Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN & TANGGAPAN RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU-LINTAS Oleh: Budi Gunawan PEMBAHASAN:

: KERANGKA: Secara umum kerangka rancangan peraturan pemerintah ini sudah baik dan memenuhi hal-hal yang perlu disajikan. Demikian juga dengan susunan dan alur dari kerangka ini sudah benar dan terpola dengan baik. SUBSTANSI/ISI: Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 butir 3: Tidak ada penjelasan tentang manajemen kebutuhan lalu lintas.

Jika mengacu pada UU No 22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dalam pasal 133 ayat (1) dicantumkan bahwa: Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan Ruang Lalu Lintas dan mengendalikan pergerakan Lalu Lintas, diselenggarakan manajemen kebutuhan Lalu Lintas.

Maka untuk butir ini redaksinya adalah: Manajemen kebutuhan lalul lintas adalah suatu mekanisme untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan ruang lalu lintas dan mengendalikan pergerakan lalu lintas. Bab II Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, Tujuan, Strategi dan Ruang Lingkup.

Pada paragraf 2 tentang Strategi perlu ditambahkan tentang peran Polri. Sebab bagaimanapun juga Polri sangat terkait dan berperan dalam pencapaian tujuan manajemen dan rekayasa lalu-lintas. Penambahan klausul tentang Polri tersebut adalah sebagai berikut: (1) Dalam keadaan tertentu Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan manajemen dan rekayasa lalu lintas kepolisian. (2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain : a. perubahan Lalu Lintas secara tiba-tiba atau situasional; yang dimaksud dengan perubahan lalu lintas secara tiba-tiba atau situasional adalah merupakan kondisi lalu lintas yang terjadi akibat sistem lalu lintas tidak berfungsi atau adanya kegiatan khusus yang perlu pengamanan yang mengakibatkan gangguan terhadap kelancaran dan keselamatan lalu lintas, dan penggunaan jalan diluar kepentingan lalu lintas dengan ketentuan jangka waktu terjadinya tidak berlangsung secara terus menerus/permanen lebih dari 30 (tiga puluh) hari. b. alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas tidak berfungsi; c. adanya Pengguna Jalan yang diprioritaskan; d. adanya pekerjaan jalan; penjelasan huruf d: yang dimaksud dengan adanya pekerjaan jalan Antara lain pembangunan/perbaikan/perawatan jalan, perlengkapan jalan, saluran air kotor, jaringan air bersih, jaringan telekomunikasi, jaringan gas, papan iklan dll. e. adanya bencana alam; dan/atau f. adanya Kecelakaan Lalu Lintas.

(3) Pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. memberhentikan arus Lalu Lintas dan/atau Pengguna Jalan; b. memerintahkan Pengguna Jalan untuk jalan terus; c. mempercepat arus Lalu Lintas; d. memperlambat arus Lalu Lintas; dan/atau e. mengalihkan arah arus Lalu Lintas.

(4)

Manajemen dan rekayasa lalu lintas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan rambu lalu lintas, alat pemberi isyarat lalu lintas, serta alat pengendali dan pengaman pengguna jalan yang bersifat sementara.

(5) Penggunaan rambu lalu lintas, alat pemberi isyarat lalu lintas, serta alat pengendali dan pengaman pengguna jalan yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mempunyai kekuatan hukum apabila dijaga oleh petugas Kepolisian. Penjelasan ayat (4): Yang dimaksud dengan Kekuatan hukum dalam penerapan menejemen dan rekayasa lalu lintas kepolisian berada pada petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu keberadaan rambu lalu lintas, alat pemberi isyarat lalu lintas, serta alat pengendali dan pengaman pengguna jalan yang bersifat sementara hanya sebagai alat bantu dalam pelaksanaan tugas.

(6) Rambu lalu lintas sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) adalah rambu

lalu lintas yang bersifat perintah dan larangan. Optimalisasi penegakan hukum dimaksud, POLRI melakukan dakgar dengan prioritas pelanggaran Lalin yang berdampak pada kemacean dan kecelakaan Pasal 4 ayat (1)

Dalam kegiatan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan meliputi kegiatan hanya disebutkan perencanaan, perekayasaan, pemberdayaan, pengawasan. Kurang rekomendasi.

Sebab, pada bagian ketiga, keempat dan kelima dari Bab ini, yakni tanggung jawab pemerintah Provinsi, Kabupaten dan kota, kegiatannya selalu meliputi perencanaan, perekayasaan, pemberdayaan, pengawasan dan rekomendasi. Oleh karena itu untuk keselarasan maka perlu ditambahkan rekomendasi dalam kegiatan. Pasal 4 ayat (2) butir a: Untuk tidak menimbulkan perbedaan persepsi, maka perlu ditegaskan bahwa pemerintah disini adalah Pemerintah Pusat. Pasal 4 ayat (2): Dalam ayat ini perlu ditambahkan klausul tentang Polri, selain pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota dalam kegiatan ini. Sebab Polri yang lebih tahu tentang lokasi rawan gangguan keamanan di jalan, lokasi rawan kecelakaan, lokasi rawan kemacetan, maupun lokasi rawan pelanggaran lalu lintas.

Polri memang sudah selayaknya dilibatkan karena pemerintah pusat hingga daerah tidak memiliki organ yang terkait dengan situasi tersebut. Pada pasal 6 ayat 2 yang terkait dengan pemerintah pusat juga melibatkan Kapolri. Berarti di daerah juga harus melibatkan Polda, Polres dan seterusnya. Bagian Kedua: Di sini hanya disebutkan tanggung jawab pemerintah dalam pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas. Mengingat bagian ketiga hingga kelima berbicara mengenai tanggung jawab pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, maka di sini yang dimaksudkan adalah pemerintah pusat. Oleh karena itu agar tidak melahirkan persepsi berbeda maka perlu ditegaskan redaksinya menjadi Pemerintah Pusat. Pasal 7 ayat (1): Tidak ada penjelasan/definisi tentang inventarisasi dan analisa siatuasi arus lalu lintas.

Redaksi yang dapat diusulkan adalah: Inventarisasi dan analisis situasi arus Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b merupakan suatu kegiatan inventarisasi dan analisa terhadap keadaan terganggunya keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 7 ayat (4) butir a: Inventarisasi volume lalu lintas dalam butir ini tumpang tindih dengan ayat (3) butir a.

Artinya ada 2 menteri berbeda melakukan tugas yang sama sehingga akan tumpang tindih. Berbeda dengan tugas Kapolri pada ayat (5) yang jelas ditegaskan melakukan inventarisasi dan analisis terbatas, sehingga tidak tumpang tindih. Pasal 8 ayat (1): Tidak ada penjelasan tentang analisis kebutuhan angkutan orang dan barang.

Redaksi yang dapat diusulkan: Inventarisasi dan analisis kebutuhan angkutan orang dan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c merupakan suatu kegiatan inventarisasi dan analisa terhadap kebtuhan angkutan orang dan barang agar terjamin keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancarannya.

Pasal 25 butir d: Lokasi rawan kecelakaan yang disebut dalam butir ini adalah merupakan tanggung jawab Polri. Oleh karena itulah Tanggung Jawab Pemerintah Provinsi harus melibatkan Polda, sebagaimana pemerintah pusat juga melibatkan Kapolri. Pasal 81ayat (1):

Dalam klausul ini disebutkan bahwa Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas.

Batasannya kurang jelas dan dapat menimbulkan kerancuan. Pasal 82 mencoba menjelaskan batasan, namun masih kurang jelas dan dapat melahirkan intepretasi berbeda karena tidak memiliki parameter yang jelas.

Oleh karena itu perlu diusulkan parameter yang tegas, misalnya berdasarkan jumlah orang yang menghuni/menggunakan lebih dari 500 orang. Pasal 102 ayat (1) butir c:

Dalam klausul ini disebutkan tentang penerapan dan pengembangan teknologi untuk kepentingan lalu lintas.

Hal ini perlu penjelasan lebih lanjut. Sebab, sebagaimana diatur dalm pasal 247 ayat (3) bahwa pusat kendala sistem informasi dan komunikasi LLAJ di kelola oleh Polri. Oleh sebab itu perlu ditambahkan klausul yang menjelaskan bahwa pengembangan teknologi untuk kepentingan lalu lintas yang dilakasanakan oleh Menteri yang bertangungjawab dalam bidang sarana dan prasarana hanya dikhususkan pada wilayah terminal, bandara, pelabuhan, stasiun kereta api. Sedangkan di ruas jalan ditangai oleh Polri. Penjelasan lain yang diperlukan adalah untuk teknologi kepentingan lalu lintas yang dilaksanakan oleh Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang sarana dan prasarana harus merupakan sub sistem dari sistem Polri. Pasal 81ayat (2):

Dalam klausul ini disebutkan bahwa Hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang terkait di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Instansi yang dimaksud tidak jelas. Agar tidak menimbulkan kerancuan mana nama instansi harus disebutkan. Pasal 109 ayat (1) butir d:

Dalam klausul ini disebutkan bahwa sebagian dana retribusi akan digunakan untuk insentif bagi Petugas. Hal ini perlu dipertimbangkan kembali untuk tidak menimbulkan persoalan dikemudian hari. Pasal 111 ayat (2) butir a: Klausul ini menyebutkan tentang pemungutan dana retribusi pengendalian lalu lintas. Hak pungut yang dilakukan Unit Pelaksana Pembatasan Kendaraan pada suatu koridor atau kawasan tertentu Pemerintah/Pemerintah Daerah bermotor.

perlu dikonsultasikan

lebih lanjut dengan tidak boleh

Kementerian Keuangan karena secara limitatif

memungut uang dari pembatasan kendaraan

UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Pasal 150 menunjukkan adanya Close List artinya Pemerintah Daerah tidak boleh memungut pajak dan retribusi selain daripada jenis-jenis yang telah ditetapkan, yaitu retibusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu.

Electronik Road Pricing (ERP) sebagai alat dalam pembatasan kendaraan bermotor pada koridor atau kawasan terentu tidak bisa dimasukkan dalam golongan pajak daerah. Oleh karena itu klausul tersebut perlu dipertimbangkan kembali, atau penyebutannya disesuaikan dengan retribusi yang diijinkan untuk dipungut oleh pemerintah daerah.

Sekalipun Pasal 108 ayat (1) telah mencoba merangkumnya dengan menyebutkan bahwa Retribusi pengendalian lalu lintas kendaraan barang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari retribusi jasa umum. Namun hal ini tidak dapat diterima begitu saja. Pernyataan dari sebuah ayat dalam UU tidak bisa begitu saja dapat dikaitkan dengan UU yang lain tanpa melakukan sinkronisasi sesuai perundangan yang terlebih dahulu berlaku. Apalagi ini hanya PP tentu tidak dapat begitu saja menganulir ketentuan dari UU No 28 Tahun 2009. Harus dilihat apakah isi UU tersebut dapat melingkupi ketentuan yang dimaksud dari PP ini. Pasal 111 ayat (2) butir d: Klausul ini menyebutkan: mempublikasikan hasil pungutan dan penggunaan kepada masyarakat. Redaksi klausul tersebut tidak jelas, bisa saja diumumkan melalui papan pengumuman. Oleh sebab itu perlu ditegaskan diumumkan melalui media lokal utama. Pasal 127 ayat (3): Di sini disebutkan bahwa perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini perlu direvisi. Sebab, jika mengacu pada Pasal 242 ayat (1) UU No 22 Tahun 2009, hal ini wajib diberikan oleh pemerintah, pemda, dan/atau perusahaan angkutan umum.

TANGGAPAN:

Dalam Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas di berbagai negara selalu diterapkan apa yang kemudian dikenal sebagai 5-E, yaitu Engineering (perekayasaan), masyarakat), Education/Empowerment Enforcement (penegakkan (pendidikan/pemberdayaan hukum), Encouragement

(menyemangati) dan Emergency Response (penanganan kedaruratan). Dari rancangan peraturan ini yang tidak nampak adalah Emergency Response untuk menghadapi situasi darurat. Oleh sebab itu menurut hemat saya perlu ditambahkan mengenai Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Kepolisian sebagai bentuk dari Emergency Response tersebut. Hal ini penting untuk demi terlaksananya manajemen dan rekayasa lalu lintas ini sendiri. Selain itu juga penting sebagai payung hukum bagi aparat kepolisian dalam melakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas kepolisian dalam situasi darurat. Jangan sampai polisi yang berupaya mengatur lalu lintas dalam kondisi darurat justru dituduh melanggar ketentuan dari PP ini. Mohon tanggapannya. Tumbuhnya kawasan perbelanjaan dan pemukiman yang berkembang dengan cepat, mempengaruhi pola perjalanan yang berakibat pada perubahan lalu lintas. Perkembangan kawasan perbelanjaan ini juga menyebabkan munculnya juru parkir liar dan berbagai kondisi lainnya yang menyebabkan terganggunya arus lalu lintas. Kondisi ini juga berdampak luas pada kawasan sekitar, khususnya pada ruas-ruas jalan dan persimpangan baik yang dikendalikan maupun tidak dikendalikan, yang menyebabkan kinerja ruas jalan menurun. Dalam rangka menghindarkan terjadinya dampak negatif lalu lintas, PP ini memang telah mewajibkan Analisis Dampak Lalu Lintas pada pembangunan kawasan tertentu. Kewajiban melakukan studi Analisis Dampak Lalu Lintas
10

tergantung pada bangkitan lalu lintas yang ditimbulkan oleh pengembangan kawasan. Besarnya tingkat bangkitan lalu lintas tersebut ditentukan oleh jenis dan besaran peruntukan lahan. Dengan demikian diharapkan dapat dilakukan prediksi dan antisipasi yang nyata untuk menjaga keseimbangan antara asksesibilitas, pergerakan kendaraan dan kondisi lalu lintas yang baik. Yang menjadi persoalan adalah, aturan ini tentunya akan berlaku ke depan. Sementara manajemen dan rekayasa lalu lintas ini diharapkan dapat mengatasi persoalan yang ada saat ini. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, apa yang dapat kita lakukan terhadap para pengembang atau pembangun yang telah ada, seperti mall-mall yang telah ada, untuk memberikan tanggung jawab kepada mereka? Apakah peraturan ini harus berlaku surut sehingga mall-mall yang telah ada juga memiliki kewajiban yang sama, atau ada mekanisme lainnya. Mohon tanggapannya. Selama ini hampir dapat dipastikan bahwa seluruh kota besar di negeri ini tidak memiliki data akurat dan menyeluruh terkait kinerja jalan di kota masingmasing. Selama ini pengambilan kebijakan manajemen lalu lintas selalu dilakukan hanya berdasarkan pengamatan. Dengan kata lain pengamatan secara visual inilah yang dijadikan indikator untuk menentukan kebijakan lalu lintas. Selain itu, pemantauan volume dan kapasitas jalan hanya dilakukan di titik tertentu, tidak di seluruh ruas jalan. Bahkan, pemantauan dilakukan hanya pada saat-saat tertentu saja. Padahal, data semacam ini tidak bisa menjadi referensi akurat untuk mengambil berbagai kebijakan manajemen dan rekayasa lalu lintas. Data tersebut hanya cocok menjadi landasan pertimbangan untuk menentukan manajemen parkir di tepi jalan. Secara tipikal kemacetan lalulintas di perkotaan diakibatkan oleh 3 hal pokok yaitu: Volume lalulintas kendaraan yang melebihi kapasitas ruas jalan,
11

bottle-neck akibat adanya penyempitan ruas jalan, konflik yang terjadi di persimpangan maupun di titik-titik tertentu pada ruas jalan. Volume lalulintas kendaraan yang melebihi kapasitas umumnya tidak terjadi secara permanen, melainkan hanya terjadi pada jam-jam tertentu (peak hours) di pagi hari maupun di sore hari atau pada hari-hari tertentu. Sedangkan kemacetan akibat bottle-neck lebih bersifat permanen, karena adanya perubahan kapasitas ruas jalan sehingga kendaraan harus melakukan merging dan ini menimbulkan friksi yang dapat memperlambat kecepatan arus kendaraan. Sementara konflik lalulintas kendaraan di persimpangan terjadi karena lalulintas melakukan perubahan arah pergerakan, di mana salah satu harus diprioritaskan. Survei secara komprehensif tentu perlu dilakukan sebagai basis data untuk mengatasi berbagai persoalan ini, termasuk terhadap hambatan samping yang cenderung mengganggu arus lalu lintas, seperti keberadaan pedagang kaki lima, parkir di badan jalan, perilaku sopir kendaraan umum yang kurang disiplin serta pejalan kaki. Yang ingin saya tanyakan adalah kapan survei komprehensif ini dapat dilaksanakan dan siapa yang menjadi leading sector atau bertanggung jawab melakukannya. Setelah data komprehensif tersebut didapatkan, tentunya seluruh manajemen dan rekayasa lalu lintas yang ada selama ini harus disesuaikan atau dirombak. Hal ini tentu tidak murah dan juga tidak mudah dilakukan mengingat keterbatasan untuk melakukan perluasan ruas jalan di wilayah perkotaan.Menurut hemat saya mengingat volume kendaraan yang terlanjur telah berlebih, maka cara paling murah melakukan semua ini adalah dengan melakukan pembatasan volume kendaraan. Mohon tanggapannya. *****

12

Anda mungkin juga menyukai