Anda di halaman 1dari 4

BUNG KARNO PERNAH DIDESAK JADI RAJA

Bicara tentang tokoh yang sempat dinominasikan sebagai tokoh abad ini oleh majalah Asiaweek ini nyaris tidak ada habisnya. Ada saja sisi yang relevan untuk diungkapkan. Presiden pertama RI penyuka sambal pecel ini jejak langkahnya memang fenomenal. Ketika umur 16 tahun, ia sudah mendirikan sebuah partai politik. Di balik sikapnya yang kaku, ia sebenarnya lembut dan tak berani memotong ayam.
Ada benang merah yang bisa ditarik antara isu disintegrasi yang saat ini mengemuka dengan Sukarno. Bagaimanapun, dialah pengusul bentuk negara kesatuan. Waktu itu Jepang sedang di ambang kehancuran. Tentara mereka kalah di beberapa pertempuran, sementara bantuan dari Tokyo sudah berhenti. Mau tak mau, di Indonesia mereka harus merayu pribumi yakni dengan "memberikan" kemerdekaan. Untuk itu mereka mengundang Sukarno dan Hatta membicarakan bentuk negara. Jepang menyodorkan monarki. "Seperti dalam kunjungan tuan (Sukarno - Red.) baru-baru ini, rakyat Bali menghendaki kerajaan," para pembesar Jepang menegaskan. "Rakyat mendesak supaya Sukarno menjadi raja Indonesia." Dengan tegas Sukarno menjawab, "Saya sudah memberikan janji kepada pengikut saya sejak tahun 1926. Di masa permulaan sekali ketika kemerdekaan ini masih merupakan bayangan, saya telah berjanji bahwa kami tidak akan mendirikan negara yang berbentuk kerajaan. Saya senantiasa menentang segala macam bentuk selain daripada negara republik." Bentuk negara kesatuan adalah tepat untuk kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan; asal dilengkapi angkatan laut yang kuat. Ingat saja dengan kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Pandangan Sukarno tidak sejalan dengan keinginan Bung Hatta yang penganjur negara serikat. Itulah awal perbedaan di awal kemerdekaan Indonesia. Pidato di atas meja Menyelami pemikiran Bung Karno seperti masuk labirin. Banyak orang tidak mudah memahami jalan pikiran Sukarno. Isi kepalanya memang di-charge dari berbagai sumber. Ia bisa mengutip ucapan dari pemikir Swami Vivekananda sampai berbicara mengenai feminisme Henriette Roland Holst. Buku memang menjadi santapan Bung Karno sejak ia sekolah di HBS di Surabaya. Waktu itu ia indekos di rumah H.O.S. Tjokroaminoto. Ia yang mengharapkan memperoleh kasih sayang orang tua dari tokoh Sarekat Islam itu akhirnya lari ke buku-buku. Di dalam apa yang dinamakannya "dunia pemikiran", Sukarno bisa berdialog dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Thomas Jefferson untuk soal Declaration of Independence. Ia juga memperbincangkan persoalan George Washington, mendalami lagi perjalanan Paul Revere, dan dengan sengaja mencari kesalahan-kesalahan dalam kehidupan Abraham Lincoln. Masih banyak tokoh dunia yang menemani Sukarno dalam kegelisahannya: Gladstone dari Britannia ditambah dengan Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan Gerakan Buruh Inggris; Mazzini, Cavour, dan Garibaldi dari Italia; Otto Bauer dan Adler dari Austria; Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin dari Rusia; Jean Jacques Rousseau dan Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sejarah Prancis. Begitu dalamnya penghayatan itu, sering Sukarno larut dalam emosinya. Sambil berdiri di atas meja yang sudah goyah di kamarnya ia berpidato tanpa massa di depannya. Ia berteriak dengan sangat keras. Jika sudah begitu, orang-orang yang kos di rumah Tjokroaminoto berteriak-teriak juga. "Hei, No, kau gila?", "Ada apa?", "Hei, apa kau sakit?". Kalau tak ada jawaban, mereka pun menyimpulkan sendiri, "Ah, cuma si No mau menyelamatkan dunia lagi." Satu demi satu pintu-pintu pun menutup lagi dan membiarkan Sukarno sendiri dalam kegelapan. Tapi, membaca tanpa diamalkan adalah sia-sia. Beruntunglah Sukarno tinggal di rumah Tjokro, yang oleh Belanda digelari "Raja Jawa yang tidak dinobatkan" itu. Sebagai ketua SI, ia sering disambangi para pemimpin partai lain atau ketua cabang. Di sinilah Sukarno mereguk perbincangan dan perdebatan politik yang terjadi saat itu. Tak jarang pula ia berbagi tempat tidur dengan salah satu tamu. Ia bisa kuat mengajak sang tamu mengobrol sampai fajar merekah. Dari merekalah alam nasionalisme Sukarno terkuak lebar.

Tak heran kalau pada umur 16 tahun Sukarno sudah mendirikan partai politik Tri Koro Darmo (Tiga Tujuan Mulia). Dari sinilah kemudian berlanjut ke Jong Java. Semua itu dilakukan untuk mengoreksi perjuangan para pendahulu yang sendiri-sendiri dan tanpa terorganisasi. Kemampuan berpidato Sukarno pun semakin terasah dan menemukan jalannya. Apalagi ia sering mengikuti Tjokro, yang kemudian menjadi mertuanya, ke berbagai pertemuan. Tjokrolah yang menjadi cermin baginya dalam merebut simpati massa ketika berdiri di atas podium. "Ialah yang kemudian mengubah seluruh kehidupanku," kenang Sukarno. Gabungan antara Herakles dan Hamlet Sukarno kemudian menjelma menjadi orator ulung. Lihatlah, ketika berpidato, ia bisa mimikri. Rosdiansyah dalam Suara Hidayatullah menggambarkan, jika harus menjelaskan tentang nasionalisme, ia berperan seperti bapak bangsa. Demikian pula jika ia berpidato tentang Islam, Bung Karno laksana pemimpin muslim. Dalam buku autobiografinya, Sukarno menyadari bahwa ada dua sifat bertentangan dalam dirinya. "Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran (Sukarno lahir tanggal 6 Juni 1901 - Red.). Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan.... Aku menjebloskan musuh-musuh Negara ke belakang jerajak-besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar." Dalam sekapur sirih buku Kuantar Ke Gerbang karangan Ramadhan K.H., S.I. Poeradisastra menggambarkan Sukarno sebagai Herakles di tengah-tengah gemuruh tepuk tangan massa. Akan tetapi, terpisah dari gemuruh itu, Sukarno adalah Hamlet yang dirobek-robek kebimbangan. Ia sanggup mengomandokan Trikora dan Dwikora meski di sisi pribadi ia tak berani memotong ayam sekalipun. Apakah itu menjadi pembenaran ketika setelah kemerdekaan ia berubah sikap? Bung Karno pernah menjadi demokrat sejati, lalu simbol persatuan, sebelum menjadi otoriter di akhir-akhir kekuasannya. Sama seperti dulu ketika zaman Belanda ia nonkooperatif, kemudian dicap kolaborator ketika pendudukan Jepang? Mengenai hal itu ia hanya berujar, "Saya akan bekerja sama dengan siapa saja, jika ia membantu kemerdekaan negeriku." Terlepas dari dua sisi, Sukarno sangat getol dengan persatuan. Pada awal perjuangan kemerdekaan ia meyakini bahwa hanya dengan persatuan cita-cita kemerdekaan bisa tercapai. Makanya, ia gundah menyaksikan perpecahan partai yang didirikannya, PNI, begitu ia keluar dari penjara Banceuy Bandung. Atas dasar persatuan itu pula ia memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Saat genting tanggal 17 Agustus 1945 adalah saat terberat bagi Sukarno. Sebelumnya ia sudah diculik para pemuda untuk segera memerdekakan Indonesia. Pas hari H-nya ia juga didesak oleh kawan-kawannya yang sudah berkumpul di rumahnya. Tapi Sukarno berkata, "Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada." Pertimbangannya adalah Sukarno orang Jawa dan Hatta orang Sumatra. "Demi persatuan, aku memerlukan seorang dari Sumatra. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau nomor dua terbesar di Indonesia." Hal yang sama dilakukan ketika dalam sidang Konstituante yang memanas Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 atas nama persatuan dan kesatuan. Waktu itu Dewan Konstituante mengadakan sidang untuk membicarakan usul Presiden Sukarno yang menginginkan kembali ke UUD 1945. Pro dan kontra mewarnai sidang sebelum akhirnya diadakan pemungutan suara dengan hasil tipis menolak usulan Sukarno. Akibatnya, golongan nasionalis dan sosialis tidak mau lagi menghadiri sidang, sehingga setiap mau sidang tidak bisa memenuhi kuorum. Karena dihadapkan pada keadaan macet itu akhirnya Bung Karno mengeluarkan dekrit. Nebeng tuan rumah Di luar sosoknya sebagai presiden maupun orator ulung, Sukarno adalah manusia biasa yang suka bergaul dengan masyarakat bawah. Karena itu ia tidak merasa direndahkan ketika dipanggil "Presiden Bung Karno". Ini mengingatkan keadaan sekarang, "Presiden Gus Dur". Tak seberapa lama setelah Indonesia merdeka, rakyat memang banyak yang tidak tahu apa itu presiden. Tak jarang arti kemerdekaan pun masih mengawang-awang. Akan hal ini Bung Karno pernah bercerita, banyak rakyat yang jika naik kereta api dan ditanyakan karcisnya, mereka tersinggung dan menjawab, "Lo, kita 'kan sudah merdeka?"

Tugas sebagai presiden negara yang baru merdeka membuat Bung Karno sering bepergian ke luar negeri. Misinya adalah mencari dukungan akan kedaulatan negara. "Aku sudah ke mana-mana kecuali ke London. Ada sebabnya mengapa aku mengadakan perlawatan itu, agar Indonesia dikenal orang." Perjalanan itu memang membuat ketokohan Sukarno dikenal kepala negara dan pemimpin pemerintahan negara lain. Perkenalan yang sering kemudian berbuah persahabatan. Terlebih dengan negara-negara berkembang di kawasan Asia dan Afrika. Bung Karno dan kawan-kawannya sering bertukar barang. Semisal dengan Gamal Abdul Nasser, mereka bertukar tanaman. Pohon flamboyan yang ada di Jalan Veteran di belakang Istana Merdeka adalah hasil barternya dengan pohon mangga arummanis. Bahkan, meski saat itu Bung Karno condong ke Blok Timur, tidak tertutup baginya untuk berkawan dengan Presiden Amerika, John F. Kennedy. Waktu ke Amerika tahun 1960-an misalnya, Bung Karno diajak berkeliling menggunakan heli kepresidenan. Secara iseng Kennedy bertanya apa Sukarno senang dengan heli itu. Tanpa sungkan Bung Karno mengiyakan. Kontan Kennedy bilang, "Oke, kalau begitu Bung Karno boleh bawa pulang helikopter ini." Di waktu lain, saat Konferensi Non-Blok di Beograd, ia dengan enteng menebeng mobil kepresidenan tuan rumah (waktu itu Tito) untuk urusan transportasi dari gedung pertemuan ke hotel pulang- pergi. Dalam bernegoisasi Sukarno memang jago. Departemen Luar Negeri waktu itu menyatakan bahwa satu kali kunjungan Sukarno setara dengan sepuluh tahun pekerjaan seorang duta. Penekanan dan pemilihan kata waktu berbicara memang tepat. Suaranya sendiri sangat khas, hingga, "Rakyat segera mengenalku apabila mendengar suaraku." Menonton di belakang layar Ada tiga barang yang selalu menemani Bung Karno selama lawatannya: Alquran, keris pusaka, dan sambal pecel. Keris yang dibawa adalah warisan keluarganya yang diyakini berasal dari keturunan raja-raja Bali. Soal keris ini ada cerita menarik sesaat setelah Bung Karno meninggal. Keris Bali yang disimpan di Wisma Yaso hilang dicuri. Orang geger karena dikira itu keris warisan. Padahal keris itu dibeli di artshop pinggir jalan. Mengenai sambal harus dibawa setiap lawatan karena Bung Karno tidak doyan makanan Barat. Bukan sambal biasa, tapi harus didatangkan dari Blitar. Mbok Rah, penjual pecel kesukaan Bung Karno, selalu membungkus sambalnya dengan daun jati. Untuk menjaga keasliannya, Bung Karno memerintahkan untuk membawa seperti apa adanya. Jadi mirip bola bowling. Satu hal yang menarik dari Presiden Bung Karno adalah pakaiannya. Sebagai insinyur sipil tak kesulitan baginya untuk merancang seragam kebesarannya. Prinsipnya rapi dan tampak gagah. Terciptalah baju putih lengan panjang, leher terbuka, dan memakai saku militer. Orang-orang menamakannya "Jas Bung Karno". Di balik jas itu Bung Karno memakai kemeja. Merek favoritnya Arrow dari Amerika. Kemeja itu pula yang dipakainya waktu memaki-maki Amerika yang mendukung Belanda dalam persoalan Irian Barat. Namun, waktu itu hanya ada kain dril murahan. Repotnya adalah waktu menganji. Kalau takaran kanji kurang pas, waktu diseterika hasilnya tidak mulus. Jika hal itu sampai terjadi, terjadilah proses marah-marah berantai: Bung Karno memarahi Tukimin Sastramenggala, sang asisten dalam hal menyiapkan pakaian Presiden RI, Tukimin memarahi Pak Tukijan juru setrika, Pak Tukijan memarahi mBok Wiryo sang tukang cuci, mBok Wiryo memarahi ember ( dari seng, belum ada ember plastik) tempat mencuci. Cara marahnya dengan mengangkat tinggi-tinggi ember itu dan gedommbranggggg!!! Selain uniform, tongkat komando menjadi ciri Bung Karno. Ada anggapan di masyarakat bahwa tongkat komando Bung Karno sangat sakti sehingga ia bisa terhindar dari berbagai pembunuhan yang sejak menjadi presiden paling tidak 25 kali (di antaranya peristiwa Cikini, pemberondongan Mig-17, peristiwa Makassar, peristiwa Idul Adha di Istana, dan pencegatan Rajamandala). Berbagai cara dilakukan untuk memisahkan tongkat tadi dengan Bung Karno. Padahal Bung Karno sendiri meyakini tongkatnya tidak sakti, apalagi bertuah. "Namun kalau digetokkan ke jidat sudah barang tentu akan membuat benjol tulang dahinya," guyon Bung Karno. Oleh sebab itu Bung Karno tidak menyimpan tongkat itu di tempat khusus, tapi digeletakkan begitu saja di atas meja tulis kamar tidurnya, campur aduk dengan pulpen, pensil, setip, stoples berisi permen, map, dll. Sedangkan kegemarannya menonton film (Intisari Juli 1999) sudah bersemi sejak sekolah di Surabaya. "Sekali dalam seminggu aku menikmati satu-satunya kesenanganku, film!" Sayang, waktu itu tidak punya uang sehingga ia hanya bisa membayar tempat di belakang layar. Karena saat itu masih era

film bisu, maka Sukarno terpaksa membaca teks secara terbalik. Bahasa Belanda lagi! Maka wajar saja kalau ia fasih berbahasa Belanda. Begitulah Bung Karno, selalu punya sisi kehidupan yang menarik untuk diperbincangkan. (Agus Surono/Anglingsari SI SK/G. Sujayanto)

Anda mungkin juga menyukai