Anda di halaman 1dari 9

Khrisna Protecta Adiprima 25310009

2011

PENGARUH KEGIATAN INDUSTRI KECIL TERHADAP BAKU MUTU LINGKUNGAN HIDUP (STUDI KASUS: INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT, DESA SUKAREGANG, GARUT)
Oleh: Khrisna Protecta Adiprima (25310009) Mahasiswa Program Magister Teknik Lingkungan - ITB

ABSTRAK Sentra industri kecil penyamakan kulit di Desa Sukaregang masih merupakan industri rumah tangga dan industri kecil yang berkembang dengan teknik yang sederhana sehingga belum mengutamakan faktor kelestarian lingkungan. Baku mutu lingkungan merupakan suatu tolok ukur pencemaran terhadap lingkungan hidup. SIK Sukaregang berkontribusi atas tercemarnya Sungai Ciwalen yang diakibatkan oleh pengelolaan air limbah yang belum optimal dan produksi limbah yang melebihi kapasitas instalasi pengolahan limbah (IPAL) yang ada pada SIK Sukaregang. Upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh pengusaha dan pemerintah masih belum dilaksanakan dengan tegas, sehingga masih terjadinya pembuangan air limbah yang melebihi baku mutu yang berlaku untuk limbah cair penyamakan kulit yang telah diatur pada Kepmenlh No. 51/1995. Selain itu belum ada upaya rencana aksi pengelolaan lanjutan hasil pemantauan yang telah dilakukan. Dari hasil analisis permasalahan pada SIK Sukaregang, rekomendasi yang diusulkan oleh penulis yaitu: (1) Harus dilaksanakannya pemantauan yang serius dalam rangka identifikasi masalah dan penetapan program; dan (2) Harus dilaksanakannya pemantauan secara serius dalam upaya penetapan/penegakan hukum. Kata kunci: industri penyamakan kulit, baku mutu air limbah, pengelolaan dan pemantauan. ABSTRACT The central of tannery small scale industry in Sukaregang Village are classified as a home industry and a small scale industry which developed with sophisticated technique without consider the environmental issues. The Environmental Standard is a measure of polluted environment. Sukaregang Tannery Center is contribute to the pollution of Cilawen River which affected from the un-optimized waste water management beside the waste water production is overcapacity from the waste water treatment plant in Sukaregang Tannery Center. The management and the monitoring which has done by the company and the government still has not done well, and as it is the effluent which is worse than the environmental standard for the tannery effluent standard based on Kepmenlh No.51/1995 are still running. Besides, there is still have none of Action Plan for the advance management as the result of the monitoring. From the problem analysis of Sukaregang Tannery Center, the recommendations are: (1) The monitoring is needed to be held seriously to identify the problems and to setup the programs; and (2) As an efforts to arrange/enforcement of the law, the monitoring is needed to be held seriously. Key words: tannery, effluent standard, management and monitoring.

2 Khrisna Protecta Adiprima 25310009

2011

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk memicu peningkatan kebutuhan manusia akan sandang, pangan dan papan. Untuk memenuhi kebutuhan manusia maka dilakukan upayaupaya pengembangan dan pembangunan industri, pertanian, pemukiman dan kegiatankegiatan lain yang memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada. Maraknya berbagai kegiatan industri di Indonesia mengakibatkan persoalan lingkungan yang semakin kompleks. Desa Sukaregang terletak di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Desa Sukaregang merupakan salah satu wilayah sentra industri kecil (SIK) penyamakan kulit sebagai pemanfaatan limbah kulit yang berasal dari pemotongan hewan ternak. Industri penyamakan kulit di Desa Sukaregang ini menjadi penopang ekonomi masyarakat desa tersebut dan sudahberdiri sejak 1920. Berdasarkan data tahun 2010, sentra industri kecil ini memiliki luas 80 Ha dengan jumlah 330 pengrajin. Sebagaimana kebanyakan industri kulit yang ada di Indonesia, industri penyamakan kulit di Desa Sukaregang berupa industri skala rumah tangga dan industri kecil yang berkembang dengan teknik produksi yang sederhana, belum mengutamakan faktor kelestarian lingkungan belum mampu mengolah limbah yang dihasilkan sampai baku mutu yang berlaku, kesehatan dan keselamatan kerja yang kurang mendapatkan perhatian dan minimnya upaya riset serta pengembangan usaha industri tersebut. Dengan kondisi demikian industriindustri kecil yang menghasilkan limbah akan memberikan dampak negatif pada lingkungan 1

sekitarnya. Baku mutu lingkungan hidup merupakan tolok ukur terjadinya degradasi lingkungan hidup. KLH (2002) menyatakan bahwa pembuangan limbah cair dari industri penyamakan kulit di Desa Sukaregang dibuang menuju Sungai Ciwalen. Limbah cair yang dihasilkan dari industri tersebut melewati kadar maksimum baku mutu limbah cair menurut keputusan menteri lingkungan hidup yaitu Kepmen No. 51/1995. Beberapa pengusaha industri penyamakan kulit telah membuat instalasi pengolahan air limbah (IPAL), namun perusahaan-perusahaan industri penyamakan kulit di Desa Sukaregang tersebut belum ada yang memiliki IPAL yang dapat beroperasi dengan baik. IPAL terpadu yang telah dibangun oleh BAPEDAL dan Pemda memiliki kapasitas total 700 m3/hari juga belum ada yang beroperasi dengan benar. Data tahun 2010 menyebutkan, dari 330 usaha penyamakan kulit di SIK Sukaregang menghasilkan total limbah sebanyak 6000 m3/hari, sehingga dapat disimpulkan permasalahan yang terjadi pada kawasan SIK Sukaregang yaitu IPAL yang sudah ada tidak mampu lagi untuk mengolah limbah sampai memenuhi baku mutu yang berlaku dan akan menyebabkan baku mutu air Sungai Ciwalen terdegradasi. I.2. Metode Kajian Metode kajian yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah analisis deskriptif yang menggunakan data sekunder dari studi literatur serta peraturan perundangundangan yang berlaku. I.3. Tujuan

3 Khrisna Protecta Adiprima 25310009

2011

Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengkaji permasalahan baku mutu lingkungan dari industri penyamakan kulit di Desa Sukaregang, meninjau permasalahan baku mutu lingkungan dari segi hukum lingkungan, dan memberikan rekomendasi mengenai penanganan baku mutu lingkungan dari industri penyamakan kulit di Desa Sukaregang, Garut. II. LANDASAN TEORI II.1.Konsep dan Pengertian Berdasarkan UU. No. 32/2009 pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Suatu lingkungan hidup dinyatakan tercemar apabila pencemaran lingkungan hidup melebihi baku mutu lingkungan hidup yang telah di tetapkan. Baku mutu adalah peraturan pemerintah resmi yang harus dilaksanakan yang berisi spesifikasi dari jumlah bahan pencemar yang boleh dibuang atau jumlah kandungan yang boleh berada dalam media ambient. Berdasarkan UU No.23 Tahun 1997, baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Dalam UU No.32 Tahun 2009 Pasal 2 menjelaskan bahwa baku mutu lingkungan hidup meliputi: 1

baku mutu air; baku mutu air limbah; baku mutu air laut; baku mutu udara ambien; baku mutu emisi; baku mutu gangguan; dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengendalian pencemaran lingkungan dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran dan tanggung jawab masing-masing. II.2.Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri Baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri diatur dalam Permenlh No. 3 Tahun 2010 tentang baku mutu air limbah bagi kawasan industri, dan Kepmen. No. 51 tahun 1995. Secara spesifik telah ditetapkan dalam Kepmen. No. 51 Tahun 1995 mengenai baku mutu limbah cair untuk kegiatan industri penyamakan kulit. Berikut dapat dilihat adalah baku mutu limbah cair untuk kegiatan industri penyamakan kulit yang ditetapkan pada Kepmen. No. 51 Tahun 1995:
Tabel 1. Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Penyamakan Kulit
Parameter BOD5 COD TSS Sulfida (sebagai H2S) Krom Total (Cr) Minyak dan Lemak Amonia Total pH Debit Limbah Maksimum Kadar Maksimum (mg/L) Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton) 150 10,5 300 32,0 150 20,5 1,0 0,07 2,0 0,25 5,0 0,35 10,0 0,70 6,0 - 9,0 70 m3 / ton bahan baku

a. b. c. d. e. f. g.

4 Khrisna Protecta Adiprima 25310009

2011

Diatur juga dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor: Kep03/MMENLH/1998 bahwa Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup dari suatu Kawasan Industri. Limbah Cair Kawasan Industri adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan Kawasan Industri yang dibuang ke lingkungan hidup dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup. Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar dan beban pencemar. Debit maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup. Kadar maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolebkan dibuang ke lingkungan hidup. Beban pencemaran maksimum adalah beban pencemaran tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri yang telah mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat adalah sebagaimana tersebut dalam Keputusan ini. Bagi Kawasan Industri yang belum mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat berlaku Baku Mutu Limbah Cair bagi jenisjenis industri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kadar maksimum dari masing-masing parameter atau debit limbah maksimum sebagaimana tersebut dalam Keputusan ini dapat dilampaui sepanjang beban pencemaran maksimum tidak dilampaui (Pasal 2). Gubemur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini dengan persetujuan Menteri (Pasal 3). Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini.

Apabila Gubemur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair yang lebih ketat maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana diatur dalam Keputusan ini (Pasal 4). Apabila analisis mengenai dampak lingkungan untuk kawasan industri mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah Cair Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kawasan industri tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan (Pasal 5). III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN III.1. Analisis Permasalahan Berdasarkan Peraturan Pembuangan Limbah Cair Industri Proses penyamakan kulit banyak menggunakan air (100 m3 air per ton kulit) sebagai pelarut maupun sebagai pembersih. Air bekas proses penyamakan kulit akan terbuang sebagai limbah cair yang mengandung bahan kimia, lemak, protein, dan bahan organik lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh KLH (2002) menyatakan bahwa limbah cair di SIK Sukaregang telah melewati baku mutu limbah cair kawasan industri berdasarkan Kepmenlh No. 51/1995. Dinyatakan dalam UU. No. 32 Tahun 2009 pasal 20 tentang Baku Mutu Lingkungan hidup (ayat 3): Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. Memenuhi baku mutu lingkungan hidup b. Mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Dilihat dari pasal tersebut, dan hasil yang ditemukan oleh KLH (2002) dapat 1

5 Khrisna Protecta Adiprima 25310009

2011

disimpulkan bahwa pengusaha industri penyamakan kulit di Sukaregang yang membuang limbah cair ke Sungai Ciwalen belum memenuhi baku mutu limbah cair sehingga dapat memberikan dampak negative terhadap lingkungan terutama pada ekosistem sungai. Sehingga seharusnya tidak diberikan izin untuk melakukan pembuangan limbah tersebut sebelum memenuhi baku mutu yang telah ditentukan. Walaupun demikian hingga saat ini limbah cair yang dibuang ke Sungai Ciwalen masih terus dilakukan. Hal ini dapat disebabkan oleh minimnya perhatian terhadap kualitas lingkungan dari para pengusaha penyamakan kulit yang berada di SIK Sukaregang dan kurangnya penegakan aturan/hukum lingkungan oleh dinas terkait yang berwenang terhadap pemberian izin pembuangan limbah. Sebagaimana telah diatur dalam Kepmenlh No. 142/2003 pada pasal 3yang berbunyi:(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan atau kajian upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan. (3) Syarat-syarat perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air wajib mematuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Selanjutnya dalam pasal 5 pada Kepmenlh No. 142/2003 menyebutkan bahwa: Kajian 1

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) didasarkan pada : a. jenis industri dan jenis usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan; b. rona lingkungan; c. jumlah limbah yang dibuang; d. daya tampung beban pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air. Sedangkan tata cara pemberian izin pembuangan air limbah telah diatur pada Kepmenlh No.111/2003, yaitu sebagai berikut: 1. Pemohon mengajukan izin kepada Bupati/Walikota melalui kepala instansi yang bertanggung jawab di Kabupaten/Kota. 2. Surat permohonan izin dibuat dalam jumlah rangkap tertentu sesuai dengan kebijakan Bupati/Walikota. 3. Kepala Instansi yang bertanggung jawab di Kabupaten/Kota memeriksa kelengkapan persyaratan permohonan izin, apabila tidak lengkap dikirim kembali ke pemohon izin. 4. Kepala instansi yang bertanggung jawab di kab/kota menugaskan tim teknis untuk melakukan telaahan dan memproses permohonan izin. 5. Tim teknis perizinan menelaah dan memproses berkas permohonan izin meliputi tahap: a. kunjungan lapangan apabila diperlukan; b. sidang pembahasan; c. penyusunan konsep surat izin.

6 Khrisna Protecta Adiprima 25310009

2011

6. Bupati / walikota menerbitkan, menangguhkan, atau menolak surat izin. 7. Surat izin, surat penangguhan, atau surat penolakan diterima pemohon izin. Keterangan: Tim teknis merupakan tim yang dibentuk oleh Bupati/ Walikota yang beranggotakan dari instansi yang mempunyai tugas dan fungsi berkaitan dengan pengelolaan air atau instansi pembina usaha dan atau kegiatan pemohon izin. Dalam studi kasus mengenai baku mutu lingkungan SIK Sukaregang ini pemerintah daerah bersama dengan KLH telah melakukan pemantauan kualitas air di Sungai Ciwalen dan menetapkan bahwa telah sungai tersebut telah dalam kondisi tercemar. Sebagaimana telah diatur dalam PP No. 82/2001 pasal 13 yang mengatur mengenai pemantauan kualitas air dan pasal 14 mengenai status mutu air. Berdasarkan data awal yang menyebutkan bahwa telah adanya upaya pembangunan IPAL komunal oleh BAPEDAL dan Pemda, serta pemantauan baku mutu air limbah di SIK Sukarengang menunjukkan bahwa telah dilakukannya upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Kepmenlh No. 142/2003 pada pasal 3. Namun pada pelaksanaan pemantauan belum adanya rencana tindak lanjut pengelolaan limbah cair yang dihasilkan oleh SIK Sukaregang. III.2. Pengendalian Pencemaran Ditinjau Dari Segi Hukum Lingkungan Upaya pengendalian pencemaran dari limbah cair industri penyamakan kulit yang telah dilakukan diantaranya yaitu pembangunan IPAL yang dilakukan oleh 1

beberapa pengusaha penyamakan kulit di SIK Sukarengang serta pembangunan IPAL komunal oleh BAPEDAL dan Pemda. Pengendalian pencemaran oleh kawasan industri diatur dalam Kepmenlh No. 3/1998 pasal 6 yang menyebutkan: Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri wajib untuk : a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan hidup tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan; b. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan; c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut; d. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan; e. Memisahkan saluran pembuangan limbah air dengan limpahan air hujan; f. Menyampaikan laporan tentang luas lahan yang terpakai, catatan debit harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali kepada Kepala Bapedal, Bapedalda Tingkat I, Bapedalda Tingkat II, Instansi Teknis yang membidangi kawasan industri, dan instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya pengendalian lingkungan yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu dengan memberikan sanksi.

7 Khrisna Protecta Adiprima 25310009

2011

Berdasarkan UU. No. 32/2009 pasal 100 menyatakan bahwa: (1) setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah). (2) Tindakan pidana tersebut dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Meninjau kasus pada SIK Sukaregang, walaupun telah dilakukan upaya pengelolaan limbah cair sebagaimana diwajibkan oleh pemerintah dalam Kepmenlh No. 3/1998 pasal 6 ayat (a), mutu limbah cair yang dibuang masih melampaui baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan pada Kepmenlh No. 51/1995. Sehingga seharusnya para pengusaha yang melakukan penyamakan kulit di SIK Sukaregang dapat terkena ancaman pidana penjara dan denda sesuai aturan UU. No. 32/2009 pasal 1, juga dapat dilihat pada pasal 2 pemerintah juga memiliki kewajiban untuk memberikan sanksi administratif terlebih dahulu. Sehingga permasalahan pencemaran di SIK Sukaregang harus diselesaikan bersama antara pengusaha dengan pemerintah terkait dengan melakukan diskusi serta komunikasi agar permasalahan perubahan baku mutu lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan industri penyamakan kulit di SIK Sukaregang dapat diselesaikan. IV. KESIMPULAN & REKOMENDASI IV.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Telah dilakukannya upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan oleh pengusaha dan pemerintah sebagai usaha pengendalian pencemaran untuk memenuhi baku mutu lingkungan, namun upaya yang dilakukan masih belum memberikan hasil yang optimal. 2. Permasalahan baku mutu lingkungan dari industri penyamakan kulit di Desa Sukaregang disebabkan oleh minimnya rencana aksi pengelolaan lanjutan sebagai hasil dari pemantauan lingkungan yang telah dilakukan. 3. Ditinjau dari segi hukum lingkungan, dalam studi kasus SIK Sukaregang masih terdapat kekurangseriusan dalam upaya pemantauan yaitu pada perumusan program pengendalian pencemaran air berdasarkan evaluasi status mutu air yang telah dilakukan, serta kurangnya perhatian terhadap pemantauan ketaatan persyaratan izin pembuangan limbah pada SIK Sukaregang. IV.2. Rekomendasi Dari kesimpulan diatas, rekomendasi yang dapat disampaikan oleh penulis yaitu: 1. Harus dilaksanakannya pemantauan yang serius dalam rangka identifikasi masalah dan penetapan program. Berikut adalah gambaran skematis yang diusulkan:

8 Khrisna Protecta Adiprima 25310009

2011

2. Harus dilaksanakannya pemantauan secara serius dalam upaya penetapan/penegakan hukum. Berikut adalah gambaran skematis yang diusulkan:

KLH. 2002. Revitalisasi Sentra Industri Kecil Penyamakan Kulit Berwawasan Lingkungan di Sukaregang, Garut . Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. KLH. 2003. Kepmen. No. 111 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air. KLH. 2003. Kepmen. No. 142 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air. KLH. 2010. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Deputi Menlh Bidang Penataan Lingkungan. Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA ____. 2010. Pengolahan Limbah Industri Kulit. KLH. 1995. Kepmen. No. 51 Tahun 1995 mengenai Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. KLH. 1998. Kepmen. No. 3 Tahun 1998 mengenai Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri. KLH. 1997. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Deputi Menlh Bidang Penataan Lingkungan. Jakarta.

KLH. 2010. Permenlh No. 3 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kawasan Industri. PP-RI. 2001. PP. No. 81 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

9 Khrisna Protecta Adiprima 25310009

2011

Anda mungkin juga menyukai