : Dewasa 95-105 mEq/L Anak 98-110 mEq/L Bayi 95 -110 mEq/L Bayi baru lahir 94-112 mEq/L Penurunan klorida dapat terjadi pada penderita muntah, bilas lambung, diare, diet rendah garam, infeksi akut, luka bakar, terlalu banyak keringat, gagal jantung kronis, penggunaan obatThiazid, diuretik, dan Iain-lain. Peningkatan klorida terjadi pada penderita dehidrasi,cedera kepala, peningkatan natrium, gangguan ginjal,penggunaan obat kortison, asetazolamid, dan Iain-Iain. KALSIUM (Ca) Merupakan elektrolit dalam serum, berperan dalam keseimbangan elektrolit, pencegahan tetani, dan dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi gangguan hormon tiroid dan paratiroid. Nilai normal : Dewasa 9-11 mg/dl (di serum) ; <150 mg/24 jam (di urin & diet rendah Ca) ; 200 - 300 mg/24 jam (di urin & diet tinggi Ca) Anak 9 -11,5 mg/dl Bayi 10 -12 mg/dl Bayi baru lahir 7,4 -14 mg/dl. Penurunan kalsium dapat terjadi pada kondisi malabsorpsi saluran cerna, kekurangan asupan kalsium dan vitamin D, gagal ginjal kronis, infeksi yang luas, luka bakar, radang pankreas, diare, pecandu alkohol, kehamilan. Selain itu penurunan kalsium juga dapat dipicu oleh penggunaan obat pencahar, obat maag, insulin, dan Iain-Iain. Peningkatan kalsium terjadi karena adanya keganasan (kanker) pada tulang, paru, payudara, kandung kemih, dan ginjal. Selain itu, kelebihan vitamin D, adanya batu ginjal, olah raga berlebihan, dan Iain-Iain, juga dapat memacu peningkatan kadar kalsium dalam tubuh. PEMERIKSAAN KADAR GULA DARAH

Pemeriksaan terhadap kadar gula dalam darah vena pada saat pasien puasa 12 jam sebelum pemeriksaan (gula darah puasal nuchter) atau 2 jam setelah makan (gula darah post prandial). Nilai normal gula darah puasa : Dewasa 70 -110 mg/dl Anak 60-100 mg/dl Bayi baru lahir 30-80 mg/dl Tes Widal Merupakan pemeriksaan untuk membantu menegakkan diagnosa thypus.Tes ini menggunakan antigen Salmonella jenis O (somat/k) dan H {flagel) untuk menentukan tinggi rendahnya titer antibodi. Titer antibodi pada penderita thypus akan meningkat pada minggu ke II. Kemudian titer antibodi O akan menurun setelah beberapa bulan, dan titer antibodi H akan menetap sampai beberapa tahun. Jika titer antibodi 0 meningkat segera setelah adanya demam, menunjukkan adanya infeksi Salmonella strain O dan demikian pula untuk strain H.

http://www.infobunda.com/pages/newforum/posts.php?topic=9364
Pertambahan BB yang dikategorikan normal dibagi menjadi beberapa tahapan. Pada triwulan pertama, pertambahan BB sekitar 150-250 gram per bulan. Pada triwulan kedua sekitar 500-600 gram per bulan, sedangkan pada triwulan ketiga mencapai 350-450 gram per bulan. Lalu, pada triwulan keempat pertambahan BB berkisar antara 250-350 gram per bulan. Dari patokan di atas terlihat kalau dalam 3 bulan pertama setelah lahir, pertambahan BB berlangsung biasa-biasa saja. Kemudian, pada usia 3-6 bulan pertambahan BB terkesan melesat, dan mulai melambat saat usia di atas 6 bulan.

Yang ditekankan Hanifah, meski kenaikan BB-nya melambat, pertumbuhan anak sebenarnya berlangsung normal. Toh, sebenarnya bobot tersebut tetap mengalami penambahan walaupun lebih kecil ketimbang di bulan-bulan sebelumnya. Jadi, orang tua tak perlu khawatir. Memang, "Tak diketahui secara pasti kenapa pertambahan BB bayi menurun. Yang pasti, penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah bayi normal dari berbagai ras juga menunjukkan hal yang sama," ujarnya.

Secara garis besar, saat menginjak usia 6 bulan, rata-rata BB bayi sudah mencapai 2 kali lipat BB lahirnya. Sedangkan di usia 1 tahun BB ini sudah mencapai 3 kali lipat berat lahir. Nah, selepas usia 1 tahun, pertambahan BB mulai melambat lagi. "Hal itu memang berlangsung secara alamiah dan normal. Tak usah terlalu dipusingkan kenapa kenaikan BB yang tadinya tinggi tiba-tiba menurun. Bagaimanapun, angkaangka itu sangat bersifat individual. Tiap anak berbeda-beda tak usah dibandingkan dengan bayi yang lain," tutur Hanifah.

http://kedokteranugm.com/?tag=hisprung

Megacolon Congenital / Hirschprung Disease


Penyakit Hirschsprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang ditandai dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan pleksus mienterikus Auerbachi. 90% kelainan ini terdapat pada rektum dan sigmoid. Hal ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal dari sel krista neuralis di daerah kolon distal pada minggu ke lima sampai minggu ke dua belas kehamilan untuk membentuk sistem saraf usus. Aganglionik usus ini mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional (Kartono,1993; Fonkalsrud,1997). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Kartono, 1993; Fonkalsrud, 1997). Mutasi pada Ret proto-oncogene akhir-akhir ini telah dihubungkan dengan penyakit Hirschsprung. Gen lain yang berhubungan dengan kelainan ini ialah Endothelin-B reseptor, endothelin-3 dan Glial cell derived neurotrophic faktor (Abe et al, 2000; Kim et al, 2006).

Goldstein (2006) menyatakan bahwa migrasi sel-sel krista neuralis yang kemudian mengadakan proliferasi dan diferensiasi didalam dinding usus akan meningkatkan pembentukan sel saraf dan sel glial pada sistem saraf intestinal. Kegagalan proses ini selama fase embriogenesis akan mengakibatkan gangguan motilitas usus seperti yang terlihat pada penyakit Hirschsprung. Insidens penyakit Hirschsprung adalah satu dalam 5000 kelahiran hidup, dan laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan ( Holschneider dan Ure, 2005 ). Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa pasien seperti terjadinya enterokolitis, perforasi usus serta sepsis yang dapat menyebabkan kematian. Diagnosis kelainan ini dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan Rontgen dengan enema barium, pemeriksaan histokimia, pemeriksaan manometri serta pemeriksaan patologi anatomi. Manifestasi klinis penyakit Hirschsprung terlihat pada neonatus cukup bulan dengan keterlambatan pengeluaran mekonium pertama yang lebih dari 24 jam yang kemudian diikuti dengan kembung dan muntah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan perut yang kembung hebat, gambaran usus pada dinding abdomen dan bila dilakukan pemeriksaan colok dubur, feses akan keluar menyemprot dan gejala tersebut akan segera hilang (Teitelbaum, 2003; Swenson, 1990). Pada pemeriksaan enema Barium didapatkan tanda-tanda khas penyakit ini yaitu adanya gambaran zone spastik, zone transisi serta zone dilatasi. Gambaran mukosa yang tidak teratur menunjukkan adanya proses enterokolitis (Proctor, 2003; Pratap, 2007). Pada penyakit Hirschsprung terdapat kenaikan aktivitas asetilkolinesterase pada serabut saraf dalam lamina propria dan muskularis mukosa. Pewarnaan untuk asetilkolinesterase dengan tehnik Karnovsky dan Roots akan dapat membantu menemukan sel ganglion di submukosa atau pada lapisan muskularis khususnya dalam segmen usus yang hipoganglionosis. Pemeriksaan elektromanometri dilakukan dengan memasukkan balon kecil kedalam rektum dan kolon, dengan kedalaman yang berbeda-beda dan akan didapatkan kontraksi pada segmen aganglionik yang tidak berhubungan dengan kontraksi pada segmen yang ganglionik Pemeriksaan patologi anatomi dilakukan dengan memeriksa material yang didapatkan dari biopsi rektum yang dilakukan dengan cara biopsi hisap maupun biopsi manual. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan bila tidak ditemukan sel ganglion Meissnner dan sel ganglion Auerbach serta ditemukan penebalan serabut saraf (Holschneider dan Ure, 2005). Kartono (2004) menyatakan bahwa bila hasil pemeriksaan klinis dan radiologis enema barium ditemukan tanda khas penyakit Hirschsprung, maka tidak seorang pasienpun yang tidak menderita penyakit Hirschsprung Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta penjagaan nutrisi. (Kartono, 2004) Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung. (Langer, 2005). Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein, prosedur transanal dan bedah laparoskopik. Saat ini prosedur transanal satu tahap telah berkembang dan dikerjakan pada saat penderita masih neonatus (Pratap et al., 2007) Permasalahan-permasalahan bedah definitif yang disebut diatas masih cukup banyak antara lain masalah lama waktu operasi, tindakan kolostomi, kebocoran anastomosis (5%) , striktura (10%), obstruksi usus (5%), abses pelvis (5%), dan infeksi jaringan (10%) (Lee, 2002). Angka mortalitas penyakit Hirschsprung pada neonatus yang tidak ditangani masih sangat tinggi yaitu mencapai 80%, sedang kematian pada kasus-kasus yang telah ditangani 30% disebabkan oleh karena enterokolitis. (Lee, 2002). Angka mortalitas operasi yang didapatkan setelah beberapa prosedur operasi antara lain prosedur Swenson 2,5%, prosedur Soave 4,5% dan prosedur Duhamel 6,2%. (Swenson, 1990). Sawaf et al (2007) telah membandingkan hasil prosedur transanal pull-through dengan prosedur transabdominal pull-through, 20 pasien dilakukan transanal endorectal pull-through dan 21 pasien dilakukan transabdominal pull-through. Hasil evaluasi 41 pasien tersebut ternyata 6 pasien harus dilakukan operasi kembali akibat terjadinya obstruksi intestinal pada 3 pasien, enterokolitis pada 2

pasien dan puntiran kolon pada 1 pasien. Enterokolitis terjadi pada 13 kasus (61,9%) pada prosedur transabdominal dan 9 kasus (45%) pada prosedur transanal. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa penurunan insidensi enterokolitis lebih baik pada prosedur transanal. Leeuwen et al (2002) membandingkan prosedur transperineal dan transabdominal untuk operasi penyakit Hirschsprung dan enterokolitis yang terjadi 53% pada prosedur transabdominal sedangkan pada prosedur transperineal 56%. Di Rumah Sakit Dr.Sardjito Yogyakarta sejak tahun 2005 oleh Rohadi telah ditemukan tehnik operasi baru yaitu PSNRHD Posterior Sagittal Neurektomi Repair for Hirschsprung Desease. Sedangkan prosedur yang lain meliputi: prosedur Duhamel, prosedur Soave modifikasi, prosedur transanal dan prosedur miomektomi rektal. Setiap tahun penderita Penyakit Hirschsprung tercatat rata-rata 50 pasien (Rochadi, 2007). Tehnik Posterior Sagittal Neurektomi Repair for Hirschsprung Desease, dilakukan dengan irisan intergluteal untuk mencapai derah rektum, satu tahap tanpa kolostomi dan tanpa dilakukan proses pull through atau tarik terobos endorektal (Rochadi, 2007). Costa et al (2006) menyatakan bahwa enterokolitis tetap merupakan penyebab utama terjadinya mortalitas maupun morbiditas pada penderita penyakit Hirschsprung yang telah dilakukan operasi definitif. Enterokolitis merupakan komplikasi yang amat berbahaya sehingga mortalitasnya mencapai 30% apabila tidak ditangani secara sempurna. Keadaan ini diakibatkan oleh karena stasis usus yang memicu proliferasi bakteri didalam lumen usus diikuti invasi ke mukosa sehingga terjadilah inflamasi lokal maupun sistemik. Etiologi Penyakit Hirschsprung Laporan pertama mengenai penderita penyakit Hirschsprung telah disampaikan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, akan tetapi baru pada tahun 1886 Harold Hirschsprung pertama kali menerangkan bahwa penyakit ini adalah sebagai penyebab terjadinya konstipasi pada neonatus. Penyakit Hirschsprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang ditandai dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan pleksus mienterikus Auerbachi. 90% kelainan ini terdapat pada rektum dan sigmoid. Hal ini diakibatkan oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal dari sel krista neuralis di daerah kolon distal pada minggu ke lima sampai minggu ke dua belas kehamilan untuk membentuk sistem saraf usus. Aganglionik usus ini mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional (Kartono,1993; Fonkalsrud,1997). Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit Hirschsprung diperlukan pemahaman yang mendalam perihal perkembangan embriologis sistem saraf intestinal. Sel-sel krista neuralis berasal dari bagian dorsal neural tube yang kemudian melakukan migrasi keseluruh bagian embrio untuk membentuk bermacam-macam struktur termasuk sistim saraf perifer, sel-sel pigmen, tulang kepala dan wajah serta saluran saluran pembuluh darah jantung. Sel-sel yang membentuk sistim saraf intestinal berasal dari bagian vagal krista neuralis yang kemudian melakukan migrasi ke saluran pencernaan. Sebagian kecil sel-sel ini berasal dari sakral krista neuralis untuk ikut membentuk sel-sel saraf dan sel-sel glial pada kolon. Selama waktu migrasi disepanjang usus, sel-sel krista neuralis akan melakukan proliferasi untuk mencukupi kebutuhan jumlah sel diseluruh saluran pencernaan. Sel-sel tersebut kemudian berkelompok membentuk agregasi badan sel. Kelompok-kelompok ini disebut ganglia yang tersusun atas sel-sel ganglion yang berhubungan dengan sel bodi saraf dan sel-sel glial. Ganglia ini kemudian membentuk dua lingkaran cincin pada stratum sirkularis otot polos dinding usus, yang bagian dalam disebut pleksus submukosus Meissnerr dan bagian luar disebut pleksus mienterikus Auerbach (Fonkalsrud,1997). Secara embriologis sel-sel neuroenterik bermigrasi dari krista neuralis menuju saluran gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya meneruskan kearah distal. Pada minggu ke lima kehamilan sel-sel saraf tersebut akan mencapai esofagus, pada minggu ke tujuh mencapai mid-gut dan akhirnya mencapai kolon pada minggu ke dua belas. Proses migrasi mula pertama menuju ke dalam pleksus Auerbachi dan selanjutnya menuju kedalam pleksus submukosa Meissneri. Apabila terjadi gangguan pada proses migrasi sel-sel kristaneuralis ini maka akan menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik dan terjadilah penyakit Hirschsprung. (Fonkalsrud,1997). Berdasar pada segmen kolon yang aganglionik, penyakit Hirschsprung dibagi menjadi Hirschsprung short segmen bila segmen aganglionik tidak melebihi batas atas sigmoid (S-HSCR, 80% kasus) dan Hirschsprung long segmen bila segmen aganglionik melebihi sigmoid (L-HSCR, 20% kasus). Ada empat varian penyakit Hirschsprung yang dilaporkan yaitu total kolon aganglionosis, total intestinal aganglionosis, ultra short dan suspended HSCR. (Holschneider dan Ure, 2005; Amiel dan Lyonnet, 2001). Puri (1997) menyatakan bahwa banyak keadaan yang secara klinis menyerupai penyakit Hirschsprung akan tetapi didapatkan sel ganglion pada kolonnya. Keadaan tersebut adalah Intestinal neuronal displasia, Hipoganglionosis, Immature ganglia, Pleksus argyrophyl yang negatif, Akhalasia sfingter interna dan kelainan otot polos. Untuk membedakannya diperlukan pemeriksanpemeriksaan histokimia, immnohistokimia silver staining dan mikroskop elektron.

Pada tahun 1994 ditemukan dua gen yang berhubungan dengan kejadian penyakit Hirschsprung yaitu RET (receptor tyrosin kinase) dan EDNRB (endothelin receptor B). RET ditemukan pada 20% dari kasus penyakit Hirschsprung dan 50% dari kasus tersebut bersifat familial, sedang EDNRB dijumpai pada 5 sampai 10% dari semua kasus penyakit Hirschsprung. Interaksi antara EDN-3 dan EDNRB sangat penting untuk perkembangan normal sel ganglion usus. Pentingnya interaksi EDN-3 dan EDNRB didalam memacu perkembangan normal sel-sel krista neuralis telah dibuktikan dengan jelas. Baik EDN-3 maupun EDNRB keduanya ditemukan pada sel mesenkim usus dan sel neuron usus, dan ini memperkuat dugaan bahwa EDN-3 dan EDNRB dapat mengatur regulasi antara krista neuralis dan sel mesenkim usus yang diperlukan untuk proses migrasi normal (Duan, 2003). Genom lain yang berperan sebagai penyebab terjadinya penyakit Hirschsprung adalah Glial cell line Derived Neurothrophic Factor (GDNF), Neurturin (NTN), Endotelin Converting Enzym 1, SOX 10 dan SIP 1 (Amiel dan Lyonnet, 2001) Nakatsuji et al (2007) menyatakan bahwa terjadinya penyempitan pada zone aganglionik disebabkan oleh karena adanya hiperaktifitas saraf kolinergik, defisiensi saraf inhibitor non adrenergik dan adanya hipoaktifitas otot polos. Berdasar pada pemeriksaan histologis dan biokemis pada spesimen aganglionik ternyata ditemukan adanya proliferasi serabut saraf kolinergik, peningkatan aktifitas enzim asetilkolinesterase dan kenaikan pengeluaran mediator asetilkolin. Kecuali hal-hal tersebut diatas pada zone aganglionik juga diketemukan penurunan jumlah sel-sel penghasil nitric oxyde (NO) dan peptidergik, penurunan kadar kalsium akibat kehilangan gen EDNRB sehingga kolon akan ditempati oleh sel sel prekusor yang mengakibatkan degenerasi pada otot polosnya. Berdasar tipe ketinggian segmen yang aganglionik, 80% adalah short segmen dan 20% adalah long segmen. Kelainan-kelainan penyerta yang sering didapatkan adalah palatoskisis, polidaktili, defek katub jantung, malformasi kraniofasial dan sindrom hipoventilasi (Kim et al, 2006; Yang et al, 2007). Cherian et al (2008) menyatakan bahwa 70% penyakit Hirschsprung adalah tanpa disertai kelainan bawaan yang lain dan melaporkan terjadinya kelainan penyerta Bardet-Biedl sindrom pada saudara kandung keluarga Arab. Bardet-Biedl sindrom merupakan kelainan pleiotropic autosomal recessive dengan tanda-tanda obesitas, polidaktili, hipogenitalisme, kelainan ginjal, retardasi mental dan gangguan tumbuh kembang. Ekema et al (2006) menyatakan bahwa Cytomegalovirus kongenital merupakan infeksi intra uterin yang paling kerap dijumpai pada manusia. Prevalensi kelainan ini adalah 0,2% sampai 2,2% dan merupakan bagian dari virus herpes. Virus ini ditularkan secara kontak langsung antar manusia. Penderita CMV dapat mengekskresi CMV lewat urin, saliva, sekresi cerviks atau air susu. Sel usus yang telah terinfeksi CMV dihubungkan dengan terjadinya enterokolitis nekrotikans pada neonatus yang dapat menyebabkan terjadinya striktur kolon dengan manifestasi klinis mirip dengan penyakit Hirschsprung. Flageole et al (1996) melaporkan penderita dengan trisomi 21 pada penderita penyakit Hirschsprung yang disertai atresia ani dan menyarankan bahwa adanya penyakit Hirschsprung harus dicurigai pada neonatus dengan kelainan trisomi 21 yang disertai konstipasi. B. Anatomi Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm, sedangkan rektum berasal dari endoderm. Dengan adanya perbedaan embriologi antara anus dan rektum ini maka sistim vaskularisasi, persarafan serta sistem limfatika berbeda pula. Rektum dilapisi mukosa glanduler sedangkan kanalis analis dilapisi epitel gepeng. Batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan adanya perubahan jenis epitel. Kanalis analis dan kulit luar disekitarnya kaya akan persarafan sensorik somatik yang peka terhadap rangsang nyeri, sedang mukosa rektum mempunyai persarafan autonom yang tidak peka terhadap rasa nyeri. Darah vena diatas garis anorektum mengalir melalui sistem porta sedangkan yang berasal dari dari anus dialirkan kesistem kava melaui vena iliaka. (Guyton, 1986) 1. KANALIS ANALIS. Makroskopis kanalis analis terdiri atas kolumna analis, valvula analis, sinus analis, papila analis, zona transisi garis Hilton dan kelenjar analis. Kolumna analis merupakan lipatan vertikal dari selaput mukosa, sedang valvula analis merupakan lipatan melintang berbentuk bulan sabit pada ujung bawah kolumna analis yang terdapat disepanjang linea pektinata dan garis ini merupakan batas antara endoderm dan ektoderm. Sinus analis terdiri dari lekukan-lekukan kecil tepat diatas valvula analis dan tonjolan mukosa dari valvula analis disebut papila analis. (Shafik, 2000) Secara mikroskopis kanalis analis terdiri atas tiga macam epitel dimana diatas linea pektinea strukturnya menyerupai kolon, antara linea pektinea dan garis Hilton dilapisi epitel transitional berlapis dan dibawah garis Hilton epitel pipih berlapis (Guyton, 1986). Fu dan Zhang (1997) menemukan adventitia rectalis, lapisan jaringan fibrous yang terluar pada dinding rektum yang berfungsi membatasi gerakan ekspansi dinding rektum. Pemotongan jaringan ini akan mengakibatkan pengurangan pengkerutan rektum sehingga retum dapat ditarik lebih panjang dan lebih elastis.

Gambar 1. Anatomi Rektum dan Saluran Anal (Yamada, 2000) 1. SISTEMA MUSKULARE. Pada individu normal, struktur otot seran lintang yang berfungsi pada kontrol feses membentuk bangunan seperti cerobong. Muskulus levator merupakan bagian paling atas dan muskulus sfingter eksternus merupakan bagian paling bawah dari cerobong. Otot-otot lain yang membentuk bangunan cerobong ini yaitu muskulus ischiococcygeus, ileococcygeus, pubococcysigeus, puborektalis dan muskulus sfingter ani internus. Sfingter terdiri atas otot polos dan otot lurik yang membentuk saluran anal. Otot polos sfingter interna adalah intrinsik pada dinding usus yang menempati 2/3 bagian distal saluran anal, sebagian besar terletak distal dari garis pektinea, otot tersebut merupakan penebalan muskulus sirkular yang diperkuat oleh muskulus longitudinal di bagian luarnya (Shafik, 2000). Sfingter eksterna merupakan lingkaran otot memanjang mengelilingi katub anal sampai orifisium anal. Otot ini berupa kumpulan otot-otot parasagittal yang betemu pada ujung anterior dan posterior anus. Bangunan otot yang terletak antara muskulus levator dan muskulus sfingter ani eksternus membentuk serabut-serabut otot vertikal disebut muscle complex.Stimulasi pada muskulus levator ani akan menyebabkan kontraksi yang menarik rektum kedepan, sedangkan stimulasi pada muscle complex akan mengangkat anus keatas. Stimulasi pada serabut otot parasagital akan menimbulkan gerakan yang searah dengan serabutnya sehingga menyebabkan anus akan tertutup. Otot-otot dasar panggul yang terletak pada pintu keluar rongga pelvis, dibentuk oleh otot-otot levator ani , pubococcygeus, ileococcygeus, ischiococcygeus dan puborectalis (Shafik, 2000). Gambar 2. Anatomi Muskulare (Yamada, 1999) 1. VASKULARISASI. Vaskularisasi untuk daerah sigmoid dan bagian atas rektum berasal dari arteria mesenterika inferior dan arteria kolika sinistra sedangkan vaskularisasi rektum dan kanalis analis berasal dari arteri hemorrhoidalis superior, media dan inferior. Arteria hemorrhoidalis superior merupakan akhir dari arteria mesenterika inferior yang melalui dinding posterior rektum turun sampai ke linea pektinea. Arteria hemorrhoidalis media merupakan cabang dari arteria iliaka interna yang pada wanita berupa arteria uterina. Arteria hemorrhoidalis inferior merupakan cabang arteria pudenda interna (Shafik, 2000) . Vena pada rektum dan dan anus mengikuti sistem arteri. Vena hemorrhoidalis superior berasal dari pleksus hemorrhoidalis internus, berjalan ke kranial kedalam vena mesenterika inferior dan melalui vena lienalis ke vena porta. Vena hemorrhoidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna, ke vena iliaka interna untuk selanjutnya ke vena kava inferior. Anastomosis vena hemorrhoidalis superior, media dan inferior disebut portosistemic shunt (Shafik, 2000). 1. PERSARAFAN. 2. Sistem Syaraf Intestinal. Sistem saraf intestinal merupakan sekumpulan sel-sel saraf pada saluran pencernaan yang fungsinya tidak tergantung pada sistem saraf pusat. Sistem ini mengatur gerakan usus, sekresi eksokrin, sekresi endokrin dan mikrosirkulasi saluran pencernaan disamping mengatur proses immunitas dan inflamasi. Sistem saraf intestinal mula-mula diperkirakan sebagai bagian otonom dari sistem saraf perifer dan sel saraf pada dinding usus dianggap sebagai sel saraf parasimpatis postganglion. Akan tetapi pada penelitian penelitian selanjutnya ternyata menunjukkan bahwa usus mempunyai sistem pengaturan tersendiri, kontraksi peristaltik diatur oleh reflek-reflek yang melibatkan saraf intramural dan kebanyakan sel saraf usus tidak berhubungan dengan axon parasimpatis sistem saraf pusat secara langsung (Goyal dan Hirano, 1996). Penelitian selanjutnya mengenai fungsi dan dan aktivitas kimiawi sistem saraf intestinal ternyata sangat mirip dengan sistem saraf pusat dimana jumlah sel saraf mencapai 100 milyar mendekati jumlah sel saraf pada medula spinalis. Bagian sistem saraf pusat yang berhubungan dengan sistim saraf intestinal adalah jaringan saraf sentral otonom. Sistem saraf intestinal bersama jaringanjaringan penghubung dengan sistem saraf pusat tersebut secara simultan mengontrol seluruh fungsi saluran pencernaan (Goyal dan Hirano, 1996). Pada sistem saraf intestinal, sel bodi saraf akan berkelompok menjadi ganglion yang dihubungkan dengan bundel-bundel saraf untuk membentuk dua pleksus besar yaitu pleksus mienterius Auerbach yang terletak antara lapisan sirkuler dan lapisan longitudinal serta pleksus submukosus Meissner yang terletak pada submukosa antara lapisan sirkuler dan muskularis mukosa. Pleksus mienterikus Auerbach berfungsi sebagai inervasi motorik pada kedua lapisan otot dan inervasi sekretomotor pada mukosa sedang pleksus submukosus Meissner berperan pada pengaturan fungsi sekresi (Goyal dan Hirano, 1996). Nervus parasimpatis berasal dari cabang anterior nervi Sakralis 2, 3, 4. Persarafan preganglion ini membentuk dua saraf erigentes yang memberikan cabang langsung ke rektum dan melanjutkan diri sebagai cabang utama ke pleksus pelvis untuk organ-organ intra pelvis. Didalam rektum serabut saraf ini berhubungan dengan pleksus ganglion Auerbach. Persarafan simpatis berasal dari ganglion lumbal 2, 3, 4 dan pleksus praaorta. Persarafan ini menyatu pada kedua sisi membentuk pleksus hipogastrikus didepan vertebra lumbal lima dan melanjutkan diri kearah postero lateral sebagai persarafan presakral yang bersatu dengan ganglion pelvis pada kedua sisi (Shafik, 2000).

Persarafan simpatis dan parasimpatis ke rektum dan saluran anal berperan melalui ganglion pleksus Auerbach dan Meissner untuk mengatur peristaltik dan tonus sfingter interna. Serabut simpatis sebagai inhibitor dinding usus dan motor sfingter interna sedang parasimpatis sebagai motor dinding usus dan inhibitor sfingter. Sistem saraf parasimpatis juga merupakan persarafan sensorik untuk rasa distensi rektum (Shafik, 2000). Inervasi somatik pada otot-otot seranlintang terutama pada bagian atas muskulus levator, musculus ischiococcygeus dan pubococcygeus mendapat inervasi dari radix anterior nervus sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis yang berasal dari nervus sakralis 2, 3 dan 4 juga memberikan persarafan pada otot-otot tersebut. Bagian bawah muskulus levator yaitu muskulus puborektalis dan muskulus sfingter eksternus membentuk bangunan terpisah dan menerima inervasi cabang perineal nervus sakralis 4, hemorrhoid inferior dan cabang perineal nervus pudendus (Shafik, 2000). Inervasi sensoris kanalis anal, termasuk daerah 1 cm diatas linea pectinea dan kebawah sampai kulit anus merupakan daerahdaerah yang sangat sensitif. Terdapat akhiran-akhiran saraf yang mampu mendeteksi rasa nyeri (intra epitelial), sensasi sentuhan (Meissners corpuscle), sensasi dingin (Krauses end-bulb) sensasi tekanan atau regangan (Pacini dan Golgi-Mazzoni) dan sensasi gesekan (genital corpuscles). Bagian atas kanalis anal rektum, tidak sensitif terhadap rangsangan-rangsangan tersebut diatas akan tetapi sensitif pada rangsangan distensi yang diberikan oleh inervasi parasimpatis pada otot polos dan reseptor proprioseptiv yang terletak pada otot seranlintang disekitar rektum (Shafik, 2000). Rektum menerima saraf otonom bersama pasokan darah arteria rektalis. Saraf saraf pleksus pelvikus memberikan cabang ke viscera genitourinarius yang terletak disebelah depan rektum dan didepan fascia Denonvilliers (Davies, 1997). 1. Inervasi traktus gastrointestinal. Pleksus saraf pada usus merupakan jaringan saraf dengan fungsi tersendiri yang disebut sistem saraf intestinal yang dihubungkan melalui jaringan saraf sentral otonom ke sistem saraf pusat dengan saraf parasimpatis maupun saraf simpatis. Sistem saraf intestinal dapat mempengaruhi sistem efektor pada usus secara langsung maupun secara tidak langsung lewat sel perantara yang berujud sel endokrin, sel interstisial Cajal dan sel sistem immun seperti sel mast. Gerakan normal traktus gastrointestinal tergantung pada sistem saraf intestinal dan sel interstitial Cajal yang bertindak sebagai sel-sel pacemaker. Lokasi sel-sel Cajal terdapat pada lapisan mienterikus maupun muskularis, yang berfungsi untuk motilitas usus, perkembangan traktus gastrointestinal serta membawa Tyrosine Kinase Receptor. Pada zone aganglionik tidak diketemukan sel Cajal sedang pada daerah zone transisi sel-sel ini sangat terbatas dan pada zone ganglionik sel ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan usus normal (Tam et al 2003). Sel bodi saraf saraf vagal primer dan splanchnic primer afferen terletak pada ganglia nodosa dan ganglia radik dorsalis yang membawa bermacam informasi dari usus ke sistem saraf pusat (Goyal dan Hirano, 1996). Kamimura et al (1997); Bealer et al (1994) menyatakan bahwa nitric oxide (NO) merupakan transmiter saraf nonadrenergik noncholinergik dan pada penyakit Hirschsprung ternyata terdapat kekurangan inervasi saraf nonadrenergik noncholinergik pada zone aganglioniknya.

1. Patofisiologi 1. Motilitas. Gerakan peristaltik merupakan gabungan gerakan kontraksi diproksimal bolus dan gerakan relaksasi pada distal bolus. Gerakan ini terutama dilakukan oleh stratum sirkularis dan ditambah kontraksi stratum longitudinale tepat diatas bolus. Sirkuit reflek peristaltik terdiri atas terjadinya distensi usus dan depolarisasi sel Cajal pada otot polos yang lewat saraf kolinergik akan memicu interneuron pada pleksus Auerbach dan pleksus Meissnerr yang meupakan saraf nonadrenergik nonkolinergik. Mediator-mediator yang bekerja pada interneuron ini antara lain adalah ATP, VIP dan NO. Nitrogen Oxyde adalah neurotransmiter yang berfungsi sebagai mediator untuk relaksasi otot polos usus oleh karena itu ketiadaan NO akan menyebabkan kegagalan gerakan relaksasi pada segmen usus yang aganglionik. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadinya kontraksi permanen pada segmen aganglionik kolon diakibatkan oleh karena tidak adanya interneuron nonadrenergik nonkolinergik sehingga produksi NO menjadi berkurang atau tidak ada. Namun demikian oleh karena dinding kolon bersifat elastis maka tetap akan ada gerakangerakan tapi tanpa koordinasi dan ini menjadikan alasan mengapa diagnosis penyakit Hirschsprung kadang-kadang terlambat (Goyal dan Hirano, 1996). 1. 2. Kontinensi . Kontinensi merupakan kemampuan untuk menahan feses, dan hal ini tergantung pada konsistensi feses, tekanan dalam lumen anus, tekanan rektum dan sudut anorektal. Kontinensi diatur oleh mekanisme volunter dan involunter yang menjaga aliran secara anatomi dan fisiologi jalannya feses ke rektum dan anus (Scharli, 1987).

Penghambat yang berperan adalah sudut anus dan rektum yang dihasilkan oleh otot levator ani bagian puborektal anterior dan superior. Adanya perbedaan antara tekanan dan aktivitas motorik anus, rektum dan sigmoid juga menyebabkan progresivitas pelepasan feses terhambat. Kontraksi sfingter ani eksternus diaktivasi secara involunter dengan distensi rektal dan dapat meningkat selama 1-2 menit. Mekanisme kontinensi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sfingter ani, mekanisme valf, reservoar rektum dan faktor sensoris (Miller dan Bartolo, 1991). Sfingter interna dipengaruhi oleh 4 mekanisme persarafan : 1. Alfa adrenergik sebagai eksitator stimuli, berjalan pada nervus Hipogastrikus yang berfungsi mempertahankan tonus sfingter intena , 2. Beta adrenergik sebagai reseptor inhibisi yang berfungsi untuk relaksasi, 3. Saraf kolinergik dan 4. Saraf nonadrenegik non kolinergik untuk relaksasi sfingter interna dengan mediator NO, VIP dan Peptidergik lain (Scharli, 1987). Banerjee dan Wilkin (1993) menyatakan bahwa sfingter ani interna merupakan bagian terpenting pada proses kontinensi dan 80% tekanan dalam anal kanal berasal dari organ tersebut. Sfingter ani internus berada dalam kontrol syaraf otonom yang distimulasi oleh saraf simpatis dan dihambat oleh saraf parasimpatis melalui pleksus sakralis dan pelvis. Dalam keadaan istirahat tekanan pada daerah sfingter ani internus lebih besar dibanding tekanan pada bagian atas anal kanal sehingga akan dapat mengatur kontinensi dan flatus. Tekanan pada saat istirahat ini hanya 20% dilakukan oleh aktivitas sfingter eksternus yang terdiri atas serabut otot seran lintang yang persarafannya berasal dari cabang somatik nervus pudendus. Faktor lain yang mengatur fungsi kontinensi adalah muskulus puborektalis dan sudut anorektal, dimana perlukaan pada otot ini pasti akan terjadi inkontinensia yang tidak dapat dihindari. Muskulus puborektalis merupakan otot seran lintang yang persarafannya berasal dari cabang somatik nervus pudendus Sakral 2, 3 dan 4 yang berfungsi mempertahankan sudut anorektal dalam keadaan normal yang berkisar antara 60 derajat sampai 105 derajat. (Banerjee dan Wilkin, 1993). Dasar pathofisiologi terjadinya penyakit Hirschsprung adalah gangguan propagasi gelombang propulsi usus serta gangguan atau tiadanya relaksasi sfingter ani interna (Holschneider dan Ure, 2005). 3. Defekasi Dalam keadaan istirahat lumen saluran anus akan menutup akibat puborektal sling yang terletak disebelah kranial linea pektinea dan oleh tonus istirahat sfingter interna dan eksterna yang terletak setinggi dan dibawah katub anal. Feses dan material-material sisa yang telah berada di rektum akan menyebabkan kenaikan tekanan didalam rongga rektum sehingga akan memacu reseptor regangan dan mulailah reflek defekasi. Reflek defekasi akan menyebabkan relaksasi sfingter interna, kontraksi pada sigmoid dan rektum. Distensi rektum ini akan disertai kemauan sadar untuk melakukan buang air besar dan apabila otot sfingter eksterna juga mengalami relaksasi maka defekasi akan terjadi. Bilamana keadaan lingkungan tidak memungkinkan untuk defekasi maka sfingter eksterna akan kontraksi sehingga defekasi akan dapat dicegah. Penundaan defekasi akan menyebabkan rektum secara bertahap melakukan gerakan relaksasi dan kemauan untuk defekasi akan menurun sampai gerakan mass movement berikutnya yang akan mendorong lebih banyak feses. Selama periode non aktivitas keadaan sfingter interna dan eksterna tetap berada pada posisi kontraksi untuk menjaga kontinensi. (Scharli, 1987) Proses defekasi dibantu oleh gerakan mengejan yang melibatkan kontraksi otot dinding perut dan ekspirasi kuat dalam posisi glotis tertutup yang akan menyebabkan tekanan intraabdominal meningkat. Sfingter interna merupakan bagian akhir otot pendorong yang secara aktif mengeluarkan feses atau flatus melalui anus. Serabut otot ini yang terdiri atas otot sirkuler dan longitudinal membantu peristaltik diseluruh saluran anal sampai ke orifisium. Bagian longitudinal yang sebagian berasal dari otot pubococcygeus dan sebagian dari otot rektum involunter, secara aktif menimbulkan ektropion anus selama fase peristaltik pengeluaran feses (Scharli, 1987). D. Insidensi Insidens penyakit Hirschsprung adalah 1 dalam 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschsprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta dengan rasio laki-laki : perempuan adalah 4 : 1. Insidensi ini dipengaruhi oleh group etnik, untuk Afrika dan Amerika adalah 2,1 dalam 10.000 kelahiran, Caucassian 1,5 dalam 10.000 kelahiran dan Asia 2,8 dalam 10.000 kelahiran. (Holschneider dan Ure, 2005; Kartono,1993) Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk,1990). E. Diagnosis

1. Gambaran Klinis Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat : (i). Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi (Kartono,1993; Fonkalsrud et al,1997; Swenson et al,1990). (ii). Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk(failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi. (Kartono,1993; Fonkalsrud et al,1997; Swenson et al,1990). (Gambar 7) Gambar 10. Foto anak yang telah besar, sebelum dan sesudah tindakan definitif bedah. Terlihat status gizi anak membaik setelah operasi (Kartono, 2004). 2. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar (Gambar. 11). Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas: 1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi. 2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi; 3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi (Kartono,1993). Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid (Kartono,1993, Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990). Gambar 11. Foto Polos Abdomen tampak dilatasi sistema usus dan tiadanya gas di rektum (Obstruksi Usus Letak Rendah) Gambar. 12. Gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan, diikuti zona transisi kemudian sigmoid yang melebar (zona dilatasi). 3. Pemeriksaan patologi anatomi Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik(Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin. Disamping memakaiasetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanya saja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan (Kartono, 2004). Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat : 2, 3, dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi (Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Swenson,2002). 4. Manometri anorektal Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan obyektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer (Shafik, 2000; Wexner, 2000; Neto et al, 2000). Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah : 1. 2. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi; Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik;

3.

Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan (Kartono, 1993). Gambar 13. Tampak gambar skema dari manometri anorekatal, yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya. Pada penderita Hirschsprung (kanan), tidak terlihat relaksasi spinkter ani (Kartono, 1993) 1. F. Diagnosis Banding. Diagnosis banding kelainan ini antara lain mekonium ileus akibat penyakit fibrokistik, atresia ileum, atresia rekti, malrotasi, duplikasi intestinal dan sindrom pseudo obstruksi intestinal. Puri (1997) menyatakan banyak kelainan-kelainan yang menyerupai penyakit Hirschsprung akan tetapi pada pemeriksaan patologi anatomi ternyata didapatkan sel-sel ganglion. Kelainan-kelainan tersebut antara lain Intestinal neuronal dysplasia, Hypoganglionosis, Immature ganglia, Absence of argyrophyl plexus, Internal sphincter achalasia dan kelainan-kelainan otot polos (Puri, 1997). G. Terapi Penyakit Hirschsprung. Pada prinsipnya, sampai saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat dicapai dengan pembedahan. Tindakantindakan medis dapat dilakukan tetapi hanya untuk sementara dimaksudkan untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga kondisi nutrisi penderita serta untuk menjaga keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa tubuh (Kartono, 2003). Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien.Tahapan kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang aganglionik dan kemudian melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik dengan dengan bagian bawah rektum. (Kartono, 2004). Dikenal beberapa prosedur operasi yaitu prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior, prosedur Laparoskopic Pull-Through, prosedur Transanal Endorectal Pull-Through dan prosedur miomektomi anorektal. (Lee, 2002; Teitelbaum, 2003). Persiapan operasi. Setelah diagnosis penyakit Hirshprung ditegakkan maka sejumlah tindakan preoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi dengan pemberian cairan intra vena , antibiotik dan pemasangan pipa lambung. Apabila sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka resusitasi cairan dilakukan secara agresif, peberian antibiotika broad spektrum secara ketat kemudian segera dilakukan tindakan dekompresi usus ( Langer, 2005 ). Teitelbaum (2003) melakukan serial pencucian rektum dengan memberikan 10 ml/kg BB pada setiap kali pencucian dengan menggunakan pipa rektum ukuran 18-20. Pada penderita kemudian diberikan antibiotik intavena. 1. Prosedur Swenson Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi penyakit Hirschsprung dengan metode pull-through. Tehnik ini diperkenalkan pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar rongga peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini disebut prosedur Swenson I (Lee, 2003; Kartono , 2004; Teitelbaum, 2003 ). Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, puntung rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung. Ternyata prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding dengan prosedur Swenson I (Lee, 2003; Kartono , 2004; Teitelbaum, 2003 ). Gambar 14. Prosedur Swenson 2. Prosedur Duhamel. Prosedur ini diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi prosedur Swenson oleh karena pada metode Swenson dapat terjadi kerusakan nervi erigentes yang memberi persarafan pada viscera daerah pelvis. Duhamel melakukan diseksi retrorektal untuk menghindari kerusakan tersebut dengan cara melakukan penarikan kolon proksimal yang ganglionik melalui bagian posterior rektum. Penderita ditidurkan dalam posisi litotomi, dipasang kateter sehingga vesika urinaria kosong dengan maksud agar visualisasi rongga abdomen lebih jelas. Irisan kulit abdomen dilakukan secara paramedian atau transversal. Arteria hemorrhoidalis superior dipotong diikuti pemotongan mesorektum dan rektum. Kolon proksimal dimobilisir sehingga panjang kolon akan mencapai

anus. Perhatian khusus ditujukan pada viabilitas pembuluh darah dan kolon proksimal dengan cara menghindari regangan yang berlebihan. Setelah segmen kolon yang aganglionik direseksi, puntung rektum dipotong sekitar 2-3 cm diatas dasar refleksi peritonium dan ditutup dengan jahitan dua lapis. Rongga retrorektal dibuka sehingga seluruh permukaan dinding belakang rektum dibebaskan. (Holschneider, 2005; Langer, 2005). Pada dinding belakang rektum 0,5 cm dari linea dentata dibuat sayatan endoanal setengah lingkaran dan dari lobang sayatan ini segmen kolon proksimal yang berganglion ditarik ke distal keluar melewati lubang anus dan dibiarkan bebas menggelantung kemudian dilakukan anastomosis end to side setinggi sfingter ani internus. Anastomosis dilakukan dengan pemasangan 2 buah klem Kocher dimana dalam jangka waktu 6-8 hari anastomosis telah terjadi. Stenosis dapat terjadi akibat pemotongan septum yang tidak sempurna (Holschneider, 2005; Langer, 2005). Gambar 15. Prosedur Duhamel 3. Prosedur ENDORECTAL PULL THROUGH ( SOAVE ). Pada prinsipnya tehnik ini adalah merupakan diseksi ekstramukosa rektosigmoid yang mula-mula dipergunakan untuk operasi atresia ani letak tinggi. Persiapan preoperasi yang harus dilakukan adalah irigasi rektum, dilatasi anorektal manual serta pemberian antibiotik. ( Kartono, 2004 ) Tahun 1960 Soave melakukan pendekatan abdominoperineal, dengan membuang lapisan mukosa rektosigmoid. Posisi pasien terlentang dengan fleksi pelvis 30 derajat, irisan kulit abdomen pararektal kiri melewati lubang kolostomi dan dipasang kateter ( Kartono, 2004 ) Dinding abdomen dibuka perlapis sampai mencapai peritonium kemudian dilakukan preparasi kolon kiri. Kolon distal dimobilisasi dan direseksi 4 cm diatas refleksi peritoneum. Dibuat jahitan traksi pada kolon distal yang telah direseksi kemudian mukosa dipisahkan dari muskularis kearah distal. Lapisan otot secara tumpul didorong kedistal hingga 1-2 cm diatas linea dentata. Lewat anus dibuat insisi melingkar 1 cm diatas linea dentata. Kolon yang berganglion kemudian ditarik kedistal melewati cerobong endorektal. Sisa kolon yang diprolapskan lewat anus dipotong setelah 21 hari. ( Kartono, 2004 ). Gambar 16. Prosedur Endorectal Pull Through (SOAVE) 4. Prosedur Boley. Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon terlebih dulu ( Kartono, 2004 ). 5 . Prosedur Rehbein. Setelah dilakukan reseksi segmen yang aganglionik kemudian dilakukan anastomosis end to end antara kolon yang berganglion dengan sisa rektum, yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Tehnik ini sering menimbulkan obstipasi akibat sisa rektum yang aganglionik masih panjang (Rehbein, 1966; Holschneider dan Ure, 2005). Gambar 17. Prosedur Rehbein 6. Prosedur miomektomi anorektal. Pada pasien-pasien dengan penyakit Hirschsprung segmen ultra pendek, pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior rektum dapat dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal, dimana dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa diangkat, mulai dari proksimal linea dentata sampai daerah yang berganglion ( Teitelbaum at al, 2003 ). 7. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through. Tehnik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah dilakukan dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan povidon-iodine, mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata. Dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa (Tore, 2000 ). Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi lebih singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding dapat diberikan lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada. Akan tetapi masih didapatkan komplikasi enterokolitis, konsipasi dan striktur anastomosis. 8. Posterior Sagital Neurektomi Repair for Hirschsprung Disease Teknik ini diperkenalkan oleh Rochadi, 2005. Rincian teknik operasi adalah sebagai berikut: Pesiapan preoperasi :

Pemeriksaan fisik yang teliti, penilaian keadaan umum penderita, adanya kelainan bawaan yang lain, pemeriksaan laboratorium rutin, albumin dan pemeriksaan rontgen dievaluasi secara cermat untuk menentukan ada tidaknya kontraindikasi pembedahan dan pembiusan. Bila ada dehidrasi, sepsis, gangguan eletrolit, enterokolitis, anemia atau gangguan asam basa tubuh semuanya harus dikoreksi terlebih dahulu. Pencucian rektum dilakukan dengan cara pemasangan pipa rektum dan kemudian dimasukkan air hangat 10 ml/kg berat badan. Informed consent dilakukan kepada keluarga meliputi cara operasi, perkiraan lama operasi, lama perawatan, komplikasi-komplikasi,cara-cara penanganan apabila terjadi komplikasi dan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi (Rochadi, 2007). Jalannya operasi : Setelah dilakukan pembiusan, kemudian dipasang pipa lambung dan kateter. Dipasang infus pada tangan dengan menggunakan abbocath yang sesuai dengan umur penderita. Tehnik ini dilakukan dengan posisi pasien tertelungkup Rochadi, 2007). Setelah dilakukan desinfeksi pada daerah anogluteal kemudian daerah operasi ditutup doek steril. Irisan pertama dimulai dengan irisan kulit intergluteal dilanjutkan membuka lapisan-lapisan otot yang menyusunmuscle complex secara tumpul dan tajam sehingga terlihat dinding rektum. Lapisan otot dinding rektum dibuka memanjang sampai terlihat lapisan mukosa menyembul dari irisan operasi. Identifikasi daerah setinggi linea dentata dilakukan dengan cara memasukkan jari telunjuk tangan kiri ke anus. Panjang irisan adalah 1 cm proksimal linea dentata sampai zone transisi yang ditandai dengan adanya perubahan diameter dinding rektum. Agar supaya tidak melukai mukosa rektum maka setelah mukosa menyembul, muskularis dinding rektum dipisahkan dari mukosa dengan cara tumpul sehingga lapisan muskularis benar-benar telah terpisah dari mukosa. Strip muskularis dinding rektum dengan lebar 0,5 cm dilepaskan dari mukosa sepanjang zone spastik sampai zone transisi. Material ini dikirim ke bagian Patologi Anatomi untuk pemeriksaan pewarnaan hematoksilin-eosin guna identifikasi sel ganglion Auerbach dan Meissner (Rochadi, 2007). Lapisan-lapisan otot muscle complex ditutup kembali seperti semula dengan benang Vicryl 3/0 diikuti lapisan subkutis dengan benang plain cat-gut 2/0 dan lapisan kulit dijahit intra kutan dengan benang Vicryl 3/0. Dipasang pipa rektum untuk mencegah terjadinya infeksi pada irisan operasi (Rochadi, 2007). Tehnik Posterior Sagittal Repair for Hirschsprungs Disease ini dilakukan satu tahap, tanpa kolostomi dan tanpa pull through (Rochadi, 2007). Perawatan pasca operasi : Penderita dirawat langsung dibangsal perawatan, kecuali apabila ada indikasi dirawat terlebih dahulu di Intensive Care Unit (ICU) untuk pengamatan pasca operasi yang ketat. Pipa lambung dilepas apabila fungsi gastrointestinal telah kembali normal dan kateter dilepas pada hari kedua perawatan. Antibiotik diberikan sampai 2 hari pasca operasi. Pengawasan yang teliti pada daerah perineum untuk mencegah terjadinya infeksi dengan melihat ada tidaknya eritema atau selulitis. Untuk mencegah ekskoriasis diberikan salf zinc dan tiap hari kasa betadin diganti untuk menutup irisan operasi. Apabila tidak ada komplikasi penderita dapat dipulangkan pada hari ke empat pasca operasi. Dilatasi anorektal dimulai pada hari ke tujuh pasca operasi dengan menggunakan busi hegar nomer enam, mula-mula dikerjakan di poliklinik dan kemudian dilanjutkan dirumah. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya striktur. Apabila terjadi enterokolitis maka diperlukan tindakan pencucian rektum, pemberian antibiotik dan suspensi kaolin-pektin (Rochadi, 2007). Gambar 18. Prosedur PSNRHD (Rochadi, 2007). Pada tehnik operasi ini penderita ditidurkan dalam posisi tertelungkup dengan pertimbangan bahwa secara topografi rektum berada pada rongga pelvis, sehingga tindakan bedah secara PSNRHD akan dapat langsung menuju target operasi, sedangkan pada tehnik ERPT target operasi hanya dapat dicapai dengan membuat sayatan pada dinding depan perut, membuka peritonium posterior, memotong arteri dan vena hemorrhoidalis superior, memotong arteri dan vena sigmoidea dan bahkan kadang-kadang harus memotong arteri dan vena kolika sinistra. Kecuali hal tesebut diatas posisi telungkup pada operasi PSRHD akan memberikan lapangan pandangan operasi yang lebih jelas oleh karena masuknya persarafan menuju dinding rektum adalah lewat bagian posterior sehingga tindakan neurektomi akan lebih mudah dikerjakan (Rochadi, 2007). H. Permasalahan-Permasalahan Pembedahan Permasalahan pembedahan yang sering dijumpai adalah masalah komplikasi pasca bedah. Kebocoran anastomosis, stenosis, gangguan fungsi sfingter ani ,enterokolitis serta mortalitas masih merupakan permasalahan yang serius. Komplikasi yang timbul dalam 4 minggu pertama merupakan komplikasi dini pasca bedah. Prosedur bedah manapun yang dipilih mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan komplikasi. Usia pada saat pembedahan, keadaan umum prabedah, prosedur bedah yang digunakan, ketrampilan dan pengalaman ahli bedah, antibiotika yang dipakai serta perawatan pasca bedah sangat berpengaruh untuk terjadinya komplikasi. Lebih muda usia pasien serta keadaan umum praoperasi yang kurang optimal umumnya lebih sering mengalami komplikasi (Rehbein, 1966; Langer, 2005).

Prosedur prosedur operasi tersebut dapat menyebabkan trauma pada persarafan traktus genitourinarius dan otot-otot dasar panggul yang akan mengakibatkan masalah pada traktus urinarius bagian bawah. Inkontinensia urin yang terjadi setelah operasi dengan prosedur Rehbein 5,4%, prosedur Swenson 10,4%, prosedur Soave 15,3% dan prosedur Duhamel 14,3%. H. 1. Perawatan Pasca Operasi. Pipa lambung dilepas apabila fungsi gastrointestinal telah kembali normal, sedangkan kateter dilepas pada hari kedua pasca operasi. Antibiotik dapat diberikan sampai 2 hari pasca operasi. Perhatian khusus ditujukan pada daerah perineum untuk terjadinya eritema dan selulitis yang dapat merupakan tanda awal dari kebocoran anastomosis (Teitelbaum et al, 2003). Dilatasi anorektal dapat dilakukan tiga minggu setelah operasi. Pada penderita neonatus dilatasi anorektal dapat dilakukan dengan insersi Hegar dilator nomer 6-7 yang dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya striktur anastomosis. Irigasi anorektal dapat dilakukan tiga bulan setelah operasi untuk mencegah enterokolitis (Teitelbaum et al, 2003). Beberapa pasien mendapatkan fungsi usus yang normal setelah dilakukan operasi, akan tetapi pada reseksi usus yang panjang dapat tejadi buang air besar yang frekwen dan berair sehingga menyebabkan ekskoriasis pada perineum. Pada kasus yang demikian loperamid dapat diberikan untuk menurunkan frekwensi buang air besar. Untuk agar feses menjadi padat dapat diberikan kaolin-pectin (Holschneider dan Ure, 2005). Hartman et al (2006) meneliti masalah fisik dan psikososial penderita penyakit Hirschsprung yang telah dilakukan operasi dan menyarankan pengamatan pada inkontinensi feses, inkontinensi urin, konstipasi dan disfungsi sex. Perawatan pasca operasi yang disarankan adalah dilatasi anus, pemberian laxatif, enema, diet dan toilet. Perawatan medis harus dilakukan bersama perawatan paramedis yaitu fisioterapi, pengobatan psikososial dan konsultasi diet. H. 2. Komplikasi. Komplikasi bedah pasca operasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan, infeksi, perlukaan pada organ sekitar serta risiko anaestesi. Pada penderita yang dilakukan kolostomi dapat terjadi komplikasi retraksi stoma, striktur, prolaps dan ekskoriasis kulit. Komplikasi kebocoran usus, striktur dan retraksi setelah tindakan anastomosis dapat dicegah dengan cara pengamatan yang teliti pada keadaan vaskularisasi kolon yang akan dilakukan pull-through serta menjaga agar anastomosis usus tidak dalam keadaan teregang. Komplikasi-komplikasi lain dapat muncul terlambat antara lain obstruksi, inkontinensi serta enterokolitis yang dapat terjadi pada 50% kasus (Langer, 2005). Komplikasi yang terjadi pasca operasi definitif dapat dibagi menjadi komplikasi awal dan komplikasi terlambat. Disebut komplikasi awal apabila terjadi dalam 4 minggu pertama pasca operasi dan apabila terjadi setelah waktu tersebut disebut sebagai komplikasi terlambat. Komplikasi awal dapat terjadi akibat kesalahan prosedur operasi atau disebabkan oleh karena infeksi. Penelitian internasional dari 16 pusat bedah anak menunjukkan kejadian kebocoran anastomosis (7%), striktur anastomosis (15%), infeksi jaringan (11%), retraksi kolon pada metode Swenson(3%) dan retraksi kolon dengan tehnik Soave (7%). Kompikasi terlambat yang terjadi setelah operasi definitif meliputi konstipasi kronis, enterokolitis dan enkopresis. Konstipasi kronis dapat terjadi akibat akhalasia sfingter ani, reseksi inkomplit, striktur dan fekaloma. Konstipasi menetap dilaporkan terjadi pada prosedur Swenson (6%), prosedur Duhamel (10%) dan setelah prosedur Rehbein (7%) (Elhalaby et al, 1995). Inkontinensi feses (soiling, enkopresis) adalah ketidak mampuan untuk menahan isi rektum dapat terjadi pada prosedur Swenson (12%), Duhamel (7%) dan Soave (3%) (Holschneider, 2005). Surana et al (1994) melakukan evaluasi faktor-faktor risiko terjadinya enterokolitis pada 135 penderita penyakit Hirschsprung dan mendapatkan 41 (30%) mengalami enterokolitis. Insidens enterokolitis terjadi pada 27,6% pasien dengan tipe segmen pendek dan 37,8% pada segmen panjang. Faktor-faktor risiko tersebut adalah umur, jenis kelamin, panjang segmen yang aganglionik, kelainan penyerta dan prosedur operasi. H. 3. Komplikasi Enterokolitis Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis (Holschneider dan Ure, 2005). Pada keadaan yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan terjadinya megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi da nekrosis akibat iskemia mukosa diatas segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus (Holschneider dan Ure, 2005). Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa

diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi (Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990) Kejadian enteokolitis berdasar prosedur operasi yang dipergunakan Swenson 16,9%, Boley-Soave 14,8%, Duhamel 15,4% dan Lester Martin 20%. Gambaran klinis distensi abdomen 29, diare 38, darah pada feses 2, muntah 31, panas 22 dan takikardi 12. Storey ( 1994 ) meneliti penyebab terjadinya enterokolitis pada penderita penyakit Hirschsprung dan menyimpulkan bahwa penyebab enterokolitis adalah multi faktoral yaitu hipersensitif pada antigen bakteri, dilatasi kolon proksimal yang mengakibatkan iskemia, kelainan mukosubstan kolon, kenaikan aktifitas prostaglandin E1, kelainan immunologis dan infeksi bakteri patogen clostridium difficile, rotavirus, psudomonas (Storey, 1994). Mattar et al (2003) menyatakan bahwa ekspresi protein MUC-2 mengalami penurunan pada penderita penyakit Hirschsprung dan tidak terdeteksi pada penderita yang mengalami enterokolitis. Disarankan untuk memeriksa ekspresi protein MUC-2 dari material feses penderita untuk memprediksi enterokolitis yang dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah dilakukan tindakan operasi.

http://khalisaaa.blogspot.com/2008/03/tumbuh-kembang-bayi-secara-normal.html
Ukuran berat badan dan panjang badan berkaitan erat dengan nutrisi, artinya kalau berat badan kurang dari ukuran tersebut kemungkinan nutrisi anak Anda kurang dari cukup. Lingkar kepala berkaitan erat dengan volume otak, artinya kalau lingkaran kepala anak Anda dalam usia tertentu kurang dari nilai yang normal, kemungkinan volume otaknya kurang dari cukup. Sedangkan berbagai gerakan yang ada merupakan kombinasi dari kemampuan otak dan organ gerak yang bersangkutan. Dr. Hartono Gunadi dari subbagian tumbuh kembang FKUI mengutarakan bahwa jika anak Anda mengalami perlambatan dalam parameterparameter tersebut maka Anda dapat memberikan toleransi hingga dua minggu, sambil Anda memenuhi berbagai unsur yang Anda anggap kurang Anda berikan kepada anak Anda. Unsur tersebut diantaranya nutrisi, atau stimulan yang telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya. Sebagai contoh dalam usia 5 bulan gerakan halus bayi Anda belum mampu untuk meraih atau menggapai sesuatu, maka Anda dapat memberikan stimulan yang lebih intensif, semisal dengan merangsang anak dengan memberikan mainan, sehingga dapat terangsang untuk meraih mainan tersebut. Setelah Anda merasa cukup memberikan nutrisi dan stimulan yang memang diperlukan untuk anak, namun tumbuh kembang anak masih terganggu, ada beberapa kelainan yang mungkin terjadi. Bisa saja ada kelainan hormonal misalnya gangguan fungsi kelenjar gondok. Kelainan bawaan atau seperti Sindrom Down, atau terjadi gangguan fungsi neurologi pada anak Anda. Kalau demikian, lebih baik Anda membawa sang anak ke dokter jika memang perlambatan tumbuh kembangnya di luar batas toleransi.

1 bulan Berat badan: 3,0 14,3 kg Panjang badan: 49,8 - 54,6 cm Lingkar kepala: 33 39 cm Gerakan kasar: tangan dan kaki bergerak aktif Gerakan halus: kepala menoleh ke samping kanan-kiri Komunikasi/Berbicara: bereaksi terhadap bunyi lonceng Sosial/Kemandirian: menatap wajah ibu/pengasuh

2 bulan Berat badan: 3,6-5,2 kg Panjang badan: 52,8-58,1 cm Lingkar kepala: 35-41 cm Gerakan kasar: mengangkat kepala ketika tengkurap Gerakan halus: kepala menoleh ke samping kanan-kiri. Komunikasi/Berbicara: bersuara. Sosial/Kemandirian: tersenyum spontan

3 bulan Berat badan: 4,2-6,0 kg Panjang badan: 55,5-61,1 cm Lingkar kepala: 37-43 cm Gerakan kasar: kepala tegak ketika didudukkan Gerakan halus: memegang mainan Komunikasi/Berbicara: tertawa/berteriak tertawa/berteriak Sosial/Kemandirian: memandang tangannya

4 bulan Berat badan: 4,7-6,7 kg Panjang badan: 57,8-63,7 cm Lingkar kepala: 38-44 cm Gerakan kasar: tengkurap-telentang sendiri Gerakan halus: memegang mainan Komunikasi/Berbicara:

5 bulan Berat badan: 5,3-7,3 kg Panjang badan: 59,8-65,9 cm Lingkar kepala: 39-45 cm Gerakan halus: meraih, menggapai Komunikasi/Berbicara: menoleh ke suara Sosial/Kemandirian : meraih mainan

6 bulan Berat badan: 5,8-7,8 kg Panjang badan: 61,6-67,8 cm Lingkar kepala: 40-46 cm Gerakan kasar: duduk tanpa berpegangan Sosial/Kemandirian : memasukkan biscuit ke mulut

7 bulan Berat badan: 6,2-8,3 kg Panjang badan: 63,2-69,5 cm Lingkar kepala: 40,5-46,5 cm Gerakan kasar: mengambil mainan dengan tangan kanan dan kiri Komunikasi/Berbicara: bersuara Ma Ma.

8 bulan Berat badan: 6,6-8,8 kg Panjang badan: 64,6-71,0 cm Lingkar kepala: 41,5-47,5 cm Gerakan kasar: berdiri berpegangan Komunikasi/Berbicara: bersuara Ma Ma Sosial/Kemandirian : bersuara Ma Ma

9 bulan Berat badan: 7,0-9,2 kg Panjang badan: 66,0-72,3 cm Lingkar kepala: 42-48 cm Gerakan halus: menjimpit Komunikasi/Berbicara: Sosial/Kemandirian : melambaikan tangan

10 bulan Berat badan: 7,3-9,5 kg Panjang badan: 67,2-73,6 cm Lingkar kepala: 42,5-48,5 cm Gerakan halus: memukulkan mainan di kedua tangan Sosial/Kemandirian : bertepuk tangan

11 bulan Berat badan: 7,6-9,9 kg Panjang badan: 68,5-74,9 cm Lingkar kepala: 43-49 cm Komunikasi/Berbicara: memanggil mama.. papa Sosial/Kemandirian : menunjuk, meminta

12 bulan, berat badan: 7,8 10,2 kg, panjang badan: 69,6 76,1 cm, lingkar kepala: 43,5 49,5, gerakan kasar: berdiri tanpa berpegangan gerakan halus: memasukkan mainan ke cangkir komunikasi/berbicara: sosialisasi/kemandirian: bermain dengan orang lain

15 bulan

Berat badan: 8,4 10,9 Panjang badan: 72,9 79,4 Lingkar kepala: 44 - 50 Gerakan kasar: lari naik tangga Gerakan halus: berjalan Komunikasi/Berbicara: mencoret-coret Sosial/Kemandirian: minum dari gelas

1,5 tahun Berat badan: 8,9 11,5 kg Panjang badan: 75,9 82,4 cm Lingkar kepala: 44,5 50,5 cm Gerakan kasar: lari naik tangga Gerakan halus: menumpuk 2 mainan Komunikasi/Berbicara: berbicara beberapa kata (mimik, pipis, maem) Sosial/Kemandirian: Memakai sendok

2 tahun Berat badan: 9,9 12,3 Panjang badan: 79,2 85,6 Lingkar kepala: 45 - 51 Gerakan kasar: menendang bola Gerakan halus: menumpuk 4 mainan Komunikasi/Berbicara: menunjuk gambar (bola, kucing) Sosial/Kemandirian: melepas pakaian, memakai pakaian, menyikat gigi.

2,5 tahun Berat badan: 10,8 13,5 Panjang badan: 83,7 90,4 Lingkar kepala: 45,5 52,5 Gerakan kasar: melompat Komunikasi/Berbicara: menunjuk bagian tubuh (mata, mulut) Sosial/Kemandirian: mencuci tangan dan megneringkan tangan

3 tahun Berat badan: 11,7 14,6 Panjang badan: 87,8 94,9 Lingkar kepala: 46 - 53 Gerakan halus: mengambar garis tegak

Komunikasi/Berbicara: menyebutkan warna benda, menyebutkan penggunaan benda (gelas untuk minum) Sosial/Kemandirian: menyebutkan nama teman

3,5 tahun Berat badan: 12,5 15,7 Panjang badan: 91,5 99,1 Lingkar kepala: 46,5 53,5 Gerakan kasar: berdiri satu kaki Gerakan halus: menggambar lingkaran Sosial/Kemandirian: memakai baju kaos

4 tahun Berat badan: 13,2 16,7 Panjang badan: 96,4 102,9 Lingkar kepala: 47 53,8 Gerakan halus: menggambar tanda tambah, menggambar manusia (kepala, badan, kaki) Sosial/Kemandirian: memakai baju tanpa dibantu

4,5 tahun Berat badan: 13,8 17,7 Panjang badan: 99,7- 106,6 Lingkar kepala: 47,5 53,8 Sosial/Kemandirian: bermain kartu, menyikat gigi tanpa dibantu

5 tahun Berat badan: 14,5 18,7 Panjang badan: 102,7 109,9 Lingkar kepala: 47,8 - 54 Komunikasi/Berbicara: menghitung mainan

http://fordearest.wetpaint.com/page/Tumbuh+kembang+BAYI+thn+pertama

BAYI BULAN KEENAM


Berceloteh. Pada saat ini, rata-rata anak telah mulai berceloteh sepanjang waktu. Walau orang tua mungkin tidak mengetahui banyak apa yang dikatakannya, bayi berumur 6 bulan bisa mengerti beberapa kata, dan mungkin membuat dua suara yang bisa dikenali - mama dan dada -walau keduanya belum mempunyai arti pada anak tersebut. Sembelit. Pengenalan makanan padat (lihat di bawah) mungkin dapat menyebabkan anak mengalami sembelit pertamanya. Darah terang di tinja dapat menyertai hal ini, yang menandakan luka di sekitar anus yang sedikit berdarah.

Langkah pertama dalam merawat ini adalah melunakkan tinja dengan memberi bayi jus prem, prem, atau sedikit gula asli. Berikutnya, anus, harus dilapisi jeli petroleum dua atau tiga kali sehari. Bila tidak sembuh, bayi harus dibawa ke dokter. Kontrol. Beberapa bayi mungkin telah menemukan permainan yang menyenangkan dengan menjatuhkan barang, biasanya sebelum mereka menemukan keasyikan waktu mengambil barang-barang itu. Kegiatan ini biasanya mendatangkan respon dari orangtua, dan memberikan pengalaman awal dari suatu tindakan sebabakibat untuk bayi, yang menikmati kontrol baru atas lingkungannya ini. Aktivitas tersebut juga mewakili kemajuan dalam perkembangan otot-otot halus pada tangan, yang disini sama dengan perkembangan otot-otot besar untuk daya gerak. Mata. Pada usia ini, warna mata seorang anak bisa diramalkan. Mata biru akan tetap biru. Mata yang diperkirakan coklat akan berubah menjadi warna seperti warna lumpur. Makanan. Pada bulan keenam, hampir semua bayi siap untuk makanan padat. Tanda kesiapan adalah kemampuan bayi untuk menolehkan kepalanya atau mendorong tangan anda menjauh ketika ia tidak mau makan lagi. Beberapa alasan untuk menunggu sampai saat ini untuk memberi makanan padat telah disebutkan sebelumnya. Pada umur 6 bulan, sistem pencernaan sudah cukup matang untuk menangani kebanyakan makanan. Kendati begitu, susu ibu atau susu formula akan tetap menjadi makanan pokok diet bayi sampai berbulan-bulan kemudian. Adalah ide yang baik untuk memperkenalkan makanan secara bertahap, tiap kali seminggu, dimulai dari bijiran sereal seperti nasi kering (bayi 6 bulan tidak siap untuk makanan dari gandum). Larutkan 1 bagian sereal ke dalam 6 bagian air. Jangan gunakan susu sapi karena ini menambah kalori dan bisa memicu reaksi alergi. Berkembanglah secara bertahap dalam pola ini menuju sayuran dan buah yang disaring. Dengan memperkenalkan makanan paling tidak seminggu sekali, anda mempunyai waktu untuk mengamati apakah ada reaksi alergi. Makanan-makanan bayi terbatas bisa disiapkan di rumah, tetapi tentu saja kita harus memperhatikan secara cermat untuk memastikan bayi mendapat zat besi yang cukup. Bila ada pertanyaan lain tentang kandungan besi dalam menu bayi, gunakan sereal kering untuk makanan bayi. Seorang bayi pada awalnya mungkin menolak keras makanan padat karena rasa dan teksturnya tidak sama. Karena bayi-bayi amat suka memainkan segala hal pada usia ini, akan membantu untuk memberi mereka sendok dan cangkir untuk dimainkan sementara disuapi. Pada kasus apapun, anak-anak mungkin lebih tertarik bermain dengan makanan mereka daripada memakannya. Pemberian makan harus menjadi sesuatu yang menyenangkan, bukannya suatu peperangan; bila anak protes keras terhadap makanan, berhenti mencoba dan tunggu beberapa hari lagi. Pada mulanya, susu bayi atau susu formula akan terus menjadi makanan utama menu bayi. Untuk mempertahankan persediaan susunya, ibu yang menyusui harus membiarkan bayi mengosongkan susu pada satu payudara, lalu menawarkan bayi sedikit makanan padat. Ia bisa meneruskan dengan payudara satunya bila anak masih lapar. Alergi makanan. Reaksi alergi pada makanan bisa tampak seperti kesulitan pencernaan, tetapi ini mungkin juga meliputi pilek, ronki kering (wheezing), rewel, dan reaksi pada kulit yang beragam. Dengan diet eliminasi, orang tua bisa menarik makanan-makanan yang dicurigai menjadi penyebab alergi, menunggu gejalagejalanya menghilang, dan lalu kembali menawarkan makanan tersebut. Bila gejala-

gejala yang sama tiba-tiba muncul kembali, diagnosa alergi hampir dapat dipastikan. (Bagaimanapun, ternyata anak seringkali dapat menerima makanan penyebab alergi setelah beberapa bulan kemudian). Jus jeruk terutama yang sering menyebabkan masalah; bayi-bayi memuntahkan jus ini dan terus melakukannya setiap kali ditawarkan. Sehari dua hari kemudian frekuensi buang air besar mungkin menjadi sering dan konsistensinya lembek, bayi mungkin menjadi rewel dan kembung. Beberapa orangtua menunda perkenalan dengan jus jeruk ini sampai bayi mampu minum dari cangkir, sekitar bulan kesembilan atau kesepuluh. Banyak bayi yang lebih kecil dari 6 bulan alergi pada telur. Putih telur serta daging harus ditunda sampai belakangan hari karena protein makanan-makanan ini paling sulit dicerna. Perkembangan fisik. Pada usia ini, perkembangan anak akan menjadi jelas. Anak yang sangat aktif mungkin sudah mulai merangkak, menarik perut dan kakinya di sepanjang lantai dengan menggunakan tangan. Bayi aktif bisa duduk beberapa menit pada suatu saat, dan akan menyukai untuk menapakkan kaki setahap demi setahap ketika dipegang tegak lurus. Anak rata-rata bisa berguling sendiri, dan akan mampu duduk tegak lurus tanpa memiringkan kepalanya ke satu sisi. Anak rata-rata akan mampu bergerak ke belakang dan ke depan, membuat kebanyakan bayi terlalu aktif waktu diberi makan atau dipasangi popok pada tahap ini. Jangan mengharapkan bayi berumur 6 bulan untuk tetap diam. Keamanan. Bayi-bayi yang siap untuk makanan keras, juga siap untuk menelan obyek-obyek yang mereka sedang mainkan. Mereka bisa tersedak biskuit atau kue kering bila memakan makanan ini saat berbaring telentang; bayi tidak boleh disuapi apapun ketika sedang berbaring, ataupun ditinggalkan sendiri ketika makan. Untuk menarik obyek yang tertelan, pukul bayi di punggungnya, sambil memegangnya tengkurap di lutut anda. Anda bisa mencoba menariknya dengan jari, tetapi ini beresiko mendorong obyek itu lebih dalam. Sebagai upaya terakhir, coba manuver Heimlich. Gigi. Selama masa ini gigi susu atau permanen seorang bayi yang tidak terlihat sedang menjalani pembentukan email. Bayibayi pada umur ini harus diberi sedikit air berfluoride atau tetesan fluoride bersama menu sehari-hari mereka. Fluoride diserap ke dalam lapisan terluar email dan membuat gigi bayi lebih tahan terhadap lubang. Vaksinasi. Pada bulan keenam bayi harus mengunjungi dokter lagi dan menerima putaran ketiga vaksinasi rutin

Tumbuh Kembang Anak


Berdasarkan pengertian yang didapat,penulis menguraikan tentang pengertian dari pertumbuhan adalah berkaitan dengan masa pertumbuhan dalam besar, jumlah, ukuran atau dengan dimensi tentang sel organ individu, sedangkan perkembangan adalah menitik beratkan pada aspek perubahan bentuk atau fungsi pematangan organ individu termasuk perubahan aspek dan emosional.

Anak adalah merupakan makhluk yang unik dan utuh, bukan merupakan miniatur orang dewasa, atau kekayaan orang tua yang nilainya dapat dihitung secara ekonomi.

Tujuan keperawatan anak adalah meningkatkan maturasi yang sehat bagi anak, baik secara fisik, intelektual dan emosional secara sosial dan konteks keluarga dan masyarakat.

Tumbuh kembang pada bayi usia 6 bulan.

a. Motorik halus.

1. Mulai belajar meraih benda-benda yang ada didalam jangkauan ataupun diluar.

2. Menangkap objek atau benda-benda dan menjatuhkannya

3. Memasukkan benda kedalam mulutnya.

4. Memegang kaki dan mendorong ke arah mulutnya.

5. Mencengkram dengan seluruh telapak tangan.

b. Motorik kasar.

1. Mengangkat kepala dan dada sambil bertopang tangan.

2. Dapat tengkurap dan berbalik sendiri.

3. Dapat merangkak mendekati benda atau seseorang.

c. Kognitif.

a. Berusaha memperluas lapangan.

b. Tertawa dan menjerit karena gembira bila diajak bermain.

c. Mulai mencari benda-benda yang hilang.

d. Bahasa.

Mengeluarkan suara ma.. pa.. ba.. walaupun kita berasumsi ia sudah dapat memanggil kita, tetapi sebenarnya ia sama sekali belum mengerti.

Dampak Hospitalisasi terhadap Anak


a. Separation ansiety

b. Tergantung pada orang tua

c. Stress bila berpisah dengan orang yang berarti

d. Tahap putus asa : berhenti menangis, kurang aktif, tidak mau makan, main, menarik diri, sedih, kesepian dan apatis

e. Tahap menolak : Samar-samar seperti menerima perpisahan, menerima hubungan dengan orang lain dan menyukai lingkungan

Anda mungkin juga menyukai