Anda di halaman 1dari 4

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Mikroalga merupakan kelompok tumbuhan berukuran renik yang termasuk dalam kelas alga, diameternya antara 3-30 m, baik sel tunggal maupun koloni yang hidup di seluruh wilayah perairan tawar maupun laut, yang lazim disebut fitoplankton. Di dunia mikrobia, mikroalga termasuk eukariotik, umumnya bersifat fotosintetik dengan pigmen fotosintetik hijau (klorofil), coklat (fikosantin), biru kehijauan (fikobilin), dan merah (fikoeritrin). Morfologi mikroalga berbentuk uniseluler atau multiseluler tetapi belum ada pembagian tugas yang jelas pada sel-sel komponennya. Hal itulah yang membedakan mikroalga dari tumbuhan tingkat tinggi (Romimohtarto, 2004). Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), menyatakan bahwa terdapat empat kelompok mikroalga antara lain : diatom (Bacillariophyceae), alga hijau (Chlorophyceae), alga emas (Chrysophyceae) dan alga biru (Cyanophyceae). Penyebaran habitat mikroalga biasanya di air tawar (limpoplankton) dan air laut (haloplankton), sedangkan sebaran berdasarkan distribusi vertikal di perairan meliputi : plankton yang hidup di zona euphotik (ephiplankton), hidup di zona disphotik (mesoplankton), hidup di zona aphotik (bathyplankton) dan yang hidup di dasar perairan / bentik (hypoplankton) (Eryanto et.al, 2003). Dalam biomassa mikroalga terkandung bahan-bahan penting yang sangat bermanfaat, misalnya protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat. Persentase keempat komponen tersebut bervariasi tergantung jenis alga. Sebagai contoh, mikroalga Chlorella vulgaris memiliki kandungan protein sebesar 51 58%, karbohidrat 12 - 17%, lemak 14 22% dan asam nukleat 4 5%. Spirulina platensis memiliki kandungan protein sebesar 46 43%, karbohidrat 8 14%, lemak 4 9%, dan asam nukleat 2 5% (Becker, 1994). Mikroalga lainnya seperti, Botryococcus braunii, Dunaliella salina, Monalanthus salina mempunyai kandungan lemak berkisar 40 - 85% (Borowitzka, 1998). Kandungan lemak

mikroalga tergantung dari jenis mikroalga, rata-rata pertumbuhan dan kondisi kultur mikroalga (Chisti, 2007). Lemak mikroalga pada umumnya terdiri dari asam lemak tidak jenuh, seperti linoleat, eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid ( DHA) (Skjak-Braek, 1992). Mikroalga mengandung lemak dalam jumlah yang besar terutama asam arachidonat (AA, 20:46) (yang mencapai 36% dari total asam lemak) dan sejumlah asam eikosapentaenoat (EPA, 20:53) (Fuentes, et al., 2000). Selain itu, lemak mikroalga juga kaya akan asam lemak politidakjenuh (PUFA) dengan 4 atau lebih ikatan rangkap. Sebagai contoh, yang sering dijumpai yaitu eicosapentaenoic acid (EPA, C20:5) dan docosahexaenoic acid (DHA, C22:6) (Chisti, 2007). Biomassa mikroalga adalah sumber yang kaya akan beberapa nutrien, seperti asam lemak 3 dan 6, asam amino esensial (leusin, isoleusin, valin, dan lain-lain) serta karoten (Becker, 1994). Beberapa mikroalga menyajikan spektrum asam lemak yang lebih besar, ketika dibandingkan dengan tanaman yang mengandung minyak, selain itu juga mengandung struktur molekul dengan lebih dari 18 atom karbon (Belarbi et al., 2000). Taksonomi mikroorganisme selama ini lebih banyak menggunakan karakteristik morfologi (morphological characteristics) berdasarkan bentuk, warna, ukuran sel dan lain-lain. Misalnya, taksonomi dari plankton Anabaena sp. pada saat ini sebagian besar didasarkan pada karakteristik morfologi seperti bentuk akinetes, ukuran sel dan posisi relatif akinetes terhadap heterocysts. Beberapa kriteria secara morfologi tersebut bisa berbeda-beda antara peneliti yang satu dengan peneliti yang lain (Niiyama, 1996). Lebih jauh lagi, karakter-karakter taksonomi seperti wujud filamen dan sel akinete bersifat meragukan karena akinetes adakalanya tidak ada dan wujud filamen mungkin bisa berubah karena kondisi kultur (Li dan Watanabe, 2001). Castenholz dan Waterbury (1989), menyatakan bahwa untuk menentukan spesies dari plankton Anabaena memerlukan studi-studi taksonomi secara lebih mendalam, tidak hanya karakterkarakter morfologi tetapi juga fisiologis, kimiawi dan ciri-ciri genetik. Komposisi asam lemak adalah suatu alat analitis bermanfaat dalam taksonomi bakteri (Welch, 1991). Dalam hal kemotaksonomi berdasarkan komposisi asam lemak, Cohen dan Vonshak (1991) menyatakan bahwa harus ada

suatu pemisahan antara strain air tawar dan strain air laut dalam genus Spirulina karena adanya perbedaan komposisi asam lemak antara kedua strain tersebut. Pada cyanobacteria, Kenyon et al. (1972), dan Murata et al. (1992), menyatakan bahwa empat jenis dari komposisi asam lemak yang ada di dalam cyanobacteria, memperlihatkan adanya korelasi dengan morfologinya. Caudales dan Wells (1992), meneliti asam lemak selular dari Benthic cyanobacteria genus Anabaena dan Nostoc, menemukan perbedaan-perbedaan yang signifikan diantara kedua genus itu. Kruger et al. (1995), menyatakan pentingnya komposisi asam lemak dalam taksonomi dari cyanobacteria pada tingkatan genus dan subgenus. Li et al. (1998), menyatakan bahwa komposisi asam lemak dapat digunakan dalam kemotaksonomi dari cyanobacteria bahkan pada tingkatan spesies berdasarkan pengujian terhadap 28 strain dari plankton cyanobacteria. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan analisis lipid untuk mengetahui komposisi asam lemak mikroalga Nannochloropsis oculata sehingga dapat digunakan dalam

kemotaksonomi mikroalga Nannochloropsis oculata.

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pola asam lemak mikroalga Nannochloropsis oculata sehingga dapat digunakan dalam kemotaksonomi mikroalga Nannochloropsis oculata.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh pola asam lemak mikroalga jenis Nannochloropsis oculata. 1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi bagi upaya dalam melakukan kemotaksonomi pada mikroalga dengan mengetahui kandungan lipid dan asam-asam lemak yang terdapat dalam mikroalga jenis Nannochloropsis oculata.

halaman ini sengaja dikosongkan

Anda mungkin juga menyukai