MENINGGAL DALAM
KEADAAN MULIA
Hari kamis sore itu-lima puluh tahun yang lalu. H. Sholeh (58 thn) tengah asyik
berkumpul bersama anak-anak dan isterinya. Mereka sedang melepas lelah setelah
seharian bekerja. Rumahnya berada diantara deretan rumah penduduk yang padat, namun
bersih dan sejuk serta tidak jauh dari jalan raya. Menjelang sinar matahari menghilang
beliau makan bersama keluarganya. Badannya yang sehat tidak membuatnya pantang
makanan tertentu.
Tak terasa adzan isya pun mengalun keras menggetarkan jiwanya. Seketika dia
beranjak dari tempat duduknya dan mengambil sorban untuk menunaikan shalat isya di
masjid. Udara dingin kota Malang mulai berhembus pelan, H. Sholeh masih memiliki
satu kegiatan sebelum merebahkan badannya di tempat tidur. Dia harus memimpin
jamaah tahlil rutin di kampungnya setiap malam jum’at. Anggota keluarganya sudah
mengetahui aktivitas tersebut. Tanpa meninggalkan pesan sedikitpun, dia ringan
melangkahkan kakinya ke rumah salah satu warga yang malam itu mendapatkan giliran
sebagai tuan rumah acara tahlil.
Bapak Abdul selaku tuan rumah mempersilahkan jamaah yang datang duluan agar
mengisi tempat didalam. Dia menyambut kedatangan H. Sholeh dengan senang hati,
demikian pula dengan H. Sholeh yang senantiasa ramah dengan orang yang ditemuinya.
Satu persatu jamaah tahlil lainnya mulai berdatangan memenuhi ruangan depan rumah
bapak Abdul. Setelah dirasa semua anggota telah hadir, acarapun dimulai.
Susunan acara berjalan dengan lancar satu demi satu, H. Sholeh sebagai salah satu
pengurus jamaah tahlil memberikan sambutan dan ceramah sebagaimana lazimnya. Dia
mengingatkan agar jamaah tahlil yang sudah berjalan lama supaya tidak berhenti
ditengah jalan. Maksudnya jangan sampai bubar, untuk itulah dia menginginkan diantara
anggotanya tetap menjaga persatuan. Selanjutnya acara ditutup dengan do’a dan ramah
tamah.
“Saya melihat ada tanda-tanda bapak telah meninggal dunia, sebab kakinya sudah
dingin. Karena takut mati suri atau khawatir tuan rumah nanti yang disalhkan, akhirnya
bapak dibawa ke rumah sakit, padahal bapak sudah wafat”, tutur Abdurrahim (40 tahun),
salah seorang anak H. Sholeh. Dugaan anaknya ternyata benar, jamaah yang berjumlah
70 orang yang hadir pada malam itu tidak menyangka kalau H. Sholeh akan cepat pulang
kepangkuan ilahi rabbi tanpa meninggalkan isyarat apapun. Jamaah akhirnya secara
bersamaan melayat ke rumah almarhum untuk mendoakannya. Banyak orang yang
terkejut dengan kepergiannya yang terkesan mendadak. Mengingat hari sudah malam,
jenazah disemayamkan dirumahnya. Keesokan harinya selepas shalat Jum’at, masyarakat
berbondong-bondong mengantarkan almarhum ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Antusias masyarakat yang sangat tinggi menunjukkna kalau mereka memiliki hubungan
yang sangat baik dengan almarhum.
“Beliau meninggal dunianya bisa dikatakan dalam keadaan mulia, karena berada
ditempat yang baik, yakni acara jamaah tahlil dan kejadiannya malam Jum’at. Semua itu
karena mungkin beliau memiliki keistimewaan tersendiri. Meski ilmunya pas-pasan atau
seadanya tapi beliau mau mengamalkan”, kata ustad Zaenal Fanani (35 tahun), saksi mata
yang duduk di sebelah kiri almarhum.
Menurut pengakuan keluarganya, selama hidup beliau tidak pernah mengeluh atau
mengalami sakit parah yang mengharuskannya pergi ke rumah sakit, seperti mengidap
penyakit jantung. Kalaupun sakit, umumnya pilek yang mengganggu tenggorokannya dan
hidungnya karena kecapeaan, kurang istirahat maupun perubahan cuaca. Almarhum
memang pandai membagi waktu menjaga kesehatan fisik dan mengatur makannya. Berita
wafatnya jelas membuat keluarganya shock berat, seakan mereka masih tak percaya
dengan kenyataan yang terjadi, namun apa mau dikata, Tuhan Maha Tahu segala
hikmahnya.
Awalnya dia mulai menjual beragam jenis pakaian dan aneka macam plastik.
Tentu banyak kendala yang dihadapinya, seperti sepinya pembeli, maklum pedagang
baru, sehingga penghasilannya kurang memenuhi kebutuhan harian keluarganya. Namun
dia pantang menyerah, jiwa merantau dan mengusung misi dakwahnya tetap menyala.
Setiap orang yang singgah di tokonya akan diberi wejangan (nasihat) singkat.
Umpamanya dia mengingatkan pembeli agar menyisihkan sedikit uang untuk
pembangunan masjid atau memberikannya kepada anak yatim, jika ada lebihan. Dia ingin
berdagang seraya memperoleh pahala.
Setelah kedainya berkembang dan berjalan sukses dalam waktu yang tak sebentar,
dia menyerahkan usahanya kepada anaknya untuk diteruskan. Dia mengharapkan
anaknya memakai metode yang sama dalam berdagang, yakni kejujuran. Sedang dia
membuka usaha baru yakni toko material yang menjual genteng, keramik, pasir, semen
dan kebutuhan bahan bangunan lainnya. Disamping itu menyebarkan ajaran agama Islam
tidak lepas dari cita-citanya.
Dia mencoba meniru cara berjuan, berdakwah dan gaya hidup yang pernah
dilakukan Rasulullah saw, meskipun dirinya menyadari tak bisa sesempurna beliau.
Untuk urusan shalat wajib lima waktu, dia berusa berjamaah di masjid dan mencari posisi
di depan, kadang-kadang menjadi imam, kalupun sudah ketinggalan shalat berjamaah,
dia mengadakan sendiri dirumahnya bersama isteri dan anak-anaknya. Bisa dibilang H.
Sholeh jarang shalat fardhu sendirian. Puasa sunnah senin dan kamis maupun puasa
sunnah syawal sudah menjadi kebiasaannya. Demikian pula shalat tahajjud setiap pukul
tiga dini hari telah menjadi tradisinya.
Meski pernah mengenyam pendidikan pesantren dia selalu meras kurang puas
dengan ilmu agama. Tanpa mengenal waktu dan tidak malu dengan usia, dia belajar
kepada siap saja yang dianggapnya bisa. Mendekati para Kyai maupun ulama adalah
kegemarannya. Setiap menghadiri majelis, dia berusaha duduk di depan. Setelah
mendapatkan ilmu dia langsung menyampaikannya kepada orang lain, seolah ilmu sangat
penting dari hal yang lainnya.
Begitu juga pada hari jum’at. Setelah selesai shalat jum’at, dia mengajak dan
menjamu khotib (orang yang berkhotbah), imam jum’at beserta muadzinnya (tukang
adzan) dan ulama-ulama yang ada dikampungnya untuk makan bersama dirumahnya.
Apalagi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, rumahnya benar-benar penuh dengan
orang-orang alim. Praktislah suasananya ramai seperti keluarga yang sedang
menyelenggarakan hajatan. Rupanya tradisi ini telah dijalankannya sejak lama dan
sekarang diteruskan oleh anak-anaknya.
Setiap bertemu orang, dia senantiasa menitipkan pesan moral yang berkaitan
dengan agama. Kerap pula dia mendatangi rumah warga yang jarang keliahatan dimuka
umum, hal ini menunjukkan kepedulian dan sikap solidaritasnya yang masih tinggi.
“Misalnya saya sering shalat jamaah di masjid, tapi tiba-tiba beberapa hari belakangan
saya tidak muncul di masjid. Beliau itu biasanya langsung menanyakan keadaan saya.
Saya sendiri sampai gumun (heran), sampe segitunya perhatian dan keikhlasan beliau
terhadap warga”, papar Zaenal Fanani yang membuka pengajian anak-anak dirumahnya.
“Kalau jamaah yang tidak hadir, beliau setelah acara secara jamiyah mendatangi
rumah orang tersebut dan menanyakan kabarnya. Biasanya pertama ngomongin kerjaan
dan hal-hal yang berkaitan dengan dunia. Baru kalau ngobrolnya sudah asyik, mulai
menyinggung kegiatan jamiyah dan agama. Jadi sebagai ketua beliau benar-benar
menjadi pelayan bagi yang dipimpinnya”, tutur Zaenal Fanani.