Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

Latar Belakang Sejalan dengan meningkatnya laju pembangunan di segala sektor, baik ekonomi, sosial, budaya, dan politik, telah memicu pertumbuhan kawasan industri di kota-kota besar bahkan sampai ke pinggiran kota. Konsekuensi dari hal tersebut adalah meningkatnya pula limbah-limbah industri atau sampah yang dibuang ke lingkungan. Sampah merupakan limbah yang bersifat padat terdiri dari bahan organik maupun anorganik dari sisa atau residu yang timbul akibat aktivitas manusia yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan (BSNI,2002). Kualitas lingkungan yang semakin memburuk akibat pencemaran pada udara, air, dan tanah merupakan ancaman besar bagi kelangsungan kehidupan makhluk hidup di bumi, tidak terkecuali manusia. Sebagian besar lahan pertanian kini juga termasuk dalam kategori tanah tercemar disebabkan oleh limbah industri ataupun aktivitas budidaya yang menggunakan bahan-bahan agrokimia seprti pupuk dan pestisida yang kurang terkendali. Beberapa jenis polutan yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan, selain gas beracun, adalah logam kimia berbahaya jenis logam berat, seperti tembaga (Cu), kobait (Co), timbal (Pb), kadmium (Cd), kromium (Cr), mangan (Mn), raksa (Hg), nikel (Ni), senyawa pestisida dan beberapa jenis senyawa organik. Jika melewati ambang batas, keberadaan jenis-jenis polutan tersebut diketahui bersifat racun dan teratogenik, juga bersifat karsinogenik, yaitu dapat menimbulkan terjadinya penyakit kanker. Untuk membersihkan tanah dari logam, diperlukan suatu metode yang efektif. Banyak metode konvensional yang dapat digunakan misalnya metodemetode pembilasan, dilusi dan stabilisasi kimia . Namun metode-metode tersebut tidak efisien karena akan menimbulkan masalah pencemaran baru diwaktu yang akan datang. Contohnya, metode pembilasan/pencucian tanah menyebabkan kation / anion yang tercuci hanya akan pindah ke lapisan tanah yang lebih dalam hingga mencapai air tanah. Metode alternatif yang dapat digunakan dan telah terbukti efektif adalah dengan menggunakan tanaman yang memiliki kemampuan sangat tinggi untuk mengangkut polutan logam dari tanah (fitoremediasi /

fitoekstraksi). Fitoremediasi adalah sebuah teknologi relatif baru yang menggunakan tanaman spesifik untuk mendegradasi, mengekstrak atau

mengmobilisasi kontaminan dari tanah dan air. Teknologi ini telah menarik perhatian akhir-akhir ini sebagai sebuah metode alternatif yang inovatif dengan biaya efektif bagi pengembangan metode penanganan limbah berbahaya (Widianarko, B., 2004). Sejauh ini Thlaspi caerulescens merupakan tanaman yang terkenal sebagai tanaman yang mempunyai kemampuan untuk mengkonsentrasikan logam di dalam biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi, atau yang sering disebut dengan tanaman hiperakumulator (Hidayati,N, 2003). Akan tetapi tanaman yang berasal dari famili Brassicaceae ini kurang populer di Indonesia. Tanaman lain yang berpotensi sebagai tanaman hiperakumulator adalah Sawi India atau Sawi hijau (Brassica juncea) yang juga termasuk dalam famili Brassicaceae. Tanaman sawi ini mudah diperoleh dan murah harganya sehingga aplikasinya di lapangan lebih berpeluang untuk dilakukan.

Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan Sawi India (Brassica juncea) sebagai tanaman tumpangsari untuk memperbaiki kualitas tanah sawah yang tercemar logam berat.

Manfaat Penulisan Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang terkait, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis yaitu sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis dari karya tulis ini adalah sebagai bahan referensi dan rujukan bagi mahasiswa dan masyarakat terkait tentang alternatif solusi menyikapi pencemaran tanah. 2. Manfaat praktis dari karya tulis ini adalah : a. Bagi petani, memberikan solusi alternatif masalah pencemaran logam berat pada lahan pertanian.

b. Bagi Pemerintah, meningkatkan perekonomian Indonesia yang merupakan negara agraris dan sebagian penduduknya adalah petani.

METODE PENULISAN Penulisan karya ilmiah ini berdasarkan pada studi pustaka atas sumbersumber yang relevan dan kajian pemikiran penulis sendiri, dengan melaksanakan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Menemukan dan Merumuskan Masalah Dari hasil pengamatan yang penulis lakukan dan dibaurkan dengan teoriteori dari berbagai kajian para akademisi dan praktisi, penulis berupaya untuk merumuskan masalah-masalah yang penulis temukan dalam fakta di lapangan dengan teratur dan sistematis. 2. Memilih dan Mengkaji Berbagai Literatur Yang Terkait Dengan Penulisan Karya Tulis Dari masalah-masalah yang telah penulis rumuskan sebelumnya, penulis berupaya untuk mendapatkan data-data dan solusi dari berbagai literatur yang terkait sebagai bahan rujukan atas solusi yang penulis tawarkan. 3. Mengadakan Suatu Kajian Kepustakaan Terhadap Hasil Pemikiran Para Ilmuwan Berbagai literatur yang telah Penulis pilih pada tahap kedua dikaji secara lebih mendalam untuk mendapatkan pencerahan atas solusi yang nantinya akan penulis berikan, sehingga diharapkan pemecahan masalah tersebut berdasarkan atas analisa yang komprehensif dan obyektif. 4. Merumuskan Alternatif Pemecahan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya dan kajian dari literatur yang relevan, langkah berikutnya adalah perumusan alternatif pemecahan masalah. Langkah ini berupa pembauran solusi yang telah ditawarkan dalam pemecahan masalah oleh beberapa praktisi dan ilmuwan dengan pemikiran kritis penulis dengan susunan yang cukup teratur dan sistematis.

5. Menyusun Karya Tulis Ilmiah Penulisan karya tulis ilmiah ini berdasarkan pada empat langkah sebelumnya dengan pedoman literatur yang relevan dan terkait terhadap pemecahan permasalahan yang penulis ungkapkan dalam karya tulis ilmiah ini.

GAGASAN Sawi India (Brassica juncea) sebagai Tumbuhan Hiperakumulator Sawi India atau mustar India (Brassica juncea) banyak dibudidayakan di India dan wilayah Asia lainnya. Sawi ini merupakan tanaman sayuran yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Jenis sawi ini relatif lebih tahan kekeringan daripada jenis-jenis Brassica lainnya. Brassica juncea adalah hasil persilangan alami dua spesies antara Brassica rapa dan Brassica nigra. Kalsifikasi Brassica juncea adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Brassicales : Brassicaceae : Brassica : Brassica juncea (L.) Czern Sawi merupakan tanaman semusim yang berdaun lonjong, halus, tidak berbulu, dan tidak berkrop. Tanaman sawi dapat tumbuh baik di tempat yang berhawa panas maupun berhawa dingin, sehingga dapat diusahakan dari dataran rendah maupun dataran tinggi. Meskipun demikian pada kenyataannya hasil yang diperoleh lebih baik di dataran tinggi. Daerah penanaman yang cocok adalah mulai dari ketinggian 5 meter sampai dengan 1.200 meter di atas permukaan laut. Namun biasanya dibudidayakan pada daerah yang mempunyai ketinggian 100 meter sampai 500 meter dpl. Tanaman sawi tahan terhadap air hujan, sehingga dapat di tanam sepanjang tahun. Pada musim kemarau yang perlu diperhatikan adalah penyiraman secara teratur. Berhubung dalam pertumbuhannya tanaman ini

membutuhkan hawa yang sejuk. lebih cepat tumbuh apabila ditanam dalam suasana lembab. Akan tetapi tanaman ini juga tidak senang pada air yang menggenang. Dengan demikian, tanaman ini cocok bila di tanam pada akhir musim penghujan. Keadaan tanah yang dikehendaki adalah tanah gembur, banyak mengandung humus, dan drainase baik dengan derajat keasaman (pH) 6-7. Dalam kaitannya dengan fitoremediasi sebagai upaya pengembalian kualitas tanah yang telah tercemar, Brassica juncea merupakan salah satu tumbuhan dari famili Brassicaceae yang termasuk tumbuhan hipermakumulator dimana tumbuhan ini berpotensi mampu memperbaiki kualitas tanah yang telah terkontaminasi logam berat seperti: tembaga (Cu), kobait (Co), timbal (Pb), kadmium (Cd), kromium (Cr), mangan (Mn), raksa (Hg), Selenium (Se), dan nikel (Ni). Zat-zat tersebut merupakan zat yang sangat beracun terhadap

mikroorganisme. Jika meresap ke dalam tanah akan mengakibatkan kematian bagi mikroorganisme yang memiliki fungsi sangat penting terhadap kesuburan tanah. Tumbuhan hiperakumulator adalah tumbuhan yang mempunyai

kemampuan untuk mengkonsentrasikan logam di dalam biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi. Tanaman hiperakumulator harus mampu

mentranslokasikan unsur-unsur tertentu tersebut dengan konsentrasi sangat tinggi ke pucuk dan tanpa membuat tanaman tumbuh dengan tidak normal dalam arti kata tidak kerdil dan tidak mengalami fitotoksisitas. Tanaman yang memiliki kemampuan sangat tinggi untuk mengangkut berbagai pencemaran yang ada (multiple uptake hyperaccumulator plant) ataupun tanaman yang memiliki kemampuan mengangkut pencemaran yang bersifat tunggal (spesific uptake hyperaccumulator plant). Brassica juncea dapat dikatakan dalam tumbuhan hiperakumulator dikarenakan beberapa kriteria. Tumbuhan ini memiliki nilai bioakumulasi unsur logam lebih besar dari nilai 1, di mana "nilai bioakumulasi" dihitung dari konsentrasi unsur tersebut di pucuk (shoot concentration) di bagi konsentrasi unsur di dalam tanah (defined as shoot concentration/total soil concentration). Tanaman, misalnya, dapat dikatakan hiperakumulator Mn, Zn, Ni jika mampu menyerap lebih dari 10.000 ppm unsur- unsur tersebut, lebih dari 1.000 ppm untuk Cu dan Se, dan harus lebih dari 100 ppm untuk Cd, Cr, Pb, dan Co.

Brassica juncea dapat menyerap Selenium (Se) hingga lebih dari 1.000 ppm. Selain itu, tumbuhan ini dapat menyerap Sulfat, Emas (Au), dan Thallium (PKRLT UGM, 2004, dalam Kompas). Selain dapat mengakumulasi Selenium, menurut beberapa penelitian Brassica juncea dapat mengakumulasi logam lain seperti Cadmium, Uranium dan Cobalt. Tanaman Sawi India menurunkan kadar Cd sebesar 21 %. Kadar logam berat diserap jauh lebih tinggi pada bagian akar tanaman daripada batang daun (tajuk) tanaman (Yulis,2008). Sawi India (Brassica juncea) juga mampu mengakumulasi uranium dengan konsentrasi uranium hingga 6 mg kg-1 (Huhle, 2008). Dalam penelitian untuk mengetahui akumulasi Cobalt oleh Brassica juncea, logam Co yang digunakan diaktivasi dengan neutron sehingga menjadi logam yang bersifat radioaktif (60Co). Hasil pencacahan berupa konsentrasi
60

Co

dalam tanah dan bagian tanaman dianalisis untuk memperoleh nilai faktor transfer (FT). Nilai FT tertinggi dicapai pada hari ke 30 yaitu sebesar 2,094 yang berarti tanaman mampu mengakumulasi 60Co dari tanah (Bayu, Made dkk.,2008). Proses Fitoremediasi dan Mekanisme Hiperakumulasi Berdasarkan etimologinya, fitoremediasi berasal dari bahasa

Yunani/greek, phyton yang berarti tumbuhan/ tanaman (plant) dan remediation berasal dari kata latin remediare (to remedy) yaitu berarti memperbaiki, atau menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Fitoremediasi merupakan salah satu teknologi yang muncul berdasarkan gabungan kegiatan tanaman dan asosiasinya dengan komunitas mikroorganisme untuk menurunkan, memindahkan,

menginaktifkan atau mengurangi bahan beracun di dalam tanah. Remediasi menggunakan tanaman pada tanah terkontaminasi merupakan suatu proses yang disebut degradasi di rhizosfer, yang meningkatkan aktivitas mikroba dalam tanah terutama pada akar tanaman untuk memecah hidrokarbon. Fitoremediasi dapat digunakan untuk membersihkan logam, pestisida, pelarut minyak mentah, dan limbah cair yang dihasilkan oleh sebuah tempat penampungan sampah. Menurut Oppelt (2000) terdapat beberapa proses yang berkaitan dengan fitoremediasi. Proses - proses tersebut antara lain yakni :

1. Fitoekstraksi yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi di sekitar akar tumbuhan, proses ini juga disebut hiperaccumulation. 2. Rhizofiltrasi (Rhizo = akar) adalah proses adsorbs atau pengendapan zat-zat kontaminan pada akar (menempel pada akar). 3. Fitostabilisasi yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil) pada akar sehingga tidak akan dibawa oleh aliran air dalam media. 4. Rhizodegradasi/fitostimulasi (enhanced rhizosphere biodegradation) yaitu penguraian zat-zat kontaminan dengan aktivitas mikroba yang berada di sekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bakteri. 5. Fitodegradasi (phytotransformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan tanaman itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar di sekitar perakaran dengan bantuan enzim berupa bahan kimia yang mempercepat proses degradasi. 6. Fitovolatilisasi yaitu proses menarik dan transpirasi zat-zat kontaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya diuapkan ke atmosfer.

Seperti yang telah disebutkan di atas, tahap pertama dalam fitoremediasi adalah fitoekstraksi. Efektivitas fitoekstraksi dapat ditingkatkan dengan

memperbaiki faktor internal yakni potensi genetik dan fisiologi tanaman ataupun faktor eksternal termasuk manajemen pengolahan tanah dan budi daya tanaman. Meningkatkan potensi tumbuhan dalam fungsinya sebagai hiperakumulator pada dasarnya adalah meningkatkan potensi akumulasi kontaminan yang tinggi dalam tajuknya dan potensi produksi biomassa. Meningkatkan daya serap logam juga dapat dilakukan dengan menginduksi proses fitoekstraksi dengan menggunakan senyawa kelat. Pemberian senyawa kelat dalam tanah dapat memacu ketersediaan dan transfer logam dari akar ke tajuk. Kelat sintetik yang biasa digunakan adalah EDTA untuk meningkatkan ekstraksi Pb, Cu, Ni, dan Zn. EGTA untuk Cd; sitrat untuk uranium dan amonium tiosianit untuk Au (Salt 2000). Mekanisme biologis dari hiperakumulasi unsur logam pada dasarnya meliputi proses sebagai berikut: 1. Interaksi rizozferik, yaitu proses interaksi akar tanaman dengan media tumbuhnya baik tanah maupun air. Dalam hal ini tumbuhan hiperakumulator memiliki kemampuan untuk melarutkan unsur logam pada rizosfer dan menyerap logam bahkan dari fraksi tanah yang tidak mobile sekalipun, sehingga menjadikan penyerapan logam pada hiperakumulator melebihi tumbuhan normal (McGrath et al.,1997 dalam Hidayati, N dan Saefudin, 2003) 2. Proses penyerapan (uptake) logam oleh akar pada hiperakumulator lebih cepat dibandingkan tumbuhan normal, terbukti dengan adanya konsentrasi logam yang tinggi pada akarnya (Lasat, 1996 dalam Hidayati, N dan Saefudin, 2003). Disamping itu akar hiperakumulator memiliki daya selektifitas yang tinggi terhadap unsur logam tertentu. 3. Sistem translokasi unsur dari akar ke tajuk pada hiperakumulator lebih efisien dibandingkan tanaman normal. Hal ini dibuktikan oleh rasio tajuk/akar konsentrasi logam hiperakumulator yang nilainya lebih dari 1 (Gabbrielli et al.,1991 dalam Hidayati, N dan Saefudin, 2003). Penanaman Brassica juncea dalam Sistem Tumpangsari Dengan melihat berbagai potensi Sawi India yang telah dipaparkan di atas, perlu dilakukan suatu pemanfaatan Sawi India berkaitan dengan masalah lahan pertanian atau sawah yang mulai terkontaminasi logam berat akibat limbah

industri maupun akibat aktivitas budidaya yang menggunakan bahan-bahan agrokimia seperti pupuk dan pestisida yang kurang terkendali. Masyarakat Indonesia telah lama mengenal sistem tanam tumpangsari. Tumpangsari adalah suatu bentuk pertanaman campuran (polyculture) berupa pelibatan dua jenis atau lebih tanaman pada satu areal lahan tanam dalam waktu yang bersamaan. Dalam hal ini, sawi dapat ditanam bersamaan dengan berbagai jenis tanaman primer di lahan pertanian, misalnya jagung, cabai, atau kol. Sawi dapat ditanam pada sela-sela barisan tanaman utama pada sawah tersebut dengan pola-pola tertentu agar tidak saling mengganggu pertumbuhan tanaman.

Keterangan: X : tanaman utama : tanaman sela

Pada pola tanam tumpangsari sebaiknya dipilih dan dikombinasikan antara tanaman yang mempunyai perakaran yang relatif dalam dan tanaman yang mempunyai perakaran relatif dangkal, untuk menghindari persaingan (penyerapan hara dan air). Sawi memiliki perakaran yang relative dangkal, sehingga sawi dapat dikombinasikan dengan tanaman utama dengan perakaran yang dalam. Keberadaan sawi sebagai tanaman sela pada lahan pertanian, selain pencemaran yang mampu diangkut oleh tanaman ini, tanah secara signifikan juga akan mengalami perbaikan bukan hanya karena berkurangnya pencemaran tetapi juga akibat adanya aktivitas akar, tanah secara otomatis menjadi lebih subur kembali karena akar tanaman meregulasikan dirinya mengeluarkan asam-asam organik yang mampu meningkatkan kesuburan kimia, fisika, dan juga biologi tanah. Setelah dipanen, sawi yang mengakumulasi logam berat ini tidak dikonsumsi, akan tetapi tidak dibuang begitu saja karena pembuangan hanya akan menyebabkan berpindahnya kontaminan ke tempat yang lain. Tanaman yang

mampu menyerap konsentrasi unsur dengan sangat tinggi dan bernilai ekonomi seperti emas (Au) dan nikel (Ni) bisa digunakan untuk pertambangan (phytomining), Zn misalnya untuk diisolasikan sebagai suplemen kesehatan. Jika logam, nonlogam metaloid dan senyawa organik yang diserap tapi tidak memiliki nilai ekonomi yang baik, tetap bisa dibakar untuk menghasilkan energi dan diisolasi unsurnya secara murni lagi (Na, Cl, Cd, Co, Cr, dan lain-lain). Sehingga pembersihan pencemaran bukan memindahkan pencemaran itu (excavation and reburial a toxic landfill) tetapi mengangkut (phytoextraction) pencemaran itu secara nyata (Aiyen dalam Kompas, 2006). Kesuksesan penanggulangan pencemaran tanah, khusunya lahan pertanian hendaknya tidak dipandang dan dilaksanakan hanya melalui satu bidang ilmu kajian saja. Kerja sama yang baik dari beberapa bidang ilmu dan juga metode akan mengefektifkan pembersihan pencemaran, sehingga pembersihan bisa dilakukan dengan akurat dan efisien.

KESIMPULAN Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Sawi India (Brassica juncea) merupakan tanaman hiperakumulator yang mampu mengakumulasi logam pencemar tanah seperti : Selenium, Sulfat, Cadmium, Uranium, dan Cobalt. 2. Pemanfaatan Sawi India (Brassica juncea) dapat dilakukan dengan menanamnya sebagai tanaman sela pada pertanian tumpangsari, sehingga mampu menciptakan stabilitas biologi serta dapat mempertahankan kelestarian sumber daya lahan dalam hal ini kesuburan tanah.

DAFTAR PUSTAKA Badan Standardisasi Nasional, SNI 19 2454 2002, Tata Cara Pengelolaan Teknis Sampah Perkotaan, Jakarta, 2002. Bayu, Made, dkk. 2008. Akumulasi Logam Kobalt Dari Tanah Andosol Menggunakan Tanaman Sawi India (Brassica Juncea). Bandung: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
10

Hidayati N, Juhaeti T, Syarif F. 2004. Karakterisasi limbah dan vegetasi pada penambangan emas berskala besar di pongkor. Laporan teknik. Bogor, Pusat Penelitian Biologi LIPI 2004. hlm 103-110. Salt DE. 2000. Phytoextraction: Present Applications And Future Promise. Di dalam: Wise DL, Trantolo DJ, Cichon EJ, Inyang HI, Stottmeister U (ed). Bioremediation of Contaminated Soils. New York: Marcek Dekker Inc. hlm 729-743. Kurniasih, Yulis Anggunita. 2008. Skripsi: Fitoremediasi Lahan Pertanian Tercemar Logam Berat Kadmium Dan Tembaga Dari Limbah Industri Tekstil. Bogor: Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/04/ilpeng/1592821.htm http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0168945204002778 http://www.wikipedia.org/Brassica juncea.htm

11

Anda mungkin juga menyukai