Anda di halaman 1dari 7

ISLAM DAN MASYARAKAT MADANI

A. Pendahuluan Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw merupakan agama yang memberi rahmat dan kedamaian bagi seluruh alam. Nabi Muhammad saw menyeru umat kepada agama Islam selama 23 tahun lamanya untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang madani. Hal ini terbukti ketika Nabi Muhammad saw meletakkan fondasi masyarakat untuk mendirikan masyarakat taat hukum di dalam kota mulia (al-madinah al-fadhilah) yakni kota Madinah yang merupakan sebuah masyarakat yang orang modern menyebutnya dengan masyarakat madani (al-mujtama` al-madani atau civil society). (Baso, 1999: 253) Oleh karena itu, pembahasan tentang bagaimana Islam dan masyarakat madani merupakan bahasan yang sebenarnya tidak asing dan memang dalam agama Islam telah dan mengatur hal yang demikian. Dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas bagaimana sebenarnya hubungan Islam dan masyarakat madani tersebut. Pembahasan dalam makalah ini akan mencoba mendalami bagaimana sebenarnya pengertian dari masyarakat madani, karakteristik masyarakat madani, pilar penegak masyarakat madani serta masyarakat madani dalam pandangan Islam Indonesia. Sehingga akan menjadi sebuah pemahaman yang akan melihat bagaimana terma civil society (masyarakat madani) yang sebenarnya muncul dari Barat, akan tetapi sebenarnya terma ini bisa diadopsi dan diterima dalam dunia Islam terutama di Indonesia dan juga meniadakan sikap apatis terhadap terma ini yang memang datang dari barat tersebut. B. Pengertian Masyarakat Madani (Civil Society) Dalam mendefinisikan masyarakat madani (civil society) ini sangat bergantung kepada kondisi sosio kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa. Dalam tradisi Eropa, hingga Abad ke 18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian state (negara) yakni suatu kelompok yang mendominasi kelompok lain. Akan tetapi setelah paruh abad ke-18, Thomas Paine (1737-1803) mempelopori perbedaan makna antara state dan civil society sebagai dua istilah yang berbeda. Dalam perkembangannya, istilah civil society pun akhirnya menjalar ke berbagai wilayah di dunia. Sehingga pengertian tentang civil society

terdapat berbagai macam sesuai dengan latar sosio-kultural di suatu bangsa tersebut. Zbigniew Rau yang berlatar belakang kajiannya di Eropa Timur dan Uni Soviet mengatakan bahwa masyarakat madani (civil society) merupakan suatu masyarakat berkembang dari sejarah yang mengandalkan ruang di mana suatu individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai yang mereka yakini. (Tim ICCE, 2000: 239) Sedangkan untuk di Indonesia sendiri, istilah dan konsep civil society pertama kali digulirkan oleh Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal tanggal 26 September 1995 di Jakarta. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, ekonomi dan teknoligi. Sistem sosial yang bagus dan teliti serta pelaksanaa pemerintah yang mengikuti undang-undang dan bukan untuk kepentingan individu serta transparansi dalam sistem pemerintahan. (Prasetyo dkk, 2002: 157-158) Pada prinsipnya, masyarakat madani adalah sebuah tatanan komunitas masyarakat masyarakat yang mengedepankan toleransi, demokrasi dan berkeadaban serta menghargai adanya kemajemukan dalam masyarakat. (Tim ICCE, 2000: 241) C. Karakteristik Masyarakat Madani (Civil Sosiety) Karakteristik di sini merupakan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasyara-prasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satu saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat madani. (Tim ICCE, 2000: 247) Karakteristik tersebut antara lain: a. Free Public Sphere Yang dimaksud di sini adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana praktis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. (Tim ICCE, 2000: 248) Ruang pubilk bisa diartikan secara teoritis sebagai wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik. b. Demokratis Demokratis merupakan suatu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani di

mana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menajalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungannya. (Tim ICCE, 2000: 248) c. Toleran Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini memugkinkan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat lain yang berbeda. (Tim ICCE, 2000: 248-249) d. Pluralisme Pluralisme di sini tidak hanya dipahami dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, akan tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif merupakan rahmat Tuhan. (Tim ICCE, 2000: 249) Pluralisme menurut Nurkholis Madjid seperti yang dikutip Ahmad Baso adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Ikatan keadaban sebagai inti dari masyarakat madani diartikan bahwa masing-masing pribadi atau kelompok dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan betapapun perbedaan yang ada tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat atau pandangannya sendiri. (Baso, 1999: 253-254) e. Keadilan Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa. (Tim ICCE, 2000: 250) D. Pilar Penegak Masyarakat Madani (Civil Sosiety) Pilar penegak di sini adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani. (Tim ICCE, 2000: 250) Pilar-pilar tersebut antara lain: a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LSM adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. Selain itu, LSM dalam konteks masyarakat madani juga bertugas mengadakan empowering

(pemberdayaan) kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari seperti advokasi, pelatihan, dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat. (Tim ICCE, 2000: 250) b. Pers Pers merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani karena kemungkinannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negara. Hal ini pada akhirnya mengarah pada independensi pers yang mampu menyajikan berita secara objektif dan transparan. (Tim ICCE, 2000: 250) c. Supremasi Hukum Sebagai warga negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat harus tunduk kepada aturan hukum. Hal tersebut berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan hak dan kebebasan antar warga negara dengan pemerintah haruslah dilakukan dengan cara-cara yang damai dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Selain itu, supremasi hukum juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia. (Tim ICCE, 2000: 251) d. Perguruan Tinggi Perguruan tinggi yaitu tempat di mana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut masih pada jalur yang benar dan memposisikan diri pada rel dan realitas yang betul-betul objektif menyuarakan kepentingan masyarakat. (Tim ICCE, 2000: 251) e. Partai Politik Partai politik merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Sekalipun memiliki tendensi politis dan rawan hegemoni negara, tetapi bagaimanapun sebagai sebuah tempat ekspresi politik warga negara, partai politik ini menjadi prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. (Tim ICCE, 2000: 251-252) E. Masyarakat Madani Dalam Pandangan Islam Di Indonesia Islam sebagai suatu agama yang menawarkan aturan-aturan yang komprehensif yang mengurus hampir segala aspek kehidupan manusia, (Latif, 2007: 60) juga mengatur bagaimana konsep masyarakat yang ideal. Konsep masyarakat dalam Islam terangkum dalam konsep ummah sebagaimana termuat dalam berbagai ayat dalam Alquran yang memberikan

beberapa peran dan posisi umat Islam dengan kategori khairu ummah (masyarakat terbaik), ummatan wasathan (masyarakat seimbang) dan ummah muqtasidah (masyarakat moderat). Ali Syariati salah satu pemikir Islam yang seirus mengulas makna ummah mengatakan bahwa masyarakat adalah kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama, satu sama lain saling bahu-mambahu, bergerak menuju cita-cita bersama, berdasarkan kepemimpinan bersama. (Karni, 1999: 48) Selain bersumber kepada Alquran, Nabi saw sebagai pembawa risalah agama Islam telah menunjukkan keberhasilan terbesar yakni meletakkan fondasi masyarakat untuk mendirikan masyarakat taat hukum di dalam kota mulia (al-madinah al-fadhilah). Menurut Nurkholis Madjid yang mengutip pendapat Robert yang merupakan seorang yang berpengaruh dalam sosiologi modern mengatakan: Tidak ada pertanyaan melainkan bahwa di bawah Muhammad, masyarakat Arab membuat langkah maju yang cukup berarti dalam kompleksitas sosial dan kapasitas politik. Struktur yang dibentuk di bawah Muhammad kemudian dikembangkan oleh khalifahkhalifah yaitu mempersiapkan prinsip-prinsip organisasi untuk sebuah penyatuan dunia di bawah satu pemerintahan. Hasilnya pada waktu dan tempat itu adalah cukup modern. Modern dalam dalam tingkat komitmen, penyatuan dan partisipasi tinggi yang diharapkan dari anggota biasa masyarakat. Modern dalam keterbukaan kedudukan kepemimpinan untuk mampu memutuskan pada tataran dasar universalistik dan simbolisasi sebagai upaya mengukuhkan puncak pimpinan yang tidak diwariskan. (Madjid dkk, 2007: 53-54) Selain pendapat Nurkholis Madjid, seorang intelektual muslim Dawam Raharjo juga mengatakan bahwa dalam perspektif Islam, masyarakat madani lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Kata al-din yang umumnya diterjemahkan dalam agama, ada kaitannya dengan kata al-tamaddun atau peradaban. (Arifin, 2003: 68). Konsep ummah dalam agama Islam mengacu kepada masyarakat Madinah di mana dalam masyarakat tersebut untuk menciptakan kohesi sosial, memperkuat titik temu kultural, sosial, politik, dan ekonomi di antara berbagai kelompok sosial beragam. Mekanismenya, ummah dalam Madinah mengembangkan dan menekankan penerapan prinsip-prinsip interaksi sosial yang kondusif bagi penciptaan tatanan demokratis dalam konfigurasi pluralistik seperti toleransi, keadilan, dialog (syuro), perdamaian, supremasi hukum, persamaan, partisipasi politik, kebebasan beragama, kontrol sosial dan sejenisnya. (Karni, 1999: 96) Dalam kaitannya tentang masyarakat madani di Indonesia yang merupakan salah satu negara yang mempunyai masyarakat muslim terbesar di dunia, Aswab salah seorang intelektualaktivis muslim yang cukup intensif mengamati wacana masyarakat madani di Indonesia

mengusulkan reinterpretasi atas istilah ummah. Bagi Aswab, ummah merupakan sebuah entitas ide kemanusiaan dan konteks sosio-historis yang mempertimbangkan kondisi yang selalu berubah. Aswab juga menambahkan bahwa konsep ummah dalam masyarakat Indonesia merupakan sebagai bagian dari civil society yang mampu menghadirkan ide keadilan dan aktif memperjuangkan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan bersama dan ruang publik (public sphere). (Prasetyo, 2002: 168) Dalam kenyataannya, perkembangan masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasuskasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah yang mempunyai kekuatan dan bagian dari social control. Dalam hal ini, menurut Dawam Raharjo ada tiga strategi yang bisa digunakan dalam memberdayakan masyarakat madani di Indonesia yaitu: a. Strategi yang mementingkan integrasi (penggabungan) nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat. b. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap pembangunan nasional. c. Strategi memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke arah demokratisasi. Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan begitu, strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik. (Tim ICCE, 2000: 258) F. Penutup Civil society (masyarakat madani) merupakan terma yang tidak bisa dipungkiri merupakan berasal dari Eropa atau Barat. Gerakan civil society merupakan peristiwa yang terjadi ketika adanya suatu peristiwa politik Eropa Timur dan Tengah pada akhir dasawarsa 80-an dengan tumbangnya rezim totaliter-komunis yakni runtuhnya tembok Berlin di Jerman, sukses gerakan solidaritas di Polandia, marak gerakan pro-demokrasi di Hongaria dan Cekoslovakia serta tumbangnya rezim sosialis-komunis di Yugoslavia yang mana inti dari gerakan ini sebenarnya adalah ingin adanya kedamaian antara masyarakat dan penguasa sebagai pemegang kekuasaan suatu negara sehingga tercapai suatu tatanan masyarakat yang berperadaban. Walaupun istilah ini merupakan sebuah istilah gerakan dari Eropa atau Barat, namun setelah kita amati dari segi karakteristik dan pilar penegak masyarakat madani memiliki berbagai

kesamaan dalam konsepsi Islam sebagai agama yang membawa ajaran kedamaian buat umat dan menjadi agama yang memiliki peradaban yang tinggi seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dalam membangun masyarakat Madinah pada zaman dahulu. Dengan demikian, walaupun terdapat pro-kontra mengenai istilah civil society dan masyarakat madani dalam makna, akan tetapi dalam substansinya merupakan istilah yang mempunyai tujuan mulia yakni membentuk suatu tatanan baru dalam masyarakat yang mempunyai peradaban tinggi. G. Referensi Arifin, Syamsul. Islam Indonesia (Sinergi Membangun Civil Islam Dalam Bingkai Keadaban Demokrasi). Cet. 1. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, Agustus 2003. Baso, Ahmad. Civil Society Vs Masyarakat Madani (Arkeologi Pemikiran Civil Society Dalam Islam Indonesia). Cet. 1. Bandung: Pustaka Hidayah, Oktober 1999. ICCE, Tim Syarif Hidayatullah. Demokrasi, Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani. Cet. 1. Jakarta: Prenada Media, 2000. Karni, Asrori S. Civil Society dan Ummah (Sintesa Diskursif Rumah Demokrasi). Cet. 1. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, Maret 1999. Levy, Reuben. Susunan Masyarakat Islam. Diterjemahkan oleh HA. Ludjito. Cet. 1. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986. Madjid, Nurkholis dkk. Islam dan Humanisme (Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal). Cet. 1. Yogyakarta: IAIN Semarang dan Pustaka Pelajar, Januari 2007. Latif, Yudi. Dialektika Islam (Tafsir Sosiologis Atas Sekulerisasi dan Islamisasi di Indonesia). Cet. 1. Yogyakarta: Jalasutra, Juli 2007. Prasetyo, Hendro dkk. Islam dan Civil Society (Pandangan Muslim Indonesia). Cet. 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002. Suwondo, Kutut. Civil Society di Aras Lokal. Cet. 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Salatiga: Pustaka Percik, Februari 2005

Anda mungkin juga menyukai