Anda di halaman 1dari 8

SRI AMALIA I21110023

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTITUMOR PADA DAGING BUAH PARE (Momordica

charantia L.)

A. Klasifikasi Pare
Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Dilleniidae Ordo : Violales Famili : Cucurbitaceae (suku labu-labuan) Genus : Momordica Spesies : Momordica charantia L. (www.plantamor.com)

B.Kandungan Buah Pare


Beberapa senyawa yang terkandung dalam buah pare adalah alkaloid triterpenoid, saponin dan flavonoid. Saponin adalah suatu kelas gabungan senyawa kimia, salah satu senyawa metabolit sekunder yang ditemukan dari sumber alami dan dari berbagai macam spesies tanaman. Secara spesifik, saponin merupakan glikosida amphiatik dengan struktur seperti busa sabun yang dihasilkan bila dikocok pada larutan berair dan strukturnya terdiri dari satu atau lebih glikosida hidrofilik dikombinasikan dengan derivat triterpene lipofilik. Senyawa flavonoid atau bioflavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan persenyawaan glucoside yang terdiri dari gula yang terikat dengan flavon (Wijaya,1992). Alkaloid secara umum mengandung paling sedikit satu buah atom nitrogen yang bersifat basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Kebanyakan alkaloid berbentuk padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Alkaloid

dapat juga berbentuk amorf atau cairan. Beberapa alkaloid diketahui beracun terhadap organisme lain. Sedangkan triterpenoid merupakan senyawa kimia yang tersusun dari 4 atau 5 konfigurasi cincin dari 30 atom karbon dan beberapa oksigen. Triterpenoid dibentuk oleh unit C5 isoprene melalui jalur mevalonat sitosolik untuk membentuk C30 dan merupakan senyawa steroid di alam. Kolesterol merupakan salah satu contoh triterpenoid. Pada kadar tertentu, senyawa-senyawa tersebut dapat bersifat toksik, yang dalam hal ini dapat menyebabkan kematian terhadap hewan coba yaitu larva Artemia salina Leach. 20 Mekanisme kematian larva berhubungan dengan fungsi senyawa alkaloid, triterpenoid, saponin dan flavonoid dalam buah pare yang dapat menghambat daya makan larva (antifedant). Cara kerja senyawa-senyawa tersebut adalah dengan bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, bila senyawa-senyawa ini masuk ke dalam tubuh larva, alat pencernaannya akan terganggu. Selain itu, senyawa ini menghambat reseptor perasa pada daerah mulut larva. Hal ini mengakibatkan larva gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu mengenali makanannya. Akibatnya, larva mati kelaparan (Wijaya,1992).

C. Khasiat Buah Pare


Buah pare bersifat mematikan cacing. Tanaman yang rasanya pahit ini mendinginkan, membersihkan darah (buah yang belum masak), anti radang, menambah nafsu makan, menurunkan panas, dan menyegarkan. Di Indonesia, buah Pare selain dikenal sebagai sayuran, juga secara tradisional digunakan sebagai peluruh dahak, obat penurun panas dan penambah nafsu makan. Selain itu, daunnya dimanfaatkan sebagai peluruh haid, obat luka bakar, obat penyakit kulit dan obat cacing) (Hyeronimus, 2006). Awalnya sebagai tonikum, obat cacing, obat batuk, antimalaria, sariawan, penyembuh luka, dan penambah nafsu makan. Ratusan riset juga telah banya dilakukan untuk mengungkap efek buah pahit ini sebagai penurun kadar gula darah (hypopglycemic effect). Riset serupa juga dilakukan di Jerman, Inggris, India, Jepang, Thailand, dan Malaysia mempertegas khasiat pare sebagai antidiabetes (Subahar, 2004). Penemuan kandungan zat berkhasiat lain dalam buah pare sudah banyak dikerjakan. Sejak lama pare digunakan juga sebagai antikanker, antiinfeksi, dan dalam tahun-tahun belakangan terungkap pula kalau pare berkhasiat sebagai antiAIDS. Efek buah pare sebagai anti-virus HIV terletak pada kandungan protein momorcharin alfa dan beta, atau pada protein MAP30 (Subahar, 2004).

D. Bahan
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah kloroform, nheksana, etanol, dimetilsulfoksida, etil asetat, akuades, asam asetat, asam sulfat pekat, silika gel GF

254, silika gel 60, dan natrium hidroksida, pereaksi pendeteksi untuk : alkaloid, flavonoid, steroid, dan terpenoid

E. Peralatan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pisau, seperangkat alat penumbuk, blender, gelas beker, neraca analitik, erlenmeyer, corong pisah, kolom kromatografi, kertas saring, kain kasa, toples, akuarium, labu ukur, pipet volum, pipet tetes, pipet ukur, pipet mikro, tabung reaksi, bejana kromatografi lapis tipis, rotary vacuum evaporator, lampu Ultra Violet untuk penampak bercak noda, tusuk gigi, Kromatografi Gas Spektroskopi Massa.

F.Pembahasan
Pada jurnal ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA YANG BERPOTENSI SEBAGAI ANTITUMOR PADA DAGING BUAH PARE (Momordica charantia L.) dilakukan penelitian untuk mendapatkan dan mengidentifikasi senyawa yang mempunyai potensi sebangai antitumor. Sebelum menentukan senyawa yang diinginkan, pertama dilakukan pengisolasian atau pengambilan senyawa dengan ekstraksi menggunakan metode maserasi. Pemilihan metode dalam pemisahan adalah suatu hal penting. Dapat dipertimbangkan berdasarkan dari senyawa yang ingin kita isolasi dan proses kerja dari metode itu sendiri. Proses Maserasi Pada penelitian ini belum diketahui senyawa apa yang akan teruji sebagai antitumor, oleh karena itu untuk menghindari resiko dari pemanasan yang akan merusak senyawa, dapat digunakan metode maserasi yang tidak menggunakan pemanasan serta prosedur kerjanya yang cukup mudah. Maserasi merupakan penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama tiga hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah ( proses difusi ). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari. Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komonen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin (Ditjen POM, 1986). Kelebihan metode maserasi pada ekstraksi zat warna alami yaitu zat warna mengandung gugus-gugus yang tidak stabil (mudah menguap seperti ester dan eter tidak akan rusak atau menguap karena berlangsung pada konndisi dingin. Selain itu kelebihan dari

maserasi adalah cara pengerjaan yang dilakukan lebih sederhana dan peralatannya sederhana,serta dapat dilakukan untuk bahan-bahan atau zat yang tidak tahan terhadap pemanasan. Kelemahan dari metode maserasi adalah waktu yang dibutuhkan lama cairan penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin (Ditjen POM, 1986). Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging buah pare. Selanjutnya sekitar 35 kg buah pare dikumpulkan dan dibersihkan, kemudian buah pare dicelupkan ke dalam alkohol (etanol) mendidih yang bertujuan untuk menghentikan proses metabolisme. Selanjutnya dipotong kecil-kecil dan dikeringkan dengan cara diletakkan di tempat terbuka dengan sirkulasi udara yang baik dan tidak terkena sinar matahari langsung. Buah pare yang sudah kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga menjadi serbuk. Serbuk buah pare ditimbang sebanyak 1000 g dan diekstraksi secara maserasi untuk mendapatkan senyawa-senyawa yang diinginkan. Pada proses maserasi dilakukan maserasi bertingkat, yaitu sampel yang telah disaring akan dimaserasi kembali dengan pelarut lainnya. Kali ini menggunakan pelarut n-heksana, kloroform dan etanol. Dimana penggunaan dari ketiga pelarut ini bertujuan untuk mendapatkan senyawa-senyawa yang tidak hanya dapat larut pada satu sifat kepolaran saja. Pemilihan pelarut yang digunakan untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut akibat kontak langsung dan waktu yang cukup lama dengan sampel (Djarwis, 2004). Disini pelarut nheksan bersifat non polar, kloroform bersifat semipolar dan etanol bersifat polar. Sehingga masing-masing pelarut dapat menyerap senyawa-senyawa yang sesuai dengan tingkat sifat kepolarannya, karena pada penelitian ini belum diketahui senyawa apa yang dimaksud sebagai antitumor dan belum mengetahui sifat dari senyawa itu sendiri. Pertama-tama serbuk pare dilarutkan dengan pelarut n-heksana, dimana pelarut nheksana bersifat nonpolar dan digunakan untuk pemeriksaan steroid atau triterpenoid. Sampel direndam selama 24 jam, agar semua kemungkinan reaksi didalamnya telah terjadi secara optimal, kemudian disaring. Setelah itu ampas dikeringkan hingga terbebas dari pelarut n-heksana dan dimaserasi kembali selama 24 jam menggunakan kloroform. Dimana penggunaan kloroform untuk menarik senyawa-senyawa yang bersifat semipolar. Setelah itu ampas kembali dikeringkan sampai terbebas dari pelarutnya. Selanjutnya dimaserasi kembali dengan pelarut etanol. Etanol yang bersifat polar biasanya digunakan untuk pemeriksaan flavonoid. Setelah direndam selama 24 jam kemudian disaring. Ketiga ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan rotary vacum evaporator sampai diperoleh ekstrak pekat kloroform, etanol, dan n-heksana. Pemekatan dengan rotary vacum evaporator ditujukan pada pelarut-pelarut yang bersifat berbahaya bagi manusia dan

apabila dengan jumlah pelarut yang banyak sehingga akan sulit untuk menguapkan dengan waterbath. Pemekatan dengan rotary evaporator dengan proses pemisahan ekstrak dari cairan penyarinya dengan pemanasan yang dipercepat oleh putaran dari labu alas bulat, cairan penyari dapat menguap 5-10 C di bawah titik didih pelarutnya disebabkan oleh karena adanya penurunan tekanan. Dengan bantuan pompa vakum, uap larutan penyari akan menguap naik ke kondensor dan mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarutmurni yang ditampung dalam labu alas bulat penampung (Sudjadi,1986). Dari hasil maserasi dan pemekatan dihasilkan 3 ekstrak yaitu ekstrak kental n-heksana berwarna hijau sebanyak 4,62 g, ekstrak kental kloroform berwarna hijau sebanyak 11,68 g, dan ekstrak kental metanol berwarna hijau pekat sebanyak 26,09 g. Kemudian untuk menguji toksisitas ketiga ekstrak yang diperoleh dengan mengunakan larva udang Artemia salina L. Hasil menunjukkan bahwa ekstrak etanol dan n-heksana bersifat toksik dengan LC50 kurang dari 1000 ppm yaitu, 223 dan 602,55 sedang ekstrak kloroform tidak dikatakan bersifat toksik karena nilai LC50 lebih dari 1000 ppm.

Proses Kromatografi Kolom dan Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak yang paling aktif (etanol) selanjutnya diteliti kembali dengan menggunakan kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis. Hal ini dikarenakan, ekstrak yang dihasilkan dari maserasi belum tentu merupakan senyawa murni atau bukan merupakan suatu senyawa tunggal. Oleh karena itu perlu dilakukan kembali pemisahan menggunakan kolom dan KLT. Ekstrak paling aktif (etanol) dipisahkan dengan menggunakan kromatografi kolom dengan fase diam silika gel 60 dan fase gerak asam asetat : benzena (2:8). Kromatografi kolom pertama-tama digunakan untuk mendapatkan hasil zat murni secara preparatif dari campuran, tetapi kemudian digunakan untuk pemisahan zat pada penentuan kuantitatif. Untuk kromatografi kolom dari larutan dibutuhkan tabung pemisah tertentu yang diisi dengan bahan sorbsi dan juga pelarut pengembang yang berbeda. Tabung pemisah yang diisi dengan bahan sorbsi disebut kolom pemisah. Tergantung dari masalah pemisahan dapat digunakan tabung filter dengan gelas berpori, yang pada ujung bawah menyempit (tabungAllihn) atau tabung gelas, yang pada ujung bawah menyempit dandilengkapi dengan keran tetapi untuk tabung bola jarang digunakan.Perbandingan panjang tabung terhadap diameter pada umumnya adalah 40:1. Pengisian tabung pemisah dengan adsorben, yang juga disebut kemasan kolom, harus dilakukan secara hati-hati harus rata. Aluminiumoksida atau silika gel dapat diisikan kering ke dalam tabung pemisah. Agar pengisian rata, tabung setelah diisi divibrasi, diketok-ketok atau dijatuhkanlemah pada pelat kayu. Adsorben

lainnya harus diisikan sebagai suspensi,terutama jika zat ini menggelembung dengan pelarut pengembang (Kisman dan Ibrahim, 1998). Pada dasarnya prinsip pada KLT sama dengan kromatografi kertas hanya KLT mempunyai kelebihan yang khas dibandingkan dengan kromatografi kertas yaitu keserbagunaan, kecepatan,dan kepekaannya.KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai sebagaimetode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, ataupun preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yangakan dipakai pada kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerjatinggi/KCKT (Gritter, 1991). Analisis dari KLT dapat membantu menentukan pelarut terbaik apa yang akan dipakai dan berapa perbandingan antar pelarut yang akan digunakan sebagai fasa gerak pada kromatografi kolom Kromatografi lapis tipis sangat berhubungan dengan kromatografi kolom, hal ini karena fasa-fasa senyawa yang digunakan dalam teknik keduanya sama. Kerugiannya dengan menggunakan KLT adalah tidak efektif untuk skala industri. Walaupun lembaran KLT yang digunakanlebih lebar dan tebal, pemisahannya sering dibatasi hanya sampai beberapamiligram sampel saja (Gritter, 1991). Fase diam yang digunakan pada KLT dan kolom adalah silika gel. Untuk penggunaan dalam suatu tipe pemisahan perbedaan tidak hanya pada struktur, tetapi juga pori-porinya dan struktur lubangnya menjadi penting, di samping pemilihan fase gerak. Dalam perdagangan silika gel mempunyai ukuran 10-40. Ukuran ini terutama dipengaruhi oleh ukuran porinya yang bervariasi dari 20-50. Silika gel berpori 80-150 dinamakan berpori besar. Luas permukaan silika gel bervariasi dari 300-1000m2/g. Silika gel sangan higroskopis. Pada kelembapan relatif 45-75% dapat mengikat air 7-20%. Masalah aktivitasi silika gel tidak begitu mempengaruhi kebanyakan jenis pemisahan, tetapi deaktivitas silika gel merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Beberapa prosedur kromatografi terutama pemisahan yang menggunakan larutan pengembang anhidrat, mensyaratkan adanya kontrol kandungan air dalam silika. Kandungan air yang ideal adalah antara 11-12% b/b. Derajat deaktivitasi ditentukan oleh kelembapan relatif kamar dimana pemisahan dilakukan dan lempeng silika gel disimpan (Manitto, P., 1981). Penggunaan fase gerak sebaiknya menggunakan campuran pelarut organik yang mempunyai polaritas serendah mungkin karena mengurangi serapan dari setiap komponen dari campuran pelarut. Jika komonen-komponen yang mempunyai sifat polar yang tinggi dalam campuran cukup akan merubah sistem menjadi sistem partisi. Campuran yang baik memberikan fase-fase bergerak yang mempunyai kekuatan bergerak sedang, tetapi sebaiknya dicegah sejauh mungkin mencampur lebih dari dua komponrn terutama karena campuran yang lebih kompleks cepat mengalami perubahan fase terhadap perubahan suhu. Karena telah diketahui senyawa yang diinginkan bersifat polar karena larut dalam etanol, maka digunakan lah asam asetat yang bersifat polar dan benzene sebagai senyawa yang

bersifat semi polar agar campuran dari keduanya masih bersifat polar dan dapat menyerap senyawa yang diinginkan dengan baik (Manitto, 1981). Hasil dari kromatografi kolom diperoleh 115 fraksi. Fraksi yang diperoleh selanjutnya digabungkan dengan KLT pengabungan dan diperoleh 3 fraksi dengan berat fraksi 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah 0,41; 0,37; dan 0,30. Fraksi ini selanjutnya diuji toksisitasnya dengan larva udang dan diperoleh ketiga fraksi bersifat aktif toksik dengan LC50 untuk fraksi 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah 31,62; 120; dan 100 terlihat bahwa fraksi 1 merupakan fraksi yang paling aktif toksik, namun yang dilanjutkan adalah fraksi 3, hal ini disebabkan karena fraksi 1 merupakan gabungan dari beberapa senyawa yang jarak noda satu dengan noda lainnya sangat berdekatan dan berekor, hal ini mengakibatkan noda-noda tersebut sangat susah dipisahkan. Walaupun sudah dilakukan pencarian eluen dengan menggunakan campuran dari beberapa pelarut, namun belum ditemukan pelarut yang tepat untuk memisahkan, selain itu juga jumlah fraksi 1 yang relatif cukup sedikit, sehingga nantinya kalau dipaksakan untuk melakukan pemisahan dihawatirkan jumlah sampel yang diperoleh sedikit sehingga analisis lebih lanjut tidak dapat dikerjakan, sehingga yang dilanjutkan adalah fraksi 3, karena fraksi 3 relatif cukup toksik dengan LC50 100 ppm. Isolat ini selanjutnya diuji antitumor dengan mengunakan Agrobacterium tumefaciens A-208 dan diperoleh bahwa isolat 3 positif sebagai antitumor pada konsentrasi 1000 ppm. Isolat ini selanjutnya diidentifikasi dengan pereaksi warna dan Kromatografi Gas Spektroskopi Massa. Identifikasi warna yang dilakukan untuk menentukan jenis fitokimia senyawa tersebut. Dan Setelah diuji dengan menggunakan pereaksi pendeteksi, reaksi positif hanya ditunjukkan pada pereaksi-pereaksi terpenoid yaitu dengan LiebermanBurchard (L-B) memberikan perubahan warna menjadi coklat dengan H2SO4 memberikan warna coklat, dan dengan menggunakan H2SO4 50% juga memberikan warna coklat, jadi kemungkinan Isolat yang diperoleh adalah terpenoid jenuh atau bahkan negatif terpenoid hal ini disebabkan karena asam-asam lemak juga dapat bereaksi dengan pereaksi-pereaksi diatas menghasilkan warna yang sama yaitu warna coklat. Isolat aktif antitumor yang diperoleh selanjutnya dikarakterisasi dengan Kromatografi Gas - Spektroskopi Massa. Hasil dari Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa menghasilkan Spektrum senyawa I dengan tr 15, 41 menit. Pada spektrum tersebut terlihat adanya ion-ion pada m/z 256(M+) dan m/z 73 (puncak dasar). Ion molekul pada m/z 256 mengindikasikan berat molekul 256, yang berdasarkan literature dalam data base identik dengan asam heksadekanoat. Spektrum senyawa II dengan tr 17, 31 menit Pada spektrum tersebut terlihat adanya ion-ion pada m/z 284 (M+) dan m/z 73 (puncak dasar). Ion molekul pada m/z 284 menunjukkan berat molekul senyawa II adalah 284. Berdasarkan data literatur dalam data base senyawa ini identik dengan asam oktadekanoat. Spektrum senyawa III dengan tr 19, 37 menit. Berdasarkan data library NIST02.L senyawa ini identik dengan ester dioktil heksadioat (C22H24O4) mempunyai berat molekul 370 dengan demikian ion molekul senyawa III adalah 370.

G. KESIMPULAN
Dari semua proses diatas disimpulkan bahwa dari proses isolasi senyawa dengan maserasi dihasilkan tiga ekstrak yaitu ekstrak etanol, kloroform, dan n-heksana. Kemudian dilakukan pemisahan senyawa kembali dengan kromatografi kolom, dan menghasilkan 115 fraksi yang digabungkan dengan kromatografi lapis tipis. Dari KLT dihasilkan 3 fraksi yaitu dengan berat fraksi 0,41; 0,37 dan 0;30. Setelah diuji sifat aktif toksik, didapat bahwa fraksi ketiga paling aktif tosik. Dan dilakukan pengujian kemurnian dengan KLT kembali dan didapatlah senyawa yang murni. Proses terakhir dilakukan identifikasi mengenai sifat fitokimia dari senyawa tersebut. Isolat yang bersifat antitumor dari buah pare diduga gabungan dari beberapa senyawa dengan 3 senyawa mayor yang sebagian besar merupakan asam-asam organik, ketiga senyawa tersebut yaitu, asam heksadekanoat, Asam oktadekanoat, dan ester Dioktilheksadioat.

G.DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Momordica charantia www.plantamor.com . Diakses pada tanggal 20 Maret 2011. Ditjen POM. 1986. Sediaan Galenik. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Djarwis, D. 2004. Teknik Penelitian Kimia Organik Bahan Alam, Workshop Peningkatan Sumber Daya Manusia Penelitian dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang Berkelanjutan. Pelaksana Kelompok Kimia Organik Bahan Alam Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas Padang kerjasama dengan Proyek Peningkatan Sumber Daya Manusia DITJEN DIKTI DEPDIKNAS Jakarta. Gritter, Roy. 1991. Pengantar Kromatografi. ITB. Bandung Hyeronimus SB. 2006. Ragam dan Khasiat Tanaman Obat. 1st ed. Agro Media. Jakarta Kisman, S dan Slamet Ibrahim. 1998. Analisis Farmasi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Manitto, P. 1981. Biosintesis Produk Alam. IKIP Semarang. Semarang Subahar TS. 2004. Khasiat dan Manfaat Pare. Penerbit Agromedia Pustaka, Jakarta. Sudjadi, Drs. 1986. Metode Pemisahan. UGM Press. Yogyakarta Wijaya H. M. Hembing. 1992. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Cet 1. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai