Anda di halaman 1dari 2

MEMBANGUN KERUKUNAN MENUAI KEDAMAIAN

Siapapun tidak ada yang menyangkal bahwa masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki filsafat kehidupan yang dirumuskan ke dalam tiga hal, yaitu: rukun, harmoni dan selamat. Kerukunan adalah filsafat dasar manusia Indonesia yang mengedepankan dimensi kerukunan di dalam kehidupan. Di dalam konsepsi Jawa disebutkan rukun agawe sentosa lan congkrah agawe bubrah. Kerukunan tersebut tidak hanya intern golongan, agama dan suku atau ras, akan tetapi juga antar golongan, agama dan suku atau ras. Kerukunan merupakan variabel penting di dalam membangun kehidupan bersama. Secara kodrati bahwa tidak ada manusia yang bisa hidup sendirian di dunia ini kecuali di dalam relasinya dengan yang lain. Jika misalnya kita meminum air mineral dengan merek tertentu, maka harus dibayangkan bahwa di balik air kemasan mineral tersebut ternyata terdapat relasi antar manusia yang luar biasa banyaknya dan rumitnya. Agar menjadi air mineral kemasan tersebut, maka terdapat ribuan orang yang terlibat di dalamnya. Ada aturan dan kebijakan, ada produsen dengan segenap pekerja dan majikannya, ada pedagang, ada perantara, ada transportasi, perbankan dan sebagainya. Semuanya tanpa pandang agama, suku, etnis dan penggolongan sosialnya untuk saling menyatu di dalam menghasilkan produk tersebut. Semuanya membutuhkan keteraturan sosial yang didasari oleh kerukunan tersebut. Di dalam hidup ini ternyata tidak hanya ada keteraturan berbasis solidaritas mekanis, akan tetapi juga organis. Tidak hanya solidaritas berbasis aspek kekerabatan dan persaudaraan, akan tetapi juga aspek kebutuhan untuk menghasilkan sesuatu secara bersama-sama. Di tengah semakin terdiferensiasinya struktur kehidupan masyarakat, maka sesungguhnya manusia ternyata justru saling membutuhkan. Mereka ternyata saling tergantung antara satu dengan lainnya. Inilah yang kemudian menjadikan bahwa manusia sebenarnya berada di dalam ruang untuk saling memerlukan di dalam kerangka mengisi kelemahan dan membangun kekuatan untuk mendapatkan atau menghasilkan sesuatu. Inilah keunikan manusia. Mereka sebenarnya menyadari tentang ketergantungan antara satu dengan lainnya, akan tetapi terkadang mereka saling berseteru untuk mengedepankan kepentingan masing-masing yang tidak sanggup diredamnya. Berbagai pertentangan, rivalitas dan konflik dalam banyak hal difasilitasi oleh ketiadaan kemampuan manusia untuk memanej kepentingan individualnya dan mengalahkan kebersamaannya. Manusia memang dikaruniai egoisme yang terkadang lebih powerfull. Akhir-akhir ini sedang banyak masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Di antara masalah yang krusial tersebut adalah kekerasan sosial yang semakin sering terjadi. Ada kekerasan yang difasilitasi oleh faktor ekonomi, sosial, politik dan agama. Dua di antaranya yang menonjol adalah kekerasan politik dan agama. Dari sisi faktor politik, maka yang menonjol adalah kekerasan sosial yang disebabkan oleh pilkada. Di antara kita tentu masih ingat bagaimana banyak terjadi tindakan brutal dan anarkhisme yang dilakukan pasca pilkada. Memang ada proses demokratisasi yang semakin membaik, akan tetapi di satu sisi juga menghasilkan tindakan-tindakan anarkhis yang dipicu oleh kekalahan politik. Biasanya yang menjadi pemicu adalah tindakan political game yang tidak fairness. Misalnya politik uang, pembunuhan karakter, dan abuse of power. Semua tindakan ini kemudian memicu terjadinya ketidakpercayaan lawan politik yang kalah dan kemudian terjadilah kekerasan demi kekerasan sosial tersebut. Ditinjau dari sisi normatif perundang-undangan, sebenarnya sudah banyak aturan yang dapat dijadikan sebagai rambu-rambu untuk mengatur mekanisme political game di dalam pilkada. Namun demikian, keinginan memenangkan pertarungan di dalam pilkada terkadang menyulut tindakan yang tidak fair itu. Jadi yang sesungguhnya terjadi adalah ketidakpatuhan kepada hukum atau rendahnya complience di antara mereka. Yang tidak kalah derasnya adalah kekerasan atas nama agama. Akhir-akhir ini di Indonesia banyak terjadi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dimulai dengan kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah yang memang memiliki keyakinan agama Islam yang berbeda dengan pemeluk Islam lainnya. Mereka meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah orang yang memperoleh wahyu dari Allah, sehingga diyakini beliau adalah Nabi penutup dan bukannya Muhammad saw sebagai khatam al anbiya. Di Pandeglang, di Lombok Tengah, di tempat lain juga terjadi kekerasan agama. Bahkan kemudian juga di Pasuruan, tepatnya di pesantren YAPI yang memiliki keyakinan Islam Syiah juga diserang oleh sekelompok orang yang berbeda pandangan keagamaannya. Jadi mereka menganggap bahwa yang berbeda harus dienyahkan, meskipun perbedaan tersebut hanyalah pada dimensi tafsir keagamaannya. Semua ini menandakan bahwa ada sekelompok orang yang menggunakan frame lain untuk mengukur kebenaran absolut yang memang sama sekali tidak dapat dikompromikan. Bukan kebenaran teologisnya yang dinegosiasikan, akan tetapi kebenaran universal agama seperti kerukunan, keharmonisan dan keselamatan yang mestinya bisa dikedepankan. Di Jawa Timur, Gubernur pun sudah melakukan tindakan yang sangat arif dengan menerbitkan Surat keputusan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur. Larangan Gubernur Jawa Timur, sesungguhnya tidak memasuki kawasan teologis, sebab yang lebih penting adalah memberikan perlindungan kepada semuanya agar tidak terjadi kekerasan sosial. Variabel penyebab yang urgen, yaitu aktivitas penyebaran Ahmadiyah yang menodai terhadap Islam itulah yang sebenarnya dilarang. Meskipun demikian, masih ada di antara masyarakat yang menuntut lebih, yaitu pembubaran Ahmadiyah. Sehingga di sana-sini masih santer terdengar adanya keinginan untuk membubarkan Ahmadiyah tersebut. Ada ranah hukum normatif yang kiranya juga harus

menjadi pertimbangan ketika harus membubarkan Ahmadiyah. Makanya, untuk membubarkannya juga harus menggunakan ranah aturan yang berlaku. Di tengah kehidupan yang semakin rumit ini, maka makin banyak orang yang berpikir instan. Maunya dilakukan dengan serba cepat. Menghakimi orang dengan kemauannya sendiri. Seakan-akan tidak ada lagi aturan yang mengatur kehidupan ini. Jika terjadi pelanggaran terhadap apapun, maka bisa diselesaikan dengan menggebuk mereka. Bahkan yang lebih mengerikan adalah ketika mereka mengusung nama Tuhan untuk melakukan tindakan yang kontra-kerukunan. Oleh karena itu, yang mesti dipertanyakan adalah mengapa kekerasan itu harus terjadi. Apakah sudah tidak ada lagi trust untuk mempercayai seluruh mekanisme hukum yang sudah dirumuskan dengan sangat baik. Ataukah aparat hukum memang sudah tidak bisa lagi dipercaya untuk mengawal law enforcement di negeri ini. Sederet pertanyaan inilah yang kiranya bisa dijawab oleh mereka yang sedang menjadi penjaga moralitas hukum. Makanya, semuanya harus kembali untuk merenungkan tentang makna kehidupan ini. Jika kita melakukan kekerasan, maka kita mestilah harus berpikir, bagaimana seandainya kekerasan itu menimpa keluarga kita. Jika kita melakukan pelanggaran yang menyebabkan kerugian individu atau kelompok lainnya, maka yang harus dijawab adalah bagaimana jika hal itu menimpa kerabat kita. Mungkin kita sudah lupa bertanya tentang hakikat kehidupan ini, sehingga kita juga dengan mudahnya melakukan apa saja tanpa pertimbangan hati nurani. Jadi, yang mesti ditumbuhkembangkan adalah menghayati kehidupan ini, sehingga kita akan bisa merasakan bahwa nyawa dan badan seseorang adalah amanah Allah yang harus diselamatkan oleh lainnya. Dan kata kuncinya adalah dengan membangun kerukunan, keharmonisan dan keselamatan di dalam kehidupan. Jika ini bisa dilakukan maka pastilah kita akan menuai kedamaian. Wallahu alam bi al shawab.

http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=2500

-Prof. Dr. Nur Syam, M.Si -

Anda mungkin juga menyukai