Anda di halaman 1dari 19

Beberapa catatan pergumulan iman Banyak agama-agama mempersoalkan dan bersoal tentang Yesus dari Nazareth.

Yang paling memperdebatkan apa dan siapa Yesus dari Nazareth ada tiga agama, yakni Yahudi, Kristen dan Islam. 1. Agama Yahudi, berpegang kepada Kitab Suci Perjanjian Lama (39 buku). Dalam kitab ini tidak ada disebut tentang nama Yesus dari Nazaret (Yesua haNazarene). Tetapi dalam buku itu dikenal nama Yesua (Yosua) yakni tokoh yang melanjutkan misi Musa membawa umat Israel masuk di tanah Kanaan, setelah Musa wafat di gunung Nebo. Yosua bin Nun bukan Yesua haNazarene (Yesus dari Nazareth) yang di Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama banyak nubuat-nubuat tentang Mesias yang akan datang. Tetapi penganut agama Yahudi tidak menghubungkan isi pemberitaan Perjanjian Lama (isi 5 Kitab Musa, Mazmur, Ketubim dan Nebiim) itu kepada Yesus Kristus. Mereka menolak pemenuhan nubuat-nubuat PL dalam diri Yesus Kristus. Sikap mereka itu adalah tindakan penyangkalan dan penolakan terhadap Yesus Kristus, bukan karena jujur memahami isi PL. Orang Yahudi yang sekarang, yang menganut agama Yahudi, adalah pewaris dan pelanjut sikap kakek/nenek moyang mereka yang hidup di zaman Yesus (yaitu kelompok penolak Yesus dari Nazareth/Yesua haNazarene sebagai Kristus/hammasiah) dan yang terus menerus ingin menghapus Yesus dan ajaran-Nya dari bumi umat manusia. Hasil dialog antar penganut agama Yahudi dan penganut agama Kristen, hanya mengajak orang Yahudi yang menganut agama Yahudi untuk mengakui bahwa Yesus Kristus adalah salah satu putra Yahudi yang luar biasa, karena ajaran-ajarannya dapat memanggil lebih satu miliar manusia menjadi pengikut-Nya. Mereka menolak agar mereka diinjili, dengan alasan, bahwa TUHAN (Yahowa) yang dipuja oleh orang Yahudi penganut agama Yahudi sama dengan TUHAN (Yahowa) yang dipuja dan dimuliakan Yesus dari Nazareth. Tetapi lahirnya dan bekerjanya Yesus Kristus sebagai orang Yahudi hendak mengatakan bahwa orang Yahudi penganut agama Yahudi perlu diinjili. Yesus Kristus datang ke dunia adalah untuk menginjili mereka. Itu perlu karena agama Yahudi tidak menjadi jalan keselamatan bagi seluruh umat manusia, pada hal TUHAN menginginkan agar semua umat manusia mendapat berkat dan keselamatan melalui Yahudi yang setia pada TUHAN. Memahami isi PL menunjuk kepada Yesus Kristus, merupakan langkah pertama mewujudkan rencana TUHAN Allah itu. 2. Agama Islam mengajarkan bahwa para pengikutnya percaya kepada isi Kitab Taurat, isi Kitab Zabur (Mazmur), isi kitab Injil dan isi kitab al-Quran. Tetapi ukuran kebenaran yang paling benar bagi mereka adalah isi kitab al-Quran dan tambahannya adalah Hadis yang mereka nilai sebagai sahih (tak diragukan kebenaran dan keabsahannya). Prinsip yang digunakan dalam menilai isi kitab-kitab suci itu adalah: Isi alQuran sebagai kitab yang dipercayaai sebagai kitab yang terakhir diwahyukan adalah kebenaran mutlak dan membatalkan atau sedikitnya mengkoreksi/memperbaiki apa yang pernah diwahyukan dalam kitabkitab sebelumnya. Prinsip ini berlaku juga bagi mereka dalam menilai dan memahami apa dan siapa Isa al-Masih (sebutan al-Quran untuk Yesus Kristus/Yesua hamMasiah). Al Quran dipandang sebagai kitab yang mengkoreksi pemberitaan Alkitab (khususnya Perjanjian Baru) terutama tentang Isa Al Masih, yang mereka pandang sebagai sudah dibelokkan. Al Quran sama sekali menolak penyembahan kepada Yesus sebagai Tuhan, dan dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada anak bagi Allah. Al Quran hanya sampai kepada pengakuan bahwa Isa Al Masih itu seorang nabi atau seorang rasul. Sehubungan dengan kerasnya penolakan al Quran terhadap berita Alkitab tentang Yesus Kristus, apa yang dikatakan al-Quran tidak boleh dilengkapi dengan apa yang dikatakan oleh Injil, terutama tentang apa dan siapa Yesus Kristus (Isa al-Masih), serta tentang kematian dan kebangkitannya. Misalnya: Dalam al-Quran Surat ke-19 (Maryam) ayat 33 dikatakan (sebagai ucapan Nabi Isa al-Masih): Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. (dikutip dari al-Quran dan Terjemahannya, Dep.Agama RI Jakarta, thn 1984/1985). Tentang kelahiran Isa al-Masih ada diceritakan dalam al-Quran, tetapi itu tidak diperkenankan dilengkapi dengan cerita kelahiran Yesus Kristus yang diceritakan dalam Injil. Tentang kematian nabi Isa al-Masih sangat kabur diberitakan di dalam al-Quran [Dikatakan: maka setelah Engkau (=Allah) wafatkan aku (=Al

Masih), Sura 5 (Al-Maa-Idah) ayat 117); Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir,.. (Sura 3/Ali Imran ayat 55)], tetapi itu tidak diperkenankan diperjelas dengan cerita kematian Yesus Kristus, yang ada di dalam Injil. Tentang kebangkitan hidup kembali nabi Isa al-Masih sama sekali tidak ada dalam al-Quran, tetapi hal itu tidak diperkenankan untuk diketahui berdasarkan berita kebangkitan Yesus Kristus yang ada dalam kitab Injil. Contoh lainnya: Dalam al-Quran dikatakan bahwa Al Masih diciptakan dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa Putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan salah seorang di antara orang-orang yang didekatkan (kepada Allah) [Sura 3 (Ali Imran) ayat 45]. Tetapi ajaran mereka tidak memperkenankan untuk menerangkan ketermukaan Al Masih (Yesus Kristus) di dunia dan di akhirat, dan bagaimana Dia didekatkan kepada Allah, berdasarkan apa yang disaksikan dalam Injil. Sewaktu orang Kristen (Ahli Kitab) dituduh mentigakan Allah dalam hubungan kepercayaan orang Kristen kepada Yesus Kristus (sebagai Tuhan, tidak hanya sebagai Rasul), ayat al-Quran menghardik: Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu (Sura 5 ayat 77). Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah memang kepercayaan Kristen tentang Yesus Kristus [(yang berdasar kepada Alkitab (PL dan PB)] berlebih-lebihan, atau memang merupakan suatu konkuensi dari kepercayaan kepada TUHAN (Yahowa) Allah (Elohim) yang memang mahakuasa dan mahaesa dan merupakan bukti kepatuhan kepada Dia saja? Dua sikap agama yang dikatakan di atas merupakan gambaran sikap manusia zaman sekarang, yang harus dijawab oleh umat Kristen sehubungan dengan pengenalan dan kepercayaan Kristen kepada Yesus Kristus. 3. Agama Kristen, mendasarkan iman kepercayaannya tentang Yesus Kristus kepada pemberitaan Perjanjian Lama. Penulis-penulis Injil berusaha melihat dan menunjukkan bahwa nubuat-nubuat Perjanjian Lama dipenuhi dalam diri dan karya Yesus Kristus. Banyak tokoh yang pernah muncul di kalangan bangsa Israel/orang Yahudi dari sejak zaman nabi-nabi hingga zaman modern ini, tetapi tidak satu pun dari mereka yang dapat dibaca dan dikenal atau dirujuk sebagai pemenuhan dari apa yang dinubuatkan Perjanjian Lama sebagai Mesias, bahkan sebagai wujud penyataan TUHAN Allah sendiri. Menyadari kenyataan ini, sebenarnya harus diakui bahwa penyaksian dan kesaksian para penulis Injil yang mendasarkan isi Perjanjian Lama dalam memperkenalkan Yesus Kristus, merupakan temuan besar. Para penulis Injil berhasil memahami apa dan siapa TUHAN (Yahowa) menurut PL dan apa rencanarencana-Nya demi masa depan umat manusia keseluruhan. Dengan kesaksian itu, Yesus Kristus tidak hanya sekedar seorang pemuda Yahudi yang paling luar biasa sepanjang zaman, tetapi seorang yang merubah pradigma keberagamaan yang pernah dianut oleh masing-masing kelompok umat beragama, terutama paradigma keberagamaan umat Israel/Yahudi, dan sekaligus merubah pengenalan konservatif kaum Yahudi tentang TUHAN (Yahowa), maupun pengenalan konservatif agama-agama lainnya tentang Allah, dewa atau sembahan mereka. Perubahan paradigma keberagamaan dan pengenalan akan TUHAN tersebut secara laten dan terus menerus menyoroti semua paradigma keberagamaan dan pengenalan akan TUHAN yang diajarkan oleh agama-agama yang muncul belakangan. Kesaksian PB dan orang Kristen tentang Yesus Kristus merupakan buah kepercayaan kepada TUHAN yang hidup dan yang berkuasa penuh atas diri dan cara-Nya dalam menyatakan diri kepada umat manusia. Keyakinan ini dan buahnya dalam penulisan surat-surat yang ada di PB maupun penulisan dan pengajaran dogma Kristen, mendorong umat Kristen melawan semua teori keagamaan yang menyangkal kemampuan TUHAN Allah menyatakan wujud diri-Nya dalam dan melalui Yesus Kristus berdasarkan kemahakuasaan-Nya. Jadi apa yang ditulis dan disaksikan dalam Injil tentang Yesus Kristus masih merupakan kesaksian yang tidak tergugatkan kebenarannya, walaupun banyak kesaksian, wahyu, temuan-temuan modern (seperti dengan ditemukannya Injil Judas Iskariot, Injil Maria Magdalena, atau temuan arkheologi di Israel, dll) yang mencoba menyangkal kebenaran kesaksian Injil tersebut. Berita Injil tentang kehidupan Yesus Kristus dan kematian-Nya dan tentang apa dan siapa Dia, masih dapat dipertanggung-jawabkan secara iman dan secara historis-kritis. Tuduhan al Quran yang mengatakan bahwa ahli kitab (Kristen) berlebih-lebihan dalam memahami apa dan siapa Yesus Kristus dan TUHAN Allah kurang tepat sasaran. Kritikan (tuduhan) itu muncul (1) karena adanya kekurangpahaman mengenai kesaksian tentang Yesus dalam

kitab-kitab Injil, dan (2) karena teologi ketritunggalan TUHAN Allah yang ditolak al Quran memang bukan teologi ketritunggalan TUHAN Allah yang dianut agama Kristen, dan (3) ke-anak-an Yesus dalam kerangka keesaan TUHAN Allah yang dikritik habis oleh Al Quran, bukanlah ke-AnakAllah-an Yesus Kristus yang disaksikan dalam kitab-kitab Injil atau Perjanjian Baru dan ajaran gereja. Alkitab masih (1) tetap menjadi sumber utama kebenaran untuk memahami dan mengenal apa dan siapa Yesus; (2) sumber utama kebenaran berita tentang Yesus sehubungan dengan kelahiran, karya, kematian, kebangkitan (hidup kembali) dan perannya di akhirat; (3) sumber utama kebenaran ajaran tentang ke-Allah-an TUHAN Allah (Yahowa Elohim) yang Mahaesa walau berbagai cara dipakai-Nya untuk menyatakan diri. Allah yang esa itu bukan Bapa, bunda Maria dan Yesus Kristus (seperti diduga al Quran dianut orang Kristen), tetapi Bapa-Anak-Rohkudus (seperti disaksikan Alkitab). (3) Dan Alkitab masih sumber kebenaran bahwa keAnakAllah-an Yesus adalah sebutan khusus untuk menyatakan salah satu dari cara-Nya datang ke tengah manusia, dan tidak mengkonotasikan atau mengindikasikan adanya Allah lain (atau dua Allah yang berbeda) disembah oleh orang Kristen sebagai TUHAN selain Yahowa Elohim yang disaksikan dalam Perjanjian Lama. (Kata Ibrani Elohim sama dengan kata Arab ilah (bahasa Indonesia Allah ! al-ilah). Yahowa Elohim disebut juga sebagai Hu (yang dalam bahasa Ibrani berarti Dia), dan dari itu juga dipanggil dengan nama Allah-Hu.) Memahami Peristiwa Jumat Agung Di hari Jumat itu ada tiga orang yang disalibkan di Golgatha. Tetapi tidak semua ketiga orang tersebut dipercayai sebagai yang menggenapi nubuatan Firman TUHAN dalam Perjanjian Lama. Hanya Dia, yang bernama Yesus dari Nazareth, yang di bagian atas salibnya dilengketkan papan bertuliskan: Yesua haNazarene Melek Yisrael/Iesus Nazarenus Rex Iudaiorum. Tentang Dia ditelusuri dalam Perjanjian Lama, karena perjalanan hidup-Nya dan apa yang diperbuat-Nya tidak pantas mendapat penyiksaan yang begitu hebat. Ada apa dibalik semua peristiwa itu? Mengapa para tokoh agama Yahudi begitu hebat berusaha melenyapkan Yesus dari Nazareth tersebut? Apa maksud Yahowa Elohim dengan Yesus dari Nazareth ini? Apakah Dia benar sebagai orang yang dikutuk oleh TUHAN Allah karena ulah-Nya mengajar ajaran yang berbeda dengan ajaran tokoh-tokoh agama Yahudi dan karena Dia melakukan tindakan-tindakan menyelamatkan manusia dari penderitaan mereka bahkan menghidupkan orang mati? Apakah Dia ternyata seorang yang sangat taat kepada Firman TUHAN yang diajarkan dari Perjanjian Lama, dan sangat taat kepada TUHAN Allah? Jawabannya dari Perjanjian Lama. Salah satu dari jawaban itu adalah Yesaya 52:13 s/d 53:12. Dia itu adalah Hamba Yang menderita yang dikatakan dalam perikop panjang ini. Tidak ada manusia yang pernah lahir di dunia ini, yang perjalanan hidupnya dapat dicocokkan kepada apa yang dikatakan oleh nabi dalam kitab Yesaya jilid dua ini, selain dari pada Yesus dari Nazareth yang disalibkan di Golgatha. (1) Dia itu disebut hamba-Ku (=hamba TUHAN), yaitu orang yang mematuhi TUHAN sebagai tuannya dengan segenap hati, kekuatan, jiwa, akalbudinya dan segenap eksistensinya, dalam mengerjakan apa yang disuruhkan dan diperintahkan kepadanya. Kesuksesan hamba ini melakukan tugasnya membuat Dia ditinggikan, disanjung dan dimuliakan, oleh para pengagumnya di dunia maupun oleh tuan-Nya (yaitu oleh TUHAN) sendiri. Hamba yang sukses ini tidak dimodali dengan postur tubuh yang gagah tampan, dan wajah atau rupa yang sangat mempesona. Yang Dia miliki adalah begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia. Memang dia bukan monyet dan bukan belutung, tetapi seorang manusia yang jelek rupa. Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupa pun tidak, sehingga kita menginginkan-Nya (Yes.53:2). Dari sosok tubuh dan wajahnya saja sebenarnya Hamba ini sudah harus gagal dalam pengembanan tugasnya, karena dia dihina dan dihindari orang; orang menutup muka terhadap dia; dan dia tidak masuk hitungan. Tetapi ternyata justru Dia berhasil dan sukses. Semua target kerja yang ditentukan oleh tuannya untuk dia capai, dapat

diperolehnya. Itu luar biasa, dan pantas orang takjub terhadapnya. Perjuangan dan kesuksesan seperti itu pantas ditiru. Hal ini menjadi pendorong bagi setiap orang yang kurang elok rupanya dan yang kurang gagah dan kurang tampan tampangnya, untuk meraih kesuksesan kerja yang hingga mencengangkan siapapun yang ada di sekitarnya (termasuk mencengangkan petinggi-petinggi Negara). (2) Banyak bangsa dan banyak raja tercengang melihat karya daripada hamba yang berhasil ini, karena karyanya benar-benar merupakan karya yang belum pernah dihasilkan oleh siapapun dalam sejarah kemanusiaan. Sudah ada manusia yang berhasil menang dalam perang, berhasil menemukan ilmu yang paling canggih, berhasil menciptakan alat-alat mutahir, berhasil sampai di bulan, berhasil menyelam ke dasar lautan terdalam, berhasil hidup di angkasa luar, berhasil membangun kerajaannya menjadi adikuasa, berhasil mengkloning manusia, berhasil menjadi tokoh agama yang diikuti miliaran manusia, dan banyak keberhasilan yang lain, tetapi semua keberhasilan tersebut tidak mencengangkan dan tidak membuat mulut terkatup karena mengaguminya. Keberhasilan-keberhasilan seperti itu masih keberhasilan manusiawi, dan tidak mendatangkan keselamatan kepada seluruh umat manusia. Karyakarya sedemikian paling membuat hidup agak lebih sejahtera, tetapi tidak mampu memberi keselamatan. Hamba yang disebut Yesaya ini membuat banyak bangsa dan raja-raja tercengang, karena karya-Nya mendatangkan keselamatan bagi seluruh umat manusia. Keselamatan yang diberikan itu adalah keselamatan dari murka TUHAN yang hendak membasmi manusia. (3) Karyanya yang menyelamatkan itu dapat diraihnya, karena dia mau dan benar-benar mau menjadi hamba TUHAN yang menanggung penyakit dan memikul kesengsaraan seluruh umat manusia; mau tertikam, diremukkan, dipukuli hingga tubuhnya penuh bilur-bilur; mau dianiaya, ditindas dan Dia sama sekali tidak melawan kepada yang melakukan semua itu kepada-Nya; Dia diputus dari dunia orang hidup; dia kena tulah; kuburnya di kuburan orang fasik; dia dimatikan karena dipandang sebagai orang jahat padahal tidak. Tetapi bukan karena kejelekan rupanya atau karena dosanya atau karena keangkuhannya, maka Dia mengalami semuanya itu. Itu semua Dia alami sebagai pelampiasan murka TUHAN Allah. TUHAN berkehendak meremukkan Dia (53:10). TUHAN melampiaskan murka-Nya kepada Hamba ini, yang aturan murka itu seharusnya dilampiaskan kepada semua manusia berdosa. Hamba ini mau mengalami semua itu, agar umat manusia, yang - karena dosa dan kejahatan mereka- memang seharusnya mengalaminya, tidak lagi mengalaminya. Dengan tegas penubuat ini mengatakan: penyakit kita yang ditanggungnya; kesengsaraan kita yang dipikulnya; dia tertikam karena pemberontakan kita; dia diremukkan karena kejahatan kita; kepadanya ditimpakan ganjaran-ganjaran agar kita selamat. TUHAN MENIMPAKAN KEPADANYA KEJAHATAN KITA SEKALIAN. Mengapa bisa terjadi demikian? Dasar pemahaman penubuat adalah pemahaman teologi Persembahan (Kurban) Penebus Dosa yang dipraktekkan menurut kepercayaan dan agama Yahudi (Perjanjian Lama). (4) Dalam praktek keagamaan Yahudi (PL) ada yang disebut kurban penebus dosa (Imamat 5:146:7; 7:1-10). Kurban itu adalah seekor domba jantan yang tidak bercela. Hewan ini dikurbankan dalam rangka mendapat tebusan salah atau pengampunan dosa orang yang mengurbankannya, sehingga orang itu dipulihkan kembali sebagai orang yang tidak lagi bersalah dan dosanya diampuni oleh TUHAN dan dirinya kembali dipandang layak berdiri di hadapan TUHAN. Hal itu dipercayai terjadi karena kesalahan dan dosa-dosa orang yang mempersembahkan kurban itu ditimpakan kepada kurban yang disembelih tersebut. Lalu hewan kurban tersebutlah yang mengalami segala hukuman akibat murka TUHAN terhadap dosa-kesalahan orang yang mengurbankan tersebut. Dengn demikian orang yang mempersembahkan kurban tersebut luput dari murka TUHAN dan selanjutnya dapat hidup selamat. Dalam hal ini kurban-penebus-salah berfungsi sebagai pengganti bagi yang mengurbankannya. Menurut nubuat Yes. 53 kurban penebus salah itu bukan lagi kambing domba, melainkan hamba TUHAN sendiri. Dalam Injil dikatakan, kurban-penebus-salah itu adalah yang disebut TUHAN sebagai Anak Yang Kukasihi, yaitu Yesus Kristus, yang dibaptis oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan. Kurban ini berfungsi sebagai pengganti umat manusia untuk menerima pelampiasan murka

TUHAN terhadap dosa kesalahan manusia. Bukit Golgatha dipilih sebagai altar pengurbanan kurbanpenebus-salah yang luar biasa istimewanya ini. Di sana darahnya ditumpahkan, dan di sana dia diputus dari dunia orang hidup, setelah dia dalam tiga tahun pelayanannya mengalami dari bangsanya sendiri seperti apa yang dialami oleh hamba TUHAN yang disebut dalam nubuatan Yesaya 52:13-53:12. Kurban ini memikul dosa Imam Besar Yahudi dan semua imam-imam, tokoh-tokoh agama, umat beragama, tokoh pemerintahan dan warga negeri yang melakukan kejahatan kepada Dia. Bertitiktolak dari pemahaman tentang kurban penebus salah dan dosa yang diajarkan Perjanjian Lama, penyaksi iman kepada Yesus Kristus memahami dan mempercayai apa dan siapa Yesus Kristus. Bahkan Yesus Kristus sendiri secara bertanggungjawab memahami dirinya sebagai domba Allah yang memikul dosa manusia. Dia memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mrk.10:45; bagi domba-dombanya: Yoh.10:11.15; untuk sahabat-sahabatnya: 15:13). Dalam rangka pemenuhan tugas dan fungsi inilah sehingga Yesus Kristus melaksanakan Perjamuan Malam dan mengatakan: Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu, dan cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu (Lukas 22:19.20). Pemahaman ini ditemukan Paulus, lalu dengan luar biasa memberitakan apa dan siapa Yesus. Paulus menulis: Kristus Yesus telahtelah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah (Ef.5:2). Penulis Ibrani mempercayai dan kepercayaannya itu benar, bahwa tubuh Yesus Kristus lah persembahan yang sempurna, dan oleh satu korban ini Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan (Ibrani 10:14; baca ayat 1-18). Tujuan dari semua apa yang dilakukan Imam Besar dan yang dipersembahkannya menurut Perjanjian Lama telah dipenuhi dalam Yesus Kristus (baca: Ibr.9:13.14; 9:9.12; 10:4.11). Kristus sendiri telah mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban (Ibr.7:27) dan mengurbankan darahNya sendiri (Ibr.9:12) sesuai dengan kehendak TUHAN Allah (bd. Ibr.10:5-7). Kalau orang Yahudi penganut agama Yahudi zaman sekarang tidak mau mendengar pemenuhan dari apa yang mereka harapkan menurut PL, mereka akan terhitung sebagai manusia yang berdosa kepada Roh Kudus. Kalau umat beragama pengikut rasul dari Arab Saudi juga belum dapat memahaminya berdasarkan kesaksian Kitab Suci orang Kristen, mereka harus terus belajar sebelum pintu sorgawi tertutup bagi mereka. Hanya bagi orang yang mengaku Yesus sebagai jalan, kebenaran dan hidup pintu sorga yang sebenarnya terbuka dan mereka disambut di dalam sorga ilahi. (5) Di Perayaan Jumat Agung ini kembali dikumandangkan tentang apa yang sudah dikerjakan oleh TUHAN Allah bagi manusia. Dengan pengurbanan Yesus Kristus, umat manusia dapat memulai kehidupanmereka dengan kemanusiaan yang sudah diampuni dosa-dosanya. Semua dosa manusia yang pernah terjadi, terhapuslah sudah, dan tidak perlu lagi diungkit-ungkit oleh siapapun dalam perjalanan bangsanya ke depan. Lembaran hidup baru itu memungkinkan seluruh umat manusia membangun masa depan bersama, dengan tidak mengulangi dosa yang sudah dihapus itu dan dengan tidak melakukan dosadosa yang baru. Kasih kembali dapat dihidupkan dan meragi pergaulan hidup seluruh umat manusia. Para pengikut Ktistus menjadi generasi-generasi yang membuat Yesus Kristus puas. Mereka ibarat generasi keturunan yang berkelanjutan, yang membanggakan kakek/nenek moyang mereka. Beradanya Yesus Kristus di sorga kekal, membuat waktunya (umurnya) tidak berkesudahan. Hikmat Yesus Kristus telah membuat banyak orang menjadi orang benar dan tidak ditimpakan hukuman lagi di hadapan TUHAN Allah. Setiap raja atau orang besar/ pembesar yang menjadi murid-Nya akan bangga menjadi jarahan maupun rampasan-Nya. Berbahagialah setiap orang yang telah diampuni dosa-dosanya oleh karena Yesus Kristus telah menjadi tebusannya.

PENDERITAAN YANG BERHARGA (Precious Suffering) Dunia hari-hari ini, orang-orang non-Kristen mencoba menyodorkan suatu penemuan ilmiah yang diyakini akan menghancurkan iman Kristen. Dari novel (yang dianggap fakta oleh penulisnya, Dan Brown), Da Vinci Code, sampai Injil Thomas dan Barnabas, dunia postmodern yang berdosa ini mulai dipakai setan untuk merendahkan Kristus dan mengajar bahwa Kristus menikah dengan Maria Magdalena, Kristus tidak mati, tetapi Yudas yang mati, dll. Benarkah demikian? Siapakah Kristus sebenarnya? Apakah Dia benar-benar mati? Mengapa Ia harus mati? Seberapa signifikan dan agungnya kematian-Nya? Menjelang Jumat Agung tahun 2008 ini, kita akan merenungkan satu perikop tentang teladan dan pengharapan penderitaan yang Kristus alami sebagai alasan mengapa penderitaan karena nama Kristus (yang harus kita alami) itu berharga. Ingatlah, setiap orang Kristen yang sungguh-sungguh mau mengikut Kristus harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikut-Nya (Matius 16:24). Penderitaan adalah harga yang harus kita tanggung di dalam mengikut Kristus. Meskipun demikian, sebagai anak-anak-Nya, kita dijamin oleh-Nya bahwa di dalam penderitaan, penderitaan Kristus yang telah mengalahkan maut menjadi pengharapan masa depan yang indah yang akan menanti kita sekaligus teladan bagi penderitaan yang kita alami. Mari kita merenungkan kedua poin ini di dalam ayat 6-11. Di dalam keenam ayat ini, Paulus membagi enam prinsip penderitaan penebusan Kristus sebagai teladan dan pengharapan bagi kita yang menderita karena nama Kristus. Pertama, penderitaan Kristus ditujukan untuk orang-orang berdosa (lemah dan durhaka). Di dalam ayat 6a, Paulus menguraikan, Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka Di dalam bagian ini, Paulus langsung menunjukkan status dan kondisi kita yang berdosa. Pertama, kondisi lemah. Karena waktu kita masih lemah dalam Alkitab terjemahan King James mengartikannya, For when we were yet without strength International Standard Version (ISV) menerjemahkannya powerless (=tidak ada kekuatan). Dengan kata lain, lemah berarti tanpa kekuatan (strengthless bisa diterjemahkan sick/sakit, impotent/tidak bertenaga, dll). Ini adalah kondisi kita ketika jatuh ke dalam dosa. Dosa mengakibatkan kita lemah, tak bertenaga apapun untuk berbuat sesuatu yang baik. Dengan kata lain, dosa mematikan keinginan kita untuk menyenangkan Allah. Mengapa ? Karena dosa adalah ketidaktaatan terhadap perintah-Nya atau menyelewengnya kita dari sasaran Allah. Paulus di dalam Roma 7:18 menuturkan, Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Paulus menuliskan hal ini di dalam perikop tentang perjuangan hukum Taurat dan dosa. Di dalam bagian ini, ia menjelaskan bahwa meskipun hukum Taurat itu baik bagi umatNya, tetapi ketika kita masih hidup di dalam dunia ini, dosa terus melekat di dalam kita sehingga ketika kita ingin berbuat sesuatu yang menyenangkan Allah, ternyata kita malahan mendukakan hati-Nya (Roma 7:19-20). Itulah kuasa dosa yang terus membuat kita mendukakan hati-Nya. Kedua, status orang durhaka. Paulus mencatat hal ini di dalam ayat 6a di atas dengan menggunakan terjemahan ungodly di dalam KJV yang dalam bahasa Yunaninya asebe?s berarti irreverent, that is, (by extension) impious or wicked: ungodly (man). (=tidak sopan, yaitu, (secara perluasan) tidak beriman/berTuhan atau jahat: orang yang tak berTuhan.) Dengan kata lain, ketika kita jatuh ke dalam dosa, status kita langsung disebut tidak berTuhan dan jahat. Itulah status yang kita layak tanggung akibat ketidaktaatan manusia pertama. Kalau secara kondisi, kita lemah dan tak berdaya dalam menghadapi dosa, maka secara status, kita lebih kejam lagi yaitu benar-benar menyetujui adanya dosa dan melawan Allah, sehingga disebut tidak berTuhan. Di sini, status kita melebihi kondisi kita. Bagaimana dengan realita dunia kita ? Dunia postmodern yang kita hidupi saat ini mulai membalikkan/meniadakan realita ini dengan mengajarkan bahwa di dalam diri kita ada kekuatan besar yang berdiam (giant power/force dwells in us). Ajaran ini dipengaruhi oleh Gerakan Zaman Baru dengan ide man is god (manusia adalah allah). Dan anehnya,

ajaran gila ini rupanya telah merasuki dunia pendidikan (khususnya manajemen), psikologi, dan bahkan di dalam keKristenan. Alhasil, tidak heran, kita melihat seorang Tung Desem Waringin, Andrie Wongso, dll laris diundang bahkan di sebuah kampus Kristen swasta terkenal di Surabaya, bahkan dipopulerkan di dalam keKristenan (oleh beberapa dosen Kristen) dan gereja melalui buku-buku Berpikir Positif dari Norman Vincent Peale, David Yonggi Cho, Robert H. Schuller, Zig Ziglar (buku terkenalnya : Smile dipakai sebagai bahan renungan oleh seorang dosen Kristen yang adalah istri pendeta emeritus GKI Pregolan Bunder, Surabaya di dalam setiap perkuliahannya di salah satu kampus Kristen terkenal di Surabaya), dll. Orang-orang Kristen terus-menerus diindoktrinasi bahwa mereka itu hebat, pintar, mampu, bijaksana, dll dan mulai disimpangkan/diselewengkan dari berita Alkitab bahwa manusia itu berdosa. Itu adalah tipu daya setan yang mulai meracuni keKristenan, tetapi sayangnya banyak orang Kristen masih tertidur oleh bujuk rayu si setan dan tidak mau kembali kepada Alkitab. Sudah saatnya, para kaum pilihan-Nya sadar dari tipu daya si setan, bertobat dan kembali kepada Alkitab sebagai satusatunya kebenaran mutlak. Alkitab mengajarkan bahwa kita berdosa, dan itu harus kita amini dan sadari. Kesadaran tentang dosa adalah titik awal nantinya kita bisa bertobat. Ketika kita tidak menyadari dosa ini, kita tidak mengerti untuk apa kita bertobat dan lebih parah kita tidak mengerti untuk apa Kristus mau mati bagi dosa-dosa kita. Kembali, semua status dan kondisi kita yang berdosa ternyata menemui kebuntuan. Tidak ada seorangpun yang dapat melepaskan kita (sekalipun para utusan Allah) dari status dan kondisi kita ini. Lalu, adakah jalan keluarnya ? Puji Tuhan, Paulus di dalam ayat 6a menyatakan bahwa bagi kita yang masih lemah dan durhaka ini, Kristus telah mati untuk kita. Kematian Kristus menunjukkan bahwa ada pengharapan dan jalan keluar dari masalah yang kita hadapi yaitu status dan kondisi kita yang berdosa. Selain pengharapan, kematian Kristus juga harus menjadi teladan bagi kita yang harus terusmenerus mematikan dosa di dalam diri kita. Di dalam Efesus 4:17-32, Paulus dengan gamblang memaparkan bahwa kita sebagai manusia baru harus hidup lebih memuliakan Allah daripada ketika kita masih seteru Allah (manusia lama). Rasul Yohanes juga mengingatkan kita, Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah. (1 Yohanes 3:9) Dengan kata lain, mematikan dosa sama dengan menyangkal diri. Menyangkal diri tidak berarti kita tidak boleh memiliki keinginan sama sekali. Inilah kekeliruan terbesar dan terkonyol di dalam agama dari Timur yang mengajarkan bertarak diri (askese). Kalau kita tidak boleh memiliki keinginan, berarti kita pun tidak boleh mengingini untuk masuk nirwana (menurut agama itu). Itu logika yang tepat, tetapi herannya sambil mengajarkan bahwa kita tidak boleh memiliki keinginan, agama ini juga mengajarkan bahwa setiap orang bisa menjadi allah. Sungguh suatu logika yang tidak masuk akal. Kembali, menyangkal diri berarti kita berani mengatakan tidak kepada setiap keinginan kita yang negatif (dan beberapa keinginan positif) untuk disesuaikan dengan kehendak dan kedaulatan Allah. Di dalam proses menyangkal diri, baiklah kita terus-menerus dipimpin dan disucikan oleh Roh Kudus. Kedua, penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah. Kalau kita kembali pada ayat 6, pada enam kalimat terakhir, Alkitab LAI menyebutkan, pada waktu yang ditentukan oleh Allah. Kalimat ini tidak dapat kita jumpai pada KJV yang hanya menyebut in due time. ISV juga hanya menyebutkan, at just the right time English Standard Version menyebutkan hal yang sama, at the right time Di sini, LAI menambahkan kata Allah menunjukkan bahwa kematian Kristus bukan ditentukan oleh manusia atau Kristus dapat disalib gara-gara Yudas menjual-Nya (seolah-olah tanpa Yudas, Kristus tak mungkin disalib atau Allah Bapa bingung memilih sarana lain untuk membuat Kristus disalib). Hal tersebut tidak pernah ada dalam kamus Alkitab/Allah, karena Allah kita adalah Allah yang sejati yang berdaulat yang merencanakan segala sesuatu dan kita mempercayai bahwa rencana-Nya pasti berhasil karena Ia adalah Allah yang layak dipercaya (trust-worthy God). Kalau kita mempercayai kepada Allah yang plinplan, jujur, itu bukan Allah yang diajarkan dan diberitakan oleh Alkitab, tetapi diajarkan oleh para penganut postmodernisme, open theism, pluralisme, dan sejenisnya yang pura-pura memakai plang Kristen! Kembali, ketika kita mengerti bahwa penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah, kita dapat belajar beberapa prinsip, yaitu pertama, penderitaan Kristus menjadi pengharapan bahwa bukan karena kita yang minta diselamatkan baru Allah menyelamatkan, tetapi Allah yang merencanakan keselamatan,

Dia jugalah yang menggenapinya di dalam Pribadi Kristus. Kedua, penderitaan Kristus menjadi teladan bagi kita yang harus menyangkal diri bahwa penderitaan yang kita alami itu juga atas kehendak Allah/diizinkan Allah untuk menguji iman kita di dalam mengikut-Nya. Rasul Petrus di dalam 1 Petrus 4:14 mengajarkan, Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu. Kata berbahagialah di dalam ayat ini sama dengan kata berbahagia yang diucapkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 5:3-11 (khususnya ayat 10) yang dalam bahasa Yunaninya makarios bisa berarti diberkatilah (blessed). Khususnya di Indonesia, kita membaca banyak berita bahwa banyak gereja dibakar, izin pembangunan gereja dipersulit dengan berjuta alasan yang tidak masuk akal (tetapi kalau membangun tempat ibadah agama mayoritas dipermudah, bahkan banyak yang tidak pakai IMB/Izin Mendirikan Bangunan), dll. Itu semua adalah bentuk penderitaan yang harus ditanggung ketika kita berkomitmen menjadi pengikut Kristus sejati. Menjadi orang Kristen kampungan dan murahan (pseudo-Christians) itu mudah, karena tidak usah memikul salib (kalau perlu mengamini apa yang dicetuskan oleh para penganut theologi kemakmuran bahwa orang Kristen adalah anak raja yang pasti kaya, sukses, diberkati, sembuh, bahkan tidak pernah digigit nyamuk), tetapi kalau kita sungguh-sungguh mau mengikut Kristus (the true Christians), kita harus rela menanggung aniaya karena seperti Kristus yang telah difitnah, dianiaya, dll, kita pun sebagai pengikut sekaligus murid-Nya pun harus mengalami hal yang sama, selain itu karena kita harus menTuhankan Kristus bukan menTuhankan penguasa, dan hal-hal palsu lainnya. Ketiga, penderitaan Kristus ditujukan untuk menggantikan kita yang masih berdosa -> substitusi (ayat 78). Poin ketiga ini kelihatannya sama dengan poin pertama, tetapi pada poin ini saya menitikberatkan pada kematian Kristus yang menggantikan (substitusi). Substitusi Kristus yang ditunjukkan oleh Paulus ini jauh melampaui apa yang manusia kerjakan. Hal ini ditunjukkan Paulus dengan membedakan konsep substitusi di dalam pengorbanan Kristus dengan tindakan orang yang mau mati bagi orang yang baik. Tindakan pengorbanan Kristus adalah tindakan yang mulia dan dimotivasi oleh cinta yang tanpa bersyarat yang tak memerlukan balas jasa apapun dari siapapun juga (karena manusia yang olehnya Kristus mati tidak memiliki daya/jasa baik yang cukup syarat untuk membalas kasih Allah), sedangkan tindakan manusia berdosa adalah tindakan yang seolah-olah kelihatan berkorban, tetapi sebenarnya mau meminta balas jasa (karena orang ini mati bagi orang yang mati yang akan membalas jasanya). Paulus mengemukakan hal ini di ayat 7 dan 8 dengan 3 tingkat pembanding obyek substitusi, yaitu: orang baik, benar dan berdosa (mengutip pernyataan Pdt. Sutjipto Subeno). Pertama dan kedua, orang baik dan benar. Pada ayat 7, Paulus berkata, Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar--tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati--. Tingkat pertama, orang baik. Orang yang baik dalam terjemahan KJV (dan banyak terjemahan Inggris) adalah a good man. Beberapa tafsiran menghubungkan orang baik dengan kelakuannya yang baik, suka memberi (dermawan), penuh belas kasih, dll. Dari penjelasan Adam Clarke dalam tafsirannya Adam Clarkes Commentary on the Bible, kita mendapatkan sedikit latar belakang tradisi Yudaisme bahwa orang-orang Yahudi membedakan empat macam orang, di mana orang macam ketiga dari empat macam orang tersebut disebut orang yang baik (a just man) yang mengatakan, What is mine, is thine; and what is thine, let it be thine. (milikku adalah milikmu, dan apa yang menjadi milikmu, biarlah itu tetap menjadi milikmu.) Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan bahwa justru untuk orang baik inilah, banyak orang yang berani mati, mengapa? Karena mereka yang berani mati telah menerima sesuatu yang positif (bantuan) dari orang yang memberi. Ini tetap adalah konsep penebusan versi manusia berdosa, yaitu kalau saya sudah dapat sesuatu dari orang lain, maka saya baru dapat berkorban bagi orang tersebut. Tingkat kedua, yaitu orang benar. Orang yang benar dalam terjemahan KJV adalah a righteous man, dalam bahasa Yunaninya menggunakan kata dikaios yang bisa berarti adil benar. Lalu, siapakah orang adil/benar yang Paulus maksudkan ? Dari tafsiran Adam Clarke dalam Adam Clarkes Commentary on the Bible, orang macam pertama dari empat macam orang tersebut (lihat di atas tentang sedikit penjelasan 4 macam orang) disebut orang yang adil (a just man) yang mengatakan, what is mine, is my own; and what is thine, is thy own. (=apa yang menjadi milikku adalah milikku ; dan apa yang menjadi milikmu, adalah milikmu.) Adam Clarke mengatakan, These may be considered the just, who render to every man his due; or rather, they who

neither give nor take. (=Orang ini dapat disebut orang adil, yang memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing; atau lebih baik, mereka tidak memberi atau mengambilnya.) Orang benar/adil ini sekilas lebih rendah kualitasnya dari orang baik (karena orang baik mau berkorban, sedangkan orang benar/adil menyibukkan urusan keadilan), tetapi yang diperhatikan di sini adalah konsep pengorbanan. Meskipun orang baik itu lebih tinggi dari orang benar/adil, tetapi berkorban bagi orang benar/adil justru lebih sulit daripada berkorban bagi orang baik. Mengapa? Karena orang yang berkorban bagi orang benar/adil adalah orang yang berkorban bukan karena ia telah mendapatkan sesuatu, tetapi ia menghargai orang benar/adil (meskipun tidak mendapatkan sesuatu). Misalnya, para pejuang hak asasi manusia (seperti Martin Luther King, Jr. di Amerika Serikat), kita yang di Indonesia tidak memperoleh manfaat apa-apa dari perjuangannya, tetapi kita mengerti perjuangannya dan mungkin kita bisa rela berkorban bagi orang ini. Tentang orang benar/adil ini, saya berani menyimpulkan bahwa a just man sebenarnya adalah orang yang merasa diri benar dan layak, tetapi sebenarnya tidak mampu. Mengapa saya berani mengambil kesimpulan demikian? Karena seperti yang diungkapkan Clarke, a just man menunjuk kepada orang yang selalu menuntut keadilan tetapi tidak mengerti sesuatu yang melampaui keadilan yaitu kasih yang tanpa syarat (unconditional love). Kasih dan keadilan tidak bisa dipisahkan, karena itu saling terkait. Bagi mereka yang seolah-olah merasa diri benar, Tuhan melalui Paulus berkata bahwa itu adalah hal yang sulit khususnya di dalam pengorbanan Kristus yang bersifat mengganti. Mengapa ? Karena a just man selalu merasa diri layak, tak berdosa, dll lalu kalaupun ia melakukan sesuatu yang salah/berdosa, maka ia dengan sombongnya akan berjuang sendiri untuk melepaskan/keluar dari jurang kesalahan/dosa. Terhadap orang inilah, Kristus sulit mau berkorban bagi/menggantikan posisi mereka. Tetapi meskipun sulit, Kristus rela melakukannya karena kematian-Nya membuktikan cinta kasih Allah kepada dunia yang jauh melampaui konsep keadilan manusia (Yohanes 3:16; Roma 5:8). Tingkat ketiga, orang yang telah berdosa. Kalau tingkat pertama dan kedua masih mampu dilakukan oleh manusia, yaitu berkorban bagi orang baik dan benar, maka tingkat ketiga ini tidak mungkin mampu dilakukan manusia berdosa, mengapa? Karena tingkat ketiga ini hanya mampu dilakukan oleh Allah sendiri. Di ayat 8, Allah melalui Paulus menyatakan, Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. Di dalam terjemahan LAI, kita kurang menemukan keunikan perbedaan waktu antara Kristus yang telah mati dan kita yang berdosa, tetapi di dalam struktur bahasa Yunani, kita dapat mengerti perbedaan waktu ini. Pernyataan kita masih berdosa menggunakan keterangan waktu Present (dapat diterjemahkan: ketika kita sedang berdosa). Sedangkan pernyataan Kristus telah mati menggunakan keterangan waktu Aorist yang berarti sesuatu yang sudah terjadi dan tidak terulang lagiidentik dengan keterangan waktu Past Perfect di dalam bahasa Inggris (dapat diterjemahkan: Kristus telah satu kali mati untuk selama-lamanya). Berarti, ketika kita sedang/masih berdosa, Kristus telah menebus dosa kita dan mati bagi kita. Ini menunjukkan bahwa kasih Allah tidak melihat/menunggu respon manusia (karena manusia yang masih berdosa tidak mungkin bisa merespon kasih Allah). Dengan kata lain, Arminianisme (pendiri: Jacobus Arminius) yang mengajarkan bahwa Allah memilih manusia setelah Ia melihat siapa manusia yang akan meresponi kebaikan-Nya, adalah salah dan tidak sesuai dengan Alkitab. Justru, Allah memilih manusia dan mengutus Kristus untuk menebus dosa manusia jauh sebelum manusia itu berdosa. Itulah kasih Allah yang jauh melampaui rasio manusia berdosa yang terbatas yang hanya mau mengasihi dan berkorban bagi orang-orang baik dan benar (dan tidak bagi orang-orang berdosa). Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi kita yang berada di dalam penderitaan bahwa kita memiliki Kristus yang sudah menggantikan kita yang seharusnya berdosa. Apa yang Kristus telah kerjakan pada waktu kita masih berdosa justru menyadarkan kita bahwa sudah seharusnya kita tidak lagi arogan lalu berkata bahwa kita bisa menyelesaikan dosa kita sendiri. Itu adalah tindakan atheis yang menghina karya penebusan Allah. Kita sebagai umat pilihan-Nya yang telah ditebus harus terus-menerus bersyukur atas anugerah-Nya dan mengerjakan keselamatan kita (bukan supaya kita diselamatkan/tidak kehilangan keselamatan) sebagai respon kita telah ditebus dan diselamatkan untuk memuliakan Allah. Penderitaan Kristus juga dapat menjadi teladan bagi kita sehingga kita rela berkorban/mati bagi orang-orang yang kita kasihi (bahkan bagi orang-orang yang telah membenci kita dan sebaliknya) demi Injil. Penginjilan tanpa dimotivasi dan bertujuan untuk mengasihi

jiwa-jiwa yang terhilang adalah penginjilan yang sia-sia. Sudahkah kita mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang dan membawanya kepada Kristus ? Keempat, penderitaan Kristus meredakan murka Allah -> propisiasi (ayat 9). Pada ayat 9, Tuhan melalui Paulus mengungkapkan, Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah. Tentang propisiasi atau peredaan murka Allah, Paulus sudah menjelaskannya di dalam Roma 3:25, Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya (KJV, Whom God hath set forth to be a propitiation through faith in his blood,) dan Yohanes menjelaskannya di dalam 1 Yohanes 4:10, Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. (KJV, Herein is love, not that we loved God, but that he loved us, and sent his Son to be the propitiation for our sins.). Semua kata pendamaian di dalam kedua bagian ayat ini seharusnya diterjemahkan peredaan murka Allah. Peredaan murka Allah yang Kristus kerjakan menjadi pengharapan bagi kita yang seharusnya mati dan dikenai murka Allah akibat dosa, tetapi puji Tuhan, penebusan Kristus di kayu salib sudah memenuhi syarat wujud keadilan dan kasih Allah bagi manusia berdosa. Penderitaan Kristus ini juga menjadi teladan bagi kita yang harus menderita karena nama Kristus supaya kita tetap memberitakan Injil sehingga banyak orang diselamatkan dari murka Allah yang menyala-nyala. Penderitaan kita karena nama Kristus seharusnya tidak memadamkan semangat kita dalam mengabarkan Injil, melainkan justru mengobarkan semangat kita bahwa orang-orang yang menganiaya kita harus diinjili agar mereka pada suatu saat atas kehendak-Nya dapat bertobat dan kembali kepada Kristus serta diselamatkan dari murka Allah yang dahsyat. Kelima, penderitaan Kristus memperdamaikan kita dengan Allah -> rekonsiliasi (ayat 10). Selain substitusi dan propisiasi, penebusan Kristus juga mendamaikan kita yang dahulu adalah seteru/musuh Allah yang najis dan berdosa dengan Allah yang Mahakudus, seperti yang dipaparkan Paulus di ayat 10, Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebihlebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya! Kata diperdamaikan dalam KJV adalah reconcile (=direkonsiliasikan/diperdamaikan). Kalau kita mengerti kata musuh, maka kita seharusnya mengerti bahwa itulah status kita ketika kita masih berdosa. Kalau di poin pertama, kita belajar tentang status dan kondisi kita yang jatuh ke dalam dosa yaitu durhaka/tidak berTuhan dan lemah/tidak berdaya, maka di poin ini, kita belajar tentang status kita dahulu yang baru yaitu musuh/seteru Allah. Kita disebut seteru Allah karena kita melawan ketetapan-Nya. Bagi seorang musuh, kita sudah seharusnya melawannya, hal yang sama juga dilakukan oleh Allah. Tetapi sekali lagi karena kasih-Nya begitu besar, maka beberapa orang dari antara musuh-Nya yang memberontak dipilih, dipanggil dan dibenarkan-Nya di dalam Kristus, sehingga mereka beroleh anugerah-Nya untuk beriman di dalam Kristus. Bagi orang-orang pilihan-Nya inilah, Kristus mati dan memperdamaikan mereka dengan Allah. Adalah tidak masuk akal jika ada orang-orang yang tidak dipilih-Nya berani mengklaim diri umat pilihan Allah lalu menyatakan diri dengan sombongnya bahwa Kristus juga mati untuknya. Itu adalah ajaran yang aneh dan tidak sesuai dengan Alkitab. Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi umat pilihan-Nya yang berdosa yaitu kita yang dahulu berdosa sudah diperdamaikan dengan Allah yang Mahakudus melalui penebusan Kristus, sehingga kita diselamatkan oleh hidup Kristus dan kita tidak usah takut (dalam pengertian takut yang berlebihan) menghampiri Allah. Bukan berarti karena kita telah ditebus oleh Kristus, maka kita boleh sembarangan menghadap Allah, lalu seenaknya sendiri menggunakan hal-hal yang tidak bertanggungjawab di dalam ibadah. Itu namanya anak-anak Allah yang keterlaluan/kelewatan (Jawa: nglunjak). Meskipun kita sudah ditebus oleh Kristus, kita sebagai anak-anak-Nya tetap harus menghormati dan takut kepada-Nya, karena Ia tetap adalah Allah dan Tuhan kita (sedangkan kita adalah manusia yang terbatas), meskipun kita bisa/dapat tetap bersukacita ketika menghadap Allah. Inilah paradoks di dalam ibadah Kristen: takut dan gentar terhadap Allah sekaligus bersukacita. Penderitaan Kristus juga menjadi teladan bagi kita yaitu perdamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus adalah wujud perdamaian sejati meskipun kita menderita aniaya. Sering kali di dunia ini, ketika ada orang yang mengalami penderitaan, para pemuja theologi religionum/social

gospel selalu melontarkan kalimat damai, gencatan sejata, toleransi, dll supaya tidak terjadi penderitaan dan penganiayaan. Apakah itu salah? Di satu sisi, benar, tetapi di sisi lain, inti masalahnya bukan sekadar penghentian tindakan penganiayaan/kekerasan/penderitaan, tetapi esensinya justru terletak pada pendamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus. Kalau manusia tidak didamaikan kembali dengan Allah, maka manusia tak mungkin bisa berdamai dengan sesamanya, karena masalah manusia yang paling serius adalah dosa, dan bukan hanya sekedar ketidakseimbangan/ketidaktenteraman atau penderitaan/penganiayaan/dll. Terakhir, penderitaan Kristus membuat kita berbangga di dalam-Nya (ayat 11). Di dalam ayat 11, Paulus mengungkapkan, Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu. Kata bermegah bisa berarti bersukacita (joy/rejoice) atau berbangga (boast). Bukan hanya substitusi, propisiasi dan rekonsiliasi, penebusan dan penderitaan Kristus memberikan pengharapan kepada kita bahwa meskipun kita mengalami penganiayaan, Roh-Nya yang Kudus membuat kita terus-menerus bersukacita di dalam Allah. Mengapa kita bisa bersukacita meskipun penderitaan mengancam kita? Karena kita memiliki pengharapan yang kokoh di dalam Kristus yang telah mengalami dan menang mengalahkan segala pencobaan, sehingga Ia dinobatkan sebagai Imam Besar Agung (Ibrani 4:14-15). Selain itu, penderitaan Kristus yang mengakibatkan kita bersukacita di dalam-Nya juga menjadi teladan bagi kita untuk menyalurkan sukacita di dalam penderitaan ini baik dengan berbagi kepada sesama, khususnya yang paling utama yaitu memberitakan Injil. Sehingga ketika orang yang menganiaya kita tetap melihat kita bersukacita bahkan masih memberitakan Injil, orang tersebut atas kemurahan-Nya akan bertobat dan kembali kepada Kristus. Hal ini sudah dialami oleh Paulus yang tetap memberitakan Injil kepada kepala penjara di Filipi meskipun dipenjara dan mengalami penderitaan (Kisah Para Rasul 16:19-40). Maukah kita meneladani Paulus dengan menjadi saksi Kristus bahkan di dalam penderitaan sekalipun ? Setelah kita merenungkan keenam prinsip penderitaan Kristus yang menjadi pengharapan sekaligus teladan bagi kita yang menderita, biarlah kita menjadikan penderitaan Kristus bukan sekedar teori/rutinitas ketika kita memperingati Jumat Agung, tetapi penderitaan Kristus menjadi titik pusat kehidupan keKristenan kita dalam menapaki setiap penderitaan yang harhus ditanggung karena mengikut Kristus. Soli Deo Gloria. Amin.

Renungan Malam Paskah: Kej 1:1-2:2; Kel 14:15-15:1; Yeh 36:16-17a.18-28; Rm 6:3-11; Mrk 16:1-7 Jangan takut! Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan, Ia telah bangkit "Jangan takut! Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan itu. Ia telah bangkit. Ia tidak ada di sini. Lihat! Inilah tempat mereka membaringkan Dia. Tetapi sekarang pergilah, katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakan-Nya kepada kamu." (Mrk 16:6-7) Rahasia Paskah mempunyai dua sisi: Dengan kematianNya Kristus membebaskan kita dari dosa, dengan kebangkitanNya Ia membuka pintu masuk menuju kehidupan baru. Hidup baru ini pada tempat pertama adalah pembenaran, yang menempatkan kita kembali dalam rahmat Allah. supaya seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang matidemikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru (Rm 6:4). Pembenaran terletak dalam kemenangan atas kematian yang disebabkan oleh dosa dan dalam keikutsertaan dalam rahmat. Ia melaksanakan penerimaan menjadi anak Allah, karena orang-orang menjadi saudara-saudara Kristus. Yesus sendiri, sesudah kebangkitanNya, menyapa murid-muridNya dengan perkataan saudara: Pergilah dan katakanlah kepada saudara-saudaraKu (Mat 28:10; Yoh 20:17). Kita adalah saudarasaudariNya bukan atas dasar kodrat kita, melainkan oleh anugerah rahmat, karena hidup sebagai anak angkat ini benar-benar menyertakan kita dalam kehidupan PuteraNya yang tunggal, hidup yang nyata sepenuhnya dalam kebangkitanNya (Katekismus Gereja Katolik 1993, no 654). Kematian dan kebangkitan bagaikan mata uang bermuka dua Kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitanNya dari mati bagaikan mata uang bermuka dua, dapat dibedakan namun tak dapat dipisahkan. Saat Ia wafat, mempersembahkan Diri seutuhnya kepada Allah Bapa yang mengutus pada saat itu juga Ia masuk ke dalam hidup baru, hidup mulia kembali di sorga, sebagaimana pernah Ia sabdakan kepada salah satu penjahat yang disalibkan bersamaNya dan bertobat: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus. (Luk 23:43). Penjahat yang bertobat itu pada saat ia meninggal dunia/mati pada saat itu juga memperoleh anugerah Allah, hidup mulia di dalam Firdaus, di dalam sorga. Dengan kematianNya Kristus membebaskan kita dari dosa, dengan kebangkitanNya Ia membuka pintu masuk menuju kehidupan baru. Pada malam ini kita mengenangkan kebangkitanNya, yang berarti kita bersama-sama diundang untuk memasuki kehidupan baru, sebagai anak-anak Allah, meneladan cara hidup dan cara bertindak Yesus. Kita dipanggil untuk memperbarui hati, jiwa, akal budi dan tubuh kita, yang telah dicemari atau dikotori oleh dosadosa kita. Aku akan menguduskan nama-Ku yang besar yang sudah dinajiskan di tengah bangsa-bangsa, dan yang kamu najiskan di tengah-tengah mereka. Dan bangsa-bangsa akan mengetahui bahwa Akulah TUHAN, demikianlah firman Tuhan ALLAH, manakala Aku menunjukkan kekudusan-Ku kepadamu di hadapan bangsa-bangsa. Aku akan menjemput kamu dari antara bangsa-bangsa dan mengumpulkan kamu dari semua negeri dan akan membawa kamu kembali ke tanahmu (Yeh 36:23-24). Kita dipanggil untuk menanggaapi secara positif ajakanNya untuk berkumpul kembali ke tanah terjanji, hidup bahagia dan mulia di sorga.

Hidup bahagia dan mulia di sorga yang dijanjikan kepada kita tersebut kiranya telah dapat kita cicipi atau nikmati selama hidup di dunia ini, yaitu dengan membebaskann diri dari dosa dan memeluk kehidupan baru, sesuai dengan kehendak dan panggilan Tuhan. Secara liturgis hal ini di dalam Perayaan Malam Paskah dikenangkan dengan liturgi pembaharuan janji baptis , dimana kita bersama-sama memperbarui janji untuk hanya mengabdi Tuhan Allah saja serta menolak semua godaan setan. Mengabdi Tuhan Allah dan menolak semua godaan setan bagaikan mata uang bermuka dua, seperti mengarahkan hati sepenuhnya kepada Tuhan Allah dan menolak untuk berbuat jahat atau berbuat dosa. Jika hati kita sepenuhnya diarahkan kepada Tuhan Allah pasti secara otomatis dikuasai atau dirajai, dan dengan demikian Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat.(Yeh 36:26). Hati kita akan meneladan Hati Yesus yang lemah lembut, rendah hati serta terbuka lebar bagi siapapun yang merindukan atau mendambakan Tuhan. Kita akan menjadi orang yang bermurah hati, memberi perhatian kepada saudara-saudari kita. Sekarang pergilah, katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakan-Nya kepada kamu." (Mrk 16:7) Demenyar adalah singkatan dari demen sing anyar = suka apa-apa yang baru. Apa-apa yang baru pada umumnya menarik perhatian dan memikat, demikian juga ketika kita memiliki apa-apa yang baru pada umumnya juga tergerak untuk menceriterakan atau menyebarluaskan kepada saudara-saudari kita. Kita telah dianugerahi hati baru, kehidupan baru dan seperti para wanita yang menjadi saksi kebangkitan Yesus kita juga diundang Pergilah, katakanlan kepada muridmuridNya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu di Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakanNya kepada kamu Galilea adalah tempat tinggal para murid, dimana mereka hidup dan mengerjakan tugas pekerjaan sehari-hari. Galilea kita adalah rumah/keluarga dan tempat kerja/belajar, dimana mayoritas waktu dan tenaga kita boroskan di dalamnya. Ia mendahului kamu masuk ke dalam keluarga atau tempat kerja/ belajar, maka Jangan takut masuk ke dalam atau pulang kembali ke keluarga dan sebaliknya meninggalkan keluarga menuju ke tempat kerja/belajar. Marilah kita buka hati kita lebar-lebar dan juga mata kita untuk melihat dan menangkap kehadiran Tuhan yang telah mendahului perjalanan dan keberadaan kita di dalam keluarga maupun tempat kerja/belajar, tanpa takut dan gentar, was-was atau curiga. Dengan kata lain hendaknya dengan gemibra, ceria, dinamis serta penuh harapan memasuki rumah/keluarga, tempat kerja atau belajar. Mulailah, awalilah segala sesuatu dengan gembira, ceria dan penuh harapan. Dalam dan dengan hati baru, gariah, ceria dan penuh harapan marilah kita memandang bagaimana Allah tinggal dalam ciptaan-ciptaanNya: dalam unsur-unsur , memberi adanya; dalam tumbuh-tumbuhan, memberi daya tumbuh; dalam binatang-binatang, daya rasa; dalam manusia, memberi pikiran; jadi Allah juga tinggal dalam aku, memberi aku ada, hidup, berdaya rasa dan berpikiran. Bahkan dijadikan olehNya aku bait-Nya, karena aku telah diciptakan serupa dan menurut citra yang Mahaagung (St Ignatius Loyola, LR no 235). Dengan kata lain kita dipanggil untuk menemukan Tuhan dalam segala sesuatu atau menghayati segala sesuatu dalam Tuhan, dan dengan demikian kita akan mampu meneladan Yesus yang menyapa dan

memperlakukan para murid sebagai saudara-saudariNya, kita dapat menyikapi dan memperlakukan siapapun dan apapun sebagai saudara dan saudari. Jika kita telah mampu menyikapi dan memperlakukan siapapun dan apapun sebagai saudara atau sahabat, maka tidak ada ketakutan sedikitpun untuk meninggalkan rumah/keluarga pergi ketempat kerja/belajar dan sebaliknya pulan dari kerja/belajar untuk pulang ke rumah/keluarga. Allah tinggal dan berkarya dalam seluruh ciptaanNya, dan tentu saja terutama dan pertamatama dalam diri manusia yang diciptakan sesuai dengan citra atau gambar Allah. Maka marilah kita sikapi dan perlakukan diri kita maupun saudara-saudari kita sebagai citra atau gambar Allah. Sebagai gambar atau citra Allah berarti Roh Allah hidup dan bekerja dalam diri kita yang lemah dan rapuh sehingga cara hidup dan cara bertindak kita menghasilkan buah-buah Roh seperti: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.(Gal 5:22-23). Marilah kita hayati keutamaan-keutamaan sebagai buah Roh tersebut dalam diri kita sendiri serta kita cermati dan imani buah-buah Roh tersebut dalam diri saudara-saudari kita. Kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah. Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus (Rm 6:1011) Pembaruan janji baptis yang kita ikrarkan bersama-sama pada Malam Paskah ini merupakan ajakan atau panggilan untuk menghayati peringatan Paulus bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus. Ini dari janji baptis adalah hanya mau mengabdi Tuhan Allah saja serta menolak semua godaan setan. Mengabdi Tuhan Allah berarti kita senantiasa hidup dalam dan oleh kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlebutan, penguasaan diri, sedangkan godaan setan antara lain berupa percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (lihat Gal 5:20-23). Maka baiklah kutipan surat Paulus kepada umat di Roma di atas kita renungkan atau refleksikan dengan bantuan kutipan surat Paulus kepada umat di Galatia di atas ini. Kamu telah mati bagi dosa Dosa-dosa seperti percabulan dst.. sebagaimana dikatakan Paulus di atas rasanya masih marak dilakukan orang pada masa kini. Sebagai contoh adalah marah, mengingat marah ini rasanya menjadi sumber dari dosa-dosa lainnya. Marah berarti melecehkan atau merendahkan yang lain, bahasa marah yang paling lembut adalah mengeluh/menggerutu, sedangkan paling kasar adalah membunuh. Yang menjadi dorongan atau alasan mengeluh adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan selera pribadi, dengan kata lain orang hidup menurut selera pribadi atau berpedoman like and dislike, sehingga segala sesuatu yang tidak sesuai dengan selera pribadi adalah musuh. Bukankah ketika orang tidak berani atau tidak mungkin mengungkapkan atau mewujudkan keluhan atau kemarahannya kepada yang menyebabkan ia marah atau mengeluh, kemudian mengarahkan keluhan dan kemarahannya dengan memuaskan diri sendiri, yang nikmat dan enak

untuk sesaat, misalnya berbuat cabul atau mabuk-mabukan atau pesta pora? Maka matikanlah, hapuslah aneka macam bentuk keluhan atau kemarahan yang ada dalam diri anda!. Ketrampilan atau kebiasaan untuk tidak mengeluh atau marah ini hemat saya perlu diusahakan dan dihayati dalam kehidupan bersama yang mendasar, yaitu di dalam keluarga atau komunitas, dan kemudian di tempat kerja dengan rekan kerja. Marilah kita hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus, meneladan cara hidup dan cara bertindak atau menghayati sabda-sabda Yesus dalam hidup sehari-hari. Kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus Sabda Yesus yang terkait dengan marah adalah Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat 5:43-44). Menghayati sabda Yesus ini hemat saya sama dengan melakukan apa yang dikatakan oleh Paulus kepada umat di Galatia, yaitu hidup dalam Roh sehingga cara hidup dan cara bertindak kita menghasilkan buah-buah Roh seperti: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. (Gal 5:22-23) Dari buah-buah Roh di atas ini rasanya yang baik kita renungkan atau refleksikan adalah penguasaan diri. Diri kita masing-masing adalah ciptaan Allah yang diciptakan sesuai dengan gambar dan citraNya, maka ajakan untuk menguasai diri harus dihayati bersama Allah, sesuai dengan kehendak Allah. Kehendak Allah bagi kita semua adalah agar kita senantiasa hidup suci, baik, berbudi pekerti luhur, sehingga tumbuh berkembang semakin dikasihi oleh Allah maupun sesama manusia. Dengan kata lain orang yang mampu menguasai diri berarti semakin dikasihi oleh banyak orang, semakin memiliki banyak kenalan berarti semakin banyak sahabat. Untuk membantu keterampilan penguasaan diri antara lain hendaknya senantiasa berpikir positif terhadap diri sendiri maupun orang lain, sebagai tanda bahwa kita hidup dari dan oleh Roh. Maka warta gembira malaikat kepada para perempuan di makam Pergilah, katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakan-Nya kepada kamu dapat kita hayati dengan berkata-kata perihal apa yang baik dan benar dan kita senantiasa bersikap dan bertindak untuk melihat dan mengakui apa yang benar dan baik. Bukankah dengan melihat dan mengakui apa yang benar dan baik akan tumbuh berkembang kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlebutan, penguasaan diri dalam diri kita? Mengenangkan dan mengimani misteri Paskah, wafat dan kebangkitan Yesus, berarti kita dipanggil untuk bekerjasama atau bergotong royong dalam melakukan apa yang baik dan benar. Memang untuk melakukan apa yang baik dan benar pada masa kini tidak akan terlepas dari aneka macam tantangan dan hambatan Jangan takut dan gentar menghadapi aneka tantangan dan hambatan, dan marilah meneladan para perempuan yang pagi-pagi benar pada hari pertama minggu itu, setelah matahari terbit, pergilah mereka ke kubur tanpa takut dan gentar. Dari peristiwa kebangkitan Yesus dari mati ini kiranya kita dapat mawas diri bahwa kelemahan dapat menjadi kekuatan dan sebaliknya kekuatan dapat menjadi kelemahan. Dalam situasi genting pada umumnya yang berani tampil bebas merdeka adalah mereka yang dipandang atau dinilai lemah dalam situasi normal atau biasa, sedangkan yang dinilai kuat bersembunyi, tidak berani tampil.

Bukankah untuk membersihkan apa yang kotor dan amburadul kita sering lebih minta bantuan dari mereka yang dinilai lemah seperti para pembantu atau pekerja kasar? Kuburan atau makam sering menjadi tempat yang menakutkan untuk sementara orang. Dalam arti tertentu juga ada orang yang menakutkan alias disikapi sebagai kuburan atau makam, maka marilah kita dekati dan sikapi orang-orang yang menakutkan dengan keutamaan-keutamaan sebagai buah Roh, yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlebutan, penguasaan diri! SELAMAT PASKAH, MARILAH KITA BANGKIT DAN BERGAIRAH DALAM KASIH, SUKACITA, DAMAI SEJAHTERA, KESABARAN, KEMURaHAN, KEBAIKAN, KESETIAAN, KELEMBUTAN DAN PENGUASAAN DIR

Kamis Putih
Dalam Kamis Putih kita diajak untuk merenungkan makna perjamuan malam terakhir yang diadakan oleh Yesus bersama para rasul. Setiap orang bisa menafsirkan atau memaknai peristiwa ini. Bagiku malam Kamis Putih yang menarik adalah upacara pembasuhan kaki. Hal ini pun sudah banyak orang yang berusaha memaknainya. Aku mau membuat penafsiran tersendiri mengenai perjamuan malam terakhir. Menurut tradisi Yahudi mencuci kaki adalah sebuah bentuk penghormatan seseorang terhadap orang yang dianggap mempunyai status atau jabatan lebih tinggi atau lebih terhormat. Murid membasuh kaki gurunya sebab menganggap guru mempunyai status yang lebih terhormat daripadanya. Pada malam Kamis Putih Yesus mencuci kaki para murid. Jelas ini melawan adat, maka ditolak oleh Petrus. Dia yang adalah murid merasa tidak pantas dihormati gurunya sedemikian rupa. Tapi Yesus tidak mundur dengan penolakan Petrus, bahkan Dia mengancam kalau Petrus tidak mau maka dia tidak akan masuk dalam bagian komunitasnya. Aku yakin bahwa yang gelisah dan menolak bukan hanya Petrus melainkan semua murid dan mungkin juga Yudas. Apakah Yesus hanya mau mencari sensasi saja? Yesus melakukan sebuah perbuatan pasti ada tujuannya. Tindakan mencuci kaki merupakan salah satu bentuk pengajaran bagi para murid. Ini adalah keteladanan mengenai penghormatan. Pada umumnya orang hanya menghormati orang yang dianggap mempunyai status atau kasta yang sederajat atau yang lebih tinggi. Penghormatan hanya berjalan dari bawah ke atas. Yesus sejak awal berusaha membuat sebuah hukum baru, yang berbeda dengan aturan yang berlaku pada umumnya di dunia ini. Dalam Kotbah di Bukit dengan jelas Yesus hendak membangun suatu komunitas yang berbeda dengan masyarakat yang sudah ada. Hal ini bukan sifat Yesus yang aneh-aneh melainkan Dia berusaha membangun sebuah komunitas sempurna. Dunia mengajarkan penghormatan adalah hak orang yang lebih tinggi martabatnya. Orang yang mempunyai jabatan, kekayaan atau kekuasaan. Orang miskin dan marginal hanya wajib menghormati namun dia tidak mendapat penghormatan. Rakyat wajib menghormati presiden sebaliknya presiden tidak mempunyai kewajiban menghormati rakyatnya. Anak wajib menghormati orang tuanya, sebaliknya orang tua tidak mempunyai kewajiban yang sama. Bahkan tidak jarang orang yang dianggap punya kekuasaan tinggi, jabatan tinggi dan sebagainya dapat sewenang-wenang menindas orang yang dianggap lebih rendah. Penghormatan berlaku dari bawahan pada atasan. Yesus membalik aturan dunia ini. Dia mengajarkan penghormatan dari atasan pada bawahan. Dari guru pada murid. Dari penguasa pada orang yang tidak berkuasa, dari orang terhormat pada para kaum proletar. Ini adalah pukulan penyadaran bagi para murid. Beberapa kali mereka memperdebatkan siapa yang terbesar diantara mereka, sebab dengan merasa terbesar mereka berhak mendapatkan penghormatan dari yang lainnya. Ini adalah suatu bentuk ketidakadilan dimana orang hanya menuntut penghormatan sebaliknya dia tidak mau menghormati sesamanya. Semua manusia adalah citra Allah. Bermartabat sama. Namun tata dunia membuat aneka pembedaan. Dunia mengelompokan manusia dalam bermacam tingkatan. Pembagian ini

berdasarkan kelahiran, jabatan, kekayaan dan sebagainya. Ada orang yang terlahir sebagai bangsawan, maka dia secara otomatis menempati sebuah posisi tertentu. Dia menjadi lebih unggul dibandingkan dengan orang lain. Pada jaman dulu budaya Jawa sangat ketat mempertahankan kebangsawanan. Orang yang terlahir sebagai bangsawan tidak boleh bergaul dengan orang yang bukan bangsawan atau bangsawan yang lebih rendah. Apalagi mereka menikah dan sebagainya. Kisah kasih Pronocitro dan Roro Jogran mencerminkan adanya batasan itu. Dalam budaya Cina juga ada kisah Sam Pek dan Ing Tay yang mencerminkan hal yang sama. Namun sekarang gelar kebangsawanan tidak lagi mendampatkan penghormatan, maka orang berusaha mencari aneka gelar akademik, kekayaan dan jabatan untuk memperoleh penghormatan. Orang sangat bangga bila di depan atau belakang namanya ada aneka gelar akademik atau aneka jabatan. Semua gelar ditulis rapi agar orang yang tidak punya gelar menghormatinya. Tata nilai dunia ini tidak adil, sebab kapankah Mbok Jah yang hanya berjualan sayuran eceran atau Laksmi yang hanya seorang pekerja seks kelas teri di stasiun atau Asep yang hanya anak jalanan akan dihormati oleh orang lain yang bergelar profesor, berjabatan sekwilda dan sebagainya? Mereka hanya akan diperlakukan sewenang-wenang, tidak dianggap manusia, padahal martabat Asep sama dengan Pak Banu yang berpangkat jendral. Keduanya adalah citra Allah. Suatu hari aku dan teman-teman dari rumah singgah diundang seseorang yang berulang tahun di sebuah rumah makan mewah. Ketika kami datang, maka orang itu langsung mempersilahkan aku duduk di tempat yang sudah disediakan, sedangkan teman-temanku yang lain tidak dipedulikan. Hal ini terjadi karena aku adalah seorang imam dan teman-temanku adalah anak jalanan. Padahal martabatku sama dengan mereka. Inilah nilai dunia yang hendak diubah oleh Yesus. Penghormatan kepada kaum bawahan hanya bisa dilakukan bila orang yang dianggap atasan berani melepaskan atribut pemberian duniawi yang menempel di dirinya. Yesus melepaskan jubahnya yang melambangkan statusNya sebagai guru. Dia mengambil posisi hamba. Ini adalah salah satu bentuk pengosongan diri. Yesus sadar bahwa Dia adalah Guru namun berani melepaskan lambang-lambang keguruan. Keguruan Yesus bukan terletak pada lambang jubah melainkan kewibawaannya dalam mengajar, teguh dalam prinsip, kearifan, kebijaksanaan, belas kasih dan sebagainya. Dengan demikian keguruan Yesus bukan dari apa yang ditempelkan oleh masyarakat melainkan apa yang ada dalam diriNya. Pernah ada sekelompok kaum kaya yang ingin ikut bersamaku mengunjungi kaum miskin di sebuah daerah kumuh. Jauh sebelumnya aku sudah mengatakan pada mereka bahwa agar mereka menyesuaikan diri dengan orang yang akan dikunjungi. Namun pada hari kunjungan aku menjadi terheran-heran. Mereka memakai aneka asesoris yang bagi mereka sederhana namun bagi kaum miskin sebuah kemewahan yang membuat mereka bermimpi. Mereka tidak mau duduk di tikar yang sudah disediakan, sebab takut kotor, penyakit dan aneka alasan lain. Bagiku ini bukan bentuk penghormatan pada kaum miskin, sebab dengan sikap dan penampilan begitu kaum miskin masih harus menunduk-nunduk di hadapan mereka dan mengangguk-anggukan kepalanya pada setiap kata yang meluncur dari bibir para tamu, meski aku kadang ragu apakah mereka memahami yang dimaksudkan oleh para tamu itu. Penghormatan terjadi kalau orang berani menempatkan diri pada posisi yang lebih rendah. Yesus mencuci kaki para murid. Dia memposisikan diri sebagai budak. Namun Dia tidak menjadi

budak para murid. Disini muncul ketegangan bagaimana aku dapat memposisikan diri sebagai budak namun tetap sadar bahwa aku bukan budak. Bagiku bergaul dengan anak jalanan, pengemis, gelandangan, pekerja seks, dan sebagainya bukan berarti aku harus menjadi bagian dari mereka. Aku tetaplah seorang imam. Aku harus tetap mempertahankan eksistensiku sebagai imam. Hal ini bukan dengan jubah putih, melainkan bagaimana aku bisa membawa mereka menjadi orang yang lebih baik. Tugas keimamanku yaitu membawa manusia untuk semakin dekat dengan Allah dan hidup lebih baik tidak aku letakan pada aneka gelar akademik atau jubah putih melainkan bagaimana perkataan, sikap hidup, dan pemikiranku mampu membawa kaum miskin mengenal Allah. Aku harus mampu duduk di tikar mereka, berpenampilan seperti mereka, berbicara dengan bahasa mereka dan sebagainya, namun aku masih harus tetap menghayati statusku sebagai imam dan sadar akan tugas perutusanku. Disinilah sering kali timbul kesulitan besar. Maka dalam Kamis Putih aku diingatkan kembali akan semuanya itu oleh Yesus yang dengan tegas mengatakan bahwa Dia adalah Guru dan Tuhan mau melakukan pembasuhan kaki para murid. selamat Paskah

Anda mungkin juga menyukai