Anda di halaman 1dari 49

ANTROPOLOGY

Kelas : MC12-11B

GROUP: Astuti Sastra Pratiwi Marlene Satria Prabowo Yuswa

D.I Yogyakarta

LATAR BELAKANG Daerah Istimewa Yogyakarta (atau Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta) dan seringkali disingkat DIY adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utara. Secara geografis Yogyakarta terletak di pulau Jawa bagian Tengah.

Provinsi DI. Yogyakarta memiliki lembaga pengawasan pelayanan umum bernama Ombudsman Daerah Yogyakarta yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur DIY. Sri Sultan HB X pada tahun 2004.

I.

SEJARAH

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan

Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan. Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755. Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton. Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan

Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756

Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta. Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955. Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undangundang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono

IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II

Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut dengan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya II. ETIMOLOGI

Wilayah yang kemudian menjadi keraton dan ibukota Yogyakarta telah lama dikenal sebelum Sultan Hamengkubuwono 1 memilih tempat itu sebagai pusat

pemerintahannya. Wilayah itu dikenal dalam karya sejarah tradisional (Babad) maupun dalam leluri dari mulut ke mulut. Babad Giyanti mengisahkan bahwa Sunan Amengkurat telah mendirikan dalem yang bernama Gerjiwati di wilayah itu. Kemudian oleh Paku Buwana II dinamakan Ayogya.

Dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita-cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Dasar filosofi yang lain adalah HamangkuHamengku-Hamengkoni, Tahta Untuk Rakyat, dan Tahta untuk Kesejahteraan Sosial-kultural.

keterangan : Kraton Jogjakarta Mulai di dirikan pada tahun 1756 Masehi oleh sultan HB 1( P. Mangkubumi ) bersamaan dengan pembangunan Taman Sari dan Banteng Bulu. Pada tahun 1757 masehi pembangunn kratonselesai. Sedangkan Benteng Kraton selesai dibangun pada tahun 1782 masehi. Kraton Yogjakarta dibangun di tengah hutan Paberingan. Pada tahun1867 masehi,sebagian besar bangunan di lingkungan kraron rusak karena gempa bumi. Maka pada tahun 1868 sampai 1887 masehi diadakan perbaikan secara bertahap oleh sultan HB berikutnya. Di bagian utara sebelum masuk halaman kraton terdapat alun-laun dan di bagian selatan terdapat alun-alun yang lebih kecil ukurannya. Apabila ditarik garis imajiner, maka akan muncul garis lurus yang menghubungkan dari utara gunung merapi. Tuguh sebagai penanda arah/akibat, Kraton di pusat atau tengah, panggung Krapyak, dan pantai selatan. Pembangunan kraton Yogjakarta dilanjutkan dan disempurnakan oleh sultan HB VIII.

III.

PEMERINTAHAN

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 3) dan UU Nomor 19 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 48) yang diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP Nomor 31 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 58).

UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai isi yang sangat singkat dengan 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi. UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturanaturan yang sifatnya adalah peralihan.

UU Nomor 19 Tahun 1950 sendiri adalah revisi dari UU Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status Yogyakarta pada saat pembentukan adalah Daerah Istimewa setingkat Provinsi. Baru pada 1965 Yogyakarta dijadikan Provinsi seperti provinsi lain di Indonesia.

A. Visi dan misi Visi Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan yang berkualitas, Pariwisata yang berbudaya, pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima, ramah lingkungan serta masyarakat madani yang dijiwai semangat Mangayu Hayuning Bawana Misi Menjadikan dan mewujudkan lembaga pendidikan formal, non formal dan sumber daya manusia yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan tehnologi serta kompetitif dalam rangka mengembangkan pendidikan yang berkualitas. Menjadikan dan mewujudkan pariwisata , seni dan budaya sebagai unggulan daerah dalam rangka mengembangkan kota sebagai kota pariwisata yang berbudaya.

Menjadikan dan mewujudkan Kota Yogyakarta sebagai motor penggerak pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima untuk wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan .

Menjadikan dan mewujudkan masyarakat yang menyadari arti pentingnya kelestarian lingkungan yang dijiwai semangat ikut memiliki/handarbeni.

Menjadikan dan mewujudkan masyarakat demokrasi yang dijiwai oleh sikap kebangsaan Indonesia yang berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial dengan semangat persatuan dan kesatuan

B. Lambang Dasar hukum: Ketetapan DPRD Nomor 2 Tahun 1952 tentang Penetapan Lambang Kota Praja Yogyakarta Makna Lambang : Perbandingan ukuran 18 : 25 , untuk memperingati tahun permulaan perjuangan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta (tahun 1825) Warna Hitam : Simbol Keabadian Warna Kuning dan Keemasan : Simbol Keluhuran Warna Putih : Simbol Kesucian Warna Merah : Simbol Keberanian Warna Hijau : Simbol Kemakmuran Mangayu Hayuning Bawono : Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat

Bintang Emas : Cita-cita kesejahteraan yang dapat dicapai dengan usaha dibidang kemakmuran Padi dan kapas: Jalan yang ditempuh dalam usaha kemakmuran pangan dan sandang Perisai : Lambang Pertahanan Tugu : Ciri khas Kota Yogyakarta Dua sayap : Lambang kekuatan yang harus seimbang Gunungan : Lambang kebudayaan Beringin Kurung : Lambang Kerakyatan Banteng : Lambang semangat keberanian Keris : Lambang perjuangan Terdapat dua sengkala Gunaning Keris Anggatra Kota Praja : Tahun 1953 merupakan tahun permulaan pemakaian Lambang Kota Yogyakarta Warna Hasta Samadyaning Kotapraja : Tahun 1884

C. Letak geografis 1. Batas wilayah Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satusatunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten. Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut

Sebelah utara : Kabupaten Sleman Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Sleman Sebelah selatan : Kabupaten Bantul Sebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman

Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110o 24I 19II sampai 110o 28I 53II Bujur Timur dan 7o 15I 24II sampai 7o 49I 26II Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan laut

2. Keadaan alam Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu : Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong Bagian tengah adalah Sungai Code Sebelah barat adalah Sungai Winongo

3.

Luas wilayah

Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5 Km yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY, Dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan,

617 RW, dan 2.531 RT, serta dihuni oleh 489.000 jiwa (data per Desember 1999) dengan kepadatan rata-rata 15.000 jiwa/Km

4.

Tipe tanah

Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda Sejalan dengan

perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan. Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)

5.

Iklim

Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2C dan kelembaban rata-rata 24,7%. Angin pada umumnya

bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220 bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah 90 - 140 dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam

6.

Demografi

Pertambahan penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup tinggi, pada akhir tahun 1999 jumlah penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan ratarata 15.197/km. Angka harapan hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia 72,25 tahun dan perempuan usia 76,31 tahun.

IV.

PENDIDIKAN

Kota Yogyakarta selain dijuluki sebagai Kota Gudeg, juga dijuluki Kota Pelajar. Di kota ini terdapat universitas negeri tertua di Indonesia, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan juga berbagai universitas swasta terkenal lainnya seperti UPN "Veteran", AMIKOM, STMIK AKAKOM,Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan (STTKD),STIE YKPN, STIE SBI, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD", Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Universitas Islam Indonesia (UII) yang merupakan universitas swasta tertua di Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Sanata Dharma (USD), [Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY)],Univrsitas PGRI yogyakarta (UPY), Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY), Universitas PGRI Yogyakarta (UPY), dan lain sebagainya, selain Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI Yogyakarta) dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Sunan Kalijaga)dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Dan beberapa program kejuruan yang menawarkan jenjang D3 sepereti POLISENI, POLTEKES, dll. Bisa dikatakan bahwa di kota ini sebagian besar penduduknya relatif memiliki pendidikan sampai tingkat SMU.

V.

TRADISI & BUDAYA

Norma dan nilai dalam kehidupan selalu ada dan tetap bersemayam di dalam jiwa sebuah masyarakat. Dimana norma dan nilai itu selalu berhubungan dengan etika, tata kehidupan, tata upacara, dan selalu menjadi jalur dalam tatanan kehidupan keseharian masyarakat tersebut.

Nilai-nilai dan norma-norma itu dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat pada akhirnya menjadi kebiasaan yang mengakar dan berubah bentuk menjadi sebuah adat istiadat yang menunjukkan identitas sebuah peradaban. Dalam masyarakat Jawa upacara adat adalah pencerminan bahwa semua perencanaan,

tindakan dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur. Nilai yang disuguhkan melalui tata upacara adat merupakan cermin kehidupan masyarakat Jawa yang serba hati-hati dan terencana agar dalam melaksanakan pekerjaan mendapatkan keselamatan lahir batin.

Masyarakat Jawa mempunyai berbagai tata upacara adat sejak sebelum lahir (janin) sampai meninggal. Setiap tata upacara adat tersebut mempunyai makna sendirisendiri dan sampai saat ini masih cukup banyak yang dilestarikan. Dalam pelaksanaannya tentu saja disesuaikan dengan keadaan. Di samping adat istiadat beserta tata upacaranya (temasuk sesaji) di situ juga mengandung pendidikan budi pekerti, pengetahuan mengenal watak, jenis manusia dan aturan-aturannya.

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang penuh perhitungan dan selalu berhatihati dalam bertindak. Dalam kehidupan mereka, masyarakat Jawa mengenal "sifatsifat" bulan Jawa. Yang digunakan untuk menentukan atau mengambil tindakan jika akan melaksanakan kegiatan mereka guna memperhitungkan dengan teliti dan cermat dengan memilih jam, tanggal dan bulan yang dianggap paling tepat. Keliru dalam pemilihan hal tersebut dianggap dapat membawa ketidakberuntungan misalnya rejekinya kurang bagus, rumah tangganya cekcok dan lain-lain.

Terdapat banyak tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa dan sekitarnya. Dan beberapa daerah memiliki ciri khas yang unik dan berbeda satu sama lain. Dari upacara adat pernikahan, kehamilan, kelahiran, kematian, hingga tradisi-tradisi yang berkaitan dengan penobatan raja dan tatacara yang ada didalam istana raja Jawa. Dan masyarakat jawa juga mengenal beberapa jenis buku yang dapat "menuntun" mereka untuk melakukan tradisinya.

A. Tradisi memaafkan di bulan sawal

Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat Indonesia, termasuk di Yogyakarta, pada bulan Sawal ada tradisi saling memaafkan atau sering pula disebut halal-bihalal. Hampir semua lapisan masyarakat termasuk instansi pemerintah dan swasta serta sekolah-sekolah melakukan acara ini, tidak terkecuali dengan Pemerintah Propinsi DIY. Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwana X selaku pejabat tertinggi di Pemda Propinsi DIY, juga sekaligus Raja Kraton Kasultanan Yogyakarta selalu mengadakan acara halal-bihalal yang dikemas dalam acara open house di Gedong Wilis Kepatihan.

Setiap kali ada acara open house dengan Sri Sultan, masyarakat Yogyakarta secara antusias mengikuti acara ini. Hampir semua lapisan masyarakat ikut dalam acara halal-bihahal yang digelar di Kepatihan ini, karena memang sifatnya umum. Pendopo Kepatihan sudah dipadati oleh warga masyarakat Yogyakarta sejak pukul 08.00 WIB. Mereka datang dari berbagai pelosok daerah, baik dari Sleman, Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, maupun dari Kota Yogyakarta sendiri. Mereka ada yang datang sendiri-sendiri, bahkan ada yang datang berombongan memakai kendaraan bus umum.

Yogyakarta masih sangat kental dengan budaya Jawanya. Seni dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sejak masih kanak-kanak sampai dewasa, masyarakat Yogyakarta akan sangat sering menyaksikan dan bahkan, mengikuti berbagai acara kesenian dan budaya di kota ini. Bagi masyarakat Yogyakarta, di mana setiap tahapan kehidupan mempunyai arti tersendiri, tradisi adalah sebuah hal yang penting dan masih dilaksanakan sampai saat ini.

Tradisi juga pasti tidak lepas dari kesenian yang disajikan dalam upacara-upacara tradisi tersebut. Kesenian yang dimiliki masyarakat Yogyakarta sangatlah beragam. Dan kesenian-kesenian yang beraneka ragam tersebut terangkai indah dalam

sebuah upacara adat. Sehingga bagi masyarakat Yogyakarta, seni dan budaya benar-benar menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Kesenian khas di Yogyakarta antara lain adalah kethoprak, jathilan, dan wayang

kulit.yogyakarta juga dikenal dengan perak dan gaya yang unik membuat batik kain dicelup. ia juga dikenal karena seni kontemporer hidup. Memberikan nama kepada anak masih merupakan hal penting Nama2 anak jawa. Yogyakarta juga dikenal dengan gamelan musik, termasuk gaya yang unik gamelan Yogyakarta

B. Sekaten Di Surakarta, Cirebon dan Yogyakarta, perayaan Maulud disebut Sekaten. Istilah ini berasal dari kata shahadatain, pengakuan percaya pada agama islam, Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah RasulNya: konon dimulai pada saat Maulud diperkenalkan oleh Rade Patah di Demak pada abad ke-16, ribuan orang jawa beralih agama islam dengan mengucapkan shahadatain. Oleh karena itu penggunaan nama sekaten pada perayaan tersebut menjadi terkenal. Perayaaan tersebut diteruskan oleh sultan-sultan berikutnya sehingga kemudian menjadi perayaan tahunan.

Di Yogyakarta dan Surakarta, sekaten juga menjadi lambang kekuatan dan keberanian pendiri kerajaan mataram. Pada hari kelahiran nabi, semua pusaka kerajaan termasuk gamelan dan keris, dibersihkan dalam suatu upacara penyucian khusus, dan diarak keliling di jalan kota untuk ditunjukkan pada orang banyak. Sultan juga membagi-bagikan berkah, dilambangkan dengan 5 jenis nasi yang berbentuk seperti gunung (nasi tumpeng). Kelima macam nasi tersebut mewakili jagad atau dunia orang jawa.

Selain perayaan tahunan, Yogya juga menyelenggarakan perayaan Maulud lain, disebut Garabeg Maulud Dal, setiap delapan tahun. Menurut kalender jawa, hari kelahiran Nabi terjadi pada Senin Pon tanggal 12 Maulud tahun Dal. Pon merupakan salah satu hari dari lima hari jawa dan Dal merupakan bagian dari delapan tahun jawa. Setiap tahun Dal, Yogyakarta memperingati Maulud dengan bermacammacam perayaan. Pada perayaan inilah Sultan Yogyakarta menendang batu-batu yang diletakkan di sebuah pintu keluar-masuk agar terbuka.

Peristiwa ini konon lambang Nabi membebaskan pengikutnya dari orang yang tidak percaya di sekeliling mereka. Penjelasan lain peristiwa ini berkaitan dengan Sultan Hamengkubuwono I saat menghadiri sembahyang jumat di masjid ketika salah satu pengawal melapor bahwa masjid telah dikepung tentara Belanda dan mustahil sultan dapat meninggalkan masjid tanpa terlihat oleh pasukan tentara Belanda. Karena mempunyai kekuatan gaib, sultan mampu menendang dinding setebal 75cm hingga berlubnag dan kemudian melarikan diri lewat lubang itu.

C. Kejawen Dalam tradisi kejawen, arwah nenek moyang pendiri desa dipercaya selalu terkait dengan kesejahteraan warga desa, oleh karena itu para keturunannya selalu mengharapkan bnatuan mereka. Selain itu, hubungan nenek moyang dengan desadesa tersebut juga terkait dengan berbagai kategori dari roh-roh tersebut, ada yang mengkaitkan wilayahnya dari segi kesejarahan, atau legenda khusus dari setiap arwah. Roh penunggu disebut danyang. Danyang yang paling terkemuka adalah semar, pamong seluruh jawa. Bantuannya diharapkan banyak orang. Selain itu banyak juga diharapkan dari tokoh legendaries seperti wali sanga, adapula kepada tokoh zaman hindu atau dewa hindu sepert dewi sri.

Dalam mencari bantuan roh tertentu, penganut kejawen berziarah ke makam atau tempat lain yang berkaitan dengan roh yang bersangkutan, apabila mereka mempunyai kepentingan pribadi. Peristiwa adat yang sangat lazim dilakukan seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian mampu mengumpulkan orang untuk memanggil arwah. Pada dasarnya selamatan merupakan upacara agama yang dipimpin oleh seorang pemuka islam namun ada sesajen untuk dunia roh. Saling menghargai anatara manusia dan dunia roh akan menciptakan keselarasan (selamat) dan kemakmuran yang merupakan nilai inti tradisi kejawen.

D. Tedok Sinten Upacara nujuh bulanan bayi, sebelum genap berusia 7 bulan, si bayi belum boleh nginjek tanah dan hanya diperbolehkan bermain di tempat tidurnya saja. Kalaupun ingin keluar, biasanya digendong.

E. Garebeg Garebeg merupakan acara besar yang melibatkan hamper seluruh keluarga dan pegawai kerajaan serta masyarakat luas. Dalam bahasa jawa, kata Garebeg berarti arak-arakan, dukungan serta acara yang mengesankan dan hingar binger. Semua itu tercermin dalam upacara yang berkisar pada arak-arakan beberapa Gunungan (susunan seperti gunung) nasi dihias sayur-mayur dan makanan lain. Ratusan prajurit dan pegawai istana berperan dalam arak-arakan yang dihadiri oleh raja beserta keluarganya dan disaksikan oleh ribuan orang. Ada tiga jenis perayaan Garebeg yang berkaitan dengan upacara kerajaan, yakni: Garebeg Maulud (merayakan maulud nabi)

Garebeg Syawal (akhir bulan puasa) Garebeg Besar (usai musim haji)

Masing-masing berupa arak-arakan sepasang (atau kelipatannya) gunungan dari istana ke masjid agung. Saat arak-arakan melewati sitinggil, bangunan terbuka tempat raja menerima persidangan, gamelan pusaka istana dimainkan sebagai tanda penghormatan. Setiba di masjid, doa-doa untuk keselamatan masyarakat diucapkan dan selamatan diadakan. Setelah itu semua orang berusaha mengambil sesuatu dari Gunungan karena ada kepercayaan jika mendapatkan sebagian, meskipun kecil, akan memperoleh berkat.

Arsitektur Tipologi rumah atau tempat tinggal yang sering disebut omah, dimaksudkan adalah tempat bernaung bagi masyarakat di pulau jawa. Kehidupan orang jawa mencakup 3 syarat sebagai ungkapan pengertian hidup yaitu mencukupi kebutuhan sandang (pakaian yang wajar), Pangan ( minum dan makan ) dan Papan ( tempat tinggal ). Untuk syarat yang ketiga yaitu kebutuhan akan rumah tinggal haruslah terpenuhi sebab hal tersebut sebagai syarat untuk mencapai kehidupan yang sejahtera, sebab jikalau sudah memiliki rumah tinggal sendiri maka mereka tidak akan menyewa tempat bernaung atau sering disebut ngindhung. Bentukan rumah yang sederhana adalah ungkapan kesederhanaan hidup masyarakaat jawa. Hal itu dapat terlihat dari penggambaran bentuk denah yang cukup sederhana. Biasanya bentuk denah yang diterapkan adalah berbentuk persegi yaitu bujur sangkar dan persegi panjang. Hal tersebut sesuai dengan estetika hidup orang jawa yang mempunyai ketegasan prinsip dalam menjalankan tanggung jawab terhadap hidupnya. Sedangkan tipologi bentuk denah oval atau bulat tidak terdapat pada bentuk denah rumah tinggal orang jawa. Bentuk persegi empat ini dalam perkembangannya mengalami perubahan dengan adanya penambahan-penambahan ruang pada sisi bagian bangunannya dan tetap merupakan kesatuan bentuk dari denah persegi empat.

Berdasarkan pada sejarah pembelajaran perkembangan bentuk rumah tinggal orang jawa dapat dikategorikaan menjadi 4 macam bentukan yang mendasarinya sebagai bentuk rumah tinggal. Yaitu rumah tradisional bentuk Panggangpe, bentuk Kampung, bentuk Limasan dan bentuk Joglo. Rumah tradisional bentuk Tajug tidak dipakai sebagai rumah tinggal, melainkan dipakai sebagai rumah ibadah. Sebenarnya kategori bentuk di atas di pisahkan berdasarkan perbedaan bentukan atap yang dijabarkan seperti dibawah ini:

Rumah Tradisional Jawa Bentuk Panggangpe

Rumah panggangpe merupakan bentuk bangunan yang paling sederhana dan bahkan merupakan bentuk bangunan dasar. Bangunan panggangpe ini merupakan bangunan pertama yang dipakai orang untuk berlindung dari gangguan angin, dingin, panas matahari dan hujan. Bangunan yang sederhana ini mempunyai bentuk pokok berupa tiang atau saka sebanyak 4 atau 6 buah. Sedang pada bagian sisi sekelilingnya diberi dinding yang hanya sekedar untuk menahan hawa lingkungan sekitar atau dapat dikatakan sebagai bentuk perlindungan yang lebih bersifat privat dari gangguan alam. Pada perkembangannya bentuk rumah panggangpe ini mengalami perubahan menjadi variasi bentukan yang lain, kira-kira sebanyak 6 bentukan hasil dari perkembangan bentuk yang sederhana tersebut.

Tipe-Tipe Bangunan Jawa Arya Ronald dalam buku Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa [2005] mengatakan bahwa masyarakat Jawa dengan faham jawanya [kejawen] memilki sifat-sifat khusus, seperti; mempertahankan suasana hidup selaras [harmonis] dengan lingkungan kehidupan disekitarnya, yang meliputi: keselarasan hubungan antara manusia dan sesamanya [hubungan antara kawulo dan gusti], serta hubungan antara manusia dengan lingkungan alam disekitarnya [hubungan antara microcosmos dan macrocosmos]. Pada dasarnya tipe bangunan tradisional Jawa dibedakan menjadi 5 tipe, adapun 5 tipe tersebut adalah :

Tipe bangunan tradisional Jawa yang paling terkenal [dari 5 tipe] adalah Joglo. Joglo pun masi memiliki banyak tipe, antara lain ; Joglo Lawakan, Joglo Sinom, Joglo Jompongan, Joglo Pangrawit, Joglo Mangkurat, Joglo Hageng dan Joglo Semar Tinandhu. Joglo Limasan, Joglo Semar Tinandhu, Joglo Sinom, Joglo Jompongan dan Joglo Pangrawit banyak dipakai rakyat biasa, sedangkan Joglo Mangkurat, Joglo Hageng dan Joglo Semar Tinandhu banyak dipakai kaum bangsawan, maupun abdi dalem keraton. Dari wacana sebelumnya dapat diketahui bahwa betapa masyarakat Jawa sangat menghargai tamu dan kerabat, dan bentuk penghargaan tersebut terlihat dari biasanya masyarakat Jawa membagi beberapa zona dalam satu lahan milik mereka untuk kepentingan pribadi dan bersama, yakni antara lain ;

zona untuk para tamu [pendopo dan pringgitan], zona tempat tinggal [ndalem], letak di belakang pringgitan. zona tempat tinggal [griya wingking], letak di belakang ndalem. zona untuk para kerabat dekat [gandok kiwo dan tengen], letak di sebelah kanan dan kiri ndalem. zona service [gandok mburi] yang letaknya di belakang rumah tinggal [ndalem]. zona peribadatan [langgar].

Material Bangunan Jawa

Bagi masyarakat Jawa, pemilihan kayu bertuah sama pentingnya dengan pemilihan tempat bangunan.Dari wacana tersebut berarti material merupakan aspek arsitektural yang sangat penting bagi masyrakat Jawa, dari pemilihan material inilah bangunan dapat mencitrakan dirinya apakah bangunan tersebut merupakan bangunan tradisional ataukah modern. Bangunan tradisional Jawa baik struktur maupun nonstruktur menggunakan material kayu dan batu alam, esensi inilah yang akan dijadikan konsep pemilihan material.

Material yang biasa digunakan, adalah ; 1.Kayu nangka, kayu ini mudah diukir [dijadikan ornamen], dipakai sebagai bahan bangunan yang bersifat vertikal. 2.Kayu kelapa, dipakai sebagai bahan bangunan yang bersifat horizontal. 3.Bambu, lendutan yang besar menjadikan bambu hanya sebagai elemen konstruksi sekunder. 4.Batu-batu alam.

Ornamen Pahatan Pada Bangunan Jawa Masyarakat Jawa sangat menghargai keindahan, hal ini terbukti dengan banyaknya ornamen [pahatan dan ukiran] yang menempel pada struktur maupun selubung bangunan. Selain bernilai estetis, pahatan-pahatan yang ada pada kayukayu bangunan tradisional Jawa mengandung nilai-nilai simbolis. Seni pahat mengandung nilai-nilai simbolis dengan maksud yang bersifat magis, bermaksud untuk menghindarkan diri dari pengaruh roh jahat yang ada disetiap tempat, disamping itu ada maksud pula untuk memperoleh suatu keuntungan yang datangnya dari suatu kekuatan pula. Pahatan-pahatan biasanya terletak pada saka [tiang] dan pada balok [tumpang atau blandar], dan ukiran-ukiran pada kayu biasanya dijadikan sebagai ornamen tempelan pada selubung bangunan.

Busana Tradisional Kraton sebagai suatu pusat institusi dan tata pemerintahan, merupakan lembaga resmi yang dipimpin oleh seorang raja dan para kerabatnya yang disebut pegawai istana atau abdidalem. Mereka terdiri dari golongan-golongan sesuai dengan fungsi dan jabatannya, yang secara visual ditandai pula oleh cara dan bentuk pakaian. Lebih-lebih pada saat penyelenggaraan upacara adat pakaian tersebut dikenakan secara lengkap, di samping pakaian sehari-hari yang secara rutin dikenakan.

Sejalan dengan perkembangan zaman, pakaian resmi semacam itu lama kelamaan tidak lagi dikenakan secara lengkap. Misalnya pada masa penjajahan Jepang (1942 - 1945), yang mana pada waktu itu ekonomi negara kita dalam keadaan kacau, kemudian disusul dengan masa kemerdekaan, pakaian atau busana menurut kepangkatan tidak begitu diperhatikan lagi, dan yang pada gilirannya jarang dijumpai lagi. Namun demikian, pakaian adat tradisional kraton Yogyakarta yang sempat dikenal di kalangan masyarakat luas banyak dikenakan oleh golongan masyarakat biasa. Pakaian tersebut dikenal sebagai pakaian adat tradisional yang resmi dan khas Yogyakarta. Dalam perkembangan selanjutnya, pakaian ini diterima di kalangan masyarakat Jawa yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai miliknya sendiri dan pemberi identitas.

Pakaian adat tradisional Kraton Yogyakarta yang sudah jarang dijumpai lagi akhirakhir ini, pada saat-saat tertentu akan muncul kembali dalam suatu upacara adat yang meriah dan menarik perhatian masyarakat umum. Pakaian khusus itu akan muncul secara menarik dan berwibawa. Demikianlah secara keseluruhan pakaian adat itu tidak pernah musnah dilanda kemajuan zaman, tetapi tetap terpelihara dengan baik dan selalu dimunculkan pada saat-saat penting.

Pakaian adat tradisional masyarakat Yogyakarta terdiri dari seperangkat pakaian yang memiliki unsur unsur yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kelengkapan berbusana tersebut merupakan ciri khusus pemberi identitas bagi

pemakainya yang meliputi fungsi dan peranannya. Oleh karena itu, cara berpakaian biasanya sudah dibakukan secara adat, kapan dikenakan, di man dikenakan, dan siapa yang mengenakannya.

Secara keseluruhan seperangkat pakaian terdiri atas bagian atas, bagian tengah, dan bagian bawah. Bagian atas meliputi tutup kepala dan tata rias rambut (sanggul, konde, dan sebagainya); bagian tengah terdiri dari baju (kebaya, dan lain-lain) dan perhiasan (aksesori); serta bagian bawah berupa alas kaki. Demikian pula pakaian dari suatu daerah dapat dibedakan atas pakaian sehari-hari/kerja dan pakaian upacara/pesta adat. Dari pembagian tersebut dapat digolongkan lagi jenis-jenis pakaian berdasarkan jenis kelamin, usia, dan status sosial pemakainya.

Adapun yang dimaksud dengan pengertian pakaian sehari-hari di sini adalah seperangkat pakaian yang dikenakan di rumah, saat bekerja, dan saat bepergian. Pemakainya dapat digolongkan berdasarkan jenis kelamin, usia, dan status sosial. Sejak kecil putra-putri Sultan telah mengenal beberapa peraturan yang membedakan dirinya dengan status individu lainnya, diantaranya melalui bentuk pakaian yang harus dikenakan. Busana yang dirancang untuk anak-anak terdiri dari busana kencongan untuk anak laki-laki, dan busana sabukwala untuk anak perempuan.

Busana untuk anak laki-laki model kencongan terdiri dari kain batik yang dikenakan dengan model kencongan, baju surjan, lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok atau timang terbuat dari suwasa (emas berkadar rendah). Sedangkan busana seharihari bagi pria remaja dan dewasa terdiri dari baju surjan, kain batik dengan wiru di tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, serta mengenakan dhestar sebagai tutup kepala.

Busana sabukwala padintenan dikenakan oleh anak perempuan berusia 3-10 tahun. Rangkaian busana ini terdiri dari nyamping batik, baju katun, ikat pinggang kamus songketan bermotif flora atau fauna, memakai lonthong tritik, serta mengenakan

cathok dari perak berbentuk kupu-kupu, burung garuda, atau merak. Perhiasan yang dikenakan sebagai pelengkap terdiri dari subang, kalung emas dengan liontin berbentuk mata uang (dinar), gelang berbentuk ular (gligen) atau model sigar penjalin. Bagi yang berambut panjang disanggul dengan model konde. Kainnya bermotif parang, ceplok, atau gringsing.

Remaja putri mengenakan busana yang disebut pinjung. Busana ini dikenakan dengan cara melipat ujung kain sebelah dalam dibentuk segitiga sebagai penutup dada, yang panjangnya diukur dari dada sampai di atas pusar. Lipatan kain (wiru) berada di sebelah kiri, yang menunjukkan status sosial pemakainya sebagai putri Sultan sampai dengan cicit Sultan. Kelengkapan pinjung padintenan terdiri atas kain batik, tanpa baju, lonthong tritik, kamus songketan, udhet tritik (semacam selendang sebagai hiasan pinggang). Sebagai perhiasannya adalah subang, kalung dinar, gelang, sanggul tekuk polos tanpa hiasan.

Untuk putri yang sudah dewasa mengenakan busana semekanan dalam kesehariannya. Pengertian kata semekan berupa kain panjang yang lebarnya separuh dari lebar kain panjang biasa, berfungsi sebagai penutup dada. Rangkaian busana ini terdiri dari kain (nyamping) batik, baju kebaya katun, semekan tritik, serta mengenakan perhiasan berupa subang, gelang, dan cincin, Sanggulnya berbentuk sanggul tekuk polos tanpa hiasan. Sedangkan busana harian bagi putri raja yang sudah menikah terdiri atas semekan tritik dengan tengahan, baju kebaya katun, kain batik, sanggul tekuk polos tanpa hiasan. Perhiasannya berupa subang, cincin, serta sapu tangan merah.

Busana Kebesaran Untuk Upacara Ageng Pengertian upacara ageng adalah kegiatan seremonial dari rangkaian upacara supitan, perkawinan, garebeg, tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem, Agustusan, serta sedan (pemakaman jenazah raja). Busana kebesaran yang dikenakan dalam semua kegiatan ini disebut busana keprabon, yang khusus

dikenakan para putra Sultan. Jenis busana ini dibedakan atas busana dodotan, kanigaran, dan kaprajuritan. Rangkaian busana dodotan terdiri dari kuluk biru dengan hiasan mundri (nyamat), kampuh konca setunggal, dana cindhe gubeg, moga renda berwarna kuning, pethat jeruk sak ajar, rante, karset, kamus, timang (kretep), dan keris branggah. Busana ini lazim dikenakan pada upacara garebeg, jumenengan dalem (penobatan raja), serta pisowanan dalam upacara perkawinan.

Kelengkapan busana kanigaran pada dasarnya sama dengan busana dodotan. Hanya saja jika busana dodotan dikenakan tanpa baju, maka busana kanigaran ini dilengkapi dengan baju sikepan bludiran. Jenis busana ini lazim dikenakan pada upacara Agustusan, tingalan dalem tahunan, supitan, dan perkawinan.

MAKANAN KHAS I. Gudeg

Bahasa jawanya gudheg adalah makanan khas Yogyakarta dan Jawa Tengah yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan. Perlu waktu berjam-jam untuk membuat masakan ini. Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak bersamaan. Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek. Ada berbagai varian gudeg, antara lain:

Gudeg kering, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh kental, jauh lebih kental daripada santan pada masakan padang.

Gudeg basah, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh encer. Gudeg Solo, yaitu gudeg yang arehnya berwarna putih.

II.

Bakpia

Bakpia adalah makanan yang terbuat dari campuran kacang hijau dengan gula yang dibungkus dengan tepung lalu dipanggang. Di beberapa daerah di Indonesia, makanan yang terasa legit jika dimakan ini dikenal dengan nama pia atau kue pia. Isi bakpia bisa menyesuaikan dengan keinginan konsumen di antaranya cokelat, keju, kumbu hijau, dan kumbu hitam. Bakpia yang cukup dikenal salah satunya berasal dari daerah Pathok (Pathuk), Yogyakarta. Istilah bakpia sendiri adalah berasal dari dialek Hokkian (Hanzi: ), yang secara harfiah berarti roti berisikan daging.

III.

Nasi kucing

Nasi kucing (atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan "seg kucing") bukanlah suatu menu tertentu tetapi lebih pada cara penyajian nasi bungkus yang banyak ditemukan pada warung angkringan. Dinamakan "nasi kucing" karena disajikan dalam porsi yang (sangat) sedikit, seperti menu untuk pakan kucing. Nasi kucing adalah sebentuk nasi rames, dengan menu bermacam-macam: tempe kering, teri goreng, sambal goreng, babat, bandeng, usus, kepala atau cakar ayam serta sate telur puyuh. Nasi kucing dikenal di berbagai tempat di Jawa Tengah (termasuk Yogyakarta) dan sangat populer di kalangan mahasiswa.

MINUMAN KHAS Selain dimanfaatkan sebagai bahan makanan, rempah-rempah kerap diracik menjadi minuman yang menyehatkan. Minuman tradisional berbahan rempahrempah memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan jenis minuman lainnya. Beberapa keunggulan itu diantaranya secara alami, minuman rempah-rempah mengandung senyawa anti oksidan, antimikroba, antibiotic dan senyawa aktif lainnya. Karena manfaat itulah, minuman rempah-rempah dikategorikan sebagai minuman fungsional. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki minuman tradisional yang terbuat dari rempah-rempah. Wedang jahe, wedang ronde, bajigur, angsle, wedang secang, wedang kacang, bandrek, dan sekoteng merupakan beberapa contoh minuman khas Tanah Air. Kebanyakan minuman tradisional tersebut beraroma jahe, dan apabila diminum badan pun terasa hangat.

Pada kuah wedang ronde, minuman khas Jawa Tengah, misalnya, kerap ditambahkan beberapa rempah-rempah dalam jumlah cukup banyak, seperti batang serai, jahe, dan biji cengkeh. Dengan adanya penambahan rempah-rempah tersebut yang mengandung berbagai senyawa antioksidan, minuman pun menjadi lebih berkhasiat, terutama untuk menangkal radikal bebas.

Selain wedang ronde, jenis minuman tradisional yang baik bagi kesehatan tubuh ialah wedang secang. Minuman itu berwarna kemerahan, berasa manis, dan beraroma khas rempahrempah. Wedang secang panas sangat cocok dinikmati pada malam hari. Rasa hangat akan menjalar ke seluruh tubuh sesaat setelah menikmati secangkir minuman tersebut. Tidak saja menghangatkan, berdasarkan penelitian, minuman fungsional itu juga kaya akan nilai gizi yang bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran tubuh.

Minuman tersebut dapat dikonsumsi tanpa takaran saji, artinya masyarakat bisa mengonsumsinya sesuai dengan kebutuhan. Minuman tradisional juga dapat dikonsumsi oleh semua kalangan, terkecuali bayi. Bahkan akan lebih baik apabila minuman tersebut dikenalkan sejak masa kanak-kanak. Hal itu bertujuan agar setelah dewasa anak-anak bisa memperoleh manfaat serta khasiat dari minuman tersebut, terutama bagi kebugaran tubuh mereka.

Dalam membuat minuman wedang, pemanasan terhadap ekstrak rempah-rempah sangat memengaruhi kualitas minuman. Oleh karena itu, ketika membuat minuman itu, disarankan proses pendidihan air ekstrak rempahrempah tidak terlalu lama. Hal itu demi mencegah penurunan aktivitas komponen bioaktif rempah-rempah. Pasalnya, semakin lama dididihkan, semakin banyak pula komponen bioaktif yang hilang. Secara umum, minuman yang terbuat dari rempah-rempah memiliki khasiat memicu aktivitas antioksidan, hipoglikemik (menurunkan gula darah pada penderita diabetes), hipotensif (menurunkan tekanan darah), anti-infl amasi (anti peradangan), anti-alergi, antikanker, dan dapat meningkatkan sistem imun dalam tubuh.

I.

Wedang uwuh

Sejarah pengobatan tradisional Jawa memang menyimpan beragam cerita. Banyak jenis jamu yang lahir dari hasil kreativitas atau coba-coba. Wedang uwuh yang kini sedang digemari banyak orang hanya salah satunya. Meski artinya sampah, wedang ini mampu menyegarkan dan menyehatkan tubuh, rasanya-pun juga unik.

Ada banyak ragam minuman dalam tradisi masyarakat Jawa yang menyehatkan. Ada wedang jahe, wedang ronde, wedang secang, dan sebagainya. Khasiat minuman tersebut, selain menghangatkan tubuh, ada pula yang mampu meredakan batuk dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Uwuh dalam bahasa Jawa artinya sampah. Dijuluki uwuh karena ampas atau bahanbahan minuman ini ketika sudah bercampur tampak seperti sampah tak berguna. Berbagai jenis herba yang menjadi isi kandungan wedang uwuh di antaranya adalah rimpang jahe, serutan Wit kayu secang, serutan kayu manis, cengkih, daun pala.

Kadang ditambahkan pula batang sereh atau daun jeruk. Bisa juga dibubuhi gula batu atau gula merah.

Dilirik dari bahan dasarnya, tidak heran bila wedang uwuh memiliki manfaat untuk kesehatan. Dari mulai jahe, rimpang yang satu ini lebih dari sekadar bumbu dapur. Jahe sudah dikenal manjur mengusir berbagai keluhan. Sifatnya yang panas bermanfaat sebagai penghangat.

Lebih dari itu, jahe, melalui banyak penelitian, terbukti manfaatnya untuk melancarkan peredaran darah. Jahe bersifat antikoagulan (antipembekuan darah) yang lebih hebat daripada bawang putih atau bawang merah. Jahe juga mampu menurunkan kadar kolesterol karena bisa mengurangi penyerapan kolesterol dalam darah dan hati. Penelitian yang dilakukan para ahli di Jepang memperlihatkan, jahe dapat menurunkan tekanan darah tinggi dengan jalan mengurangi laju aliran darah perifer (aliran darah tepi).

Kayu manis memiliki sifat antioksidan dan membuat rasa wedang menjadi lebih nikmat. Banyak herbalis meyakini bahwa campuran jahe dan kayu manis berkhasiat untuk meningkatkan daya tahan tubuh karena kandungan antioksidannya tinggi.

Dr Michael dari Herbacure menilai, berbagai kandungan bahan dalam wedang uwuh jika diuraikan satu per satu memang memiliki manfaat beragam. Manfaat itu terutama untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan memperlancar aliran darah. Serutan kayu manis dan cengkih, dijelaskannya, adalah herba yang bersifat hangat, juga bisa memberikan aroma sekaligus sensasi rasa yang unik. Daun pala yang mengandung saponin, polifenol, dan flavonoid bermanfaat untuk menghilangkan nyeri, meredakan perut mulas karena masuk angin, melancarkan sirkulasi darah, dan mengatasi gangguan pada lambung.

Komponen penting lain dalam wedang uwuh adalah secang. Herba yang biasa disebut kayu secang (Caesalpinia sappan) ini telah lama dikenal sebagai bahan

ramuan untuk mengobati berbagai penyakit, seperti sifilis, batuk darah, dan radang.

Kayu secang juga dapat dipergunakan sebagai campuran untuk minuman kesehatan dan penghangat badan. Penelitian yang dilakukan di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengungkapkan bahwa secang memiliki kemampuan antioksidan, antikanker, memperlancar peredaran darah, dan melegakan pernapasan. Terakhir, gula batu sebagai pelengkap untuk memberikan rasa manis, tanpa membuang aroma sekaligus rasa asli bahan-bahan ramuan ini.

Cara membuat wedang uwuh ini gampang saja. Semua bahan cukup diseduh dengan air mendidih atau direbus jika ingin membuat dalam ukuran banyak. Beragam bahan dalam wedang itu jika telah menyatu dan direbus akar menghasilkan minuman berwarna cokelat kemerahan yang terbentuk dari warna dominan secang. Bau harum menguar dari aroma kayu manis. Rasa hangat, pedas, manis, berasal dari jahe dan rempah lainnya.

Bahan: 700 ml air 40 g serutan kayu secang kering 50 g gula batu/gula pasir 6 cm jahe, memarkan 2 lembar daun kayu manis kering 3 lembar daun cengkeh kering 3 lembar daun pala kering 10 butir cengkih/batang cengkih kering Cara Membuat: 1. Bakar jahe, memarkan. 2. Tuang air dalam panci. Masukkan jahe, cengkih/batang cengkih, daun cengkih, daun kayu manis, daun pala, serutan kayu secang, jahe, dan gula batu. Masak dengan api sedang hingga mendidih. Rebus selama kurang lebih 15 menit. Angkat dan saring (bisa juga dihidangkan tanpa disaring). 3. Tuang ke dalam gelas. Hidangkan hangat.

Note : 1. Warna air yang merah cerah terbentuk dari air seduhan secang. Bau harum muncul dari aroma kayu manis. Rasa hangat-pedas terbentuk dari jahe dan dedaunan rempah lainnya. 2. Minuman herbal berbahan bahan rempah ini berkhasiat menghangatkan badan, menghilangkan masuk angin, batuk ringan, dan melegakan

tenggorokan. Bagi pecandu rokok kretek yang pengin berhenti merokok, minuman ini mungkin bisa membantu menghentikan rokok kretek anda.

II.

Wedang ronde

Wedang ronde adalah salah satu minuman yang kuahnya berasal dari air gula yang diberi jahe sehingga rasanya pedas, dan disajikan dalam keadaan hangat. Sedangkan rondenya terbuat dari ketan dan didalamnya berisi kacang tanah.

Pada perayaan-parayaan yang akhir-akhir ini menggunakan hidangan wedang ronde yang lazimnya jumlah ronde yang dipakai dalam satu mangkuk adalah 12 butir plus satu buah ronde berukuran lebih besar. Warna ronde pun beraneka ragam ada yang berwarna merah ada pula yang berwarna putih,semua memiliki makna tersendi. Adapun akulturasi budaya dalam makanan ini berlanjut sampai sekarang, malah wedang ronde sudah menjadi makanan rakyat jelata, Biasanya wedang ronde ini dijajakan semangkuk tak kurang dari Rp 4000 perak. Tidak sulit untuk menumukan wedang ronde di Yogyakarta.Karena disinilah tempat memproduksi minuman tersebut. Seperti ditempat-tempat wisata Kraton, Alun-alun kidul/selatan.

Ronde: 250 g tepung ketan 25 g tepung kanji/sagu tani 130 ml air hangat 1 sdm air kapur sirih sdt pewarna merah

Isi: 100 g kacang tanah, sangrai, haluskan 50 g gula pasir

Wedang: 1.5 lt air 250 g gula pasir 150 g jahe, kupas, potong-potong, memarkan 2 lembar daun jeruk sdt garam halus

Cara Membuat: 1. Ronde: Campur semua bahan ronde kecuali air dan pewarna, aduk rata. Tuang air sedikit demi sedikit sambil diuleni hingga adonan kalis. Bagi dua adonan, tambahkan pewarna merah pada salah satu adonan. Biarkan berwarna putih pada adonan lainnya. 2. Ambil sejumput adonan, bentuk bulat pipih, isi dengan 1 sdt bahana isi, bulatkan kembali. Lakukan hingga adonan habis. 3. Panaskan air, rebus bola-bola ketan higga matang dan terapung. Angkat, rendam dalam air dingin matang. Tiriskan. 4. Isi: campur kacang tanah sangrai dan gula pasir, aduk rata. 5. Wedang: Campur semua bahan wedang. Rebus higga mendidih. Angkat, saring. 6. Penyelesaian: siapkan mangkuk saji. Masukkan ronde, siram dengan kuah wedang panas. Taburi kacang tanah sangrai. Hidangkan panas. Untuk 7 Porsi Tip: Untuk memperkaya citarasa, tambahkan potongan manisan kolang-kaling dan roti tawar. Air kapur sirih bisa diperoleh dengan cara melarutkan sdt kapur sirih dengan 3 sdm air. III. Wedang secang

Banyak orang mengetahui manfaat dari wedang secang(minuman secang ini). Seperti Kurang enak badan,masuk angin, karena minuman ini dapat menimbulkan raa hangat didalam tubuh sehingga memberikan rasa segar dalam tubuh.

Semakin meningkatnya sebuh teknologi membuat kita menjadi lebih praktis dalam mengkonsumsi minuman ini. Karena sekarang terdapat minuman secang ini yang berbentuk sirup maupun serbuk. Minuman ini juga bisa mengobati penyakit diare,disentri,TBCmlaria,radang selaput lendir mata dan lain sebagainya.Kayu secang mengandung galat tanin, resorsin, brassilin, brasilein, d-alfa-phellandrene, ascimene, minyak atsiri yang kasiyate bisa menghentikan perdarahan, pembersih darah, penawar racun, dan antiseptik.

Cara pembuatannya tidak begitu sulit hanya menyediakan kayu secang secukupnya,ditambah gula pasir,sere,jahe,dan air secukupnya. Semua bahan dimasukkan lalu diaduk,diperas lalu disaring. Lalu rebus sekitar 3jam. setelah selesai ... secang dapat dinikmati panas maupun dingin. Untuk didaerah daratan tinggi secang digunakan untuk menghangatkan tubuh. Seperti daerah kaliurang dan dataran tinggi lainnya.

Bahan : 1. 5 biji Cabe Jawa 2. 5 biji Kemukus 3. 5 biji Kapulaga 4. 5 biji cengkeh 5. 1 ruas jari jahe, dibakar 6. 1 batang sereh (putihnya saja) 7. 1 potong kayu manis secukupnya 8. 1 jumput kayu secang secukupnya 9. 5 gelas air putih 10. gula batu/gula pasir/madu secukupnya

Cara Membuat : 1. Semua bahan kecuali kayu secang dan gula dicuci bersih dan direbus dengan api kecil agar zat yang terkandung di dalamnya dapat keluar dengan

sempurna. Setelah air berwarna kecoklatan dan berbau harum, masukkan kayu secang dan panci ditutup hingga air mendidih dan berwarna kemerahan. 2. Tambahkan gula atau madu sesuai selera. Note : 1. Untuk merebusnya, sebaiknya gunakan alat perebus yang terbuat dari gerabah yang terbuat dari tanah liat karena gerabah bisa mempertahankan aroma dari wedang secang 2. Sajikan wedang secang dalam poci tanah. Dijamin lebih nikmat dan lebih terasa tradisional. 3. Sebaiknya menggunakan madu sebagai pemanis bagi penderita penyakit diabetes. Manfaat Secang : 1. Secang mempunyai efek farmakologis menghentikan perdarahan, pembersih darah, pengelat, penawar racun dan antiseptik. 2. Secang mempunyai warna merah alami didalamnya mengandung zat: safrol, tanin, phenil prophil acetat, karminatif, dan stomakik. Zat zat tersebut bermanfaat untuk : mengurangi stres, melonggarkan pernapasan, menambah nafsu makan, kaki tangan berkeringat, pemecah gas dalam perut, memperbaiki pencernaan dan asma. 3. Selain itu juga dapat mengatasi gangguan pembuluh darah koroner yang menyempit dan juga berfungsi mengurangi tekanan darah sehingga peredaran darah menjadi lancar. Kandungan kimia : Asam galat, tanin, resin, resorsin, brasilin, brasilein, d-alfaphellandrene, oscimene, minyak atsiri. Daun: 0,16%-0,20% minyak atsiri yang berbau enak dan hampir tidak berwarna.

IV.

Wedang bajigur

Bahan: 500 gram santan kental 200 gram gula merah 100 gram jahe 50 gram gula pasir 1O gram garam 2 lembar daun pandan

Cara membuat: 1. Rebus jahe sampai menjadi air jahe sebanyak empat gelas. 2. Rebus pula santan dengan daun pandan, di atas api kecil sambil terus diaduk. 3. Setelah santan mendidih, campurkan air jahe. 4. Masukkan semua bahan seperti gula merah, gula pasir, garam, dan daun pandan. 5. Tunggu sebentar, lalu angkat dan sajikan

V. Wedang sereh selain untuk memasak, ternyata Serai/Sereh bisa dijadikan minuman yang tak kalah nikmat. Kandungan citronella-nya membantu menenangkan dikala stres melanda. Sereh juga bisa jadi obat yang dapat menyembuhkan masuk angin, demam, pilek, dan membuat efek bau badan harum.

Bahan: 3 btg Sereh ambil batangnya saja 500 ml air 3 lembar daun jeruk Gula batu, atau gula aren, atau gula pasir secukupnya

Cara membuat: 1. Sereh dimemarkan bagian bonggolnya. 2. Rebus air hingga mendidih, masukkan sereh, dan daun jeruk lalu rebus selama 10 menit. Angkat. 3. Beri gula batu / gula aren/ gula pasir secukupnya, aduk rata. 4. Sajikan hangat. Jika suka bisa ditambahkan teh celup.

TAMAN MINI INDONESIA INDAH

Kerajinan dari tembaga: 1. Kendil 2. Dhandhan 3. Ceret

KRIS

KRIS

SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VI

SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VIII

Pasarean Tedeng, sebuah balai-balai kuno, dimana Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX dilahirkan.

Anda mungkin juga menyukai