Anda di halaman 1dari 6

FILOSOFI DOWN TO EARTH DALAM PERENCANAAN TATA RUANG

WILAYAH YANG CERDAS DI KOTA SAMARINDA: PELAJARAN DARI


MUSIBAH BANJIR

Oleh:
Ery Arifullah
Ahli Geologi berdomisili di Samarinda
-081347195491-

I. Pendahuluan

Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam perencanaan tata ruang

wilayah adalah lingkungan alam. Karena manusia adalah makhluk yang hidup di

permukaan bumi, maka salah satu lingkungan alam tersebut adalah kondisi

geologi. Dengan demikian, informasi geologi suatu wilayah harus dikumpulkan

dan dianalisis untuk memperoleh gambaran kesesuaian lahan untuk kawasan

yang direncanakan di wilayah tersebut (Rencana Tata Ruang Wilayah, RTRW).

Informasi geologi yang diperlukan dalam perencanaan tata ruang wilayah

terutama adalah yang berhubungan dengan sumber daya alam geologi, sifat

keteknisan tanah dan batuan, serta dinamika kerak bumi. Sumber daya alam

geologi-berupa air, bahan galian, dan energi – adalah material-material yang

diperlukan untuk pembangunan dan pengembangan wilayah. Sifat ketektnikan

tanah dan batuan berhubungan dengan kesesuaian jenis bangunan yang

didirikan, termasuk tempat penimbunan sampah. Dinamika kerak bumi

berhubungan dengan bencana alam geologi, yaitu gempa bumi, tsunami,

letusan gunung api, longsoran, erosi dan banjir.

Sumber daya alam geologi ada yang bersifat tidak dapat diperbaharui (non-

renewable) atau dapat diperbaharui (renewable). Untuk yang pertama


diperlukan perencanaan yang mengoptimalkan pendayagunaannya, sedang

untuk yang kedua, diperlukan perencanaan yang memelihara kelestariannya.

Sifat keteknikan tanah dan batuan serta dinamika kerak bumi dapat

mengakibatkan adanya batasan dalam pengembangan suatu wilayah. Dengan

adanya informasi dan analisis geologi seperti yang disebutkan di atas, maka

dari proses perencanaan diharapkan dapat diperoleh keputusan cerdas

(intellegent decision) yang menyangkut tata ruang wilayah.

II. Geologi dalam perencanaan tata ruang wilayah di Indonesia

Perhatian para ahli geologi Indonesia, senior kita mulai ditunjukkan pada

perencanaan wilayah pada dekade 1980-an. Sudah sekitar seperempat abad

berlalu, apakah pertimbangan geologi (geological consideration) sudah benar-

benar digunakan dalam perencanaan tata ruang wilayah dan implementasi

lapangannya di negara kita? Jawaban terhadap pertanyaaan ini adalah belum,

untuk setiap wilayah di Indonesia, sebagaimana dapat dilihat dalam contoh-

contoh berikut.

Masih segar ingatan kita betapa bencana-bencana alam geologi telah memakan

banyak korban jiwa maupun materiil di negeri kita tercinta ini. Mulai dari

gempa bumi dan tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, peristiwa lumpur

Lapindo di Sidoarjo, dan seringnya terjadi banjir besar di kota Samarinda.

Kejadian-kejadian ini menimpa daerah pedesaan (rural) sampai daerah

perkotaan. Kehilangan jiwa dan material ini seharusnya dapat dihindarkan,

apabila daerah rawan bencana tersebut tidak dijadikan kawasan permukiman,


dan sumber daya air dikelola dengan baik. Kedua hal ini adalah wilayah

(domain) ahli geologi.

Penentuan daerah rawan bencana geologi hanya dapat dilakukan oleh ahli

geologi, yang mengetahui perilaku (behavior) dari bencana tersebut. Untuk

para ahli geologi, pertanyaannya adalah apakah kita sudah menyiapkan

informasi untuk para perencana? Memang, seluruh Indonesia sudah dipetakan

geologinya, tetapi informasi dalam peta-peta geologi tersebut masih perlu

diterjemahkan kedalam bahasa yang dapat dimengerti oleh para perencana dan

relevan untuk kebutuhan mereka (peta tematis). Hal ini masih ditambah lagi

dengan persoalan skala peta. Dalam RTRW terdapat hirarki, untuk Nasional

(RTRWN), provinsi (RTRWP), dan kabupaten/kota (RTRWK), dengan skala peta

yang semakin besar. Sebagai ilustrasi, RTRWN disusun dengan skala 1:

1.000.000, RTRW 1: 850.000 dan RTRWK 1: 350.000. Peta tematis di atas harus

mempunyai skala yang sama dengan peta RTRW, agar mudah dioverlay dengan

peta tematis dari bidang selain geologi, karena penyusunan RTRW melibatkan

banyak bidan ilmu. Agar dapat operasional, terdapat juga peta RTRW dengan

skala lebih besar, yaitu Rencana Detil Tata Ruang Wilayah (RDTRW) dan RTRW

kecamatan, serta peta lokasi untuk perijinan. Peta-peta tematis geologi harus

disesuaikan untuk semua kebutuhan ini. Pola pikir hirarkis seperti ini adalah hal

biasa dilakukan dalam geologi, dimana sebelum pembahasan geologi lokal,

terlebih dahulu dilakukan pembahasan geologi regional.

Berbicara mengenai relevansi, hal berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi.

Dalam RTRWN secara eksplisit dikatakan perlunya pengelolaan yang spesifik


untuk kawasan rawan bencana alam geologi (banjir, abrasi, gempa bumi,

lumpur vulkano-lumpur panas) dan kawasan resapan air. Pengelolaan khusus

untuk wilayah banjir dan resapan air sangat mendesak untuk dilakukan di kota

Samarinda. Berikut langkah-langkahnya:

1. Delineasi dari kawasan, dan ini belum tentu dapat dilakukan hanya

dengan menggunakan peta geologi yang kita miliki. Terutama faktor

skala. Pemetaan geologi rinci atau peta geohazard perlu dilakukan. Peta

geologi rinci memang menunjukkan adanya variasi litologi dan fasiesnya

yang berkaitan langsung dengan sifat impermeabel dan permeabel

batuan. Dengan tahap awal ini dapat diduga bahwa tidak seluruh wilayah

adalah kawasan resapan air. Secara langsung dapat memetakan dimana

wilayah rawan banjir dan kawasan resapan. Dugaan ini berbeda dengan

pandangan umum selama ini, yang kelihatannya hanya didasarkan pada

pendapat umum bahwa faktor topografi hanya dijadikan satu-satunya

parameter dalam penentuan kawasan, tanpa memperhatikan faktor

geologi.

2. Pemda, khususnya pemkot Samarinda perlu menyadari bahwa

perencanaan wilayah yang hanya didasarkan pada pendapat umum harus

segera ditinggalkan karena selain merugikan masyarakat juga merugikan

pemda sendiri dalam segala hal.

3. Kalau memang RTRW (zoning) sudah dibuat dengan berbagai metode

ilmiah yang ada dan valid, apakah pemkot Samarinda sudah konsisten

dalam implementasinya? Atau malah sudah melanggar?


4. Sosialisasi RTRW (zoning) kepada masyarakat kota Samarinda. Dengan

demikian jika pemkot tidak konsisten dalam implementasi RTRW (zoning)

maka masyarakat Samarinda dapat menentang dan membawa ke

pengadilan bila zoning tersebut tidak dapat dipertahankan secara ilmiah.

Hal ini sudah biasa terjadi di negara-negara maju.

5. Bila ternyata dalam pembuatan RTRW (zoning) tidak valid, Pemkot

Samarinda perlu berjiwa besar dalam mendefinisikan ulang RTRW

(zoning) kota Samarinda dengan memperhatikan realitas kondisi alam

dan masyarakat Samarinda. Contohnya adalah wilayah Temindung,

Perumahan Bumi Sempaja dan Bengkuring. Apakah kawasan tersebut

memang valid sebagai wilayah pemukiman ataukah sebagai kawasan

tangkapan air?

Wilayah Samarinda yang terdiri dari perbukitan curam-sedang dan dataran

rendah, tentu memberikan peluang: longsor dan banjir. Belum lagi

intensitas dan kerapatan patahan dan kemiringan curam batuannya. Satu

sisi kaya akan batubara dan mungkin minyak. Semuanya itu adalah sebagian

parameter yang digunakan dalam membuat RTRW (zoning). Pertanyaannya

adalah apakah wajar bila wilayah Temindung, Perumahan Bumi Sempaja dan

Bengkuring yang dominan tersusun oleh batuan impermeabel dan

bertopografi rendah dibangun perumahan? Belum lagi penambangan

batubara yang sangat intensif di wilayah Kota Samarinda. Saya meyakini

penyebab banjir di Samarinda kemungkinannya ada dua:


1. Bila RTRW (zoning) nya sudah valid maka implementasinyalah tidak tidak

konsisten.

2. Atau RTRW (zoning) kota Samarinda benar-benar tidak memperhatikan

kondisi geologi riil dan masyarakat di lapangan.

Yang jelas penentuan zoning Kota Bandung atau Palangkaraya atau kota-

kota lainnya berbeda dengan Samarinda, walaupun topografinya sama tapi

kondisi geologinya juga sangat berbeda. Kita perlu mendefinisikan ulang

RTRW (zoning) kota Samarinda.

Kondisi geologi Samarinda yang secara geologi adalah rawan longsor, banjir

sekaligus pula kaya akan sumber daya alam seperti batubara dan

kemungkinan minyak bumi dan terkonsentrasinya unsur-unsur mineral

tertentu. Namun demikian dalam menentukan zoning yang paling penting

adalah menguntungkan masyarakat Samarinda dengan resiko terkecil.

Penambangan batubara yang dampaknya sangat merusak topografi alam,

siapapun pasti tahu. Memang batubara penting bagi Pendapatan Asli Daerah

(PAD) Samarinda, namun permasalahannya adalah kita sudah kehabisan

akal, kita mau mudah dan cepatnya saja dengan metode penambangan yang

sama sekali tidak ramah lingkungan. Padahal batubara adalah aset semu

sementara akal kitalah yang merupakan aset riil. Himbauannya adalah mari

kita mendefinisikan ulang RTRW (zoning) kota Samarinda yang down to

earth yang memperhatikan kondisi riil geologi Samarinda dan aspirasi

masyarakat dengan menggunakan akal sehat.

Anda mungkin juga menyukai