Anda di halaman 1dari 12

Derrida dan 'Democracy to Come'

Pengantar Dalam buku The Politics of Friendship, Derrida mengimpikan sebuah demokrasi yang otentik, yang tidak pernah diwujudkan dalam apa yang kita sebut demokrasi. Demokrasi yang diimpikannya itu disebutnya dengan istilah la democratie a venire, Democracy to Come (demokrasi yang akan datang).[1] Demokrasi yang akan datang adalah janji dari sebuah demokrasi otentik. Pada pembahasan ini, akan dijelaskan secara panjang lebar berkenaan dengan demokrasi otentik yang dimaksudkan Derrida. Demokrasi yang dimaksud itu adalah implikasi dari dekonstruksi atas demokrasi yang dalam dirinya mengandung kontradiksi dan aporia.

Latar Belakang: Kontradiksi dan Aporia Demokrasi Merujuk pada arti aporia sebagai suatu problem yang sulit dipecahkan karena mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri,[2] Derrida hendak membongkar sisi-sisi kontradiksi dan aporia demokrasi. Derrida melihat bahwa demokrasi telah mengandung dalam dirinya aporia sekaligus kontradiksi. Aporia demokrasi terlihat kentara dalam pemaknaan dan perjuangan menegakkan demokrasi yang selalu gagal, bahkan bermuara pada titik demarkasi yang jauh dengan ideal demokrasi yang diharapkan. Kontradiksi antara ideal demokrasi dengan kenyataan aktual yang diharapkan dari demokrasi menjadi sebuah jurang yang lebar dan dalam. Bagaimana sebenarnya ideal demokrasi? Dalam khazanah politik kontemporer, nilai-nilai seperti kesetaraan (egalitarianism), keragaman (pluralisme), penghormatan atas perbedaan (toleransi), penghargaan atas hak-hak asasi dan tanggung jawab bersama dalam komunitas politik menjadi dasar substansial pemaknaan tentang demokrasi. Kalau demokrasi, sebagaimana dimengerti sebagai suatu bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh demos (rakyat), maka bentuk pemerintahan yang dimaksudkan di sini bukan saja dalam arti konstitusional melainkan lebih sebagai suatu komunitas politik yang bersama-sama terlibat (partisipasi publik) dalam diskursus untuk memutuskan (keputusan politik) dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi di atas. Singkatnya, demokrasi menuntut cara hidup warga negara yang berkomitmen pada kesejahteraan umum. Bagi Derrida, demokrasi yang digambarkan dalam realitas sekarang belum menunjukkan dan menampakkan dirinya yang sejati. Demokrasi sekarang belum dapat dikatakan sebagai demokrasi yang sesungguhnya. Banyak kontradiksi yang belum dituntaskan secara penuh. Inkonsistensi demokrasi dan penerapannya menjadi hal yang biasa terlihat. Demokrasi belum menunjukkan dirinya sebagai rumah

yang nyaman bagi hak-hak asasi manusia. Kejahatan melawan kemanusiaan sering terjadi dalam negara yang menyebut diri demokrasi. Kesetaraan, kebebasan dan persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara kerap kali sulit terwujud oleh pelbagai kepentingan. Dalam dunia yang ditandai dengan pluralitas, suara mayoritas selalu dan sering mengancam kaum minoritas. Konflik mayoritasminoritas selalu tidak dapat dibendung dan dielakkan. Dalam konteks itu, demokrasi hanyalah sebuah nama. Nama itu seringkali dipakai sebagai mantel untuk menyembunyikan pelbagai praktik yang sebenarnya bertentangan dengan makna dan harapan demokrasi yang sebenarnya. Singkatnya, dalam nama demokrasi terjadi banyak kontradiksi yang sulit dipecahkan. Atas nama demokrasi dan datangnya demokrasi yang sesungguhnya, Derrida menguraikan aporia dan kontradiksi internal yang melanda demokrasi. Pada sisi tertentu, kontradiksi yang terjadi lahir pada kondisi keterbatasan manusia. Dalam kondisi demikian, Derrida melihat bahwa dalam konteks demokrasi, pengalaman aporia dan kontradiksi tidak dapat dihindari, bahkan menyebabkan ketidakmungkinan demokrasi. Akan tetapi, kontradiksi tersebut tidak boleh dihindari, tetapi membiarkannya terbuka demi penemuan demokrasi di masa depan. Dengan demikian, keterbukaan terhadap kontradiksi yang tak terhindarkan dari demokrasi menjadi dasar sekaligus pintu masuk ke dalam konsep demokrasi yang akan datang yang digagaskan Derrida.

Demokrasi dan Dekonstruksi Derrida mempertanyakan demokrasi: Apakah masih mungkin berbicara tentang demokrasi ketika hal itu tidak lagi menjadi pertanyaan? Bagi Derrida, demokrasi adalah sebuah pertanyaan karena ia belum hadir. Ketika orang tidak perlu lagi bertanya tentang demokrasi, karena demokrasi itu sudah ada dan bahkan menjadi sebuah sistem politik terbaik, Derrida masih belum yakin soal keberadaan demokrasi. Di manakah demokrasi? Pertanyaan ini berkaitan erat dengan cara kerja dekonstruksi yang digagaskan Derrida. Derrida menghubungkan demokrasi dengan dekonstruksi. Derrida menjelaskan hubungan antara konsep demokrasi dan dekonstruksi: In principle, in any democracy: no deconstruction without democracy, no democracy without deconstruction. (pada prinsipnya, dalam setiap demokrasi: tidak ada dekonstruksi tanpa demokrasi, tidak ada demokrasi tanpa dekonstruksi).[3] Adanya kaitan erat antara demokrasi dan dekonstruksi tidak berarti bahwa keduanya dapat dipertukarkan. Bagi Derrida, konsep demokrasi selalu dan harus didekonstruksi. Bahkan, tanpa demokrasi, dekonstruksi tidak ada. Dekonstruksi menerjemahkan dirinya yang sesungguhnya dalam demokrasi. Demikian pun sebaliknya, demokrasi membutuhkan dekonstruksi dalam menampakkan dirinya yang sejati. Hal itu mau

menegaskan dan menunjukkan hubungan yang erat dan mempersatukan antara dekonstruksi dan demokrasi. Pemikiran Derrida tersebut membimbing kita untuk mendekonstruksi demokrasi tanpa henti. Memikirkan demokrasi berarti terus menerus mendekonstruksi demokrasi (No deconstruction without democracy, no democracy without deconstruction). Mempertanyakan demokrasi berarti siap mendekonstruksi demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi adalah dekonstruksi ke dalam dirinya sendiri (Democracy is the autos of deconcstructive self-delimination). Dekonstruksi sebagai kritik atas diri adalah cara kerja politik Auto-imunitas yang merupakan gejala demokrasi. Auto-imunitas dalam demokrasi menuntut adanya kritik abadi terhadap diri (demokrasi). Orang yang mengkritik demokrasi adalah orang yang melakukannya atas nama demokrasi yang akan datang.[4] Dari pemaparan itu, menjadi jelas bahwa demokrasi memerlukan dekonstruksi diri. Akan tetapi, bagi Derrida, dekonstruksi ada karena adanya kebebasan. Derrida menulis, Tidak ada dekonstruksi tanpa kebebasan (no deconstruction without freedom).[5] Ketiadaan kebebasan adalah musuh demokrasi. Dengan demikian, relasi antara demokrasi dan dekonstruksi selalu berada dalam terang kebebasan. Bagi Derrida, auto-imunitas demokrasi, indeterminasi dan kritik diri (self criticism) adalah jantung demokrasi yang harus berproses dalam kebebasan. Dalam hal ini, interpretasi demokrasi adalah permainan dalam terang kebebasan. Akan tetapi, struktur demikian selalu tidak akan pernah terlepas dari aporia. Bagi Derrida, mereformasi politik pada umumnya dan demokrasi khususnya selalu tidak terlepas dari aporia. Aporia kebebasan dan demokrasi tidak melumpuhkan politik melainkan membuat dan menuntut tanggung jawab, di mana pada tempat pertama, kebebasan mesti dimungkinkan. Tanggung jawab itu selalu mengandaikan kebebasan. Dalam kerangka kebebasan itu, Derrida menulis There is no freedom without ipseity and vice-versa, no ipseity without freedom. (Tidak ada kebebasan tanpa kejatidirian dan demikian juga sebaliknya, tidak ada kejatidirian tanpa kebebasan).[6] Dari penjelasan itu, kebebasan dikaitkan dengan jati diri. Dalam hal ini, pembentukan identitas dan jati diri demokrasi dimungkinkan oleh tanggung jawab dan kebebasan. Tanggung jawab itu terutama dimulai dengan mendekonstruksi demokrasi. Tanggung jawab itu adalah sebuah tuntutan yang mesti dindahkan. Derrida menjelaskan One must recall that the demand of a Democracy to Come is already what makes such a deconstruction possible. This demand is deconstruction at work.

(Seseorang harus ingat bahwa tuntatan dari demokrasi yang akan datang sudah membuat dekonstrusi menjadi mungkin. Tuntutan itu adalah cara kerja dekonstruksi). [7] Sekali lagi, tanggung jawab itu, sebagaimana yang ditegaskan di atas, adalah tanggung jawab seseorang atas tuntutan demokrasi yang akan datang. Tanggung jawab dalam cara kerja dekonstruksi menjadi harapan untuk demokrasi yang akan datang. Demokrasi menjadi mungkin dengan adanya dekonstruksi. Bahkan, sebaliknya dekonstruksi mendapat pemaknaannya yang pas dalam konsep demokrasi (tidak ada dekonstruksi tanpa demokrasi). Demokrasi yang akan datang dimungkinkan oleh dekonstrusi atas konsep demokrasi. Dengan demikian, demokrasi yang akan datang berarti demokrasi yang harus terus menerus didekonstruksi. Implikasinya jelas, demokrasi yang diharapkan tanpa pernah tiba. Ia adalah horison yang terus bergeser tanpa pernah bisa diraih. Tidak akan ada waktu di mana demokrasi itu terwujud. Maka, konsekuensinya adalah setiap sistem demokrasi harus selalu bisa dikoreksi dengan cara dekonstruksi (kalau tidak, tidak lagi demokrasi). Dengan dekonstruksi, demokrasi yang akan datang membuka ruang antara kondisi aktual masa sekarang dan masa depan yang mungkin atau pun tidak mungkin menjadi regulasi ideal. (Democracy opens up a space between its actual condition and its future space which may or may not be a regulative ideal). [8] Dengan demikian, demokrasi menempatkan dirinya pada ruang antara yang sekarang dan masa depan, keberadaan sekarang dan masa depan. Namun, keberadaan itu mungkin dan sekaligus tidak mungkin menjadi sebuah regulasi yang tetap. Ia terbuka untuk masa yang akan datang. Ia terbuka untuk dibongkar dan dibangun kembali. Dengan kata lain, demokrasi yang akan datang selalu menjadi mungkin sekaligus tidak mungkin. Hal ini hanya dapat dipahami dalam struktur possible-imposible dalam filsafat Derrida. Struktur Janji dan Keterbukaan terhadap Masa Depan Demokrasi adalah janji (Democracy is a promise). Oleh karena itu Derrida menyebutnya to come.[9] Gagasan demokrasi seperti kebebasan, kesetaraan, persaudaraan adalah janji dalam demokrasi. Demokrasi menyadari kesempurnaannya dalam sejarah sehingga membuka dirinya untuk masa depan. Penangguhan kehadiran yang terus menerus dari demokrasi yang akan datang, tetap akan datang selamanya. Dengan kata lain, demokrasi dilihat sebagai pengulangan di masa depan. Ia tak akan pernah tercapai. Ia hadir hanya sebagai pengulangan yang terus menerus. Janji itu

bukanlah janji yang dipenuhi pada masa depan, bukan juga demokrasi masa depan[10]. Janji akan selalu tetap janji. Kata selalu di sini menunjukkan janji yang bukan pada tingkat empiris dibuat oleh subjek yang dapat diidentifikasi, melainkan secara ontologis. Derrida menyebutnya hauntological atau kuasi-transendental.[11] Di sini, Derrida berbicara tentang janji, yang dalam bahasa Derrida being-promise of a promise atau menjadi janji dari janji.[12] Bagi Derrida identitas (termasuk identitas subjek, makna) didasarkan pada proses yang terbuka terhadap pengulangan. Hal ini berarti terbuka terhadap masa depan. Proses pengulangan itu tidak pernah berakhir, berulang terus menerus, ditangguhkan untuk masa depan yang selalu akan datang. Penangguhan tersebut merupakan konsekuensi dari dekonstruksi yang terus menunda memberikan arti dan makna. Pengulangan itu adalah janji pengulangan identitas. Dengan demikian, tidak ada identitas final yang tertutup melainkan pencapaian permainan pengulangan yang terus menerus. Pengulangan adalah suatu proses. Identitas demokrasi terbentuk dalam proses dimaksud. Identitas itu harus dihadirkan demi menjembatani jurang keterpisahan atau kontradiksi antara ideal demokrasi dan kenyataan. Dengan itu, identitas politik dan demokrasi semakin terbuka terhadap masa depan. Ia juga mesti terbuka terhadap dunia global. Demokrasi harus dipikirkan secara global jika ia ingin memiliki masa depan. [13] Sebagai seorang yang demokrat atau menjadi seorang demokrat harus memiliki keterbukaan terhadap keglobalan demokrasi. Dengan kata lain, makna dan identitas demokrasi tidak boleh lepas dari komitment normatifnya, sebuah komitment keterbukaan futural, keterbukaan terhadap masa depan, termasuk keterbukaan terhadap keberlainan dan keberbedaan. Keterbukaan itu adalah jalan menuju pengungkapan janji. Pengungkapan janjijanji itu membuka cakrawala harapan akan masa depan. Janji-janji kesejahteraan dalam politik menjadi harapan masa depan. Bagi Derrida, janji dari masa depan mendahului kita untuk membuka masa depan. Ketidakhadiran masa depan tidak dapat dibatasi atau direduksi. Ia adalah kemungkinan yang diproyeksikan ke masa depan. Hal demikian bisa dipandang sebagai utopia demokrasi yang mengarah kepada interpretasi masa depan. Identitas makna atau subjek (bangsa) diproyeksikan ke masa depan.[14] Proyeksi itu adalah interpretasi sejarah masa depan. Penegasan dari masa yang akan datang ini bukan tesis positif. Hal ini tidak lain adalah penegasan itu sendiri. Itu merupakan kondisi semua janji dan harapan yang terbuka terhadap masa depan.

Demokrasi Yang Akan Datang dan Kesempurnaan Tak Terbatas Demokrasi Derrida berbeda dengan formasi politik lain. Demokrasi yang akan datang berkaitan erat dengan kesempurnaan tak terbatas. Derrida menekankan hubungannya dengan dekonstruksi dan kuasi transendental. Menurut argumen Derrida, demokrasi yang akan datang menunjukkan sebuah pelabuhan demokrasi, pelabuhan janji kesempurnaan yang tidak terbatas, janji untuk terus menyempurnakan dan terus mengkritik. Ini tidak berarti bahwa demokrasi yang akan datang akan hanya menjadi sebuah demokrasi di masa depan yang mengoreksi atau memperbaiki kondisi yang sebenarnya dari apa yang disebut demokrasi. Kesempurnaan itu menjadi prinsip demokrasi yang universal, yang menjamin terpenuhinya keadilan dan etika universal. Keadilan sebagai post-janji utopis tidak akan pernah terpenuhi. Derrida mengkritik klaim Fukuyama yang melihat Liberalisme Barat menjadi satu-satunya inkarnasi keadilan sebagai akhir sejarah setelah runtuhnya Soviet. Kesempurnaan demokrasi Derrida menjembatani dua kutub: ideal politik dan realitas empiris. Keadilan harus diikat dalam ruang konfrontasi antara kenyataan dan harapan. Dalam ruang antara itu, kesempatan untuk kesempurnaan menjadi terbuka. Dalam ruang itu, demokrasi mesti diinterpretasi secara global yang berdasar pada nilai dasar kesetaraan, kebebasan, serta sampai pada diskusi publik yang merangkum semua kelompok yang heterogen. Pada titik ini, demokrasi bukan hanya sekadar retorika. Demokrasi yang hanya bergerak pada taraf retorika akan menjadi lonceng kematian demokrasi sendiri. Demokrasi Yang Akan Datang Sebagai Politik Mesianis Mesias dalam demokrasi Derrida bukanlah figur atau seorang sosok Mesias dalam konteks Kekristenan. Mesias yang dinantikan itu adalah janji, mesias yang dijanjikan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa demokrasi yang akan datang menjadi sebuah penantian yang terus menerus. Kita yang menantikannya berada dalam situasi adventus yang terus menerus. Kita menanti dan menanti datangnya mesias yang akan datang itu. Pada titik penantian itu, kita masuk dalam keakanan waktu yang radikal. Keakanan ini selalu berada dalam kondisi keterbukaan, keterbukaan futural, keterbukaan terhadap keakanan waktu yang menjadi metanorma transendental. Inilah janji mesianis, sebuah proyek masa depan yang belum selesai. Janji mesias itu akan terus terbuka untuk masa depan. Demikian pun

pengulangan janji itu terbuka untuk masa depan, dan dengan itu terbuka pula untuk interpretasi. Demokrasi membuka diri pada pengulangan di masa depan. Demokrasi harus selalu dipikirkan dalam arti demokrasi yang akan datang. Keberalihan demokrasi ke masa depan merupakan implikasi dari demokrasi yang akan datang. Dengan itu, demokrasi selalu tidak stabil. Pada akhirnya, demokrasi yang akan datang sebagai politik mesianis akan menjadi struktur demokrasi, seperti kesetaraan, hukum yang universal dan keterbukaan terhadap keberlainan atau keberbedaan. Democracy to Come berarti demokrasi yang harus terus diharapkan tanpa pernah tiba. Ia adalah horison yang terus bergeser tanpa pernah bisa diraih. Ia adalah mesias yang terus dinantikan kedatangannya. Demokrasi Yang Akan Datang, Bukan Demokrasi Masa Depan Demokrasi yang akan datang berbeda dengan demokrasi masa depan. Demokrasi masa depan berpotensi untuk terjadi. Ia akan hadir dalam format tertentu. Ia adalah janji yang pada akhirnya ditepati. Ia adalah proyek masa depan yang belum dan akan selesai pada saatnya. Sebaliknya, demokrasi yang akan datang lebih sebagai janji yang terus mengalami pengulangan dalam janji yang sama. Ia menjadi janji dari janji. Janji yang sulit ditepati. Ia adalah proyek masa depan yang akan belum pernah selesai. Ia akan tetap tinggal sebagai janji dan sebagai proyek. Ia muncul sebagai potensi yang pengaktualisasiannya terus dinantikan.
Demokrasi yang akan datang tidak berarti sebuah demokrasi masa depan yang suatu saat nanti akan hadir. Demokrasi ini tidak akan pernah eksis di saat kini (tidak dapat dipresentasikan). Demokrasi bukan juga merupakan ide regulatif. [15] Maksudnya bahwa demokrasi dipandang sebagai ide regulatif yang tetap berada di dalam tataran yang mungkin, pasti, suatu cita-cita yang mungkin, sebuah cita-cita yang ditangguhkan entah sampai kapan. Kemungkinan itu berjalan dalam perjalanan sejarah dan waktu. Demokrasi senantiasa membentuk dirinya dalam perjalanan itu. Itulah perjalanan panjang dan tak berujung dari demokrasi. Demokrasi yang ada sekarang belum dapat dikatakan sebagai demokrasi. Demokrasi selalu berarti demokrasi yang akan datang yang terus diperjuangkan tanpa mengenal kata akhir. Bahkan, demokrasi yang akan datang itu tidak mungkin terwujud atau mustahil. Demokrasi yang akan datang merupakan sebuah harapan baru atas kehidupan demokrasi saat ini. Demokrasi yang akan datang ditandai dengan beberapa hal yang bersifat melampaui. Dalam demokrasi yang akan datang, keadilan akan melampaui hukum. Demokrasi ini menjunjung tinggi

kesetaraan dan kebebasan warganya. Karena itu, di hadapan hukum setiap warga berhak mendapatkan keadilan yang semestinya. Setiap orang bebas mengungkapkan diri dalam iklim persahabatan. Demokrasi yang akan datang menjamin sebuah persahabatan yang melampaui persaudaraan. Setiap orang memandang sesamanya sebagai pribadi yang harus dihormati. Demokrasi yang akan datang menjamin persahabatan dan persaudaraan universal.

Menunggu Kedatangan Demokrasi: Menunggu Mesias Manusia berusaha maju ke arah mesias yang akan datang. Mesias itu tidak lain adalah demokrasi yang kedatangannya selalu dinanti. Penantian itu mengharuskan kita untuk terus menunggu dan menanti. Menunggu adalah persiapan aktif: antisipasi terhadap latar belakang cakrawala masa depan, dan karena itu merupakan campuran yang tereduksi antara keinginan dan penderitaan, afirmasi dan ketakutan, janji dan ancaman. Menunggu kedatangan mesias bisa menimbulkan ketakutan. Ketakutan ini mengharuskan kita untuk selalu aktif. Derrida mencatat bahwa penantian / penungguan ini hanya tampaknya pasif karena kita tidak bisa menghitung segalanya, memprediksi dan memprogram semua yang akan datang / masa depan secara umum. Keterbatasan itu merupakan bagian dari keadaan ketidaktahuan yang menuntut tanggung jawab.[16] Tanggung jawab itu adalah bagian dari proyek dunia yang akan datang sebagai alternatif bagi dunia yang sedang eksis sekarang. Proyek masa depan ini mesti menginspirasi orang untuk mengubah dunia sekarang, dengan berdasar pada gambaran dunia masa depan yang telah menjadi proyeknya.

Dengan demikian, menunggu kedatangan mesias menuntut keberanian dan tanggung jawab untuk mengambil inspirasi proyek masa depan untuk diaplikasikan dalam dunia masa kini. Proses penungguan itu boleh dikatakan sebagai adventus demokrasi yang mesti juga dibarengi dengan harapan. Adventus demokrasi adalah masa penantian, dan penantian selalu berkenaan dengan harapan. Hanya dalam harapan, penantian menjadi sebuah proses yang pasti. Adventus demokrasi mengajak kita untuk membuka mata bagi harapan yang dikidungkan semua bangsa akan datangnya demokrasi yang dicita-citakan demi kesejahteraan umat manusia. Demokrasi dan Komunitas Teman-Teman Dalam politik yang dibingkai oleh demokrasi, Derrida sebetulnya menghendaki sebuah persahabatan universal. Derrida menjelaskan,
There is no democracy without respect for irreducible singularity or alterity, but there is

no democracy without the community of friends, without calculation of majorities, without identifiable, stabilizable, representable subjects, all equal. [17]

Derrida mengatakan secara gamblang bahwa tidak ada politik (demokrasi) tanpa sebuah komunitas teman, sebuah komunitas persahabatan. Komunitas demikian menjunjung tinggi aspek pluralitas, toleransi terhadap keberbedaan, menjamin kesetaraan tanpa memandang aspek mayoritas-minoritas dan tetap menunjukkan stabilitas politik. Komunitas itu tidak lain adalah warga Negara. Warga Negara mesti dilihat sebagai bagian dari komunitas teman-teman. Persahabatan dalam komunitas teman-teman menjadi sebuah dimensi dari politik, yang bisa disebut Politik Persahabatan. Dalam alur pemikiran demikian, Politik Persahabatan menunjukkan identitas pemaknaannya dalam komunitas teman-teman. Itulah komunitas politik demokratis yang menjadi rumah dan tatanan yang nyaman bagi warga Negara. Dalam komunitas teman-teman, ada tiga poin yang mendapat penekanan penting:[18]Pertama, kesetaraan (sederajat). Kebutuhan akan kesetaraan (equality) menjadi ikatan dasar dalam struktur yang heterogen sebuah negara. Dalam kesetaraan, warga negara (komunitas politik) dipersatukan. Prinsip kesetaraan berlaku dalam kehidupan, baik dalam pergaulan sehari-hari, maupun dalam hukum. Dalam hal ini, Politik Persahabatan memberi perhatian dan penekanan khusus pada kesederajatan. Kesetaraan dalam persaudaraan dapat melampaui dirinya dalam persahabatan. Kedua, persaudaraan. Dalam sebuah komunitas politik, perang selalu menjadi sebuah kemungkinan nyata. Sebuah Negara tidak pernah terhindar dari perang dan pertikaian, seperti pertikaian internal, antarentis, antaragama, dan antaranegara yang menuntut pentingnya persaudaraan. [19] Ketiga, demokrasi. Konsep demokrasi selalu dikaitkan dengan kekuasaan yang terbaik dengan persetujuan dari banyak orang (rakyat). Namun demikian, demokrasi harus terus menerus mendefinisikan dan menerjemahkan dirinya secara baik demi menjamin cita-cita politik. Demokrasi ini dilandasi oleh kebebasan, keterbukaan terhadap kritik demi membentuk sebuah identitas politik yang ideal. Teman-Teman Demokrasi
Derrida menutup seluruh rangkaian pemikirannya dalam buku Politik Persahabatan dengan sebuah kerinduan O my democratic friends(O teman-teman demokrasiku).[20] Demokrasi selalu dirindukan kehadirannya oleh teman-teman demokrasi. Siapakah teman demokrasi itu? Teman-teman itu adalah setiap individu yang selalu menginginkan sebuah tatanan politik yang baik untuk menciptakan sebuah dunia yang lebih baik. Teman

demokrasi itu adalah mereka yang berjuang demi cita-cita demokrasi yang sesungguhnya. Teman demokrasi itu adalah mereka yang senantiasa berjuang untuk memikirkan dan merefleksikan kembali demokrasi yang dihidupi pada konteks saat ini.

Teman demokrasi adalah mereka yang berkorban demi demokrasi yang akan datang. Mereka berjuang untuk mereformulasi demokrasi dalam kemurnian dan keasliannya sesuai dengan tuntuan dunia saat ini. Reformulasi demokrasi dalam bingkai demokrasi yang akan datang menjadi solusi terbaik demi mengatasi masalah yang dihadapi demokrasi dewasa ini. Melalui dekonstruksi, teman demokrasi membongkar kontradiksi yang melekat pada demokrasi itu sendiri. Kontradiksi itu adalah hantu masa lalu, sebuah dimensi tragis dalam kehidupan politik. Kontradiksi itu adalah sebuah kekerasan yang menutup cakrawala masa depan, yang merelatifkan identitas politik yang ideal. Meskipun pada akhirnya kontradiksi itu selalu melekat pada demokrasi, teman demokrasi secara terus menerus mendekonstruksi demokrasi itu sendiri. Tugas teman demokrasi tidak akan pernah selesai dalam mendekonstruksi dan mereformulasi demokrasi. Reformulasi demokrasi adalah bagian dari komitment untuk menegakkan kembali warisan demokrasi. Derrida telah menunjukkan dirinya sebagai teman demokrasi. Ia menegaskan kembali arti dan makna demokrasi yang sesungguhnya dengan tetap memilih demokrasi, sambil berani untuk menginterpretasi secara berbeda sesuai dengan sejarah demokrasi itu sendiri.[21] Dengan cara itu, Derrida menunjukkan dirinya sebagai salah satu dari teman-teman demokrasi. Maka, kerinduan akan temanteman demokrasi ditujukan kepada teman-teman dalam komunitas politik yang adalah warga Negara. Teman-teman demokrasilah yang akan menyelamatkan demokrasi dari musuh-musuh demokrasi.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref1 [1] Derrida, On


Cosmopolitanism and Forgiveness, Op. cit., p. 55.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref2 [2] Lorens Bagus,


Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), p. 68.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref3 [3] Derrida, The


Politics of Friendship, Op. cit., p. 105.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref4 [4] Ibid., p. 104.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref5 [5] Peter Gratton,


Questioning Freedom In The Later Work Of Derrida, Philosophy Today, (Spep Supplement, 2006), 56.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref6 [6] Ibid. file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref7 [7] Derrida, The
Politics of Friendship, Op. cit., p. 159.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref8 [8] Derrida, On the


Name, penterj. D. Wood (Stanford: Stanford University Press, 1995), p. 28.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref9 [9] Derrida, The


Politics of Friendship, Op. cit., p. 7.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref10 [10] Demokrasi


yang akan datang berbeda dengan demokrasi masa depan. Demokrasi masa depan akan terjadi. Namun demokrasi yang akan datang lebih sebagai janji.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref11 [11] Untuk analisis


kuasi-transendental, bisa dilihat dalam Rodlphe Gasche, The Tain of the Mirror, Derrida and the Philosophy of Reflection (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), p. 316.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref12 [12] Derrida prefers


to call it, hauntological or quasi-transcendental level: we are talking about the being-promise of a promise [ltre-promesse dune promesse].) Derrida, Spectre Marx, penterj. P. Kamuf (London: Routledge, 1994) p. 105, 107.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref13 [13] Matthias


Fritsch, Democracy to Come, http://www3.interscience.wiley.com/journal/118926048/abstract (Online), diakses November 2010.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref14 [14] Gagasan


Derrida tentang demokrasi yang akan datang menunjukkan hubungan antara demokrasi dan janji masa depan yang akan datang. Struktur janji dipandang sebagai yang mendasari konsep identitas atau struktur politik.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref15 [15] Borradori, Op.


cit., pp. 176-177.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref16 [16] Bdk.


Andresen, Op. cit., p. 104.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref17 [17] Derrida, The


Politics of Friendship, Op. cit., p. 22.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref18 [18] Ibid., p. 99. file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref19 [19] Dalam
pengertian biasa, orang menamakan diri mereka sebagai saudara sejauh mereka memiliki ikatan ibu yang sama: saudara rahim, pertalian darah. Dalam agama Kristen, pengertian saudara lebih dari sekadar relasi atau ikatan hubungan darah. Saudara dalam agama Kristen (frater) adalah saudara dalam agama,

kakak-adik dalam agama. Dari kedua pengertian tersebut, Derrida membuat metafora untuk diaplikasikan dalam konteks politik. Persaudaraan ditafsir secara baru. Saudara dalam keluarga (hubungan darah, agama) menjadi keluarga dalam satu bangsa dan bahkan dunia universal. Bdk. Ibid., p. 98.

file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref20 [20] Ibid., p. 306. file://localhost/D:/yon%20wiryono/derrida/Skripsi/derridadekonstruksi/New %20Microsoft%20Office%20Word%20Document.docx - _ftnref21 [21] Derrida,
Spectre Marx, Op. cit., p. 16

http://yonwiryono.blogspot.com/2011/09/derrida-dan-democracy-to-come.html

Anda mungkin juga menyukai