Anda di halaman 1dari 9

Teori Belajar Bermakna

Teori yang disampaikan oleh David Ausebel (1969). Beliau berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kongitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Bermakna yaitu materi pelajaran yang baru match dengan konsep yang ada dalam struktur kognisi siswa. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausebel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama meraka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun siswa pada pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi. Langkah-langkah yang biasanya dilakukan untuk menerapkan belajar bermakna Ausebel sebagai berikut : 1. Advance Organizer (Handout) Penyampaian awal tentang materi yang akan dipelajari siswa diharapkan siswa secara mental akan siap untuk menerima materi kalau mereka mengatahui sebelumnya apa yang akan disampaikan guru. 2. Progressive Differensial Materi pelajaran yang disampaikan guru hendaknya bertahap. Diawali dengan hal-hal atau konsep yang umum, kemudian dilanjutkan ke hal-hal yang khusus, disertai dengan contoh-contoh. 3. Integrative Reconciliation Penjelasan yang diberikan oleh guru tentang kesamaan dan perbedaan konsep-konsep yang telah mereka ketahui dengan konsep yang baru saja dipelajari. 4. Consolidation Pemantapan materi dalam bentuk menghadirkan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan selanjutnya siap menerima materi baru.

Model Pemrosesan Informasi


Teori ini disampaikan oleh Robert Gagne (1970) dan berpendapat bahwa proses belajar adalah suatu proses dimana siswa terlibat dalam aktivitas yang memungkinkan mereka memiliki kemampuan yang tidak dimiliki sebelumnya. Terdapat 8 tingkatan kemampuan belajar, dimana kemampuan belajar pada tingkat tertentu ditentukan oleh kemampuan belajar ditingkat sebelumya. Adapun 8 tingkatan belajar tersebut antara lain : 1. Signal Learning Dari signal yang dilihat/didengarnya, anak akan memberi respon tertentu. 2. Stimulus Response Learning Seorang anak yang memberikan respon fisik atau vokal setelah mendapat stimulus respon yang sederhana 3. Chaining

Kemampuan anak untuk menggabungkan dua atau lebih hasil belajar stimulus respon yang sederhana. Channing terbatas hanya pada serangkaian gerak (bukan serangkaian produk bahasa lisan. 4. Verbal Association Bentuk penggabungan hasil belajar yang melibatkan unit bahasa seperti memberi nama sebuah objek / benda. 5. Multiple Discrimination Kemampuan siswa untuk menghubungkan beberapa kemampuan chainning sebelumnya. 6. Concept Learning Belajar konsep artinya anak mampu memberi respon terhadap stimulus yang hadir melalui karakteristik abstraknya. Melalui pemahaman konsep siswa mampu mengidentifikasikan benda lain yang berbeda ukuran, warna, maupun materinya, namun masih memiliki kararkteristik dari objek itu sendiri. 7. Principle Learning Kemampuan siswa untuk menghubungkan satu konsep dengan konsep lainnya. 8. Problem Solving Siswa mampu menerapkan prinsip-prinsip yang telah dipelajari untuk mencapai satu sasaran. Adapun terdapat tiga komponen utama dalam pemrosesan informasi, yaitu : MEMORI JANGKA PENDEK MEMORI JANGKA PANJANG REGISTER PENGINDERAAN Penyebab lupa yang terjadi pada proses interferensi, yaitu : PENYEBAB LUPA Hambatan Proaktif : Dimana berinterferensi dengan tugas yang dipelajari kemudian Hambatan Retroaktif : Dimana apabila mempelajari suatu tugas kedua membuat seseorang lupa apa yang telah dipelajari sebelumnya

Strategi Kognitif
Strategi kognitif merupakan keterampilan yang terorganisasi dari dalam yang fungsinya untuk mengatur dan memonitor penggunaan konsep dan aturan atau kemampuan internal yang terorganisasi yang dapat membantu siswa dalam proses belajar, proses berpikir, memecahkan masalah dan mengambil keputusan (Gagne, 1974). Stretegi kognitif merupakan kemampuan tertinggi dari domain kognitif (Gagnes Taxonomy) setelah analisis, sintesis dan evaluasi (Bloom Taxonomy). Adapun jenis Strategi Kognitif, antara lain : 1. Strategi memperhatikan dan melakukan pengamatan secara efektif 2. Strategi meng-encode materi yang dihadapi untuk penyimpanan jangka panjang (image forming, focusing, scanning dsb)

3. Strategi mengingat kembali (retrival), (mnemonic system, visual images, rhyming) 4. Strategi pemecahan masalah Pemerolehan Strategi Kognitif Pemerolehan kerapkali segera diperoleh dan penggunaannya makin dapat diandalkan melalui latihan dan praktek. Kondisi belajar untuk strategi kognitif, ditentukan oleh dua hal : 1. Kondisi dalam diri pelajar Memahami konsep dengan mengatakan berkali-kali dalam hal menghafal 2. Kondisi dalam situasi belajar Strategi yang berorientasi pada tugas dan ditemukan sendiri oleh pembelajar

Cognitive Development Model


Model ini disampaikan oleh Jean Piaget (1896-1980). Menurut Piaget ada empat tahapan perkembangan kognisi manusia, sebagai berikut : 1. Tingkat Sensorimotor (0-2 thn) Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memilki pengetahuan object permanence yaitu walaupun object pada suatu saat tidak terlihat didepan matanya, tidak berarti objek tersebut tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya beranggapan bahwa benda yang tidak mereka lihat berarti tidak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang disekelilingnya. 2. Tahap Preoporational (2-7 thn) Anak-anak pada tahap ini sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa 2-7 thn, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, dimana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walaupun bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya kata-kata saja. 3. Tahap Concrete (7-11 thn) Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga sudah mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se-egosentris

sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran yang melibatkan siswa dalam melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif dibandingkan dengan penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata). 4. Tahap Formal Operations (11 thn ke atas) Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis. Walaupun pada mulanya, piaget beranggapan bahwa pada usia sekitar 15 tahun, hampir semua remaja akan mencapai tahap perkembangan formal operation ini. Namun kenyataan membuktikan bahwa banyak siswa SMU bahkan sebagian orang dewasa sekali pun tidak memiliki kemampuan berpikir dalam tingkat ini.

Teori Kognitif: Pendekatan Konstruktivisme


Pada dasarnya pengetahuan yang kita miliki adalah konstruktivisme (bentukan) kita sendiri (Von Glaseserfeld, 1996). Seseorang yang belajar akan membentuk pengertian, ia tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang diajarkan atau yang ia baca, melainkan menciptakan pengertian baik secara personal maupun sosial (Resnick, 1983 ; Bettencourt, 1989). Pengetahuan tersebut dibentuk melalui interaksi dengan lingkungannya. Agar dapat mengerti sesuatu yang dipelajari, maka pembelajar harus bisa menemukan, mengorganisir, menyimpan, mengemukakan dan memikirkan suatu konsep atau kejadian dalam proses yang aktif dan konstruktif. Melalui proses pembentukan konsep yang terus menerus maka pengertian bisa dibangun (Bettencourt, 1989). Pandangan Konstruktivisme Mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya (Bettencourt, 1989). Berpikir yang baik lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar (Von Glasersfeld, 1989). Gagasan Konstruktivisme Tentang Pengetahuan Siswa mengkonstruksi skema kognitif, kategori, konsep dan struktur dalam membangun pengetahuan, sehingga setiap siswa memiliki skema kognitif, kategori dan struktur yang berbeda

Proses abstraksi dan refleksi seseorang menjadi sangat berpengaruh dalam kontribusi pengetahuan (Reflection/abstraction as primary). Faktor Yang Mempengaruhi Konstruksi Pengetahuan 1. Hasil konstruksi yang telah dimiliki (Constructed Knowledge) 2. Domain pengalaman (Domain Of Experience) 3. Jaringan struktur kognitif (Existing Cognitive Structure) Makna Belajar Dalam Konstruktivisme a. Belajar berarti membentuk makna b. Konstruksi merupakan proses yang terus menerus c. Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi proses pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian Peran Dalam Pembelajaran Konstruktivisme a. Menyediakan pengalaman belajar b. Memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan mahasiswa c. Menyediakan sarana yang membuat mahasiswa berpikir produktif d. Memonitor dan mengevaluasi hasil belajar mahasiswa Proses Pembelajaran Konstruktivisme a. Orientasi (Apersepsi) b. Elisitasi, Pengungkapan ide siswa c. Restrukturisasi ide : (menjelaskan ide, berargumentasi, membangun ide baru dan mengevaluasi ide baru) Evaluasi Dalam Pembelajaran Konstruktivisme Alternative Assesment, dengan menggunakan potofolio, observasi proses, simulasi dan permainan, dinamika kelompok, studi kasus dan performance appraisal Strategi Pembelajaran Konstruktivisme Antara lain Student-Centered Learning Strategis, dimana siswa belajar aktif, belajar mandiri, belajar kooperatif dan kolaboratif, self-regulated learning dan generative learning. Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Belajar Berdasarkan prinsip bahwa Dalam belajar seseorang harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, maka guru hendaknya mengusahakan agar murid aktif berpartisipasi dalam membangun atau mengkonstruksi pengetahuannya. Ada dua pertanyaan yang perlu dicermati guru, yaitu : 1. Pengalaman-pengalaman apa yang harus disediakan bagi para siswa supaya dapat memperlancar proses belajar 2. Bagaimana pembelajar dapat mengungkapkan atau menyajikan apa yang telah mereka ketahui untuk memberi arti pada pengalaman-pengalaman itu (Tobin, Trippin dan Gallard, 1994)

Model pembelajaran yang menggambarkan prinsip konstruktivisme : kesempatan yang luas bagi siswa untuk mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, siswa dibantu untuk lebih berpikir dan merefleksikan pengetahuan mereka dalam kegiatan seperti : diskusi kelompok, debat, menulis paper, membuat laporan penelitian dimajalah, berdiskusi dengan para ahli, meneliti dilapangan, mengungkapkan pertanyaan dan sanggahan terhadap apa yang disampaikan guru, dll.

Teori Konstruktivisme
Lebih dua dasa warsa terakhir ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktik pendidikan mereka, bahkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pun tak luput dari pengaruh teori ini. Paul Suparno dalam Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan mencoba mengurai implikasi filsafat konstruktivisme dalam praktik pendidikan. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut. Jika behaviorisme menekankan ketrampilan atau tingkah laku sebagai tujuan pendidikan, sedangkan maturasionisme menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan usia, sementara konstruktivisme menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya. Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalamanpengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang.

Proses tersebut meliputi: 1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang. 2. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci. 3. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi. 4. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.

DAFTAR PUSTAKA

Bell-Geller, M.E. Learning and Instruction: Theory Into Practice, Macmillan Publishing Company, New York, 1986. Irawan, Prasetya, Teori Belajar. Program Pengembangan Keterampilan DAsar Teknik Instruksional (PEKERTI) Untuk Dosen MUda. Pusat Antar Universitas_Dikti, Depdikbud, 1997 Subiyanto, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Slavin, Robert E. Educational Psychology: Theory and Practice (Development During Childhood and Adolescence). Allyn and Bacon Paramount Publishing, Massachusetts, 1994.

KONSEP BELAJAR

A.Pengertian belajar Belajar dapat disimpulkn bahwa belajar dalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sbagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkunganya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor. Dimana perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak skali baik sifat maupun jenisnya karena itu sudah tentu tidak setiap perubahan dalam diri seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar.Terdapat delapan alas an kecenderungan umum mengapa manusia mau belajar, yaitu sebagai berikut: 1.dorongan rasa ingintau yang kuat dari dalam dirinya untuk mengetahui sesuatau yang diwujudkan dengan munculnya sejumlah pertanyaan-pertanyan. 2.keinginan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknolgi sebagai tuntutanzaman dan lingkungan disekitarnya. 3untuk mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkunganya. 4.dan untuk mencapa cita-cita. B.Ciri-Ciri Belajar Jika belajar adalah perubahan tingkah laku, maka ada beberapa perubahan tertentu yang dimasukan ke dalam cirri-ciri belajar yaitu: 1.perubahan yang trjadi secara sadar. 2Perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional. 3.perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif. 4.perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara. 5.perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah. 6.perubahan mencangkup aspek tingkah laku. Selain cirri-ciri yang diungkapkan diatas, terdapat 3 ciri umum belajar menurut Aunurrahman(2010), yaitu: 1.belajar menunjukan suatu aktifitas pada diri seseorang yang disadari atau disengaja. 2.belajar merupakan interaksi individu dengan lingkunganya. 3.hasil belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku. C.Jenis-jenis belajar Jenis-jenis yang diuraikan dalam pembahasan berikut merupakan penggabungan dari pendapat empat ahli yaitu: A. De Block, C.Van Parreren, Robert M. Gagne dan Benyamin S. Bloom, karena belum ada kesepakatan mengenai perumusan jenis-jenis belajar. Sehingga kemudian jenis-jenis belajar dalam pembahasan ini diambil dari sintesis Slameto dan Syaiful Bahri Djamarah yang merumuskan pendapat dari empat ahli tersebut:

Jenis-jenis belajar menurut Slameto (2010), yaitu: 1.belajar bagian 2.belajar dengan wawasan. 3.belajar diskriminatif. 4.belajar global 5.belajar isidental. 6.belajar instrumental 7.belajar laten 8.belajar mental. 9.belajar itensional 10. belajar produktif dan verbal.

Anda mungkin juga menyukai