Anda di halaman 1dari 24

TUGAS FARMASI

DEMAM BERDARAH DENGUE

Oleh: Brigitta Devi Anindita Hapsari G0007048

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2012

DEMAM BERDARAH DENGUE

A. DEFINISI Dengue Haemorragik Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari disertai dua atau lebih gejala klinis berupa nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia / artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (tes tourniket positif dan petechiae) dan leukopenia1. Dan disertai manifestasi perdarahan yang lebih nyata (tes tourniket positif, petechiae, echimosis atau purpura, perdarahan mukosa), trombositopenia ( 100.000/L) dan kebocoran plasma akibat meningkatnya permeabilitas kapiler yang ditandai oleh peningkatan hematokrit 20%. 2,3,4

B. ETIOLOGI Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue termasuk grup B Arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. 2,3

Gambar 1. Virus Dengue

Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini tapi merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk aedes tersebut dapat menularkan virus dengue ke manusia baik secara langsung yaitu setelah menggigit orang yang sedang mengalami viremia maupun secara tidak langsung yaitu setelah melalui masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8-10 hari (extrinsic incubation period). Pada manusia diperlukan waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus masuk ke dalam tubuh. Pada nyamuk, sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak didalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan menularkan virus selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia, penularan hanya dapat terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yang timbul pada saat menjelang gejala klinik tampak hingga 5 - 7 hari setelahnya. 2,3,5

Gambar 2. Aedes aegypti

C. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS Ada dua patofisiologi utama pada DBD, yaitu : pertama, meningkatnya permeabilitas kapiler yang menghasilkan kebocoran plasma dan ini menyebabkan hipovolemia, hemokonsentrasi serta renjatan; kedua, adanya hemostasis yang abnormal, koagulopati. 1. Sistem vaskuler Patofisiologi primer DBD adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi. Tidak terjadinya lesi destruktif nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada DBD melibatkan perubahan pembuluh darah, trombositopeni dan

melibatkan 3 faktor : perubahan vaskuler, trombositopeni dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, dan banyak diantaranya penderita menunjukkan koagulogram yang abnormal. 6 Hemostasis yang abnormal menyebabkan bermacam-macam manifestasi perdarahan. Mediator-mediator apa yang meningkatkan permeabilitas kapiler dan bagaimana mekanisme phenomena perdarahan, belum dapat diidentifikasi. Penyebab perdarahan pada DBD sangat komplek dan mungkin melibatkan satu atau lebih dari trombositopeni, kerusakan pembuluh darah kecil, gangguan fungsi trombosit dan diseminated intravasculan coagulation (DIC). Kerusakan trombosit dapat secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, pasien dengan trombosit lebih dari 100.000/ mm3 mungkin didapat waktu perdarahan yang memanjang. DIC terjadi pada renjatan berkepanjangan dan berat serta menyebabkan perdarahan hebat dan irreversibel syok dengan prognosis buruk. 7

Manusia dapat terinfeksi 4 serotipe dengue selama hidup. Hampir semua pasien DBD pernah terinfeksi dengan salah satu dari 4 serotipe virus dengue sebelumnya, yang dikenal dengan hipotesa antibodi heterotipik. 7 Adanya ikatan antigen-antibodi (komplek antibodi-virus) ini dalam sirkulasi darah akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut : a. Agregasi trombosit melepaskan ADP dan mengalami metamorfosis yang kemudian kehilangan fungsi sehingga dimusnahkan sistem retikulo endotel dengan akibat trombositopeni hebat dan perdarahan. Disamping itu trombosit yang mengalami metamorfosis melepaskan faktor trombosis ke-3 yang mengakibatkan sistem pembekuan. b. Aktifasi faktor Hageman (faktor XII) akan mengakibatkan sistem pembekuan dengan akibat terjadinya pembekuan intravaskuler yang sangat luas. Dalam proses ini plasminogen menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan

anafilatoksin dan penghancuranfibrin menjadi fibrin degradation product. Disamping itu aktifasi faktor XII menggiatkan sistem kinin yang berperan meningkatkan permeabilitas kapiler, menurunnya faktor pembekuan yang disebabkan aktifasi sistem pembekuan dan kerusakan hati akan menambah beratnya perdarahan. 2

Secondary Heterologous Dengue Infection


Replikasi virus + Respon antibodi sebelumnya

Komplek virus-antibodi

Agregasi trombosit Pelepasan faktor III trombosit Pemakaian koagulopati Faktor pembekuan

Aktifasi koagulasi
Plasmin

Aktifasi komplemen

Pelepasan trombosit oleh RES Trombositopeni

Aktifasi faktor Hageman Anafilatoksin Sistem kinin

Kinin FDP

Kegagalan fungsi trombosit

Permeabilitas pembuluh darah

Perdarahan hebat

Renjatan

Gambar 3. Patofisiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)

Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas terjadi pada pasien DBD disebabkan oleh kerja bersama seperti suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin, dan kematian sel apoptotik. Bila terjadi hipovolemi akibat kebocoran plasma maka tubuh akan melakukan kompensasi melalui mekanisme neurohumoral yang akan meningkatkan kemampuan kardiovaskuler sehingga tekanan darah bisa dipertahankan. Akibat kompensasi ini maka terjadi takikardia, vasokonstriksi, penyempitan tekanan nadi, akral dingin dan penurunan produksi urin. 6,8

D. MANIFESTASI KLINIK Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh penderita. Terdapat berbagai keadaan mulai dari tanpa gejala (asimtomatik) demam ringan yang tidak spesifik

(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue dan Dengue Syok Syndrome. 2 Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7 hari, yang diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam , tetapi mempunyai risiko terjadi renjatan bila mendapat pengobatan yang tidak adekuat. Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3 sampai hari sakit ke-7. Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang setelah demam turun. Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan tekanan darah, akral ekstremitas dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini menunjukkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara. 2,9 Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi buruk setelah beberapa hari demam. Pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara hari sakit ke 3 -7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi. Sesaat sebelum syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut. Syok ditandai dengan kulit pucat, dingin dan

lembab terutama pada ujung kaki dan tangan, gelisah lambat laun kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor dan koma; denyut nadi cepat dan lemah; tekanan nadi menurun ( 20 mmHg); hipotensi (tekanan sistolik 80 mmHg); oligouri sampai anuria. Pasien dapat dengan cepat masuk ke dalam fase kritis yaitu syok berat (profound shock), pada saat itu tekanan darah dan nadi tidak terukur lagi.
2,8,9

Mengingat derajat beratnya penyakit yang bervariasi dan sangat erat kaitannya dengan pengelolaan dan prognosis maka WHO (1997) membagi DBD dalam derajat setelah kriteria laboratoris terpenuhi yaitu : 2 Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.

Derajat II :

Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.

Derajat III :

Terdapat kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.

Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tak teraba dan tekanan darah yang tak terukur, kesadaran amat menurun.

E. DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis DBD didasarkan pada kriteria menurut WHO (1997), yaitu : 4 1. Kriteria Klinis a. Panas tinggi mendadak, terus menerus selama 2 7 hari tanpa sebab yang jelas (tipe demam bifasik) b. Manifestasi perdarahan 1) Uji Tourniquet positif 2) Petechie, echimosis, purpura 3) Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi 4) Hematemesis dan atau melena c. Hepatomegali d. Kegagalan sirkulasi (syok) yang ditandai dengan : 1) Nadi cepat dan lemah 2) Tekanan nadi menurun ( 20 mmHg) 3) Hipotensi (tekanan sistolik 80 mmHg) 4) Akral dingin 5) Kulit lembab 6) Pasien tampak gelisah

2. Kriteria Laboratoris a. Trombositopenia (AT <100.000/ul) b. Hemokonsentrasi ditandai dengan nilai hematokrit lebih dari atau sama dengan 20% dibandingkan dengan masa konvalesen yang dibandingkan dengan nilai Hct sesuai umur, jenis kelamin dari populasi. Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi (atau peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemi dan atau terjadi perdarahan. Pada kasus syok, adanya peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia mendukung diagnosis DBD. 2 Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/l biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. 2 Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. 2 Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu

menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb. 2 Pemeriksaan Serologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis infeksi virus dengue. Pemeriksaan serologi terdapat 4 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue yaitu : 2 1. Uji hemaglutinasi inhibisi (HI test) 2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation Test = CF test) 3. Uji neutralisasi (Neutralization test = NT test) 4. Uji Eliza Pemeriksaan serologi yang banyak dipakai yaitu uji Hemaglutinasi Inhibisi dan uji Eliza. 3 1. Hemaglutinasi Inhibisi Sampai sekarang ini uji HI masih menjadi patokan baku WHO untuk konfirmasi dan klasifikasi jenis infeksi virus dengue. Prinsip metode ini adalah mengukur kadar Ig M dan Ig G melalui prinsip adanya kemampuan antibodi antidengue menghambat reaksi hemaglutinasi darah angsa. 3 2. Eliza Uji Eliza mempunyai sensitivitas yang sama dengan uji H.I. Prinsip metode ini adalah mendeteksi adanya antibodi Ig M dan Ig G dalam serum penderita dengan cara menangkap antibodi yang beredar dalam darah penderita. Uji Eliza ini tidak mengadakan reaksi silang dengan golongan flaviirus yang lain, sehingga metode ini lebih spesifik dibandingkan metode H.I. 3

F. DIAGNOSIS BANDING 1. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus atau protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis dan malaria. 2. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) 3. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus; leukemia atau anemia aplastik.4

G. PENATALAKSANAAN Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas manifestasi klinis adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. 4 Pengobatan pada DBD dapat meliputi pengobatan oral maupun intravena. Bila pasien mengalami demam maka dapat diberikan antipiretik seperti paracetamol. Selain itu pasien juga diberikan cairan secara intravena. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok. Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti plasma, tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat. 4,9 Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.

10

Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. 4,8,9 Penggantian Volume Plasma Segera Pada pasien DBD tanpa syok dapat diberikan terapi cairan intravena larutan ringer laktat dengan rumus

1500 + (20 x (BB dalam kg-20))

Contoh volume rumatan untuk BB 70 kg, 1500 + (20 x (70-20)) = 2500 ml per hari.14 Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, trombosit tiap 24 jam, bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah cairan tetap seperti rumus yang di atas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombosit dilakukan tiap 12 jam. Bila Hb, Ht meningkat > 2% dan trombosit < 100.000 maka dilakukan pemberian cairan sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila menunjukkan perbaikan maka diturunkan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila keadaan memburuk maka pemberian cairan ditingkatkan menjadi 10 ml/kgBB/jam.4 Pada pasien DBD yang disertai syok diberikan pengobatan awal pemberian oksigen 2-4 L / menit dan cairan intravena larutan ringer laktat 1020 ml/kgBB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid 10-20 ml/kgBB selama 20-30 menit. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit. 4 Pemeriksaan hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik

11

dan kadar hematokrit turun. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi. 4,8,9

H. KOMPLIKASI Komplikasi yang harus diwaspadai, antara lain : 4 b. Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok. Evaluasi gejala sisa sistem saraf pusat sangat penting, mengingat organ ini sangat sensitif terhadap hipoksia yang dapat terjadi pada renjatan berkepanjangan c. Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut d. Edema paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan. e. Depresi miokard-gagal jantung f. Gangguan koagulasi/pembekuan (DIC)

12

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA Nama Tanggal Lahir/ Umur Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Alamat : Tn. J : 11 Januari 1975 / 37 tahun : Laki-laki : Islam : Swasta : Sumberejo Krebet Masaran, Sragen

II. ANAMNESIS A. Keluhan Utama Panas B. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis) Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit penderita merasakan badannya panas. Panas dirasakan sumer-sumer. Panas dirasakan sejak malam hari ( jam 20.00 WIB), dan hingga esok harinya panas tidak turun. Kemudian oleh istri penderita diberi obat penurun panas. Panas mulai berkurang, tapi penderita kemudian merasa mual, dan penderita tidak mau makan. Pada hari - hari berikutnya penderita kembali panas, panas turun ketika diberi obat penurun panas. Selain itu penderita juga mengalami gusi berdarah sedikit ketika menggosok gigi. Penderita tidak mengalami mencret, mimisan, batuk, pilek, sakit tenggorokan. Satu hari sebelum masuk rumah sakit penderita panas disertai menggigil, kemudian diberi obat penurun panas sehingga panas turun tapi penderita masih merasa mual. Sejak siang hari penderita tidak mau makan, dan minum hanya sedikit ( 3 gelas belimbing). Kemudian penderita dibawa ke RSDM, masuk rumah sakit sekitar jam 20.00 WIB dan penderita disarankan untuk mondok. Panas (+), mual (+), muntah (-), mencret (-), gusi berdarah (+) sedikit, mimisan (-), BAK

13

terakhir 4 jam sebelum masuk rumah sakit (1/2 gelas aqua) dan penderita tidak mau makan sejak pagi hari.

C. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat sakit serupa Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat sakit serupa Riwayat alergi obat dan makanan Riwayat sakit demam berdarah : disangkal : disangkal : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK A. Keadaan Umum Berat badan Tinggi badan B. Tanda vital Tekanan Darah Nadi Laju Pernapasan Suhu C. Kulit : 110/80 mmHg : 84 x/menit, regular, simetris : 24 x/menit, tipe torakoabdominal : 38,1 0C : warna sawo matang, lembab, ujud kelainan kulit (-), uji torniquet (+) D. Kepala E. Mata : bentuk mesocephal, rambut hitam sukar dicabut : conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), air mata (+/+), Refleks cahaya (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3 mm), bulat, di tengah, mata cekung (-/-) F. Hidung G. Mulut : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-) : bibir pucat (-), sianosis (-), mukosa basah (+), gusi berdarah (+) H. Telinga : sekret (-), mastoid pain (-), tragus pain (-) 14 : compos mentis, gizi kesan baik : 70 kg : 175 cm

I. Tenggorok J. Leher

: uvula di tengah, mukosa faring hiperemis (-), tonsil T1 T1 : kelenjar getah bening tidak membesar

K. Thorax Bentuk Cor Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis tidak tampak : ictus cordis tidak kuat angkat : batas jantung kesan tidak melebar kanan atas kiri atas kanan bawah kiri bawah Auskultasi : SIC II linea parasternalis dextra : SIC II linea parasternalis sinistra : SIC IV linea parasternalis dextra :SIC V linea medioclavicularis sinistra : normochest

: bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo Inspeksi Palpasi Perkusi : pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-) : fremitus raba dada kanan = kiri : sonor di seluruh lapang paru batas paru hepar : SIC VI dextra

batas paru lambung :spatium intercosta VII Sinistra pekak relatif pekak absolut Auskultasi : batas paru hepar : hepar

: suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan RBK (-/-), RBH (-/-), wheezing (-/-)

L. Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi : dinding perut sejajar dinding dada : peristaltik (+) normal : timpani : supel, nyeri tekan (+), hepar teraba 3 cm BACD, lien tidak teraba, turgor kulit baik

15

M. Ekstremitas Akral dingin - - -

: Oedema -

Sianosis ujung jari -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Darah Hb AE Hct AL AT Golongan darah SGOT SGPT : 17,1 g/dL : 5,80 x 10 uL : 50,6 % : 14,3 x 103 uL : 30 x 103 uL :B : 40 x 103 uL : 52 x 10 uL
3 6

(11,7-16,2) (4,1-5,1) (33-45) (4,4-14,5) (150-450)

(0-35) (0-45)

V. DIAGNOSA BANDING Demam Typhoid ITP ( Idiopatic Trombositopenia Purpura)

VI. DIAGNOSIS KERJA - Demam Berdarah Dengue

16

VII. PENATALAKSANAAN IVFD RL 2500 ml per hari (100 ml/jam) Paracetamol 500 mg (diberikan jika panas) Mondok bangsal

VIII. PLANNING Diagnosis : Pemeriksaan Hb, HCT, dan AT tiap 24 jam

Monitoring : Keadaan umum dan tanda vital tiap 6 jam Balans cairan dan diuresis tiap 6 jam

Edukasi : Motivasi banyak minum

Tujuan Penggunaan Obat 1. Penggantian cairan 2. Antipiretik : IVFD RL 100 ml / jam : paracetamol diberikan jika panas

Resep : R/ Ringer Laktat inf. flab cum infus set IV catheter no. 22 No. V No. I No. I

imm

R/ Paracetamol tab mg 500

No IV

prn (1-4) dd tab I agrediente febre

Pro : Tn J ( 37 th )

17

PEMBAHASAN OBAT

A. Ringer laktat Injeksi Ringer laktat adalah larutan steril dari Kalsium klorida, Kalium klorida, Natrium klorida dan Natrium laktat dalam Air untuk injeksi. Injeksi Ringer laktat tidak boleh mengandung bahan antimikroba. 10 Ringer laktat termasuk cairan kristaloid yaitu larutan dengan air (aqueous) yang terdiri dari molekul-molekul kecil yang dapat menembus membran kapiler dengan mudah. Biasanya volume pemberian lebih besar, onset lebih cepat, durasinya singkat, efek samping lebih sedikit dan harga lebih murah. Yang termasuk cairan kristaloid antara lain salin (salin 0,9%, ringer laktat, ringer asetat), glukosa (D5%, D10%, D20%), serta sodium bikarbonat. Masing-masing jenis memiliki kegunaan tersendiri, dimana salin biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh sehari-hari dan saat kegawat daruratan, sedangkan glukosa biasa digunakan pada penanganan kasus hipoglikemia, serta sodium bikarbonat yang merupakan terapi pilihan pada kasus asidosis metabolik dan alkalinisasi urin.10,11 Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus membran kapiler dari kompartemen intravaskuler ke kompartemen interstisial, kemudian didistribusikan ke semua kompartemen ekstra vaskuler. Hanya 25% dari jumlah pemberian awal yang tetap berada intravaskuler, sehingga penggunaannya membutuhkan volume 3-4 kali dari volume plasma yang hilang. Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah cairan kedalam pembuluh darah dengan segera dan efektif untuk pasien yang membutuhkan cairan segera.10,11 Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari intravaskuler, terutama pada kasus dimana terjadi peningkatan resistensi kapiler seperti pada sepsis. Pada kondisi tersebut, penting untuk dipikirkan penggantian cairan yang memiliki molekul lebih besar, yaitu jenis koloid.11 Keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung

18

cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan.11,12 Indikasi pemberian ringer laktat adalah untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik. Ringer laktat menjadi kurang disukai karena memiliki efek samping hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.12 Kontraindikasi pemberian ringer laktat yitu hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.12

B. Paracetamol Kandungan dalam paracetamol yaitu acetaminophen. Paracetamol umumnya digunakan sebagai analgetik dan antipiretik. Sebagai analgesik, paracetamol bekerja denga meningkatkan ambang rasa sakit, sebagai antipiretik, paracetamol bekerja langsung pada pusat pengatur panas yaitu hipothalamus. 13 Paracetamol diabsorbsi melalui saluran gastrointestinal. Paracetamol didistribusikan ke hampir seluruh jaringan tubuh. Waktu paruh eliminasi bervariasi antara 1- 3 jam. Sebagian besar dimetabolisme di hati dan diekskresi melalui urin, terutama dalam bentuk glucoronide dan konjugasi sulfat, kurang dari 5 % dikeluarkan dalam bentuk tetap paracetamol. 13 Mekanisme kerja paracetamol yaitu dapat menurunkan panas dengan bekerja pada hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasidan pengeluaran keringat. Pada dosis terapeutik, inhibisi sekresi prostaglandin tidak signifikan pada jaringan perifer sehingga paracetamol memiliki efek inflamasi yang rendah. Dosis paracetamol untuk orang dewasa yaitu 500 mg 1 g boleh diulang setiap 6 jam per hari atau diberikan 4 dosis per hari. Sedangkan pada

19

anak 10-15 mg/kgBB per tiap kali pemberian dan dapat diberikan samapi 4 kali sehari. 13 Efek samping dapat terjadi mual, muntah, nyeri perut. Pemberian dalam jangka panjang dapat menyebabkan neutropenia, leukopenia, trombositopenia, dan reaksi hipersensitivitas yang berupa urtikaria, hipotensi.14 Kontraindikasi paracetamol yaitu pemberian pada pasien dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal, dan penderita dengan reaksi hipersensitivitas pada paracetamol. 14

20

PENUTUP

A. Kesimpulan Dengue Haemorragik Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari disertai dua atau lebih gejala klinis berupa nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia / artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (tes tourniket positif dan petechiae) dan leukopenia. Ada dua patofisiologi utama pada DBD, yaitu : pertama, meningkatnya permeabilitas kapiler yang menghasilkan kebocoran plasma dan ini menyebabkan hipovolemia, hemokonsentrasi serta renjatan; kedua, adanya hemostasis yang abnormal, koagulopati. Pengobatan pada DBD dapat meliputi pengobatan oral maupun intravena. Bila pasien mengalami demam maka dapat diberikan antipiretik seperti paracetamol. Selain itu pasien juga diberikan cairan secara intravena. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok. Pada kasus ini pasien diberikan pengobatan secara oral dengan menggunakan paracetamol sediaan tablet 500 mg, dan cairan ringer laktat yang diberikan secara intravena. melibatkan perubahan pembuluh darah, trombositopeni dan

B. Saran Selain pemberian penatalaksanaan secara kuratif, pada kasus demam berdarah dengue juga perlu dilakukan preventif untuk mencegah berkembangnya penyakit demam berdarah dengue. Penatalaksanaan secara preventif dapat meliputi menutup tempat penampungan air, dan membersihkan barang bekas yang dapat menampung air.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, 1997. Dengue Haemorrhagic Fever, 2nd edition. WHO. Geneva 2. Sri Rejeki HH, 2002. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD. Balai Penerbit FK UI. Jakarta 3. Staf Medis Fungsional Ilmu Penyakit Dalam RSDM, 2004. Standar Pelayanan Medis Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam. RSUD Dr, Moewardi. Surakarta 4. Hendarwanto, 2007. Demam Berdarah Dengue dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, ed. 3., editor : Aru W Sudoyo. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 5. Saford, Jay, P, 1999. Infeksi Arbovirus dalam : Harrison Prinsip-prinsup Ilmu Penyakit Dalam, vol. 2 ed.13., editor : Kurt J Isselbacher, Eugene Braunwaald, Jean Wilson, Joseeph B Martin, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper. EGC. Jakarta 6. Soegijanto S, 2006. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue. http://www. pediatrik.com 7. Price D, 2006. Dengue Fever. www.emedicine.com/emerg/byname/denguefever.htm 8. Wills B, 2006. Volume Replacement in Dengue Shock Syndrome. http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue 9. Ashadi T, 2006. Terapi Cairan Intravena pada Syok Hipovolemik. http://www.pdpi.com 10. Bongard F.S., Sue D.Y., Vintch J.R., 2008. Current Diagnosis and Treatment Critical Care Third Edition. McGraw Hill.

22

11. Brenner M., Safani M., 2005. Critical Care and Cardiac Medicine. Current Clinical Strategies Publishing. 12. Sue, D.Y., 2005. Current Essentials of Critical Care. McGraw Hill. 13. Sweetman S. 2002. Martindale. The Complete Drug Reference 33rd Edition. London Chicago : Pharmaceutical Press. 14. Mashford M. 2007. Therapeutic Guidelies :Analgetik. Australia : Terapeutic Guidelines Limited.

23

Anda mungkin juga menyukai