Anda di halaman 1dari 15

DIALEKTIKA NASIKH-MANSUKH

1. Prawacana Salah satu bahasan dalam studi Al-Quran yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan adalah fenomena naskh. Fenomena naskh yang diakui oleh para ulama merupakan bukti adanya dialektika hubungan antara wahyu dan realitas. Sebab, naskh merupakan upaya membatalkan dan tidak memberlakukan hukum, baik pembatalan tersebut berkaitan dengan penghapusan hukum dan melepaskannya dari pembacaan maupun membiarkan teks tersebut tetap ada sebagai petunjuk akan adanya hukum yang di-mansukh. Akan tetapi fenomena naskh dalam pemikiran keagamaan yang hegemonik dan mapan memunculkan banyak persoalan yang memiliki kompleksitas yang luas dan tinggi, baik dalam teologi maupun fiqh (yurisprudensi) Islam. Bahkan dalam kajian keislaan, fenomena naskh tidak hanya terdapat pada ayat-ayat yang ada dalam Al-Quran, tetapi juga merambah pada teks hadits.1 Berkaitan dengan persoalan naskh ini, para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda, baik dari segi keberadaan naskh, pengertian atau konsep naskh, ruang lingkup naskh, fungsi naskh, pola-pola naskh, maupun implikasi adanya naskh. Begitu banyaknya persoalan yang muncul di sekitar naskh, maka penulis di sini hanya akan membatasi pembahasannya pada pengertian atau konsep naskh yang ada dalam AlQuran menurut berbagai ulama.

A.Konsep Naskh

Para ulama memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian naskh. Berikut ini penulis akan mencoba mengeksplorasi beberapa pengertian naskh menurut berbagai perspektif: Naskh atau nasikh-mansukh dalam perspektif Ulama Mutaqaddimin, perspektif Ulama Mutaakhirin, perspektif Modernis, dan perspektif Neo-Modernis. 1. Naskh dalam Perspektif Ulama Mutaqaddimin

Para ulama Mutaqaddimin (abad I hingga abad III H.) mengartikan kata naskh dengan begitu luas. Dr. M. Quraish Shihab, dengan mengutip pendapat Asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, menjelaskan pengertian naskh dalam padangan ulama Mutaqaddimin. Menurut ulama Mutaqaddimin, pengertian naskh mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; dan (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.2 Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa sebagian ulama Mutaqaddimin juga menganggap bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makah di saat

kaum muslimin lemah, dianggap telah di-naskh oleh ayat yang memperbolehkan berperang pada periode Madinah. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.3 Jadi, naskh dalam perspektif ulama Mutaqaddimin mencakup pengertian takhsish, taqyid, istitsna, dan baraatul ashliah. Begitu luasnya pengertian naskh menurut ulama Mutaqaddimin pada akhirnya berimplikasi pada banyaknya ayat-ayat dalam Al-Quran yang mengalami naskh.4 2. Nasikh-Mansukh dalam Perspektif Ulama Mutaakhkhirin

Berbeda dengan ulama Mutaqaddimin yang mengartikan naskh dengan begitu luas, mencakup takhsish, taqyid, istitsna, dan baraatul ashliah, ulama Mutaakhirin memiliki pengertian yang lebih spesifik. Dalam pandangan mereka, naskh berarti mengganti atau mencabut hukum syara dengan dalil syara yang datang kemudian (rafu al-hukm asy-syri bi dalilin syariyyin mutaakhirin),5 di antara yang berpendapat seperti itu adalah Imam asy-Syafii dan Imam Ibn Hazm.6 Berkaitan dengan pembatasan pengertian naskh menurut ulama Mutaqaddimin tersebut, paling tidak ada tiga hal yang perlu kita perhatikan dan garis bawahi, yaitu: pertama, kata rafu (penghapusan), kedua, alhukm asy-syari (hukum syara), dan ketiga, bi dalilin syariyyin mutaakhirin (dengan menggunakan dalil syara yang datang kemudian).

Kata rafu (penghapusan) bisa mengeluarkan ayat yang tidak dihapus, misalnya ayat yang men-takhsis, karena ayat takhsis pada dasarnya tidak menghapuskan suatu hukum, tetapi hanya membatasi suatu ayat atas satuan-satuannya. Selanjutnya, kata al-hukm asy-syariy mengan-dung pengerian bahwa selain hukum syara tidak mungkin terjadi naskh. Sedangkan kata bi dalilin syariyyin mutaakhirin dengan jelas menunjukkan bahwa hukum syara yang datang lebih dahulu baru bisa dinaskh dengan hukum syara yang datang kemudian. Ini berarti bahwa ayat yang dinaskh harus datang (turun) lebih dahulu daripada ayat yang me-naskh. Sebagai contoh tentang adanya naskh adalah mengenai dihapuskannya kewajiban bagi seorang muslim dalam shalat untuk menghadap Baitul Maqdis dan diganti dengan kewajiban menghadap Masjidil Haram. Selain asy-Syafii, Ibn Hazm dan Jumhur ulama yang mengakui adanya naskh dan telah memberikan devinisi tentangnya, terdapat ulama dari golongan Mutaqaddimin yang justru menolak adanya naskh dalam Al-Quran, dia adalah Abu Muslim al-Isfahani dan Sayyid al-Khui. Dalam pandangan Abu Muslim al-Isfahani, tidak ada nasikh-mansukh dalam Al-Quran. Untuk menguatkan pendapatnya dia berhujjah dengan Q.S. 41: 42 Tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya. Ayat ini menurut Abu Muslim al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran tidak disentuh oleh pembatalan, dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai pembatalan maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran. Selain itu, menurut kelompok yang menolak adanya naskh dalam

Al-Quran, mereka juga berpendapat bahwa pembatalan hukum dari Allah akan mengakibatkan satu dari dua kemustahilann-Nya; yaitu (a) ketidaktahuan Tuhan, sehingga ia perlu mengganti atau membatalkan hukum dengan hukum yang lain, dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka. Tetapi pendapat Abu Muslim tersebut di-counter oleh para pendukung naskh dengan menyatakan bahwa argumen yang dikemukakan oleh Abu Muslim berkaitan dengan ayat tersebut sangat tidak tepat, karena ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan, tetapi berbicara tentang kebatilan, yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkan bukan berarti batil, sebab sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan yang membatalkan keduanya hak dan benar, buka batil. Selain itu, Jumhur ulama, untuk menguatkan pendapatnya, juga berargumen dengan Q.S. 2: 106; Kami tidak me-naskh-kan ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Dengan argumen yang dikemukakan oleh para pendukumng naskh ini, menurut Quraish Shihab, maka tertolaklah pendapat para ulama yang tidak mengakui adanya naskh dalam AlQuran.7 Meskipun demikian, Quraish Shihab memandang perlu adanya

rekonsiliasi antara kedua kelompok tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh ulama Mutaakhirin, sebagaimana usaha mereka dalam meninjau istilah yang digunakan oleh ulama Mutaqaddimin. Dalam hal ini ia merekomendasikan kepada kita untuk menjadikan pemikiran Muhammad Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Qur-an sebagai titik tolak. 3. Nasikh-Mansukh dalam Perspektif Modernis

Di antara ulama modernis yang melakukan kajian terhadap nasikh-mansukh adalah Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Muhammad Abduhmeskipun tidak mendukung pengertian kata ayat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 106 sebagai ayat-ayat hukum dalam Al-Quran, dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu yang menurutnya mengisyaratkan bahwa ayat pada surat tersebut adalah mukjizatia tetap berpendapat bahwa dicantumkannya Ilmu Tuhan, diturunkan, dan tuduhan kebohongan adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata ayat dalam Q.S. an-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.8 Apa yang dinyatakan Muhammad Abduh di atas lebih dikuatkan lagi oleh adanya kata Ruh al-Quds yakni Jibril yang mengantarkan turunnya Al-Quran. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan memper-hatikan konteks ayat tersebut, baik

ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. Ayat 98 sampai 100 berbicara tentang taawwudz (audzubillah) apabila membaca Al-Quran serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara tentang pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai ayat-ayat Al-Quran), Kemudian ayat 102 dan 103 berbicara tetang siapa yang membawanya turun serta tuduhan kaum Musyrik terhadapnya (Al-Quran). Dari uraian tersebut memang terlihat bahwa Muhammad Abduh menolak adanya naskh dalam Al-Quran dalam arti pembatalan, tetapi ia menyetujui bahwa dalam Al-Quran terdapat (pergantian, peng-alihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain). Dengan demikian, kita cenderung memahami pengertian naskh dengan pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain. Dalam arti bahwa bahwa kesemua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakkat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.9

4. Nasikh-Mansukh dalam Perspektif Neo-Modernis.

Mahmoud Muhammad Taha, atau sering juga dipanggil dengan Ustadz Mahmoud, seorang pemikir Sudan, menawarkan sebuah konsep naskh yang berbeda dengan konsep naskh yang selama ini kita pahami.

Dalam pandangan Mahmoed Muhammad Taha, sebenarnya Syari,ah Islam memiliki dua pesan, yaitu pesan pertama (The First Massage of Islam) dan pesan kedua (The Sechond Massage of Islam). Pesan kedua Islam ini menurutnya, merupakan ayat-ayat Makiyyah, namun berbeda sama sakali dengan angan-angan sosial kita selama ini bahwa Makiyyah-Madaniyyah hanya sebagai pemilahan tempat atau waktu pewahyuan. Ustadz Mahmoud menyatakan bahwa ayat-ayat dalam Al-Quran harus dimaknai sebagai terks-teks yang berhadapan dengan audience, atau dalam bahasa Nasr hamid Abu Zaid, merupakan dialektika hubungan antara wahyu dan realitas, yaitu realitas masyarakat abad VII Masehi lampau. Pesan Makah atau ayat-ayat Makiyyah merupakan pesan Islam atau ayat-ayat yang abadi dan Fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras, dan lain-lain. Dalam arti bahwa manusia pertama kali diseru untuk masuk Islam paripurna melalui ayat-ayat Makiyyah (pesan Kedua). Pesan itu ditandai dengan persamaan antara laki-laki dan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih, beragama, dan berkeyakinan. Baik substansi pesan Islam periode Makah maupun perilaku pengembangannya selama periaode Makah, semuanya didasarkan pada ismah, yaitu kebebasan untuk memilih tanpa ancaman atau bayangan kekerasan dan paksaan apa pun.10 Namun, ketika tinggkat tertinggi dari pesan itu dengan keras dan dengan tidak masuk akal ditolak dan secara praksis ditunjukkan bahwa pada umumnya

masyarakat abad VII Masehi belum siap untuk melaksanakannya, maka pesan yang lebih realistik pada masa Madinah (The First Message of Islam) diberikan dan dilaksanakan. Dengan jalan ini, aspek-aspek pesan periode Makah yang belum siap untuk diterapkan dalam praktik pada konteks sejarah abad VII Masehi, ditunda dan diganti dengan prinsip-prinsip yang lebih praktis yang diwahyukan dan diterapkan pada masa Madinah. Tetapi, dalam pandangan Ustadz Mahmoud Muhammad Taha aspek-aspek pesan Makah yang ditunda pelaksanaannya itu tidak akan pernah hilang sebagai sebuah sumber hukum. Ia hanya ditangguhkan pelaksanaannya dalam kondisi yang tepat dimasa depan.11 Dalam rangka menggali kembali pesan kedua yang tertangguhkan itu, Ustadz Mahmoud Muhammad Taha memunculkan konsep evolusi Syariah yang berupa nasikh-mansukh (naskh). Naskh (pergantian atau penangguhan) dalam perspektif Mahmud Muhammad Taha adalah dalam pengertian pergantian atau penangguhan waktu. Yaitu menangguhkan diberlakukannya ayat-ayat Makiyyah sampai datangnya saat yang tepat untuk memberlakukannya, yang dalam pandangan Ustadz Mahmoud, abad XX ini adalah saat yang tepat untuk memberlakukan ayat-ayat Makiyyah, dan menggeser keber-lakuan ayat-ayat Madaniyyah yang diskriminatif. Pemikiran revolusioner Untadz Mahmoud adalah ide bahwa proses penangguhan (naskh) dalam faktanya merupakan suatu penundaan tetapi bukan dalam artian yang final dan konklusif. Ketika premis dasar ini diakui, keseluruhan era baru yurisprudensi Islam dapat dimulai, suatu era

yang diikuti dengan perkembangan-perkembangan kebebasan dan kesetaraan penuh bagi umat manusia tanpa adanya diskriminasi atas jenis kelamin dan agama atau keyakinan. Sebagaimana yang tampak dewasa ini hukum syariah Islam historis telah melakukan diskriminasi atas dasar jenis kelamin dan agama.12

B.Purnawacana

Setelah mengeksplorasi berbagai konsep Naskh, pemakalah melihat adanya pergeseran pemikiran para ulama dalam memahami nasakh. Menurut pemakalah, pemahaman para ulama Mutaqaddimin dan Mutaakhuirin lebih banyak didasarkan pada bagaimana mereka melihat adanya pertentangan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dengan kurang untuk tidak mengatakan tidak-- mempertimbangkan realitas masyarakat yang ada saat itu. Tetapi konsep nasakh-nya Ustadzd lebih didasarkan pada pertimbangan adanya ayat-ayat Madaniyyah yang diskriminatif, yang sekarang ini sudah bukan saatnya lagi memberlakukan ayat-ayat diskriminatif tertsebut untuk kemudian digantikan (di-nasakh) dengan ayat-ayat yang universal-demokratis.

Dalam pandangan pemakalah, dengan melihat realitas kehidupan seperti sekarang ini maka konsep naskh yang digagas oleh Ustadz Mahmoud adalah yang paling tepat dan rasional. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa konsep nasakh yang telah digagas oleh Ulama Mutaqaddimin, Mutaakhiri, dan Modernis adalah sesuatu yang salah dan tidak berguna.

Karena bagaimana pun pemikiran seseorang adalah hasil dari persentuhannya dengan realitas yang ada di sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ahmad an-Naim, Toward an Islamic Reformation Civil Liberalies, Human Rigt and International Low, alih bahasa Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak asasai Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Buku I, Cet III, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Mahmoud Muhamed Taha, The Second Massage of Islam, alih bahasa Nur Rachman, Syariah Demokratik, Cet I. Surabaya: eLSAD, 1996.

May Rachmawatie dan Yudie R. Haryono, Al-Quran Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan , Cet. I. Bekasi; Gugus Press, 2000.

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1994.

M. Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saifullah Masum (dkk.), Cet, I. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash, alih bahasa Khoiron Nahdiyyin, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Subhi ash-Shalih, Mabahits fi Ulum Al-Quran, Cet. ix, Dar al-ilm li al-malayin, tt.

DIALEKTIKA NASIKH-MANSUKH

Disampaikan dalam Seminar Kelas Muamalah

Mata Kuliah Studi Al-Quran: Teori dan Metodologi

Dosen Pengampu Dr. Hamim Ilyas, MA.

Disusun Oleh:

Fuad Mustafid
NIM: 02.232.196

KONSENTRASI MUAMALAT MAGISTER STUDI HUKUM ISLAM PROGRAM PASCASARJANA IAIN SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA
2002

1 Lihat pembagian naskh menurut Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani dalam kitabnya Manahilul Irfan fi Ulum Al-Quran, dalam May Rachmawatie dan Yudie R. Haryono, Al-Quran Buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan , Cet. I, (Bekasi; Gugus Press, 2000), hlm. 345-346. Lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash, alih bahasa Khoiron Nahdiyyin, Tekstualitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulum al-Quran, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 153. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 144. 3 Ibid. Sebagai contoh tentang tradisi pra-Islam yang kemudian di hapus oleh Syariat Islam, yang juga dianggap sebagai bagian dari pengertian naskh, adalah diperbolehkannya seorang laki-laki untuk menikah dengan perempuan yang tanpa batas, tetapi setelah datangnya Islam, tradisi tersebut di hapus, dan seorang laki-laki hanya diperbolehkan menikah maksimal dengan empart orang perempuan. 4 Dalam pandangan an-Nahas ayat dalam Al-Qur-an yang mengalami naskh ada 100 ayat, sedangkan menurut as-Suyuti hanya 22 ayat. Lihat May Rachmawatie dan Yudie R. Haryono, Al-Quran buku yang Menyesatkan dan Buku yang Mencerahkan hlm 341. Sedangkan beberapa contoh tentang ayat-ayat dalam Al-Quran yang dianggap telah mengalami naskh adalah; ayat tentang wajibnya berwasiat kepada ahli warits bagi seseorang yang sudah ada tanda-tanda kematian (al-Baqarah: 80), ayat tersebut di naskh oleh ayat mawarits (al-Baqarah: 182); dan ayat tentang larangan minuman keras (khamr). Lihat M. Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saifullah Masum (dkk.), Cet, I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 287, 291-292. 5 Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, hlm. 144; Subhi ash-Shalih, Mabahits fi Ulum Al-Quran, Cet. Ix, (Dar al-Ilm li al-Malayin, tth.), hlm. 261.

6 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hlm. 283-284. 7 Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, hlm. 145-146. 8 Ibid., hlm. 147. 9 Ibid., hlm. 147-148. Lihat juga May rahmawati dan Yudie R. Haryono, Al-Quran kitab yang Menyesatkan dan Kitab yang Mencerahkan, hlm. 355. 10 Abdullah Ahmad an-Naim, Toward an IslamicReformation Civil Liberalies, Human Rigt and International Low, alih bahasa Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak asasai Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Buku I, Cet III, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 103. 11 Ibid., hlm. 103-104. 1 12 Mahmoud Muhamed Taha, The Second Massage of Islam, alih bahasa Nur Rachman, Syariah demokratik, Cet I. (Surabaya: eLSAD, 1996), hlm. 55-56.

Anda mungkin juga menyukai