Anda di halaman 1dari 12

KENDALA PERIJINAN DALAM KEGIATAN PENANAMAN MODAL DI INDONESIA DAN UPAYA PERBAIKAN YANG PERLU DILAKUKAN PEMERINTAH Tulus

Tambunan Latar Belakang Semua pasti sependapat bahwa investasi, khususnya investasi langsung, sangat diperlukan di Indonesia. Sejarah Orde Baru selama periode 1966-1997 telah membuktikan betapa pentingnya peran investasi langsung, khususnya asing atau umum disebut penanaman modal asing (PMA) sebagai salah satu motor penggerak pembangunan dan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Memang, bantuan luar negeri juga waktu itu sangat berperan. Namun demikian, dapat dipastikan bahwa apabila tidak ada PMA yang masuk pada saat itu, ekonomi Indonesia pada era Soeharto tidak mungkin pulih dari kehancuran sebagai warisan dari era sebelumnya, dan tidak mungkin bisa mengalami suatu pertumbuhan yang tinggi yang rata-ratanya mencapai atara 7% hingga 8% selama 1980-an hingga terjadinya krisis ekonomi 1997. Juga semua pasti sependapat bahwa lahirnya undang-undang no.25 tahun 2007 tentang penanaman modal memang sangat diperlukan. Sewaktu UU PM tersebut disahkan DPR, banyak kalangan menyambut dengan sukacita dan gembira yang sejak lama berharap titik baru pertumbuhan investasi di Indonesia (walaupun ada juga kalangan yang mengkritiknya yang menganggap UU tersebut membuat Indonesia semakin dikuasai oleh pihak asing). Alasannya sederhana: karena sejak krisis ekonomi 1997 hingga saat ini pertumbuhan investasi langsung, terutama dari luar negeri, masih relatif sangat rendah jika dibandingkan di negara-negara tetangga yang juga terkena krisis yang sama waktu itu; walaupun pemerintah sudah banyak berusaha dengan segala cara untuk menggairahkan masuknya arus PMA. Jelas, jika Indonesia tidak berhasil menarik PMA, pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang lebih tinggi daripada sekarang ini sekitar 6,5% tidak akan tercapai. Indonesia juga perlu PMA untuk peralihan teknologi dan pengetahuan lainnya dan untuk mendukung upaya peningkatan ekspor non-migas, khususnya ekspor manufaktur. Tetapi, pertanyaan sekarang adalah apakah dengan lahirnya UU PM yang baru itu, segala persoalan sekitar kegiatan investasi di Indonesia sudah terpecahkan? Apakah UU PM tersebut sudah sempurna dalam berarti tidak akan ada lagi permasalahan dalam perijinan penanaman modal di Indonesia? Atau, apakah UU PM No.25, 2007 sudah menjamin bahwa pertumbuhan arus masuk PMA atau volume investasi pada umumnya di Indonesia akan mengalami akselerasi? Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk membahas beberapa kendala utama dalam proses perijinan penanaman modal yang masih ada di Indonesia hingga saat ini dan upaya perbaikan apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah selain mengeluarkan UU PM no 25 tersebut.

Beberapa Butir Penting dari UU PM No 25, 2007 UU PM No.25 tahun 2007 dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek penting (termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasukin oleh investor) yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Dua diantara aspek-aspek tersebut yang selama ini merupakan dua masalah serius yang dihadapi pengusaha, dan oleh karena itu akan sangat berpengaruh positif terhadap kegiatan penanaman modal di Indonesia jika dilaksanakan denga baik sesuai ketentuannya di UU PM tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Bab I Pasal 1 No. 10 mengenai ketentuan umum: pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Sistem pelayanan satu atap ini diharapkan dapat mengakomodasi keinginan investor/pengusaha untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, dan cepat. Memang membangun sistem pelayanan satu atap tidak mudah, karena sangat memerlukan visi yang sama dan koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga pemerintah yang berkepentingan dalam penanaman modal. Dapat dipastikan apabila ketentuan ini benar-benar dilakukan, dengan asumsi faktor-faktor lain (seperti kepastian hukum, stabilitas, pasar buruh yang fleksibel, kebijakan ekonomi makro, termasuk rejim perdagangan yang kondusif dan ketersediaan infrastruktur) mendukung, pertumbuhan investasi di dalam negeri akan mengalami akselerasi. Bagi seorang pengusaha manca negara yang ingin berinvestasi di sebuah wilayah di Indonesia, adanya pelayanan satu atap melegakan karena ia tidak perlu lagi menunggu dengan waktu lama untuk memperoleh izin usahanya di Indonesia. Bahkan ia tidak lagi perlu mengeluarkan biaya pajak maupun pungutan lainnya yang dapat membengkak dari tarif resmi akibat panjangnya jalur birokrasi yang harus ditempuh untuk memperoleh izin usaha tersebut sebelum adanya pelayanan satu atap. Sebenarnya, hal ini sudah diupayakan sebelumnya lewat Keppres No 29 tahun 2004 mengenai penyelenggaraan penanaman modal, baik asing (PMA) maupun dalam neegri (PMDN) melalui sistem pelayanan satu atap semasa era Presiden Megawati Soekarno Putri. Dalam kepres tersebut dinyatakan bahwa penyelenggaraan penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dilaksanakan oleh BKPM. Pelayanan satu atap ini meliputi penanaman modal yang dilakukan baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun kotamadya berdasakan kewenangan yang dilimpahkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada BKPM. Jadi, BKPM bertugas melakukan koordinasi antara seluruh departemen atau instansi pemerintah lainnya, termasuk dengan pemerintah kabupaten, kota, serta propinsi yang membina bidang usaha penanaman modal.

Kedua, Bab III Pasal 4 No.2b mengenai kebijakan dasar penanaman modal: menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum yang tidak ada di Indonesia sejak berlalunya era Orde Baru sering dikatakan sebagai salah satu penghambat investasi, khusunya PMA, di dalam negeri. Hasil studi yang dilakukan oleh LPEM-FEUI (2001) menunjukkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi pengusaha dalam melakukan investasi di Indonesia selain persoalan birokrasi, ketidakpastian biaya investasi yang harus dikeluarkan serta perubahan peraturan pemerintah daerah yang tidak jelas atau muncul secara tibatiba, juga kondisi keamanan, sosial dan politik di Indonesia. Bahkan hasil survei tahunan dari World Economic Forum (2007) yang berpusat di Geneva (Swiss) untuk The Global Competitiveness Report 2007-2008 menunjukkan bahwa dari 131 negara yang masuk dalam sampel penelitiannya, Indonesia berada pada peringkat ke 93 untuk pertanyaan apakah pengusaha (responden) bisa mengandalkan pelayanan dari polisi untuk melindungi usahanya dari kriminalitas (Tabel 1). Mungkin ketidakstabilan politik di suatu negara tidak terlalu masalah bagi pengusaha tentu (selama tidak sampai menimbulkan perang saudara), tetapi gangguan kriminalitas dan hukum yang tidak pasti yang melindungi hak-hak dari pelaku bisnis dalam berbagai transaksi termasuk jual beli tanah dan sengketa bisnis tentu sangat mengganggu atau menakutkan seorang calon investor untuk menanam modalnya di negara tersebut. Tabel 1: Peringkat Indonesia mengenai Perlindungan Bisnis oleh Polisi versi WEF 2007
Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 93 131 Sumber: WEF (2007). Negara Finlandia Denmark Jerman Singapura Swiss Islandia Hong Kong SAR Norwegia Austria Emirat Arab Serikat Indonesia Venezuela

Kendala Perijinan Investasi Selama ini Dalam membahas atau mengidentifikasi kendala perijinan penanaman modal di Indonesia, ada tiga hal yang perlu dipahami. Pertama, ijin investasi tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu paket dengan ijin-ijin lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi 3

kegiatan usaha atau menentukan untung ruginya suatu usaha. Di Tabel 2 dijabarkan sejumlah UU dan peraturan menteri yang sangat berpengaruh terhadap kelancaran proses mulai dari awal investasi hingga menjadi suatu perusahaan yang siap beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Jika UU yang tertera di Tabel 2 tersebut berbenturan dengan UU PM No.25, 2007, sangat kecil harapan bahwa kehadiran UU PM yang baru ini akan memberi hasil optimal. Tabel 2: Beberapa UU atau Peraturan Pemerintah yang Berpengaruh terhadap Efektivitas UU PM No.25, 2007
UU/Peraturan Peraturan Mendaz 37/M-DAG/Per/9 Peraturan Mendag 36/M-DAG/Per/9 UU No.40 UU No. 39 UU No. 17 UU No. 2 UU No.13 UU No. 22 Tahun 2007 2007 2007 2007 2006 2005 2003 2001 Isu Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan Penerbitan SIUP Perseroan Terbatas Cukai Kepabeanan Penyelesaian hubungan industrial Ketenaga kerjaan Investasi di sektor migas

Misalnya, kontradiksi selama ini antara upaya pemerintah meningkatkan investasi lewat salah satunya mempermudah pengurusan izin penanaman modal dengan UU Migas No 22 tahun 2001 yang menyatakan bahwa investasi di sektor migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin dari Dirjen Migas pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha (BP) Migas dan Dirjen Bea Cukai (Depkeu). Juga seorang pengusaha asing kemungkinan besar akan tetap membatalkan niatnya berinvestasi di Indonesia walaupun proses pengurusan ijin investasi menjadi lebih lancar dan lebih murah setelah dilaksanakannya UU PM No.25 2007 tersebut, jika UU mengenai kepabeanan dirasa tidak menguntungkannya karena pengusaha tersebut akan banyak melakukan impor, atau pasar tenaga kerja di Indonesia dirasa tidak fleksibel akibat berlakunya UU No.13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan. Hasil survei dari WEF (2007) menunjukkan bahwa 8,5% dari jumlah pengusaha di Indonesia yang menjadi responden mengatakan bahwa permasalahan utama mereka adalah peraturan ketenagakerjaan yang restriktif (Gambar 1). Pengusaha-pengusaha yang masuk di dalam sampel dipilih secara acak dari semua skala usaha (kecil, menengah dan besar), dan dari sektor-sektor penting (industri manufaktur, pertanian, pertambangan, perbankan dan jasa). Masalah ketenaga kerjaan ini tentu akan sangat signifikan bagi calon investor di kegiatan-kegiatan ekonomi yang padat karya seperti misalnya industri tekstil dan produk-produknya (TPT), industri elektronik, industri sepatu, dan industri makanan dan minuman. Ironisnya, industri-industri ini selama pemerintahan Orde Baru hingga sekarang ini adalah favorit bagi PMA di sektor industri manufaktur di Indonesia. Gambar 1: Masalah-masalah utama dalam melakukan bisnis di Indonesia versi WEF 2007

Kriminal & pencurian Etik kerja TK buruk Pajak terlalu besar Pemerintah yang tidak stabil Regulasi uang asing Korupsi Inflasi Keterbatasan tenaga kerja terdidik Regulasi perpajakan tidak kondusif Peraturan ketenaga kerjaan yang restriktif Kebijakan tidak stabil Akses terbatas untuk pendanaan Birokrasi tidak efisien Infrastruktur buruk 0

0.5 1.8 2 2.2 3.7 4.2 5.5 5.6 8 8.5 10.7 10.8 16.1 20.5 5 10 15 20 25

Sumber: (WEF, 2007)

Di sektor perhotelan, misalnya, jumlah ijin yang diperlukan mencapai 37 buah, karena setiap bagian dari hotel harus memiliki ijin khusus dari departemen terkait. Misalnya untuk membangun restoran di dalam hotel perlu ijin dari Departemen Kesehatan karena menyangkut makanan yang sehat dan aman bagi konsumen, sedangkan untuk membangun kolam bernang harus dapat ijin dari Departemen olah raga, dan untuk pemakaian tenaga kerja harus dapat ijin dari Departemen Tenaga Kerja dan jelas harus mengikuti peraturan yang tercantum di UU Ketenaga kerjaan yang berlaku, dan seterusnya. Dapat dibayangkan, jika izin penanam modal sudah keluar, tetap seorang investor yang akan membangun sebuah hotel di Jakarta akan tetap skeptis apabila beberapa atau semua dari izin-izin lainnya itu tidak jelas atau prosedurnya sangat bertele-tele. Jadi masalah serius disini adalah koordinasi yang tidak baik antar lembaga pemerintah yang sebenarnya sudah merupakan salah satu persoalan klasik di negeri ini. Dalam kasus perhotelan tersebut jelas diperlukan suatu kerjasama yang baik antara BKPM, Departemen Ketenaga kerjaan, Departemen Kesehatan, Departemen Olah Raga, Pemda, dan banyak lagi instansi pemerintah lainnya yang terlibat. Sering kali egoisme sektoral atau departemen membuat suatu kebijakan ekonomi yang sebenarnya sangat baik dilihat dari isinya namun akhirnya menjadi tidak efektif karena adanya benturan dengan kebijakankebijakan lainnya. Kondisi seperti ini sering kali membuat para calon investor kebingungan yang pada akhirnya membatalkan niat mereka menanam modal di Indonesia

Masalah koordinasi ini terasa semakin parah sejak pelaksanaan otonomi daerah. Banyak peraturan pemerintah atau keputusan presiden tidak bisa berjalan efektif karena adanya tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang semuanya merasa paling berkepentingan atas penanaman modal di daerah.Dalam kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi, kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam bidang penanaman modal. Namun, sejak pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah pusat terpaksa mengeluarkan kepres khusus mengenai penanaman modal karena banyaknya kendala yang dihadapi oleh para investor yang ingin membuka usaha di daerah, khususnya yang berkaitan dengan proses pengurusan izin usaha. Investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan disertai dengan biaya tambahan yang cukup besar. Persoalan ini muncul atau tidak adanya koordinasi yang baik antara pusat dan daerah tersebut jelas disebabkan tidak adanya penjelasan lebih lanjut secara teknis, termasuk di dalam isi pasal 11 UU No 22 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk soal pelaksanaannya penanaman modal daerah yang berakibat tidak efisiennya pengurusan perizinan usaha. Karena tanpa suatu panduan yang jelas, pemerintah daerah menafsirkan berbeda dengan pemerintah pusat mengenai wewenang dalam pengurusan penanaman modal di daerah. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha dilakukan oleh BKPM (pemerintah pusat) dan BKPMD (pemerintah daearah). Namun setelah berlakunya otonomi daearah, terjadi ketidakjelasan mengenai pengurusan izin usaha/investasi dan bukan hanya itu saja, juga terdapat tarik menarik antara kegiatan BKPMD dengan BKPM serta instansi-instansi pemerintah daerah lainnya yang menangani kegiatan investasi. Sejak penerapan otonomi daerah hingga sekarang ini banyak pemberitaan di media masa yang menunjukkan bahwa di sejumlah daerah kewenangan penanaman modal digabung dalam dinas perindustrian dan perdagangan, atau bagian perekonomian. Ada beberapa daerah yang membentuk suatu dinas khusus untuk mengurus penanaman modal. Bahkan banyak kabupaten/kota yang sangat serius dalam menciptakan iklim berinvestasi yang kondusif dengan membentuk kantor pelayanan satu atap. Misalnya, di Jepara dan Yaogyakarta, menurut Majalah Swasembada (2004), dengan sistem satu atap ini surat perizinan usaha dapat diperoleh dalam waktu rata-rata 5 hari hingga satu minggu. Demikian halnya dengan Pemda Kotamadwa Yogyakarta. Tetapi sayangnya masih lebih banyak daerah yang belum mampu merumuskan kebijakan atau regulasi sendiri, sehingga masih terikat dengan kebijakan pemerintah pusat dalam hal penanaman modal. Hasil survei dari LPEM-FEUI (2001) menunjukkan bahwa menurut responden Pemda, lama waktu pengurusan izin usaha baru apabila semua persyaratan dipenuhi dapat dikeluarkan paling lama dalam 3 bulan. Sementara itu, dari sisi pelaku usaha, waktu yang diperlukan untuk mengurus ijin usaha baru adalah antara 1-3 bulan (44%) dan antara 3-6 bulan (21.5%).

Kedua, selain harus sejalan dengan atau didukung oleh UU lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kelancaran penanaman modal di dalam negeri, UU PM yang baru ini juga harus memberikan solusi paling efektif terhadap permasalahan-permasalahan lainnya yang juga sangat berpengaruh terhadap kegiatan investasi, diantaranya adalah persoalan pembebasan tanah. Banyak kasus dalam beberapa tahun belakangan ini menunjukkan kegiatan investasi terhambat atau bahkan dibatalkan karena belum tuntasnya pembebasan tanah. Ini berarti, masalah pembebasan tanah harus masuk di dalam paket perijinan investasi seperti yang dimaksud di atas. Sekali lagi, UU PM No.25 tahun 2007 tersebut tidak akan efektif meningkatkan investasi di Indonesia apabila persoalan pembebasan tanah semakin ruwet, semakin mahal dan semakin besar resiko keselamatan jiwa dan usaha bagi calon investor. Yang dimaksud keselamatan jiwa dan usaha disini adalah karena sering kali terjadi penipuan dalam transakti pembelian tanah, yang beberapa tahun setelah tanah dibeli dan pabrik dibangun di atas tanah tersebut, tiba-tiba muncul sekelompok masyarakat menduduki pabrik tersebut dengan cara paksa dengan alasan mereka sebenarnya alih waris dari tanah itu dan tidak mendapatkan sesenpun uang dari pembelian tersebut. Ketiga, adalah birokrasi yang tercerminkan oleh antara lain prosedur administrasi dalam mengurus investasi (seperti perizinan, peraturan atau persyaratan, dan lainnya) yang berbelit-belit dan langkahlangkah prosedurnya yang tidak jelas. Ini juga merupakan masalah klasik yang membuat investor enggan melakukan investasi di Indonesia. Di Gambar 1, hasil survei WEF menunjukkan birokrasi yang tidak efisien merupakan masalah utama kedua yang dihadapi pengusaha di Indonesia. Masalah ini bukan hanya membuat banyak waktu yang terbuang tetapi juga besarnya biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha atau calon investor. Memang masalah ini tidak hanya dihadapi oleh pengusaha di Indonesia tetapi juga dibanyak negara lainnya. Diantara negara-negara ASEAN, hasil survei WEF tersebut menunjukkan Indonesia berada pada posisi ke 3 setelah Singapura dengan birokrasinya yang paling efisien atau biaya birokrasi paling murah (tidak hanya di ASEAN tetapi juga dunia menurut versi WEF) dan Malaysia (Gambar 2). Untuk mengukur ini, digunakan skor antara 1 (biaya paling besar) dan 7 (tidak ada biaya sama sekali). Seperti telah dikatakan sebelumnya, UUP PM yang baru ini bisa berfungsi sebagai motor akselerasi terhadap pertumbuhan investasi di Indonesia sesuai harapan hanya jika UU atau peraturan lainnya yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan investasi atau usaha disederhanakan atau mendukung UU PM tersebut. Dalam kata lain, tidak akan ada gunanya jika birokrasi dalam pengurusan izin investasi disederhanakan namun prosedur adminstrasi untuk mendapatkan izin-izin lainnya untuk membuka suatu usaha baru tidak turut disederhanakan.

Hasil survei dari WEF (2007) menunjukkan bahwa Australia, Kanada dan Selandia Baru berada di peringkat teratas alias terbagus dari 124 negara dalam jumlah prosedur yang harus dialami oleh seseorang dalam membuka suatu usaha baru. Sedangkan Indonesia berada di posisi ke 95 bersama-sama dengan Bosnia dan Herzegovina, Cameroon, Korea Selatan, Syria dan UAE. Sedangkan dalam hal waktu yang diperlukan untuk mengurus semua itu, juga Australia pada posisi terbaik, disusul oleh Kanada, Denmark, Islandia, AS, dan Singapura di peringkat ke 6. Jadi Singapura satu-satunya bukan hanya dari ASEAN tetapi juga dari Asia dan kelompok negara-negara berkembang yang masuk di dalam 10 besar negaranegara terbaik dalam masalah ini. Sementara itu, posisi Indonesia di 119, paling rendah di dalam kelompok ASEAN. Selama posisi Indonesia ini tidak membaik dalam tahun-tahun ke depan, kecil harapan bahwa pengaruh dari UU PM yang baru ini akan optimal. Gambar 2: Skor Indonesia di dalam kelompok ASEAN dalam Biaya dari peraturan pemerintah versi WEF 2007
Filipina Vietnam Kambodia Thailand Indonesia Malaysia Singapura 0 1 2 3 4 5
2.5 2.6 3.1 3.8 3.9 4.6 5.3

Seperti juga telah dijelaskan sebelumnya, bagi seorang investor yang akan banyak melakukan ekspor atau impor (perdagangan internacional), prosedur bea cukai yang berlaku di Indonesia juga sangat mempengaruhi niatnya untuk memilih negara ini sebagai tempat usahanya. Hasil survei dari WEF (2007) kembali menunjukkan buruknya posisi Indonesia untuk masalah ini (Tabel 3). Sekali lagi, keberadaan UU PM No.25 2007 akan kurang berarti atau bahkan sama sekali tidak menimbulkan efek akselerasi terhadap pertumbuhan investasi, khususnya PMA, di Indonesia, jika hal-hal lain seperti prosedur bea cukai tidak disederhanakan. Karena, penanaman modal hanyalah proses awal dari berdirinya suatu usaha yang tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dengan biaya dan resiko sedikit mungkin. Jika seorang pengusaha asing memperhitungkan bahwa keruwetan prosedur bea cukai di Indonesia akan mengurangi profitnya dibandingkan jika ia berinvestasi di Malaysia atau China, dengan asumsi bahwa kondisi lainnya sama, maka ia akan memilih membuka usahnya di Malaysia atau China.

Tabel 3: Peringkat Indonesia mengenai Prosedure Bea Cukai versi WEF 2007
Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 101 131 Sumber: WEF (2007). Negara Singapura Hong Kong SAR Sweden Korea Selatan Denmark Finlandia UAE Selandia Baru Austria Cili Indonesia Chad Skor 6,4 6,1 6,1 5,9 5,8 5,7 5,6 5,5 5,5 5,5 3,0 2,0

Upaya Perbaikan Seperti yang telah dibahas di atas bahwa investasi adalah langkah awal dari sebuah usaha yang diharapkan akan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Tanpa keuntungan tidak ada gunanya membuka sebuah usaha. Jadi tujuan utama bukan melakukan investasi tetapi membuat suatu usaha yang menguntungkan. Oleh karena itu, tidak akan ada gunanya UU PM No.25 2007 bagi seorang investor jika pada akhirnya usahanya merugi terus bahkan hingga bangkrut hanya karena banyaknya rintangan yang diciptakan oleh peraturan-peraturan lainnya yang sama sekali tidak terkait dengan izin penanaman modal namun mempengaruhi kelancaran suatu usaha. Sama seperti membangun rumah. Tujuannya bukan membangun rumah itu sendiri tetapi mendapatkan suatu rumah yang menguntungkan dalam arti misalnya memberi kenyamanan, ketenangan dan keamanan. Ini artinya, walaupun mendapatkan izin membangun rumah tidak sulit, tetapi sulitnya mendapat izin menyambung hubungan telepon dan listrik bisa akhirnya membatalkan niat membangun rumah. Seperti yang diilustrasikan di Gambar 3, Faktor-faktor utama yang mempengaruhi langsung kegiatan suatu bisnis, atau yang menentukan untung ruginya suatu bisnis. Ini adalah lingkungan langsung dari suatu bisnis. Sedangkan stabilitas ekonomi, politik dan sosial adalah termasuk faktor-faktor dari lingkungan lebih luas atau tidak langsung. Faktor-faktor dari lingkungan langsung termasuk investasi, pasar input (tenaga kerja, bahan baku, modal, enerji, dan input lainnya seperti pupuk dan bibit untuk pertanian), dan pasar output. Semua faktor-faktor tersebut di Indonesia diatur dengan berbagai peraturan, keputusan Presiden (Kepres) atau UU, seperti investasi sekarang diatur oleh UU PM No.25 2007. Kinerja dan kondisi pasar output maupun input dipengaruhi atau diatur oleh berbagai UU, seperti pasar tenaga kerja oleh UU No.13 2003 mengenai ketenaga kerjaan. Pasar output dan input juga termasuk pasar di luar negeri, oleh karena itu peraturan pemerintah mengenai perdagangan luar negeri seperti penerapan pajak atau ketentuan ekspor dan bea masuk serta pembatasan atau pembebasan impor juga sangat berpengaruh

pada faktor pasar output dan input yang selanjutnya mempengaruhi keuntungan dari perusahaanperusahaan yang terlibat, dan pada ujungnya akan mempengaruhi penilaian untung ruginya suatu investasi. Gambar 3: Faktor-faktor Utama di dalam Lingkungan Langsung dari Suatu Bisnis
Ekspor & impor

Lokasi

Pasar output

Transportasi & Komunikasi

Sektor

Bisnis

Investasi

Infrastruktur Pasar input

Keamanan

Ekspor & Impor

Tenaga Kerja

Modal

Enerji

Input lainnya

Perbankan

Pasar Modal

Pembahasan di atas bukan mau mengatakan bahwa UU PM yang baru ini perlu ditambah dengan pasal-pasal yang mengatur faktor-faktor linkungan langsung tersebut di atas. Lagi pula, UU tersebut sudah disetujui dan berlaku. Satu hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mengkaji ulang semua peraturan, Kepres, atau UU yang berlaku yang mengatur faktor-faktor tersebut (terkecuali investasi karena sudah diatur sendiri dengan UU PM No.25 2007) untuk melihat apakah semua peraturan, Kepres atau UU tersebut konsisten dengan UU PM yang baru tersebut. Yang tidak konsisten atau tidak mendukung tujuan dari UU PM No.25 tersebut harus segera dirubah/direvisi. Ini yang dimaksud dengan kebijakan investasi dalam satu paket. Sama seperti armada angkatan laut Amerika Serikat yang biasanya terdiri dari satu kapal induk didampingi oleh puluhan kapal, termasuk kapal perang, kapal pengangkut bahan bakar dan kapal selam. Jadi, UU PM No.25 2007 adalah kapal induknya, sedangkan peraturan, Kepres dan UU lainnya adalah kapal-kapal pendukung.

10

Hal kedua yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah masalah koordinasi. Dalam hal ini pemerintah harus tegas bahwa koordinasi nasional mengenai penanama modal di Indonesia adalah BKPM, walaupun sekarang ini dalam era otonomi daerah, pemda punya hak mengaturnya di lapangan, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 No. 11, Bab I (Ketentuan Umum) dari UU PM No.25 2007 sbb.: Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat perlu mengingat bahwa buruknya koordinasi antar departemen sudah merupakan salah satu masalah klasik di republik ini, dan jangan dibiarkan koordinasi ini menjadi lebih buruk akibat otonomi daerah. Ketiga, ada baiknya pemerintah pusat membantu sungguh-sungguh upaya pemerintah daerah dalam menyederhanakan proses perizinan penanaman modal di daerah. Walaupun ada sejumlah daerah seperti Jepara dan Yogyakarta telah berhasil membuat pelayanan satu atap, namun masih lebih banyak lagi daerah yang bahkan sama sekali tidak tahu bagaimana memulai pembangunan satu atap. Juga di daerah-daerah yang sama sekali tidak ada kesamaan visi dari lembaga-lembaga pemerintah, ditambah lagi tidak ada keseriusan dari Bupati, sangat sulit diharapkan daerah-daerah tersebut bisa membangun pelayanan satu atap. Di sini peran pemerintah pusat sangat diharapkan. Terakhir, adanya UU PM No.25 2007 harus diakui merupakan suatu kemajuan besar dalam upaya selama ini menyederhanakan proses perizinan penanaman modal untuk meningkatkan investasi di dalam negeri. Namun, hasilnya sangat tergantung pada bagaimana implementasinya di lapangan. Oleh karena itu, implementasiya harus dimonitor secara ketat, khususnya di daerah. Karena, lagi-lagi, masalah klasik lainnya di republik ini adalah Indonesia termasuk jempolan dalam membuat konsep atau memformulasikan suatu UU. Tetapi, hanya sedikit dari UU yang ada hingga saat ini di bidang ekonomi yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Persoalannya juga klasik: (1) ada orang-orang pemerintah, di pusat maupun di daerah, khususnya di bidang-bidang yang basah, merasa dirugikan dengan suatu UU, sehingga mereka akan dengan segala cara menghalangi pelaksanaan UU tersebut; dan (2) akibat gaji yang rendah, banyak pegawai negeri yang ditugaskan melaksanakan UU tersebut di lapangan bisa dengan mudah di sogok oleh pihak yang merasa dirugikan oleh UU tersebut, sehingga akhirnya UU tersebut tidak berlaku efektif di lapangan.

11

Daftar Pustaka

LPEM-FEUI (2001), Construction of Regional Index of Doing Business, Laporan Akhir, Jakarta. Swasembada (2004), Apa Siapa Macan-macan Bisnis Daerah, Edisi Khusus, No 8/XX/15-28 April. WEF (2007), The Global Competitiveness Report 2007-2008, Geneva: World Economic Forum.

12

Anda mungkin juga menyukai