Anda di halaman 1dari 2

Abstrak Kearifan dalam bahasa sebuah tinjauan pragmatis terhadap profil kebahasaan media massa pada masa pasca

orde baru Oleh: F.X. Rahyono Reformasi Total, demikianlah sebuah slogan yang dihadirkan dalam wacana publik pada masa pascaorde baru. Kecaman, keluhan, atau kamarahan itupun hadir di berbagai media wacana, baik dalam dialog formal, informal, maupun dalam percakapan sehari-hari. Setiap warga masyarakat merasa berhak melakukan tekanan dan penilaian subyektif dengan berlindung di balik seruan demokrasi dan kebebasan berbicara. Pada masa Pasca Orde Baru, yang dalam perjalanan waktu dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai era yang tidak terkendali, peristiwa-peristiwa yang juga tidak terkendali banyak terjadi. Memori yang ada pada masyarakat adalah memori tentang peristiwa-peristiwa yang tidak terkendali itu. Memori itu kemudian terpresentasikan dalam wacana yang berbunyi Reformasi yang Kebablasan. Berangkat dari situasi yang demikian, hipotesis yang dapat diajukan adalah bahwa hilangnya memori kearifan berkemungkinan mengurangi pertimbangan untuk menggunakan katakata yang arif dalam wacana di media massa. Seiring dengan berkurangnya ungkapan kearifan, siapapun yang berwacana dalam media massa berkemungkinan lupa bahwa wujud kebahasaan mampu mengubah kearifan kita dalam bermasyarakat. Sebuah kata, frasa, serta kalimat pada dasarnya berpotensi menampilkan makna referensial ataupun kontektual. Secara pragmatis, setiap pembicara dan/atau penulis memiliki keleluasaan memanfaatkan potensi makna dalam komunikasi publik. Sebuah kata, frasa, atau kalimat memiliki kemungkinan untuk menyatakan maksud kearifan atau maksud ketidakarifan. Ketidakarifan - yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan tindakan pelanggaran terhadap etika dan etiket yang berlaku di masyarakat. Kearifan dalam berbahasa dapat diwujudkan melalui pilihan satuan-satuan bahasa yang mampu menyatakan kesantunan. Kearifan dalam pers dapat diwujudkan melalui pilihan satuan-satuan bahasa yang mampu menyatakan sikap etis. Makna satuan-satuan bahasa yang digunakan mampu menunjukan objektivitas dalam penelitian, ketidakberpihakan, penghargaan terhadap hak-hak publik, serta pertanggungjawaban dalam penyampaian informasi. Bagaimana mewacanakan gerakan reformasi secara arif? Perlukah memanfaatkan kosakata ketidakarifan secara produktif dalam wacana publik? Siapakah yang bertanggung jawab dalam menumbuhkan kearifan masyarakat?

Dengan menggunakan tahapan analisis semantis dan berlanjut ke analisis pragmatis aspek kearifan dalam bahasa di media massa dapat ditemukan. Kearifan dalam bahasa terwujud jika terdapat kesepadanan antara makna referensial dan kontekstual satuan-satuan bahasa dengan pesan yang ingin disampaikan oleh pembicara/penulis. Kearifan dalam bahasa tidak berkaiatan dengan tindakan manipulatif dalam penyampaian informasi. Kearifan dalam bahasa berkaitan dengan strategi pemilihan satuan-satuan bahasa. Tindak manipulatif dalam penyampaian informasi dapat menggunakan satuan-satuan bahasa yang mana pun, baik yang menampilakn makna kearifan maupun tidak. Kearifan adalah tanggung jawab bersama. Bahasa yang arif tidak akan hadir secara menyeluruh jika pihak-pihak terkait dan segala peristiwa yang dihasilkanya tidak menuju kearifan. Sikap otoritas yang tidak arif serta segala peristiwa yang bertentangan dengan normanorma yang berlaku tentu akan memicu hadirnya satuan-satuan bahasa yang tidak arif. Kearifan tidak memperdebatkan tuntutan hak dan kebebasan berwacana. Kearifan mampu mengatur diri berkenaan dengan hak dan kebebasan berwacana. Kata kunci: kearifan, wacana, pragmatik, informasi, makna

repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/604.doc

Anda mungkin juga menyukai