Anda di halaman 1dari 19

Tugas Ujian

LEPRA

Oleh : Andhika Arie P Wisnu Bimo S Dwi Suseno

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF FK UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2009

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 1

LEPRA PENDAHULUAN Lepra merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Lepra berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Lepra merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita lepra tidak hanya menderita akibat penyakitnya saja tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, penulis akan membahas penyakit lepra lebih mendalam dalam makalah ini. 1 Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intrasellular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1 Penderita lepra tersebar di seluruh dunia. Jumlah yangtercatat 888.340 orang pada tahun 1997. Sebenarnya kapan penyakit lepra ini mulai bertumbuh tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi ada yang berpendapat penyakit ini berasal dari Asia Tengah kemudian menyebar ke Mesir, Eropa, Afrika dan Amerika. Di Indonesia tercatat 33.739 orang penderita lepra. Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak penderitanya setelah India dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk.2 DEFINISI Lepra adalah penyakit menular kronik yang berkembang lambat, disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan ditandai dengan pembentukan lesi granulomatosa atau neurotropik pada kulit, selaput lendir, saraf, tulang, dan organ-organ dalam. Manifestasinya berupa gejala-gejala klinis dengan spektrum luas, yang terdiri dari dua tipe utama, dengan jenis lepromatous pada ujung spektrum dan tuberkuloid di ujung yang lain: diantara dua tipe ini terdapat tipe borderline, dengan dua sub tipe, borderline tuberkuloid dan borderlinelepromatous. Disebut juga Hansens disease. 3 Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intrasellular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas

pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1 Armaur Hansen,orang Norwegia menemukan basil penyebab lepra, Mycobacterium leprae pada tahun 1873. 4

The spectrum of leprosy : tuberculoid to lepromatous. 5

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 3

Tuberculoid vs Lepromatous leprosy. 5 PATOGENESIS Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan

mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma. Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast. Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1. APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum sum tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 TLR 1 heterodimer dan
Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 5

diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy. GEJALA KLINIS Manisfestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja7. Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta dengan atau tanpa pemerikasaan bakteriologis dan memerlukan suatu pengobatan8. Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada7: 1. multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae 2. respons imun penderita terhadap kuman M. leprae 3. komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf, dan membran mukosa9. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy).Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan; bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid.Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang tidak berasa (anestetik).Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris, dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat. Secara umum, lepra mempengaruhi kulit, saraf perifer, dan mata. Kemungkinan juga mempengaruhi gejala sistemik. Gejala-gejala spesifik berubah-ubah menyesuaikan beratnya penyakit. Gejala-gejala prodromal pada umumnya begitu diabaikan sehingga penyakit ini tidak diketahui sampai timbulnya erupsi kutaneus. Bagaimanapun juga, 90% dari pasien

sudah memiliki riwayat kebas, beberapa tahun sebelum lesi pada kulit muncul. Sensasi yang pertama hilang adalah sensasi suhu. Pasien tidak dapat merasakan perbedaan besar antara suhu panas dengan suhu dingin. Sensasi berikutnya yang menghilang adalah sentuhan ringan, kemudian nyeri, dan pada akhirnya tekanan yang dalam. Kehilangan-kehilangan ini terutama didapatkan pada tangan dan kaki, oleh karena itu, keluhan utamanya dapat berupa terbakar atau borok pada ekstremitas yang mati rasa. Bagian tubuh lain yang mungkin terpengaruh adalah area dingin, dimana dapat termasuk saraf perifer superficial, ruang mata anterior, testis, dagu, malar eminen, cuping telinga, dan lutut. Dari stage ini, sebagian besar lesi berubah menjadi tipe-tipe tuberkuloid, borderline, atau lepromatosa. Penilaian untuk tanda-tanda phisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus, neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit. Makula hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin menjadi hipoesthetik. Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline. Berkenaan dengan neuropathi, menilai untuk area yang hypoesthesia ( sentuhan ringan, pinprick, suhu dan anhidrosis), terutama cabang saraf perifer dan saraf kutaneus. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf tibia posterior. Saraf lainnya yang pada umumnya mengalami kerusakan adalah ulna, median, poplitea lateral, dan saraf facial. Disamping kehilangan sensoris, pasien dapat juga mengalami kelemahan dan kehilangan gerak10. Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra 1. neuropathy sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi neuropathy motorik murni dapat juga muncul. 2. mononeuropathy dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan peroneal yang lebih sering terlibat 3. neuropathy perifer simetris dapat juga timbul Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk berikut: 1. anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit
Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 7

yang

menutupi

cabang

saraf

perifer

mempunyai

resiko

tinggi

untuk

berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris. 2. deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (ct. claw hand atau drop foot menyusul kelemahan otot) 3. gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek atau diregangkan 4. lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropic sebagai konsekuensi dari hilangnya sensoris Gejala yang terlihat pada suatu reaksi 1. reaksi reversal onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya lesi-lesi kulit yang baru 2. reaksi ENL nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata merah 3. nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang menghasilkan claw hand atau drop foot11. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan menyebabkan kebutaan. Kerusakan pada mata lebih sering terlihat dengan adanya lesi fasial. Lagophthalmos (ketidakmampuan menutup mata), ditemukan terakhir pada orang dengan LL, hasil keterlibatan dari zigomatik dan cabang-cabang temporal dari saraf fasial (nervus cranialis VII). Keterlibatan dari cabang ophthalmic dari saraf trigeminal (nervus kranialis V) dapat menyebabkan reflek kornea berkurang, mata kering, dan kurang berkedip10. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium 1. Hitung sel darah lengkap 2. Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests 3. HIV status, terutama nonresponder 4. Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB 5. Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP 2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP 3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP 4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP 5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP 6+ Bila > 1000 BTA rata rata dalam 1 LP Imaging Studies Foto thorak Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang Foto polos bisa berguna untuk mendeteksi dan memonitor perubahan tulang yang disebabkan lepra Resorpsi, fragmentasi, dan fraktur maligna merupakan tanda-tanda umum perubahan tulang yang disebabkan oleh lepra. Foto Radiography dapat mengungkapkan tanda-tanda dari periostitis dan osteomielitis, biasanya pada regio ephipisis dan metaphisis pada tulang-tulang kecil di tangan dan kaki, terutama tulang jari11. MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan Magnetic resonance (MR) neurography pada kondisi khusus Ultrasonography dan Doppler ultrasonography

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 9

Gelombang

High-frequency

linear

ultrasound

dapat

digunakan

untuk

menentukan adanya penebalan saraf dan adanya kompresi osseofibrous. Doppler mempelajari tentang peningkatan aliran darah endoneural dalam saraf pada reaksi reversal akut, sebagaimana telah terlihat sesudah pengobatan dengan steroid. Tes Yang Lain a. Tes Imunologi Lepromin test Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis11. Reaksi Mitsuda bernilai : 0 1 Papul berdiameter 3 mm atau kurang + 1 Papul berdiameter 4 6 mm

2 + 2 Papul berdiameter 7 10 mm 3 + 3 Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi Respon imun seluler melawann M leprae juga dapat dipelajari dengan lymphocyte transformation test dan lymphocyte migration inhibition test (LMIT). Tes berdasar pada deteksi antibody M lepra atau antigen. Tes serologi Pemeriksaan serologi, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh

seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick. Pemeriksaan serologi utama terdiri dari fluorescent antibody absorption

test

(FLA-ABS),

radioimmunoassay

(RIA),

ELISA,

passive

hemagglutination assay (PHA), serum antibody competition test (SACT), dan particle agglutination assay (PAA). Tes serologi yang penting adalah FLA-ABS test dan PGL-1 ELISA, dimana sudah disederhanakan lebih lanjut sebagai dot ELISA dan dipstick ELISA. Estimasi dari komponen spesifik M leprae pada jaringan Antigen spesifik M leprae, nucleic acids, dan lipid spesifik M leprae diperiksa menggunakan thin-layer chromatography, high-pressure liquid chromatography, gas-liquid chromatography, dan mass spectrometry. Lipid seperti mycolic acid dan phenolic glycolipid merupakan karakteristik dari mycobacteria, termasuk M leprae. Test untuk mendeteksi epitope pada antigen M leprae dilakukan dengan memakai antibody monoclonal atau ELISA sudah di temukan, tapi frekuensi munculnya reaksi positif palsu, terutama pada negara tropis, menurunkan nilai prediksi positif dari aktivitas penyakit ini. b. DNA Recombinant dan polymerase chain reaction (PCR) Gene probes sudah dikembangkan untuk menunjukkan M leprae specific sequences pada berbagai macam spesimen: kerokan kulit dan atau mukosa hidung, biopsi, bagian dari jaringan, dan darah. c. Penyelidikan tentang abnormalitas konduksi saraf termasuk sebagai berikut: konduksi yang melambat secara segmental terlihat pada tempat-tempat terperangkap (ct segmen siku dari saraf ulnaris), latensi distal memanjang, berkurangnya (sensorik atau motorik) velositas konduksi saraf berkurangnya amplitude dari evoked motor responses (ct, compound muscle action potentials [CMAPs]) atau hilangnya amplitodo rendah dari potensial sensoris. Pola dari abnormalitas dapat mengarah pada mononeuropathy, mononeuropathy multiplex, atau entrapment neuropathy. Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris, peroneal, median, dan saraf-saraf tibial12.

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 11

DIAGNOSIS-KRITERIA Diagnosa dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis dan symptom. Hal ini mudah diamati dan diperoleh oleh petugas kesehatan sesudah latihan dalam periode yang singkat. Dalam prakteknya, seringnya orang yang memiliki beberapa keluhan datang sendiri ke pusat kesehatan. Hanya pada beberapa contoh kasus yang jarang memerlukan laboratorium dan pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk menyatakan diagnose lepra. Dalam daerah atau negara endemis, seorang individu harus dicurigai mengidap lepra jika dia menunjukkan satu dari tanda-tanda kardinal berikut: lesi kulit pada tipe karakteristik lepra dengan penurunan atau kehilangan sensasi (anestesi), penebalan saraf perifer ditemukan M. Lepra biasanya pada kulit. Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau multiple yang biasanya dengan pigmentasi lebih sedikit dibandingkan kulit normal yang mengelilingi. Kadang lesi tampak kemerahan atau berwarna tembaga. Beberapa variasi lesi kulit mungkin terlihat, tapi umumnya berupa makula (datar), papula (menonjol), atau nodul. Kehilangan sensasi merupakan tipikal dari lepra. Lesi pada kulit mungkin menunjukkan kehilangan sensasi pada pinprick atau sentuhan halus. Saraf yang menebal, terutama cabang saraf perifer merupakan ciri-ciri lepra. Saraf yang menebal biasanya disertai oleh tanda-tanda lain sebagai hasil dari kerusakan saraf. Ini dapat mengakibatkan berkurangnya sensasi pada kulit dan kelemahan otot-otot yang dipersarafi oleh saraf yang terserang. Pada ketidakhadiran tanda-tanda tadi, hanya penebalan saraf, tanpa berkurangnya sensori dan atau kelemahan otot menjadi tanda yang kurang reliable bagi lepra. Smear pada kulit dengan hasil positif: pada proporsi kecil dari kasus-kasus, bentuk batang, basil lepra tercat merah, dimana merupakan diagnostic dari penyakit, dapat terlihat pada sediaan yang diambil dari kulit yang terinfeksi saat diperiksa dibawah mikroskop sesudah mengalami pengecatan yang tepat. Seseorang yang menunjukkan kelainan kulit atau dengan symptom yang mengarah kepada kerusakan saraf, dimana pada dirinya tanda kardinal tidak didapatkan atau diragukan sebaiknya disebut suspek kasus dalam ketidak hadiran dari diagnosis alternative lain yang dengan segera dapat diterima. Individu dengan hal

tersebut sebaiknya diberitahu tentang fakta-fakta dasar dari lepra dan disarankan untuk kembali ke pusat kesehatan jika gejala tetap ada selama lebih dari enam bulan atau jika ditemukan gejala makin memburuk. Suspek kasus dapat dikirim ke klinik rujukan dengan fasilitas yang lebih baik untuk diagnose13. Ada 3 tanda kardinal, yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta yakni7: 1.Lesi kulit yang anestesi, 2.Penebalan saraf perifer, dan 3.Ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif. Lepra dapat diklasifikasikan berdasarkan pada manifestasi klinis dan hasil kerok kulit (skin smear). Dalam klasifikasi yang berdasar pada kerokan kulit, pasien yang menunjukkan kerokan negative pada segala tempat dikelompokkan sebagai paucibasiler lepra (PB), sedang pasien yang menunjukkan hasil positif dikelompokkan dalam multibasiler lepra (MB). Meskipun demikian, pada prakteknya, sebagian besar program-program menggunakan kriteria klinik untuk mengklasifikasikan dan memutuskan bentuk pengobatan yang tepat bagi pasien secara individual, terutama sekali dalam pandangan terhadap pelayanan skin smear yang tidak availabel atau dependable. Klasifikasi berdasarkan pada system klinis yang bertujuan pada pengobatan terdiri dari penggunaan jumlah dari lesi pada kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk mengkelompokkan pasien lepra kedalam multibasiler lepra(MB) dan pausibasiler lepra(PB)14. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 tipe yaitu Tipe tuberculoid- tuberculoid (TT), Tipe borderline tuberculoid (BT), Tipe borderlineborderline (BB), Tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe lepromatous- lepromatous (LL) berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,histopatologis, dan imunologis15. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan 16. Untuk program pengobatan, WHO membaginya atas kelompok Pausibasiler (PB) dan kelompok multibasiler (MB)17. Saat mengkelompokkan lepra, sangat penting untuk menjamin bahwa pasien dengan multibasiler tidak diobati menggunakan sediaan yang
Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 13

diperuntukkan bagi bentukan pausibasiler14. Pada tuberkuloid leprosy, tipe lesinya adalah adanya makula yang hipopigmentasi, anestesi, dengan pinggir yang agak tinggi dan bervariasi ukurannya dari mm sampai lesi besar yang menutupi seluruh tubuh. Warna lesinya adalah eritema atau ungu pada pinggirnya dan hipopigmentasi di tengah. Distribusi lesinya adalah dimana saja termasuk wajah. Keterlibatan saraf yaitu dapat terjadinya penebalan saraf pada pinggir lesi dan sering terjadi pembesaran saraf perifer pada nervus Ulnaris. Pada lepromatous Leprosy, tipe lesinya adalah makula kecil yang eritematous atau hipopigmentasi yang akan menjadi papul, plak, nodul, dan penebalan kulit yang difus. Selain itu, kita juga bisa menjumpai hilangnya rambut pada alis dan bulu mata (madarosis). Facies lionina (Lions face) karena penebalan, nodul, dan plak yang mengubah wajah yang normal. Warna lesinya adalah warna kulit, eritema, dan hipopigmentasi. Distribusinya adalah bilateral simetris termasuk cuping telinga, wajah , lengan, dan pantat atau nyang paling jarang di badan dan ekstremitas bawah. Pada membran mukosa tepatnya di lidah dijumpai plak, nodul, atau fisura. Pada borderline, lesinya terdapat diantara tuberkuloid dan lepromatous dengan makula, papul, dan plak. Ditemukan adanya anestesi dan penurunan keringat pada lesi. PENATALAKSANAAN1 Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adalah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo. Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase. Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman, warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik. Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk penderita kusta dgn anemia berat. Vitamin A, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan bersisik (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I. Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi: 1. Pausi Basiler (PB) 2. Multi Basiler (MB) Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment.Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak < 5 tahun dan Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5). Rifampisin 600 mg 300 mg Ofloxacin 400 mg 200 mg MInocyclin 100 mg 50 mg

Dewasa 50-70 kg Anak 5-14 tahun

PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (69) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat.

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 15

Dewasa

Rifampisin 600 mg/bulan Diminum di depan petugas kesehatan 450 mg/bulan Diminum di depan petugas kesehatan

Dapson 100 mg/hari di rumah

Anak 10-14 tahun

50 mg/hari di rumah

MB dengan lesi > 5. Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 1218 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun. Rifampisin 600 mg/bulan Diminum di depan petugas kesehatan Dapson 100 mg/hari di rumah Lamprene 300 mg/bulan Diminum di depan petugas kesehatan Dilanjutkan dg 50 mg/hari di rumah 150 mg/bulan Diminum di depan petugas kesehatan Dilanjutkan dg 50 mg/hari di rumah Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan. Prinsip pengobatan reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3x1 selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan

Dewasa

Anak 10-14 tahun

450 mg/bulan Diminum di depan petugas kesehatan

50 mg/hari di rumah

sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison. 18 Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal. 18 KOMPLIKASI Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan pada organ tangan. Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Hilangnya hidung dapat terjadi pada kasus LL.19 PROGNOSIS Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan mejadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik. 20

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 17

DAFTAR PUSTAKA 1. Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 ;73- 88. 2. Amiruddin, M Dali. Marwali Harahap. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit Hipokrates. 2000 ; 260-271 3. Dorland, W.A.Newman. Kamus Kedokteran Dorland edisi kedua puluh sembilan. Jakarta: EGC. 2002 ; 1195 4. Brown, R G, Burns, Tony. Lecture Notes: Dermatology. Jakarta : Erlangga. 2005. 5. Hunter, John dkk. Clinical Dermatology Third Edition. Blackwell Publising Company. 2002 ; 197 -200
6. Murray, Rose Ann dkk. Mycobacterium leprae inhibits Denditric Cell Activation

and Maturation. Available at : www.jimmunol.org 7. World Health Organization. WHO Expert Committee on Leprosy Six Report. World Health Organization, Geneva. 1988 8. Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to Immunity. Int J Lepr. 1966; 34 : 255-273 9. Naafs B, Silva E, Vilani-Moreno F, Marcos E, Nogueira M, Opromolla D. "Factors influencing the development of leprosy: an overview". Int J Lepr Other Mycobact Dis. 2001; 69 (1): 26-33
10. Lewis Felisa S, Conologue T, Harrop E. Leprosy: mycobacterial infection. 2008.

Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview
11. Sridharan R, Lorenzo NZ. Neuropathy of leprosy. 2007. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/1171421-overview
12. Sridharan R, Lorenzo NZ. Leprosy: Neurological infection. 2007. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/1165419-overview

13. World Health Organization. Leprosy elimination. World Health Organization,

2009. Available at : http://www.who.int/lep/diagnosis/en/index.html


14. World Health Organization. Leprosy elimination. World Health Organization,

2009. Available at : http://www.who.int/lep/classification/en/index.html 15. McDougall AC. Leprosy : Clinical Aspects. Dalam : Harahap M. (ed), New Clinical Applications Dermatology, Mycobacterial academic Publisher, Dordrecht. 1989 : 119-136 16. Faber, WR. Immunology of Leprosy . Kumpulan makalah ilmiah KONAS VII PERDOSKI, Suplemen, Bukittinggi, 1992 17. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical Leprosy. In : Hastings RC. (ed), Leprosy.2end ed. Churchill livingstone , Edinburgh. 1994 : 237-287 18. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aeusculapius FKUI. 2000; 74-75 19. Fitzpatrick, Thomas B dkk. Leprosy in Color Atlas and Synopsys of Clinical Dermatology. Singapore: McGraw Hill. 2008 ; 1794 20. Siregar, RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta; EGC. 2005 ;155 Skin Diseases. Kluwer

Andhika arie-wisnu bimo-dwi susenoPage 19

Anda mungkin juga menyukai