Anda di halaman 1dari 5

1

I. PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN 1. A. Al-Aul

Al-Aul artinya bertambah. Dalam ilmu Faraidh istilah Al-Aul diartikan bagian-bagian yang harus diterima oleh ahli waris lebih banyak dari pada asal masalahnya, sehingga asal masalahnya harus ditambah atau diubah. Sebagai contoh untuk masalah ini adalah : Ahli waris terdiri dari istri, ibu, dua saudara perempuan kandung dan seorang saudara seibu. Harta peninggalan Rp 45.000.000,-. Maka bagian masing-masing ahli waris tersebut adalah istri 1/4 ; ibu 1/6, dua saudara perempuan kandung 2/3 dan saudara saibu 1/6. asal masalahnya 12 . Istri Ibu 2 saudara (pr) kandung Seorang saudara seibu Jumlah = 1/4 x 12 = 3 = 1/6 x 12 = 2 = 2/3 x 12 = 8 = 1/6 x 12 = 2 15

Asal masalahnya 12, sedangkan jumlah bagian 15, maka asal masalah dinaikkan menjadi 15. cara penghitungan akhirnya : Istri Ibu 2 saudara (pr) kandung 1 saudara seibu Jumlah 1. B. Ar-Radd = 3/15 x 45.000.000,= 2/15 x 45.000.000,= 8/15 x 45.000.000,= 2/15 x 45.000.000,= = = = 9.000.000,6.000.000,24.000.000,6.000.000,45.000.000,-

Ar-Radd (ar-raddu) yaitu : mengembalikan. Menurut istilah faraidh ialah membagi sisa harta warisan kepada ahli waris menurut pembagian masing-masing mnerima bagiannya. Ar-Radd dilakukan karena setelah harta diperhitungkan untuk ahli waris ternyata masih terdapat sisa, sedangkan tidak ada ashobah. Maka harta yang tersisa tersebut dibagikan kepada ahli-waris yang ada kecuali suami atau isteri. Sebagai contoh untuk masalah ini adalah sebagai berikut : Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan dan ibu. Bagian anak perempuan adalah 1/2 dan ibu 1/6. asal masalahnya berarti 6. Anak perempuan Ibu Jumlah = 1/2 x 6 = 1/6 x 6 =3 =1 4

Asal masalah (KPT/KPK) adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4. maka penyelesaian dengan radd asal masalahnya dikembalikan kepada 4. sehingga cara penyelesaian akhirnya adalah :

Anak perempuan Ibu

= 3/4 x harta warisan = 1/4 x harta warisan

= =

Cara penyelesaian diatas adalah apabila tidak ada suami atau istri. Apabila ada suami atau istri, cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut; Seseorang meninggal dengan meninggalkan harta sebesar Rp 18.000.000,-. Ahli warisnya terdiri dari istri, dua orang saudara seibu dan ibu. Bagian istri 1/4, dua orang saudara seibu 1/3 dan ibu 1/6. asal masalahnya adalah 12. Istri Dua saudara seibu Ibu Jumlah bagian =1/4 x 12 = 1/3 x 12 = 1/6 x 12 =3 =4 =2 9

Karena ada istri, maka sebelum siswa warisan dibagikan, hak untuk istri diambil dulu dengan menggunakan asal maslah sebagai pembagi. Maka untuk istri = 3/12 x Rp. 18.000.000,- = Rp 4.500.000,-. Sisa warisan setelah diambil adalah 18.000.000,- - 4.500.000,- = 13.500.000,- dibagi kepada dua saudara seibu dan ibu, dengan cara bilangan oembaginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli aris, maka 4+2 = 6. jadi bagian masing-masing adalah : Dua sudara seibu Ibu Jumlah = 4/6 x Rp. 13.500.000,= 2/6 x Rp. 13.500.000,= Rp. 9.000.000,= Rp. 4.500.000,-

= Rp. 13.500.000,-

Maka dapat diketahui bagian masing masing ahli waris tersebut. C. Gharawain Gharawain artinya dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang cara penyelesaiannya yaitu : 1. 2. Pembagian warisan jika ahli warisnya suami, ibu dan bapak Pembagian warisan jika ahli warisnya istri, ibu dan bapak

dua masalah tersebut berasal dari Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit. Kemudian disepakati oleh jumhur fuqaha. Dua hal tersebut diatas dianggap sebagai masalah karena jika di bagi dengan perhitungan yang umum, bapak memperoleh lebih kecil dari pada ibu. Untuk itu dipakai pedoman penghitungan khusus sebagaimana dibawah ini : untuk masalah pertama maka bagian masing-masing adalah suami 1/2, ibu 1/3 sisa (setelah diambil suami) dan bapak ashobah. Misalkan harta peninggalannya adalah Rp. 30.000.000,-. Maka cara pembagiannya dalah sebagai berikut : suami 1/2 x Rp. 30.000.000,ibu 1/3 x Rp.15.000.000,Bapak (ashobah) Jumlah = Rp. 15.000.000,- sisanya adalah Rp. 15.000.000,= Rp. 5.000.000,= Rp. 10.000.000,= Rp. 30.000.000,-

3
(dan begitu pula untuk pembagian pada masalah ke-2 yakni dengan ahli waris istri 1/4, ibu 1/3 sisa (setelah diambil hak istri) dan bapak ashobah ) D. Masalah Musyarakah Musyarakah atau Musyarikah ialah yang diserikatkan. Yaitu jika ahli waris yang dalam perhitungan mawaris memperolah warisan akan tetapi tidak memperolehnya, maka ahli waris tersebut disyarikatkan kepada ahli waris lain yang memperolah bagian. Masalah ini terjadi pada ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2 orang saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung, yang jika dihitung menurut perhitungan semestinya mengakibatkan saudara laki-laki sekandung tidak memperoleh warisan. Dalam masalah ini. Menurut Umar, Utsman, dan Zaid yang diiuti oleh Imam Tsauri, Syafei dan lain-lain, pembagian tersebut tidak adil. Maka, untuk pemecahannya saudara kandung disyarikatkan dengan saudara seibu didalam baigiannya yang 1/3. sehingga penyelesaian tersebut dapat diketahui dalam pembagian berikut : Suami 1/2 Ibu 1/6 = 3/6 = 3 = 1/6 = 1 1/3 = 2/6 = 2

Dua orang saudara seibu dan saudara (lk) sekandung Jumlah = 6.

Bagian saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung dibagi rata, meskipun diantara mereka ada laki maupun perempuan. E. Masalah Akdariyah

ahli waris laki-

Akdariyah artinya mengeruhkan atau menyusahkan, yaitu kakek menyusahkan saudara perempuan dalam pembagian warisan. Masalah ini terjadi jika ahli waris terdiri suami, ibu, saudara perempuan kandung/sebapak dan kakek. Bila diselesaikan dalam kaidah yang umum, maka dapat diketahui bahwa kakek bagian lebih kecil dari pada saudara perempuan. Padahal kakek dan saudara perempuan mempunyai keduduka yang sama dalam susunan ahli waris. Bahakn kakek adalah garis laki-laki, yang biasanya memperoleh bagian lebih besar dari pada perempuan, maka dalam masaah ini terdapat tiga pendapat dalam penyelesaiannya, yaitu : 1. Menurut pendapat Abu Bakar ra. Saudara perempuan kandung/sebapak mahjub oleh kakek. Sehingga bagia yang diperoleh oleh masing-masing ahli waris adalah suami 1/4, ibu 1/3, kakek ashobah, dan saudara perempuan terhijab hirman. Menurut pandangan Umar bin Khatib dan Ibn Masud, untuk memecahkan masalah diatas, amak bagian ibu dikurangi dari 1/3 menjadi 1/6, untuk menghindari agar bagian ibu dikurangi dari 1/3 menjadi 1/6, untuk menghindari agar bagian ibu tidak lebih besar dari pada bagian kakek. Sehingga bagian yang doioerolah masing-masing ahli waris adalah suami 1/2, ibu 1/6, saudara perempuan dan kakek 1/6. diselesaikan dengan Aul. Menurut pendapat Zaid bin Tsabit, yaitu dengan cara menghimpun bagian saudara perempuan dan kakek, lalu membaginya dengan prinsip laki-laki memperolah dua kali bagian perempuan. Sebagaimana jatah pembagian umum, saudara perempuan 1/2 dan kakek 1/6. 1/2 dan 1/6 digabungkan lalu dibagikan untuk berdua dengan perbandingan pembagian saudara perempuanndan kakek = 2 : 1.

2.

3.

I. Bagian Anak dalam Kandungan Beberapa permasalahan yang menyangkut dengan anak yang masih berada dalam kandungan yaitu : 1. Apakah janin yang masih dalam kandungan tersebut ada hubungan kekrabatan yang sah dengan si mati,

maka perlu diperhatikan tenggang waktu anara akad nikah dengan usia kandungan. 2. 3. 4. Belum bisa dipastikan jenis keamin dan jumlah bayi yang ada dalam kandungan tersebut. Belum bisa dipastikan, apakah janin tersebut akan lahir dalam keadaan hidup atau mati. Jika harta warisan dibagikan maka akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Bayi yang lahir dalam keadaan hidup, mempunyai hak warisan dari ayahnya yang meninggal. Sabda Rasulullah saw. :Jika anak yang dilahirkan berteriak, mak ia diberi warisan Jalan Keluar dalam masalah ini adalah : 1. 2. para ahli waris yang ada boleh mengambil bagian dengan jumlah paling minimal dari kemungkinankemngkinan yang bisa terjadi. Apabila harta warisan dapat dijaga dan pembagianya tidak mendesak, maka pembagian warisan ditunda sampai bayi lahir.

A.

Pengertian Anak dalam Kandungan Orang yang mengandung sering disebut dengan al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari kata hamalat. Dan tercantum dalam Al quran surah Al-Ahqof : 15 kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya yang mengandung dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah pula. Menurut istilah para fuqoha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibu baik laki-laki maupun perempuan.[1] Pada dasarnya apabila seseorang meninggal dunia dan diantara ahli warisnya terdapat anak yang masih dalam kandungan atau istri yang sedang menjalankan masa iddah dalam keadaan mengandung atau kandungan itu dari orang lain yang meninggal, maka anak yang dalam kandungan itu tidak memperoleh warisan bil fili, karena hidupnya ketikam uwar is meninggal tidak dapat dipastikan. Karena salah satu syarat dalam mewarisi yang harus dipenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian bagi anak yang masih dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi itu akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan , satu atau kembar. [2] Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kita dihadapkan pada ikhtiyar menyangkut kemaslahatan demi terpelihara hak anak, maka bagiannya dimawqufkan sampai dia lahir karena ada kemungkinan bahwa dia telah hidup ketikamuwar isnya meninggal. Atau pada keadaan darurat menyangkut kemaslahatan ahli waris yang mengharuskan disegerakan pembagian harta warisan dalam bentuk awal.[3] Oleh karena itu jika memungkinkan dapat menentukan isi kandungan dengan tes USG untuk mengetahui jenis kelamin dari anak tersebut maka disimpanlah bagian harta warisan untuknya. Karena anak dalam kandungan menjadi masalah dalam kewarisan karena ketidakpastian yang ada pada dirinya, sedangkan warisan dapat diselesaikan secara hukum jika kepastian itu sudah ada.[4] B. Syarat Anak dalam Kandungan Memperoleh Harta Waris Anak yang masih berada dalam kandungan ibunya termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan sebagaimana ahli waris lainnya. Untuk merealisasikan hak kewarisan ini, diperlukan syarat-syarat berikut : 1. Ketika muwaris meninggal, anak itu telah berwujud dalam rahim ibunya. 2. Bayi yang ada dalam kandungan tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup. Penjelasan Pertma: Waris mewarisi bertujuan menggantikan kedudukan orang yang sudah meninggal dalam kepemilikan harta bendanya. Maka disyaratkan bayi tersebut telah terwujud supaya tergambar penggantian yang dimaksud. Tingkatan yang seminimal-minimalnya sebagai seorang pengganti ia harus sudah terwujud walaupun masih berada dalam kandungan ibunya. Ini karena sperma yang ada pada rahim itu, tidak akan hancur jika mempunyai zat hidup, sehingga ia dihukumi hidup. Penjelasan Kedua: Lahir dalam keadaan hidup disyaratkan untuk meyakinkan bahwa anak dalam kandungan itu memang benar-benar hidup dalam rahim ketikamuwaris meninggal. Ketika masih dalam kandungan walaupun sudah dianggap hidup, itu bukanlah hidup yang sebenarnya. Kelahiran dalam keadaan hidup ke dunia ini dengan tenggang waktu yang telah ditentukan merupakan bukti yang nyata atas perwujudan ketika orang yang mewariskan

5
meninggal. Selain perwujudan nyata anak dalam keadaan hidup dan tenggang waktu kelahiran diperlukan juga ciriciri yang meyakinkan. Diantara ciri-ciri tersebut antara lain berteriak, bernafas, bergerak dan lain sebagainya. Sebagaimana Abu Hurairah r.a mengutip sabda Rasulullah SAW yang menjelaskan tanda-tanda hidup ini sebagai berikut : Apabila anak yang dilahirkan itu berteriak, maka diberi pusaka.[5] C. Keadaan Janin dan Cara Pembagian Warisannya Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut: Gharawain artinya dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang cara penyelesaiannya. Dua masalah tersebut adalah : 1. Pembagian warisan jika ahli warisnya suami, ibu, dan bapak. 2. Pembagian warisan jika ahli warisnya istri, ibu, dan bapak. Dua masalah tersebut berasal dari Ali bin thalib dan Zaid bin tsabit. Kemudian disepakati oleh jumhur fuqaha. Dua hal tersebut diatas dianggap sebagai masalah karena jika dibagi dengan perhitungan yang umum, bapak memperoleh lebih kecil daripada ibu.

Anda mungkin juga menyukai