Anda di halaman 1dari 3

Dengan Indah Rin duduk di kursinya dengan gelisah.

Ditatapnya lekat lekat cowok berjas yang sedang memainkan piano di atas panggung. Sialan,seru Rin dalam hati. Ia belum juga membuat kesalahan. Rin menyisipkan rambutnya yang panjang ke belakang telinganya. Ia berfokus untuk mendengarkan nada nada yang sedang mengalun. Aah.. kesalahan pertama. Rin tersenyum sambil mengeluarkan jari telunjuknya ke atas pangkuannya. Tak lama kemudian, ia mengeluarkan jari yang kedua. Di akhir lagu, ia telah mengeluarkan enam jari di pangkuannya. Rin membetulkan letak duduknya. Si cowok berjas menggeser duduknya ke pinggir kursi piano lalu berpindah ke kursi roda yang ada di sampingnya. Ia memutar roda kursinya dan bergerak ke depan, menganggukkan kepalanya kepada para penonton. Tepuk tangan bergemuruh. Rin hanya melirik ke arah keenam jarinya. Permainan piano seperti itu saja ditepuki semeriah itu. Piece-nya tidak begitu sulit, salahnya sampai enam. Tunggu hingga giliranku. Mereka akan tahu apa itu permainan piano yang bagus. Peserta nomor tujuh belas. Marina Andini. Rin meraih map hitamnya dan berjalan anggun ke arah panggung. Rin, gimana, yakin menang gak nih? Rika, kakak Rin, bertanya kepada adiknya itu dengan penuh semangat. Menurut kakak, gimana? sahut Rin sambil tersenyum lebar. Tentu saja kamu akan menang! Permainan pianomu tadi keren sekali, sudah hampir setara Maksim, lah! jawab Rika sambil menyebut pemain piano idola Rin. Benar, kak? Wajah Rin semakin berseri-seri. Kakaknya mengangguk. Tapi... cowok berkursi roda tadi juga boleh juga lho mainnya, Rin. Kayaknya menghayati banget. Muka Rin langsung berubah kecut. Kenapa sih, semua bilang begitu? Asal kakak tahu ya, lagu yang ia mainkan itu sudah kukuasai sejak kelas 1 SMP. Salahnya juga banyak, tahu. Sampai enam begitu. Rin aja tadi main cuma kepeleset sekali. Rika merangkul Rin erat. Kakak cuma bilang dia boleh juga kok, tentu aja gak bisa dibandingin dengan adikku yang sangat hebat sekali. Kakak! Rin tersenyum malu malu. Hei, sudah! Lihat itu, MC nya sudah mau mengumumkan pemenang! Rin cepat cepat mengarahkan pandangannya ke depan. MC kontes piano nasional ini adalah seorang aktor tampan yang juga jago main piano. Rin sebenarnya ngefans berat sama aktor satu ini. Sudah terbayang oleh Rin ucapan selamat darinya saat ia menerima trophy nanti. Wah, pasti senangnya berlipat ganda. Nama juara ketiga sudah disebut. Seorang cowok gendut berkacamata maju dengan kikuk ke depan. Setelah menerima trophy, cepat cepat ia turun tanpa berkata sepatah kata pun. Sst.. Rin, sepertinya dia lagi kebelet tuh. Bisik Rika pada adiknya. Rin tertawa cekikikan sampai tidak mendengar pengumuman selanjutnya. Rika menyikut adiknya keras. Rin! Kamu dipanggil. Kamu dapat juara kedua! Rin langsung berhenti tertawa. Ia membetulkan letak gaunnya dan melangkah maju ke arah panggung. Ah, akhirnya! Ia menang! Walaupun bukan juara satu dan tidak jadi dikirim ke kontes piano Internasional di Seoul, tapi toh juara dua tidaklah jelek. Ditambah senyuman manis dan ucapan selamat sang MC tampan, komplitlah sudah sukacita Rin. Ia kembali duduk dengan trophy cantik di pangkuannya. Ia sedang mengagumi trophy tersebut ketika ia mendengar samar nama juara pertama disebutkan. Apakah itu Jenna, saingan beratnya yang tadi memainkan Fantasie Impromptu (itu lho, lagu karya Chopin yang terkenal bagus tapi susah minta ampun) dengan hampir sempurna? Atau Romi, yang tahun lalu memenangkan kontes piano se Jabodetabek? Rin kaget setengah mati waktu cowok berkursi roda tadi maju ke depan. Ini apa apaan? Rin benar tidak bisa terima. Bagaimana bisa ia dikalahkan oleh pendatang baru yang bahkan tidak bisa memainkan lagu mudah dengan sempurna.

Rin melangkah kesal keluar gedung konser. Wajah cantiknya ditekuk sedemikian rupa sehingga menakutkan kakaknya yang berusaha menghiburnya. Tiba tiba ia merasa bahunya ditepuk dari belakang. Ia menoleh dan langsung melotot kaget. Hai, kamu Marina kan? Marina yang juara dua? Kenalkan, namaku Lukas. Cowok berkursi roda itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Rin yang terkejut menyalaminya sambil mengangguk. Wah, tadi kamu main hebat sekali lho! Aku tidak bisa membayangkan ada yang bisa memainkan lagu itu dengan begitu cepat dan sempurna. Aku terpeleset sekali kok. Tetap saja kamu hebat! seru Lukas sambil mengacungkan kedua jempolnya. Rin tersenyum sinis. Maksudmu apa sih? Mau menyombong terhadapku yang juara dua? Benar, permainanku tadi hebat. Jauh lebih baik dari kamu yang juara pertama. Lukas tersenyum lebar. Kamu benar. Tapi aku tetap merasa pantas memenangkan kontes tadi. Rin hanya memandang cowok itu, menantikan penjelasan atas ucapannya tadi. Kamu bermain dengan baik, malah sangat baik. Tapi kontes ini bukan tentang bermain dengan baik, tapi bermain dengan indah. Masa? Jadi menurutmu permainanmu indah? Setidaknya lebih baik dari kamu. Wajah Rin memerah saking kesalnya. Kamu salah enam kali! Apa itu indah? Cowok itu mengangkat bahu, lalu ngeluyur pergi. Rin menarik kursi rodanya dengan kesal. Jawab dulu pertanyaanku! Dengan santai, Lukas mengambil sehelai kertas dari sakunya lalu menulis sebuah alamat. Nih, datang kesini besok jam empat, akan kuberitahu apa itu indah. Rin tertawa sinis. Jadi begini caramu melakukan pendekatan dengan cewek. Lukas ikut tertawa. Hei, jangan merendahkan karena aku berkursi roda, aku pun punya standar untuk cewek yang akan kudekati. Tentu bukan cewek galak dan sombong seperti kamu. Ia meninggalkan Rin sebelum cewek itu bisa membalasnya. Jam empat sore. Rin menatap alamat di tangannya. Rasa penasarannya membawanya untuk mengikuti undangan cowok itu untuk mendatangi tempat ini. Tempatnya begitu sepi, sepertinya bekas gedung konser yang sudah tidak terpakai. Rin jadi agak takut. Maunya apa sih cowok ini? Takutnya dia bermaksud jahat, memanfaatkan rasa penasaran Rin untuk melakukan yang tidak tidak. Rin sudah mau berbalik pulang ketika Lukas memanggilnya. Hei, cewek galak! Sudah sampai kenapa tidak masuk? Rin menatap cowok itu curiga. Ini apa apaan? Kenapa sepi begini? Awas kalau kau mau berbuat macam macam. Dasar otak mesum! Hei! Yang otak mesum siapa? Pikiranku sampai kesitu juga tidak. Lagipula bukankah badanmu sehat dan lengkap, sedangkan aku di kursi roda. Bukankah aku langsung kalah jika kita bertengkar? Sudah, ikuti aku saja. Rin berpikir sebentar, lalu mengikuti cowok itu dari belakang. Lukas membuka pintu depan gedung dengan susah payah. Sepertinya engselnya sudah berkarat sehingga sulit dibuka. Sudah begitu, sepertinya pintu itu sudah sangat tua, sehingga ketika dibuka berbunyi seperti di film horror. Ketika Rin melangkah masuk, ia diserbu oleh sekumpulan anak kecil berbaju kumal. Rin menduga mereka adalah anak jalanan. Lukas tersenyum pada anak anak itu. Nah, adik adik, kenalkan, ini kakak Marina. Kakak ini khusus datang kesini untuk menonton kalian, jadi kalian harus menampilkan yang terbaik, oke? Sudah, kalian siap siap dulu sana! Anak anak kecil itu mengangguk dengan semangat lalu ngeluyur pergi. Marina menatap Lukas dengan penuh pertanyaan. Apa nih? Pokoknya kau harus berjanji untuk tidak mencari cari kesalahan seperti yang kau lakukan kemarin, oke? Karena kalau dicari cari, kau akan menemukan banyak, banyak sekali. Nikmati saja, oke? Tapi...

Aku tahu. Tapi berusahalah. Lukas memutar roda kursinya dengan cepat, menuju sebuah piano tua yang terletak di sisi ruangan. Ia memanggil anak anak berbaju kumal tadi. Setelah mereka berkumpul, tanpa mengatakan apapun ia mulai memainkan intro lagu bintang kecil di piano tua itu. Rin menarik napas panjang. Baiklah. Ia menutup mata dan berusaha untuk menikmati. Ia ingin tahu, apa yang ingin ditunjukkan Lukas padanya. Ketika anak anak itu mulai menyanyi, Rin menyadari bahwa suara mereka fals dan tempo mereka tidak sesuai. Namun ketika Rin berusaha untuk tidak memperdulikan hal itu dan tetap berusaha menikmati, ia mendengar hal lain dari nyanyian mereka. Suara mereka, walau sumbang, begitu nyaring dan riang. Mereka begitu bersemangat dan semangat itu menular pada diri Rin. Permainan piano Lukas pun terdengar indah sekarang. Padahal permainannya jauh dari sempurna. Piano tua itu tidak mendukung permainan yang bagus, mengingat banyak tuts yang sudah tidak berfungsi. Banyak not yang hilang, jadi lagunya seperti terpotong potong. Tapi Lukas bermain dengan sepenuh hati, jarinya seperti menari mengikuti irama lagu itu, dan hal itu yang membuatnya indah. Sungguh, Rin mengerti sekarang. Ketika lagu selesai dimainkan, Rin menepuk bahu Lukas. Kau pantas menang. Lukas tersenyum. Aku tahu. Aku... begitu memperhatikan teknik, begitu memperhatikan tempo, begitu memperhatikan kesempurnaan sehingga aku lupa bahwa musik adalah perasaan, bukan sekadar bunyi. Rin menyerocos, kesal pada dirinya sendiri. Ah, sudahlah, jangan banyak berfilosofi. Adik adikku menanti komentarmu, tahu. Rin menoleh dan pandangannnya bertemu dengan pandangan penuh harap anak anak jalanan itu. Kalian keren sekali!! Kakak tidak pernah mendengar nyanyian seindah tadi, dan sepertinya kakak tidak akan pernah mendengar nyanyian seperti tadi untuk waktu yang lama. Kalian mau kan bernyanyi sekali lagi untuk kakak? Anak anak kecil itu tersenyum bangga, lalu meminta persetujuan Lukas untuk menyanyi kembali. Dan intro bintang kecil pun kembali mengalun.

Anda mungkin juga menyukai