Anda di halaman 1dari 13

DEMAM THYPOID BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, di topang dengan bakteremia dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyers patch. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, serta berkaitan dengan sanitasi yang buruk terutama negara-negara berkembang. Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan adanya sanitasi pembuangan di berbagai negara berkembang, diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000 kematian terdapat di dunia. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Di antara penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemis di Indonesia. penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang dan menimbulkan wabah. Surveilans departemen kesehatan RI, frekwensi kejadian demamm tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606. Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan, di daerah rural (jawa barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan didaerah urban ditemukan ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Angka kematian tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. namun demikian berdasarkan hasil survey kesehatan rumah tangga departemen kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi. B. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan ini adalah : 1. Mengetahui dan memahami lebih dalam tentang demam typoid, 2. Mengetahui penatalaksanaan dari demam typoid.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Etiologi Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope , antigen (Vi) . dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terdapat ketiga antigen tersebut (Widodo, 2002). B. Patogenesis Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala demam tifoid pada manusia. Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman berspora, motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37C (15C41C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4C selama satu jam, dan 60C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella memunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa dan sukrosa (Dennis, 2004). Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu 1. proses invasi kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus 2. proses kemampuan hidup dalam makrofag 3. proses berkembang biaknya kuman dalam makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan dan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya a. mekanisme pertahanan non spesifik di saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik b. mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular. Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai di lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non-spesifik yang bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu jumlah kuman yang masuk dan kondisi asam lambung (Widodo, 2002). Untuk menimbulkan infeksi diperlukan S.typhi sebanyak 105-109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami

gastrotektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut S.typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh (sudoyo, 2006). Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian S.typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman (sudoyo, 2006)

C. Gambaran Klinis Masa Inkubasi Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa : 1. Anoreksia 2. rasa malas 3. sakit kepala bagian depan 4. nyeri otot 5. lidah kotor 6. gangguan perut (perut meragam dan sakit) (widodo, 2002) Gambaran klasik demam tifoid (Gejala Khas) Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas Demam tifoid adalah sebagai berikut. Minggu Pertama (awal terinfeksi) Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39c hingga 40c, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi

antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi (Dennis, 2004) Minggu Kedua Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain (Dennis, 2004) Minggu Ketiga Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorismus dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis local maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Dennis, 2004). Minggu keempat Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis (Dennis, 2004). Relaps Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps (Rani, 2002). Gambaran klinis lidah tifoid tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu 1. isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot 2. uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi 3. pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi. Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum jelas, umumnya ditandai dengan leukopenia, limfositosis realtif dan menghilangnya eosinofil (aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia mempunyai nilai diagnostik yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita demam tifoid mempunyai gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah (sudoyo, 2006). Diagnosis demam tifoid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik namun identifikasi kuman S.typhi memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan urin dan tinja, positif setelah terjadi septikemia sekunder. Biakan sumsum tulang dan kelenjar limfe atau jaringan retikulo endotelial lainnya sering masih positif setelah darah steril. Pemeriksaan Widal, meskipun kegunaannya masih banyak diperdebatkan, jika interpretasi dilakukan dengan hati-hati dan memperdebatkan sensitivitas, spesifitas, serta

perkiraan nilai Widal pada laboratorium dan populasi setempat, maka angka Widal cukup bermakna ( Hartoko, 2002 ). Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S.typhi dari darah, urin, tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa faktor. Faktor tersebut adalah a. jumlah darah yang diambil b. perbandingan volume darah dan media empedu c. waktu pengambilan darah. Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat kuman pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah (sudoyo, 2006) Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10% penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif kembali.Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik (sudoyo, 2006) Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap. Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum (Hartoko, 2002). Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi (Rani, 2002). Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi (karier). Meskipun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Sampai saat ini uji serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point). Interpretasi pemeriksaan Widal harus hati-hati karena banyak faktor yang mempengaruhi antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis), riwayat mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi silang (Hartoko, 2002). D. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid adalah komplikasi intestinal berupa perdarahan sampai perforasi usus. Perforasi terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan usus yang berat ditemukan pada 1-10% anak dengan demam tifoid. Komplikasi ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit. Komplikasi ini umumnya didahului dengan suhu tubuh dan tekanan darah menurun, disertai dengan peningkatan denyut nadi. Perforasi jarang terjadi tanpa adanya perdarahan sebelumnya dan sering terjadi di ileum bagian bawah. Perforasi biasanya ditandai dengan peningkatan nyeri abdomen, kaku abdomen, muntah-muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defance muskular, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain (Dennis, 2004). Adanya komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, diorientasi, delirium, stupor bahkan koma. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karies). Sistitis dan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis buruk. Pneumonia sebagai komplikasi sering dijumpai pada demam tifoid, seringkali akibat infeksi sekunder oleh kuman lain (sudoyo, 2006).

Komplikasi lain yang juga dapat terjadi adalah enselopati, trombosis serebral, ataksia, dan afasia, trombositopenia, koagulasi intrvaskular diseminata, Hemolytic Uremic Syndrome, fokal infeksi di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian. Dilaporkan pula komplikasi berupa orkitis, endokarditis, osteomielitis, artritis, parotitis, pankreatitis, dan meningitis (widodo, 2002) Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah penghentian antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya (hartoko, 2002). E. Gambaran Darah Tepi Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3000 /l. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000 /l. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu (sudoyo, 2006). F. Penatalaksananaan Penderita yang harus dirawat dengan diagnosa praduga tifoid harus dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid secara garis besar mencakup 3 hal, yaitu : 1. Perawatan Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, untuk mencegah terjadinya komplikasi sangat fatal, tetapi tidak harus tirah baring sempurna. Pergantian posisi tidur juga diperlukan untuk menghindari dekubitus dan bronchitis hipostatik. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita dan dilakukan secara bertahap. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi demam tifoid yang lain, termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat perhatian (widodo, 2002). 2. Diet Kualitas makanan dan minuman perlu diperhatikan dan disesuaikan dengan kebutuhan cairan dan elektrolit, kalori, protein, vitamin maupun mineral serta diusahakan makan-makanan yang rendah atau bebas selulosa/serat (pantang sayur dan buah-buahan), menghindari makanan yang merangsang / menimbulkan gas. Pada penderita dengan gangguan kesadaran diberikan makanan cair berupa nutrisional parental begitu juga untuk penderita yang mengalami komplikasi,misalnya perdarahan usus, maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan (widodo, 2002).

3. Medikamentosa a. Antimikroba Kloramfenikol Keuntungannya adalah dapat menurunkan panas dengan cepat, harga murah, masa toksik lebih singkat, gejala / keluhan lebih cepat hilang, menurunkan komplikasi. Indikasi penggunaan kloramfenikol adalah : 1. Typus yang pertama, bukan yang relaps / karier 2. Tidak ada pansitopeni 3. Lekosit > 3000 / mm 4. Wanita tidak hamil (karena dapat sebabkan Grey Baby Sindrom) Dosis yang dianjurkan adalah 50-100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3 dosis. Jika tidak bisa peroral maka diberikan secara iv dengan dosis 50 mg, neonates sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa dosis tidak boleh melebihi 25 mg/KgBB/hari (sudoyo, 2006). Tiamfenikol Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan kimianya hampir sama, hanya komplikasi hematogen pada tiamfenikol lebih jarang dilaporkan. Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Indikasi untuk pengobatan demam tifoid relaps / karier (sebab diekresikan lewat empedu dalam bentuk aktif) (sudoyo, 2006). Cotrimoxazole Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak yang controversial. Kelebihan cotrimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloramfenikol. Penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahan obat ini adalah terjadinya skin rash (1-5%), Stevent Jhonson Sindrom, Agranulositosis, Trombositopeni, Megaloblastik anemia. Hemolisis eritrosit terutama pada penderita defesiensi G6PD. Dosis oral obat ini adalah 30-40 mg/Kg/KgBB/hari untuk trimetroprim, diberikan dalam 2 kali pemberian (sudoyo, 2006).

Ampisilin dan Amoksisilin Ampisilin utamanya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan klorampenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksik. Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%). Amoksisilin mempunyai daya anti bakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan per oral lebih baik, sehingga kadar obat yang mencapai 2 kali lebih tinggi, timbulnya kekambuhan lebih sedikit (2-5%) dan karier (0-5%). Dosis yang dilanjutkan pada obat ini adalah : - Ampisilin 100-200 mg/kgBB/hari - Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan keuntungan lebih bila diberikan obat tunggal (sudoyo, 2006). b. Simptomatis Untuk menghilangkan gejal-gejala yang menyertai, misalnya antipiretik dan anti emesis, antikolinergic. c. Suportif Untuk memperbaiki keadaan umum, misalnya : Kortikosteroid Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan perdarahan usus dan relaps serta memperburuk regenerasi sel. Tetapi pada kasus berat seperti toxsic sepsis (akibat kematian bakteri yang serempak dan mengeluarkan toksik) maka penggunaan kortikosteroid dapat bermanfaat menurunkan angka kematian. Efek samping obat ini adalah agronulositosis. Ruboransia Misalnya vitamin B komplek dan vitamin C (Rani, 2002). Pencegahan terhadap demam tifoid dilakukan dengan memperbaiki sanitasi lingkungan dan perilaku sehari-hari, serta imunisasi secara aktif dengan vaksin terhadap demam tifoid. Beberapa jenis vaksin telah beredar di Indonesia saat ini (Hartoko, 2002).

G. Pencegahan Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi. Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid (Dennis, 2004). H. Vaksin Demam Tifoid Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin ini diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun (widodo, 2002). I. Prognosis Umumnya prognosa tifus abdominalis pada anak baik, asal penderita Tepat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk jika terdapat gejala klinik yang berat seperti : 1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinua 2. Kesadaran menurun sekali (stupor), koma atau delirium 3.Terdapat komlikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis,bronkopneumonia dan lain-lain 4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein) (sudoyo, 2006)

BAB III KESIMPULAN

Diagnosis demam typhoid tidak selalu didapatkan setelah semua kriteria diagnosis terpenuhi, mengingat panjangnya perjalanan penyakit tersebut. Gejala klinis yang khas dapat menjadi dasar untuk pemberian terapi empirik sebelum pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan guna mencegah perburukan atau komplikasi lebih lanjut dari penyakit tersebut. Tidak jarang pula diagnosa demam typhoid ditegakkan secara eksjuvantibus. Diagnosis klinis terutama ditandai oleh adanya panas badan, gangguan saluran pencernaan, gangguan pola buang air besar, hepatomegali/spleenomegali, serta beberapa kelainan klinis yang lain. Diagnosis laboratoris kebanyakan di Indonesia memakai tes serologi Widal, tetapi sensitifitas dan spesifisitasnya sangat terbatas, belum ada kesepakatan titer dari masing masing daerah. Biakan S. Typhi merupakan pemeriksaan baku emas, tetapi hasilnya seringkali negatif dan memerlukan waktu lama, padahal dokter harus segera memberi pengobatan. Beberapa serodiagnostik lain yang telah dikembangkan seperti TUBEX, merupakan pemeriksaan Immunoassay yang dapat mendeteksi anti-salmonella 09 dengan sensitivitas dan spesifisitas 100%. Tatalaksana demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi : Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Pemberian antimikroba diharapkan dapat menurunkan lama sakit dan kematian. Klorampenikol, ampisilin, amoksisilin dan kotrimoksasol merupakan obat konvensional yang di beberapa negara melaporkan kurang efektif sehubung dengan munculnya strain MDR. Flurokuinolon, sefalosporin dan seftriakson merupakan pilihan lini kedua. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.

DAFTAR PUSTAKA

Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci. Harrison's Principles of Internal Medicine 16th Edition. USA : McGraw-Hill, 2004.

Hartoko Budi. Demam Thypoid: Art Of Therapy. Penerbit Fakultas Kedokteran UGM. 2002

Rani Aziz. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter- PABDI. Jakarta : Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI. 2006.

Sudoyo Aru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: jilid III. Jakarta : Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI. 2006.

Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2002.

Anda mungkin juga menyukai