Anda di halaman 1dari 6

KRISIS LEBANON SALAH SATU PROBLEMA UMAT ISLAM SEDUNIA

Oleh dediristanto Leave a Komentar Kategori: History Oleh : Abdurrahman Al-Baghdadi Krisis Lebanon telah memasuki tahun ke-14 sejak berkecamuknya perang sipil tahun 1975. Pemerintah Lebanon,didukung oleh Liga Arab bersama Eropa dan Amerika telah gagal total dalam mencarikan jalan keluar untuk krisis ini. Apa yang menyebabkan timbulnya krisis ini? Dan mengapa hingga detik ini tidak berhasil juga mengatasinya ? Sebelum kita menyoroti krisis ini, khususnya apa yang menyebabkan perang sipil di sana, kiranya perlu dijelakan terlebih dahulu terbentuknya Negara Lebanon. SEJARAH MUNCULNYA NEGARA LEBANON Dalam sejarah tidak pernah ada suatu negara pun yang bernama Lebanon. Hanyasanya nama Lebanon digunakan untuk deretan pegunungan di negeri Syam, mulai sebelah Timur Laut hingga Barat Daya negeri itu sepanjang 170 km. Daerah itu dihuni oleh beberapa golongan yang mayoritas beragama Kristen, seperti golongan Maradah dan Jarajimah yang menempatinya sejak abad ketujuh Masehi. Terdapat juga golongan Kristen Maronit yang pindah ke gunung Lebanon di masa Khalifah Marwan bin Al-Hakam (745 746 M). Sedangkan golongan Druze, yang bertempat di bagian tengah dan selatan, telah menghuni daerah itu sejak akhir abad ke-12 Masehi. Di masa Khulafaaul Umawiyyin, golongan Kristen Jarajimah pernah memberontak pada Khilafah Islam akibat fitnah yang dihembuskan oleh pemerintah Bizantium. Kemudian khalifah Walid bin Abdul Malik (86 96 H) mengutus pasukan pemerintah dibawah panglima Maslamah bin Abdul Malik untuk menumpasnya dan berhasil menggagalkan usaha para pemberontak itu. Akan tetapi mereka mencoba memberontak kembali pada kurun Abasiyyah, tepatnya pada tahun 1424 M. Saat itu Wali wilayah Syam memerintahkan panglimanya untuk membunuh pemberontak itu dan membebaskan sebagian yang lain serta menyuruhnya kembali ke kampung halamannya di kawasan semenanjung Lebanon. Sebagian mereka ada yang akan diasingkan ke daerah pegunungan agar tidak dapat berhubungan lagi dengan kapal-kapal Bizantium. Namun keputusan pengasingan tersebut ditolak oleh Imam Auzaai karena sebagian mereka adalah penduduk sipil ahlu dzimmah yang tak berdosa sehingga masih punya hak untuk tinggal di daerah itu (Lihat Kitab Futuhul Buldan, oleh Al-Baladziri, hal. 163-167). Orang-orang Kristen Lebanon telah membantu tentara Salib sewaktu mereka menyerang wilayah Syam. Untuk ketiga kalinya usaha mereka berhasil dipatahkan, dan setelah itu tidak terjadi lagi pemberontakan hingga masa Khilafah Utsmaniyah. Pada waktu itu penduduk kota Kisirwan memberi peringatan kepada pemerintah bahwa mereka akan memberontak kalau tidak diberikan hak otonomi untuk mengatur daerahnya, dengan dukungan Perancis. Akhirnya, akibat tekanan-tekanan berat dari negara-negara Eropa (khususnya Perancis), pemerintah Khilafah terpaksa membagi deretan pegunungan tersebut menjadi dua daerah administratif dengan wewenang penuh, satu untuk Kristen Maronit dan satu untuk golongan

Druze.Langkah inilah yang mengawali terbentuknya pemerintahan Kristen Lebanon, khususnya setelah terjadinya pertempuran antara Druze dan Maronit pada tahun 1843, 1844 dan 1860 yang sebelumnya memang telah direncanakan oleh Inggris dan Perancis dengan tujuan untuk memisahkan daerah Lebanon dari Khilafah Islam. Setelah beberapa pertempuran itu, pasukan Perancis menyerbu sebagian wilayah Syam, yang sekarang menjadi negara Siria (Suriah) yang dibentuk oleh Inggris pada abad ke-19 M. Sejak saat itu negara-negara besar (Eropa) telah memperkuat kekuasannya di wilayah tersebut. Mereka membuka sekolah-sekolah asing, mendatangkan misionaris dan mendirikan organisasi-organisasi rahasia untuk melemahkan khilafah Islam dan menguatkan kekuasaan kaum Nasrani di kawasan Lebanon. Mereka telah menjadikan Lebanon sebagai basis politik dan ideologi Barat di wilayah Islam, dan sebagai jembatan bagi mereka untuk melebarkan kekuasaannya ke daerah-daerah lain. Setelah Perang Dunia I, Perancis telah menguasai daerah Siria dan Lebanon berdasarkan perjanjian Sikes-Piko antara Inggris dan Perancis. Pada waktu itu panglima Perancis, Jendral Gorouw, di tahun 1920 telah mengumumkan bergabungnya beberapa daerah Siria ke daratan Lebanon, yaitu Tripoli, Bekka, Akkar, Seddun dan Shuur (Tier). Seluruh daerah tersebut berpenduduk muslim, tetapi digabungkan dengan pemerintahan Kristen untuk mendirikan negara Lebanon Besar. Jadi, negara Lebanon sebenarnya adalah sebagian dari wilayah Syams yang menjadi jajahan Perancis, dan dimerdekakan pada tahun 1943. Atas dasar perjanjian antara sebagian pemimpin Siria, seperti Syukri Al-Quwathli, dan sebagian pemimpin Lebanon, seperti Abdul Hamid Karamah, pada waktu itu disepakati untuk menjadikan Lebanon sebagai negara koalisi yang dikuasai oleh kaum Muslimin dan Kristen, disertai syarat bahwa orang-orang Kristen tidak boleh minta bantuan militer dari Barat dan kaum Muslimin tidak minta bantuan kaum muslimin lain dari luar, khususnya dari Suriah. Walaupun banyak negara yang mengakui kemerdekaan Lebanon sebagai salah satu negara anggota Liga Arab, Suriah tetap tidak mengakui kemerdekaannya hingga tahun 1975 dan menolak adanya hubungan diplomatik, meskipun diminta oleh negara Kristen Lebanon. Suriah menolak eksistensi Lebanon karena tetap mengklaim Lebanon sebagai bagian dari wilayahnya. Oleh karenanya Suriah menjadikan urusan Lebanon sebagai wewenang Menteri Dalam Negeri, bukan Menteri Luar Negeri. Demikianlah latar belakang munculnya negara Lebanon, sekaligus menunjukkan bahwa Lebanon adalah sebagian dari Siria, dan akan tetap menjadi salah satu bagian dari wilayah kaum muslimin Syam hingga Hari Kiamat. PENYEBAB KRISIS LEBANON Penyebab Krisis Lebanon tak lain adalah MUNCULNYA negara Lebanon itu sendiri, dan berkuasanya golongan Kristen Maronit di puncak pemerintahan. Para pengamat politik beranggapan bahwa munculnya krisis Lebanon itu pada tahun 1975. Sebenarnya krisis ini telah terjadi 135 tahun sebelumnya, sejak peperangan yang sengaja dimunculkan antara Druze dan Maronit tahun 1840 yang kemudian berkembang pada tahun 1860 dan 1920 ketika munculnya negara Lebanon Besar yang tujuannya adalah memecah belah kesatuan wilayah Islam. Situasi negara tersebut bertambah parah pada tahun 1932 ketika terjadi Sensus Penduduk yang dipalsukan, dengan menjadikan kaum Kristen sebagai mayoritas. Kemudian makin memuncak dengan munculnya revolusi tahun 1958 dan pertempuran antara pemerintah Lebanon dan Organisasi-organisasi Pembebasan Palestina, diantaranya yang paling menonjol

adalah peristiwa pertumpahan darah tahun 1969, 1973, dan perang terakhir tahun 1975 yang terjadi setelah partai kristen Palangist dengan ganas dan sadis menyembelih orang-orang Palestina pada tanggal 12 April 1975. Peristiwa penyembelihan itu terjadi karena kaum Palangist menganggap PLO dan organisasi-organisasi palestina lainnya hendak memberi bantuan militer kepada kaum muslimin Lebanon, yang dapat membahayakan posisi pemerintah Kristen yang selalu berusaha menjinakkan kaum muslimin, baik secara fisik maupun diplomasi, agar tunduk dan taat kepada mereka. Merekalah yang merencanakan pembantaian Shabra dan Chatilla yang terjadi tahun 1983 dengan dukungan Israel. Tujuannya tak lain adalah untuk mempertahankan pemerintah Kristen dan menggagalkan usaha kaum muslimin untuk mengambil alih kekuasaan, serta menghancurkan kekuatan Palestina agar tak mampu lagi memerangi Israel dan mengakui eksistensinya, seperti yang telah direncanakan oleh Amerika dalam menyelesaikan krisis Palestina. Rencana tersebut saat ini telah berhasil dengan diterimanya resolusi PBB No. 224 dan 358 oleh PLO. Jelaslah, penyebab krisis Lebanon ini adalah kebencian kaum kristen terhadap kaum muslimin di sana, dan adanya keinginan untuk menghentikan perjuangan pembebasan palestina. Orang-orang Kristenlah yang menyulut api peperangan pada tahun 1975 itu sehingga kaum muslimin Lebanon dan Palestina tidak bisa menahan diri lagi menerima penghinaan dan penganiayaan itu. Mereka bergerak dan mengangkat senjata untuk melawan musuh. Di pihak lain seluruh sekte dan golongan kristen, termasuk partai-partai dan milisi mereka, didukung oleh para pendeta, politikus dan gereja-gereja Kristen, bersatu menghadapi revolusi umat Islam ini agar kekuasaan Maronit tetap bertahan. Kaum Kristen menyadari bahwa mereka adalah minoritas, dan sangat takut jika kaum muslimin berhasil mengambil alih kekuasaan. Mereka mencoba mengatasi persoalan ini dengan melakukan PENIPUAN POLITIK terhadap kaum muslimin, bahwa mereka ingin mendirikan pemerintahan Kristen secara terpisah. Mereka pun minta bantuan kepada orang-orang Kristen Eropa dan Amerika agar bersiaga penuh untuk menghadapi kaum muslimin. Mereka mendatangkan ribuan orang kristen Barat, golongan Kristen Koptis Mesir dan tentara-tentara bayaran. Negara-negara Eropa, Amerika dan Rusia telah mengirimkan senjata dan memasok pemerintah Lebanon dengan berbagai bantuan berupa uang, makanan, obat-obatan dan lain-lain. Jelaslah bahwa penyebab krisis ini adalah munculnya negara Lebanon itu sendiri, bukan karena masalah keadilan sosial, taraf ekonomi, atau karena pengungsi Palestina. Bukan pula masalah konstitusi atau sistem politik negara Lebanon yang membagi-bagi wewenang atas dasar sekte dan golongan. Itu semua hanyalah akibat saja, bagaikan asap yang muncul dari api kebencian orang-orang Kristen terhadap Islam. Permasalahannya adalah munculnya negara Kristen yang dikuasai penuh oleh Kristen Maronit, padahal Lebanon adalah wilayah Islam dan mayoritas penduduknya adalah muslim. Kepala negara diharuskan dari Maronit. Begitu pula pejabat-pejabat teras lainnya, seperti Penasehat Presiden, badan pertahanan & keamanan, panglima perang beserta seluruh perwira militernya; juga kedudukan kementrian utama seperti pendidikan, keuangan, menlu, mendagri, jaksa agung, kepolisian, tenaga kerja, pariwisata, dan lain-lain. Demikian pula posisi-posisi penting dalam perekonomian seperti bank, hotel, pabrik industri, perwakilan dagang, dsb. harus di tangan Maronit. Ini menyebabkan munculnya revolusi kaum muslimin Lebanon, yang terdiri dari penduduk sipil, kelompok-kelompok pejuang Palestina dan organisasi Islam, seperti Al-Murabithun, Hizbullah, At-Tauhid, Jamaat Islamiyah, dll.

Jadi, krisis Libanon tidak ada kaitannya dengan sebab-sebab yang diberitakan oleh pers internasional yang menganggapnya sebagai perang antar milisi kiri dan kanan, komunis dan liberalis. Itu semua adalah pihak-pihak yang menunggangi sebagian kaum muslimin agar sesuai dengan arah yang mereka rencanakan, yaitu mempertahankan negara Lebanon sebagai negara kristen. KELOMPOK-KELOMPOK YANG TERLIBAT DAN STRATEGI MEREKA Ada 17 golongan, baik Islam maupun non-Islam di Lebanon. Di antaranya golongan Ahlus Sunnah (690.000), Syiah Jafariyah salah satu madzhab yang diakui oleh Islam (970.000), dan Druze (348.000) yang bermadzhab Ismailiyah dan telah keluar dari Islam karena percaya bahwa Al-Hakim Billah Al-Ubaidy yang menguasai Mesir antara tahun 386 411 H adalah Tuhan. Kaum Druze ini juga percaya paham Reinkarnasi, suatu keyakinan bahwa ruh manusia akan menjelma kembali ke tubuh binatang. Hari Akhir menurut mereka bukanlah Hari Kiamat karena ruh manusia kekal sehingga tidak percaya pula dengan Hari Kebangkitan. Mereka tidak percaya kepada Nabi-nabi dan menganggapnya sebagai orangorang bodoh. Syariat Islam dan pokok-pokok keimanan ditolaknya dan tidak menganggap Yahudi sebagai musuh. Bahkan mereka banyak duduk di Knesset (parlemen) Israel dan ikut ibadah di gereja. Selain itu terdapat golongan Kristen Maronit yang merupakan golongan kristen terbesar (469.000), Ortodoks (230.000), Katholik (213.000), dan Armenian (360.000). Disamping itu ada golongan Nushairiyah (60.000) yang mempercayai Ali bin Abi Thalibsebagai tuhan dan merupakan golongan syiah yang paling sesat dan telah keluar dari Islam. Aqidah Nushairiyah campur baur dengan aqidah Majusi, Sabaith, Nasrani, dll. Merekapun mempunyai syariat tersendiri yang berlainan sama sekali dengan syariat Islam. Semua golongan Kristen, Druze dan Nushairiyah mengakui eksistensi Lebanon dan kekuasaan orang Maronit. Ada juga golongan-golongan Islam yang mengakuinya, seperti Partai Walid Jumblat (Taqaddumil Isytirakiy), Partai Al-Qaumissuri, Partai Baats, dan seluruh Partai Komunis. Diantara partai kristen yang paling benci kepada Islam adalah partai Palangist, Milisi Hurrasul Arzah, Liwaaul Maradah, Milisi Saad Haddad di Lebanon Selatan. Strategi mereka adalah mengusir kaum muslimin Palestina serta tentara Siria dari Lebanon. Di pihak lain, ada partai-partai Islam yang mempunyai strategi berbeda-beda dalam menyelesaikan krisis ini. Diantaranya Partai Najadah yang beranggapan bahwa Lebanon adalah salah satu negara Arab dan pemerintahnya tidak boleh berdasarkan fanatisme golongan; kepala negara boleh diangkat baik dari umat Islam maupun Kristen. Gerakan Jamaat Islamiyah mengakui eksistensi Lebanon tetapi beranggapan bahwa kaum muslimin mempunyai hak yang sama dengan kristen untuk menduduki jabatan tinggi, dan berhak libur tiap Hari Jumat dengan tetap menuntut diadakannya Sensus untuk membuktikan bahwa umat Islam adalah mayoritas; disamping mereka berpendapat bahwa kaum muslimin harus memiliki negara Islam. Adapun partai Hizbut Tahrir yang bergerak di beberapa daerah Timur Tengah, termasuk Lebanon, untuk mengembalikan Khilafah Islam secara Internasional, berpendapat bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan krisis Lebanon ini kecuali dengan menggabungkan Lebanon dengan Syiria (Suriah) dan menjadikan Syiria sebagai Khilafah Islam. Dengan kata

lain, Lebanon yang dulunya adalah wilayah Islam sebelah Barat Daya Syiria harus digabungkan kembali kewilayah asal, yaitu Syam, dan memberi jaminan hidup kepada kaum Kristen dengan adil dan aman sesuai dengan apa yang digariskan Syariat Islam. Partai Politik Islam ini merupakan satu-satunya partai Islam yang bergerak di bidang dakwah dengan tidak menggunakan kekuatan bersenjata. Ada pula gerakan Islam lain misalnya Hizbullah yang pro Iran dan ingin mendirikan negara Islam yang mirip dengan Iran. Mereka berbeda dengan Amal Syiah yang diperalat oleh Amerika melalui Syiria untuk memukul kekuatan Palestina dan menjinakkan kelompokkelompok Palangist, gerakan Islam Murabithin, dan Tauhid untuk kepentingan Syiria dan Amerika. Tidak ketinggalan Amerikapun bergerak secara internasional untuk memecahkan krisis ini sesuai kepentingannya di Timur Tengah. Sikap Amerika adalah akan menyelesaikan krisis ini setelah berhasil menyelesaikan krisis Palestina. Strategi Amerika adalah sebagai berikut: 1. Memperbaiki konstitusi Lebanon secara bertahap yang menjamin hak kaum Muslimin di pemerintahan. 2. Membagi jabatan-jabatan tinggi negara (Parlemen, Kementrian,Departemendepartemen) kepada kaum kristen dan Islam dengan proporsi yang sama 3. Membentuk kembali pasukan negara tanpa mengutamakan salah satu golongan 4. Menghapus dominasi golongan tertentu di bidang Ekonomi. 5. Membentuk negara kesatuan Lebanon yang merdeka tanpa campur tangan negara lain. 6. Menempatkan orang-orang Palestina Lebanon ke negara Palestina yang direncanakan oleh Amerika. Strategi Amerika ini telah didukung oleh seluruh negara Barat dan kebanyakan negara Arab. Namun Strategi diatas tidaklah mudah dilaksanakan karena menemui banyak hambatan. Kristen Maronit menolak untuk membagi kekuasaan mereka sehingga memerlukan banyak tekanan dari Amerika melalui berbagai cara agar dapat menjinakkan pemerintah dan milisimilisi kristen disana. PENUTUP Kaum Muslimin seluruh dunia hendaknya sadar bahwa berlarut-larutnya krisis ini suatu saat dapat menimbulkan Perang Salib kembali. Sebab telah nyata bahwa Barat tetap bertekad untuk mempertahankan eksistensi Lebanon, sedangkan berdasarkan fakta sejarah dan aqidah Islam Lebanon adalah hak kaum muslimin yang harus disatukan dengan wilayah Islam, serta tidak boleh mengakui pemerintahan Kristen sebagaimana dilarang pula pemerintahan Yahudi Israel. Untuk mengatasinya kaum muslimin harus mendukung hak umat Islam di sana dan kembali menerapkan sistem Khilafah Islam. Sistem inilah satu-satunya sistem yang terbukti berhasil menciptakan keadilan dfan kesejahteraan seluruh umat manusia. Adapun sistem komunis dan

kapitalis Barat telah gagal mengatasi berbagai krisis di dunia. Bahkan merekalah yang menyebabkan terjadinya seluruh krisis politik dan militer di dunia.

Anda mungkin juga menyukai