Anda di halaman 1dari 4

BIPOLAR

27 Agustus 2010, hari ini aku akan menemuinya, lagi. Aku tahu mungkin ini terdengar bodoh, orang-orang selalu bertanya mengapa aku membuang waktu melakukan hal yang siasia. Mereka selalu berkata sebaiknya aku melanjutkan hidup, menghabiskan waktu melakukan hal-hal yang menyenangkan. Aku pernah ingat kata-kata seorang kerabat yang coba menyelamatkan jiwaku kau masih muda lakukanlah yang biasa dilakukan orang-orang pada usiamu, shop till you drop misalnya, wanita gemar melakukan ini bukan? Aku hanya memberi senyum. Bahkan aku sendiri pun tak yakin apa itu masih sebuah senyuman. Aku paham ia berniat baik, tapi ia tak tahu bencana macam apa yang mampir di sini, di hati. Ini bulan kesepuluh dia begini, aku tahu dia takkan bicara padaku, takkan melihat ke arah aku datang dan mungkin takkan memberi sambutan hangat. Tapi aku sudah secara sadar menjalani ini selama sepuluh bulan. Setiap hari melihatnya dengan kondisi sama tidak membuatku merasa bosan karena ini semacam penebusan dosa bagiku, terlebih lagi karena aku ingin sebuah jawaban, tak lebih. Aku akan merasa lebih ringan jika mendapatkan satu baris itu dan merasa tak bersalah ketika melihat dia, seperti ini. Seperti biasa, aku memulai pidato singkat begitu tiba setelah mengusap kepala serta meletakkan botol kaca berisi pasir pantai dan satu kerang mutiara di dekatnya. Hei, apa kabarmu hari ini? Kau tahu, nyonya Lucy menggerutu lagi, ia kesal karena aku lagi-lagi lupa untuk tidak menginjak rumput halamannya ketika mengantarkan pancake dan salad buah untuk sarapan pagi ini, tapi kau tahu dia kan, meskipun aku tak lupa dia akan tetap menggerutu. Dan kau tahu, little Lulu akhirnya bisa memakai rollerblade yang kita berikan padanya 2 tahun lalu, kau ingat waktu kita membelinya, aku bilang ini masih terlalu cepat, tapi kau bersikeras dan bilang kalau rollerblade yang ini unik, aku langsung tahu begitu melihatnya. Kau tahu aku tak pernah muak padamu, tak pernah lihat hal buruk tentangmu, jadi kumohon ampuni aku. Setelah selesai menjalankan ritual ini setiap pagi, aku kembali ke kehidupanku ke waktu sesungguhnya dan berharap mentari esok akan datang lebih cepat. Dalam perjalanan menuju kantor, aku teringat bagaimana ini semua bermula. Waktu itu hampir tengah malam, Ray pulang dengan wajah muram. Ia tak pernah terlihat begitu terpukul seperti sekarang, ia bahkan langsung masuk ke ruang kerjanya tanpa melihatku atau mungkin dia sebenarnya tidak melihatku. Ia mematikan lampu dan mengunci ruang kerjanya. Dan tiba-tiba saja keadaan menjadi begitu sunyi. Apa yang dilakukan Ray barusan bukanlah kebiasaan orang yang telah tinggal bersamaku selama lima tahun ini.

Keesokan paginya aku bangun dengan udara sejuk yang amat menusuk. Setelah merapikan diri aku berniat menyiapkan sarapan pagi untuk Ray, mungkin itu bisa menghangatkan perasaannya dan mungkin juga perasaanku. Tapi apa yang membuatku kaget adalah bau pancake yang berasal dari ruang dapur. Ray sudah ada di sana, aku tak tahu sudah berapa lama tetapi dia terlihat bersemangat, kontras sekali dengan apa yang aku lihat tadi malam. Hai Ann, kau baru bangun? sapa Ray hangat i...iya Ray kataku terbata-bata Aku masih terheran-heran melihat tingkah lakunya saat ini, dan belum sempat aku mencerna kejadian barusan, dia kembali mengagetkanku dengan berkata Kau mau berapa pancake Ann? Ray, kau baik-baik saja? Kenapa? Aku aneh? Ya kalau itu menyangkut semalam Aku sudah menghubungi nyonya Lucy, anaknya datang hari ini, dan aku rasa mereka akan sarapan bersama. Nyonya Lucy selalu senang bisa bersama mereka walau hanya beberapa jam. Jadi aku rasa kita tidak perlu ke sana hari ini. Tapi bagaimana kalau kita mengunjungi tempat lain? Ray, apa kau sungguh baik-baik saja? Ann, semalam aku hanya sedang tidak enak badan, aku hanya sangat lelah, jadi kumohon jangan bicarakan ini lagi. Baiklah Bagaimana kalau hari ini kita ke pantai? Mengumpulkan kerang lagi? Ayolah Ann kau tahu aku suka melakukannya Aku tak menjawab, aku hanya tersenyum melihatnya. Meski aku tetap merasa aneh, dan bahkan penjelasannya kali ini pun tak membuat aku tenang. Ray sangat suka pantai. Dia bilang bila berada di sana akan membuat jiwamu tenteram. Ombak yang berkejar-kejaran tak henti sepanjang waktu, awan yang berarak di atasnya, apalagi yang kau butuhkan untuk merasa damai? Tapi apa yang membuatku heran adalah kegemarannya mengumpulkan cangkang kerang. Dia bisa tersenyum sangat puas ketika melihat sebuah cangkang yang masih utuh berada di pasir pantai, bergerak naik turun tersapu ombak. Tapi dia tidak mengambilnya, dia akan lebih bahagia apabila menemukan cangkang kerang yang tak lagi utuh untuk di bawa ke rumah.

Hari itu memang sangat cerah, kami tidak memutuskan untuk pergi di siang hari melainkan sore hari. Sesampainya di sana, Ray seperti orang yang menemukan surganya. Dia tenang sekali, ini seperti dia yang biasanya. Sore itu, aku kembali melihat murung di wajahnya, persis dengan pria semalam. Dan dia memulai pembicaraan Aku ingin melindungimu sama seperti kerang mutiara itu, persis seperti ia menjaga sesuatu yang indah dengan kesungguhan meski ia tahu suatu hari mutiara yang ia jaga akan diambil darinya. Itu artinya kau tidak akan bersamaku selamanya? Kataku. Tidakkah cukup sebuah pengabdian seperti itu bagimu? Ia mengatakannya sambil tersenyum. Aku diam saja, aku tak ingin lagi melanjutkan pembicaraan ini, aku takut ia akan bicara hal-hal yang lebih mengerikan. Sudah sebulan dari kejadian di malam itu. Malam di mana Ray pulang dengan tampak muram. Hari-hari sesudahnya banyak hal yang kulihat berubah darinya. Ia tiba-tiba menjadi cerewet, sangat bersemangat pada suatu waktu bahkan bisa terjaga selama berhari-hari tanpa tidur, tetapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda kehabisan energi. Di lain hal dia juga menjadi impulsif tanpa memikirkan konsekuensi. Terkadang ia juga bisa sangat rapuh dan tak berdaya. Dan ketika aku mencoba mengingat lebih dalam, seketika aku sadar. Aku masih di jalan. Masih menyetir mobilku, masih mengingat Ray yang pergi meninggalkan rumah tanpa sebab. Dan aku barusan hampir menabrak seorang pria. Ketika aku keluar mobil dan meminta maaf. Pria ini memandangku dalam-dalam lalu berkata Kau Anne bukan? katanya bersemangat. iya jawabku singkat. syukurlah aku menemukanmu Ann katanya dengan menunjukkan ekspresi yang amat membingungkan. Dia bisa berlaku jahat pada siapa pun tapi juga bisa berhati malaikat pada saat yang sama. Dia bisa menyakitimu sekaligus melindungimu. Dia bisa memiliki semangat yang sangat tinggi, bisa juga terlihat terpukul dan mengalami kesedihan begitu dalam. Dia pernah mencoba mencekik sepupunya sampai hampir kehabisan nafas ketika mereka masih samasama duduk di bangku sekolah dasar. Dia bisa melakukan suatu pekerjaan terus-menerus tanpa merasa lelah, dan bahkan ia tak butuh beberapa jam untuk bersandar. Namun terkadang dia bisa mengalami depresi yang amat dalam, amat menyiksa. Di saat seperti inilah dia merasa tidak berguna, merasa masa bodoh dengan sekitarnya, merasa tidak percaya pada siapapun bahkan pada orang terdekatnya. Dia mengidap bipolar Ann, sudah pada tahap agresi. Aku bagai jatuh dari lantai yang sangat tinggi ketika aku mendengar apa yang orang ini katakan. Tiba-tiba tubuhku terasa ringan, selayaknya tak memiliki gravitasi, dadaku terasa

sakit, aku merasa mual, merasa tidak enak badan tidak mungkin yang orang asing ini bicarakan adalah Ray, pikirku. Hatiku menolaknya meskipun mata dan pikiranku membenarkan semua gejala yang disebutkannya selama perbincangan kami tadi. Tidak mungkin ini Ray. Tidak mungkin ini orang yang menyelamatkan aku ketika kebakaran itu terjadi. Dan saat pria asing itu pergi ia memberikan secarik kertas. Dia bilang Di sini ada Ray, yang sesungguhnya. Aku berterima kasih pada orang asing yang ternyata adalah psikiater yang merawat Ray semenjak ia menderita. Aku merasa kesal sekali Ann, tapi ketika aku begitu marah aku malah menjadi semakin tak berdaya, aku harus keluar dari keadaan seperti ini. Kau harus tahu aku bukan lagi cangkang itu. Kau harus tahu aku sudah harus melepasmu atau aku hanya akan menyakitimu. Kau akan tetap indah bahkan tanpa aku. Kau tak perlu menyesal Ann, aku tahu kau akan melakukannya. Raymond meninggal karena menenggelamkan dirinya ke laut, seminggu setelah ia pergi dari rumah. Ia menceritakan semua tentang dirinya yang utuh pada voice recorder biru yang kuberikan sebagai hadiah pada ulang tahunnya dua tahun yang lalu. Ia tak ingin aku lupa suara jeleknya. Tak ingin aku lupa caranya bicara. Tak ingin aku lupa cangkangku. Untuk itukah dia menyelamatkanku? Untuk mengetahui bahwa pada akhirnya dia memang hanya sebagai cangkang dalam hidupku. Hanya ingin melindungiku. Untuk perlihatkan pengabdiannya. Dan karena itulah aku tetap mengunjungi makamnya, setiap hari selama sisa hidupku. Untuk buktikan pengabdianku. Untuk pengampunanku karena tak pernah berbagi derita dengan cangkangku.

Anda mungkin juga menyukai