Anda di halaman 1dari 3

Menjelang Pemakaman Oleh : Ahmad Junaidi 10-Apr-2010, 02:51:13 WIB - [www.kabarindonesia.

com]

KabarIndonesia - Hari Kesatu, Selamat malam kematian. Dimanakah bersembuyinya cinta? Ingin
kulepas ia kesini, kedalam ruh jiwa. Dimanakah perginya kesucian? Ingin sekali kumemeluknya erat dengan segenap sisa-sisa nada asmara yang masih kupunya. Dimanakah perginya kawankawanku? Ingin sekali kumenyapa mereka dengan senyum terindah yang diairi dengan linangan air mata keharuan yang mesra. Dimanakah cinta? Sungguh segala kehilangan ini tak mampu kubuang dari ingatan. Apakah lupaku juga sudah hilang? Selamat pagi kematian. Tak usah kau ajak matahari mengetuk jendela kamarku yang kusam. Tak ada lagi ruang kaca dalam hatiku yang masih bersinar kemilauan. Gandeng saja tanganku menuju rumahMu dengan perlahan. Kasihanilah aku yang pincang ini. Ibu lambaikan tanganmu sekarang, sebagai bunga yang akan kutanam disepanjang jalan menuju pulang. Ibu ciumi aku dengan do'amu agar kemantapanku menutup kesementaraan semakin pasti. Agar aku tak canggung saat ditanya tentang kasih sayang. Selamat sore kematian. Suruhlah pergi senja itu! Aku tak lagi sanggup memandangnya. Cakrawala yang memerah jingga merona cukup perkasa membuyarkan lamunanku tentang kebahagiaan yang sekian lama tak kudapatkan. Senja itu menampar wajahku yang telah berdarah. Sungguh aku tak berhasrat pada masa laluku yang abu-abu. Sejarah lama yang senantiasa gontai menyandarkan harapan pada do'a. Yang selalu gemetaran menggigil tatkala disabung dengan kenyataan. Dan aku tak ingin menyesalinya untuk yang kedua. Dalam kesadaran kutipu mataku yang sebenanya tak buta. Biarkan kuberbaring sejenak menidurkan kegelisahan yang siaga menantang perang. Hari Kedua Selamat malam kematian. Aku dibangunkan kegelisahan yang tak mampu lagi berdiri. Dibawanya aku mengembara ke sabana hijau maya. Siluetnya membias menjadi warna hitam yang lebar menyebar membisikiku pelan tentang kekalahan. Jasadku ambruk namun suksmaku terbang dibawa angin mengitari pohon tumbang, melingkari kekalahan dengan api kekecewaan yang menyala tebal. Mega beriringan menemani mendung yang diusir kemarau panjang. Ia melirikku, lalu kami saling bercerita tentang duka lara. Terus bercerita hingga hujan benar-benar mendapatkan kahidupan dan terlahir di bumi. Kembali aku sepi. Selamat pagi kematian. Matahari mencibirku dengan sorotan sinarnya yang membakar. Aku tetap diam, hingga ia benar pergi. Aku berjalan susuri bayang-bayang yang tersipu malu ketika kucium keningnya. Hingga akhirnya kujumpai sebuah persimpangan, disana hanya ada aku sendirian. Aku terheran-heran! Kemana perginya bayang-bayang? Aku terperanjat ketika kakiku tersandung! Gila! Banyak nisan yang tersembul, mengapa semua nama yang terukir hanya bayang-bayang?

Aku terpesona! Disinikah segala masa lalu melenyap? Menjelma menjadi harapan-harapan kosong? Disinikah sejarah-sejarah hidup ditikam perubahan? Aku menjadi kecapaian. Kulihat diriku tertidur pulas, sedang aku yang menjadi jiwanya hanya menunduk, terpaku bisu. Hari Ketiga Selamat...? Diwaktu mana aku berdiri? Dunia macam apa lagi yang kuinjak kini? Selamat ingat kematian! Biarkan kusapa kau seperti itu, sebab cahaya malam ataupun siang benar-benar mengabur samar. Aku dilingkari oleh manusia-manusia yang menerbangkan pikiran mereka ke cakrawala kealpaan. Berjoget menarikan kilauan fatamorgana. Mereka seolah-olah tak mengenalMu. Sedang aku tak lagi perkasa untuk mengenalkan mereka kepadaMu. Dan seperti biasa aku pulang dengan seribu kecewa. Hari Keempat Selamat pagi kematian. Tadi malam aku diajak terbang oleh kemarau panjang. Mengitari aksara demi aksara, tanda demi tanda. Mencari hujan yang telah lama hilang. Batang pohon yang menjadi kayu menjulang kering meranggas. Menantang langit yang dianggap menyembunyikan air kehidupan. Tanah terbelah, menciptakan rongga-rongga kosong yang sendirian ditinggal harapan. Batu membisu seperti mulut goa yang selalu menganga tanpa suara. Kesunyian ini menjadi gersang. Selamat siang kematian. Siang ini aku tak disapa siapapun, kecuali kepulan asap peradaban yang tak lagi punya hati nurani. Membumbung. Membikin sakit jantung-jantung keyakinan yang kurus kerempeng. Menidurkan mata-mata yang sebenarnya telah terpejam, dibuai kebohongan. Selamat sore kematian. Kemana perginya senja? Apa ia telah bosan menjemput rembulan? Selamat malam kematian. Ajak aku bercerita tentang kejujuran. Benar-benar aku ingin melihat diri. Beri tahu aku bagaimana pengingkaran selalu menang di gelanggang pertarungan! Jangan gurui aku tentang perang! Cukuplah kedamaian yang tersisa ini kukerjakan sebagai ketentraman, yang kelak begitu kuinginkan sebagai pengantar menuju keabadian. Bukakan gerai kelabu itu untukku! Agar angin kasih sayang dan cinta itu segera memutar baling-baling kesetiaan yang sekian lama terdiam. Ya, kesetiaan pada kesejatian. Sebab aku tak ingin diriku ambruk ketika perjalanan panjangku tiba. Selamat pagi kematian. Cermin dan bayang-bayang telah berkata sama tatkala memandangi wajahku. Pencitraan seperti inikah yang dijuluki ajal? Kerentaan begitu pekat. Kering-keriput memanjang mengitari muka tuaku! Cekung dan kosong, begitulah aroma bola mataku kini. Panca inderaku telah terbengkalai dari susunan kehidupan. Kurasakan ruhku mulai meloncat-loncat kecil menyambutmu datang. Aku sangat kesakitan.

Hari Kelima Selamat datang kematian. Pada ikan, pada semua yang beratapkan air. Pada air, pada semua yang mengalir. Sungguh buasnya menciptakan pilihan ketenangan: keindahan, juga kehancuran. Selamat Aku Tapi tak kusaksikan datang melihat ruhku kematian_______ Tuhan. bersumpah:

"

Laa

ilah

hailallah,

Muhammad

Rasulullah"

Kemudian bibirku tersenyum sembari melambaikan tangan, menutup kesementaraan.

Anda mungkin juga menyukai