Anda di halaman 1dari 39

BAB II URAIAN TEORITIS

2.1. Komunikasi Antarpribadi

Secara umum komunikasi antarpribadi dapat diartikan sebagai suatu proses pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. Komunikasi terjadi secara tatap muka (face to face) antara dua individu. Dalam pengertian tersebut mengandung tiga aspek:

1. Pengertian proses, yaitu mengacu pada perubahan dan tindakan yang berlangsung terus menerus. 2. Komunikasi antarpribadi merupakan suatu pertukaran, yaitu tindakan menyampaikan dan menerima pesan secara timbal balik. 3. Mengandung makna, yaitu sesuatu yang dipertukarkan dalam proses tersebut, adalah kesamaan pemahaman diantara orang-orang yang berkomunikasi terhadap pesan-pesan yang digunakan dalam proses komunikasi.

Dari ketiga aspek tersebut maka komunikasi antarpribadi menurut Judy C. Pearson memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Komunikasi antarpribadi dimulai dengan diri pribadi (self). Berbagai persepsi komunikasi yang menyangkut pemaknaan berpusat pada diri kita, artinya dipengaruhi oleh pengalaman dan pengamatan kita. 2. Komunikasi antarpribadi bersifat transaksional. Anggapan ini mengacu pada pihak-pihak yang berkomunikasi secara serempak dan bersifat sejajar, menyampaikan dan menerima pesan.

Universitas Sumatera Utara

3. Komunikasi antarpribadi mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan antarpribadi. Artinya isi pesan dipengaruhi oleh hubungan antar pihak yang berkomunikasi. 4. Komunikasi antarpribadi mensyaratkan kedekatan fisik antar pihak yang berkomunikasi. 5. Komunikasi antarpribadi melibatkan pihak-pihak yang saling bergantung satu sama lainnya dalam proses komunikasi. 6. Komunikasi antarpribadi tidak dapat diubah maupun diulang. Jika kita salah mengucapkan sesuatu pada pasangan maka tidak dapat diubah. Bisa memaafkan tapi tidak bisa melupakan atau menghapus yang sudah dikatakan.

(http://kuliah.dagdigdug.com/2008/04/22)

Lunandi (1992) menjelaskan bahwa yang dimaksud komunikasi antarpribadi yang baik adalah komunikasi yang mempunyai sifat keterbukaan, kepekaan, dan bersifat umpan balik. Individu merasa puas dalam berkomunikasi antarpribadi bila ia dapat mengerti orang lain dan merasa bahwa orang lain juga memahami dirinya. Lunandi menekankan pentingnya komunikasi antarpribadi dibedakan dari bentuk komunikasi di muka umum dan komunikasi di dalam kelompok kecil. Komunikasi antarpribadi dibatasi pada komunikasi antara orang dengan orang dalam situasi tatap muka. Jadi, sama sekali tidak meliputi telekomunikasi jarak jauh (telepon, telegram, telex) dan komunikasi massa, yang ditujukan kepada sejumlah orang besar orang sekaligus (surat kabar, radio, televisi).

Pentingnya hubungan yang terjadi antar sesama manusia dikemukakan oleh Klinger (1977) yang mengatakan bahwa hubungan dengan manusia lain ternyata

Universitas Sumatera Utara

sangat mempengaruhi manusia itu sendiri. Manusia tergantung terhadap manusia lain karena orang lain juga berusaha mempengaruhi melalui pengertian yang diberikan, informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Semuanya membentuk pengetahuan, menguatkan perasaan, dan meneguhkan perilaku manusia.

Meskipun demikian banyak ahli akhirnya berpendapat bahwa semua yang menjadi tekanan dalam komunikasi antarpribadi yang akhirnya menuju pada perspektif situasi. Perspektif situasi menurut Miller dan Steinberg (Liliweri, 1991) merupakan situasi suatu perspektif yang menekankan bahwa sukses tidaknya komunikasi antarpribadi sangat sangat tergantung pada situasi komunikasi, mengacu pada hubungan tatap muka antara dua individu atau sebagian kecil individu dengan mengandalkan suatu kekuatan yang segera saling mendekati satu dengan yang lain pada saat itu juga. Berdasarkan pendapat Miller dan Steinberg di atas, maka kedudukan komunikator yang dapat bergantian dengan komunikan pada tahap lanjutan harus menciptakan suasana hubungan antar manusia yang terlibat di dalamnya.

Komunikasi

antarpribadi

berlangsung

antardua

individu,

karenanya

pemahaman komunikasi dan hubungan antarpribadi menempatkan pemahaman mengenai komunikasi dalam proses psikologis. Setiap individu dalam tindakan komunikasi memiliki pemahaman dan makna pribadi terhadap setiap hubungan dimana dia terlibat di dalamnya. Hal terpenting dari aspek psikologis dalam komunikasi adalah asumsi bahwa diri pribadi individu terletak dalam diri individu dan tidak mungkin diamati secara langsung. Artinya dalam komunikasi antarpribadi pengamatan terhadap seseorang dilakukan melalui perilakunya dengan mendasarkan pada persepsi si pengamat.

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian aspek psikologis mencakup pengamatan pada dua dimensi, yaitu internal dan eksternal. Namun kita mengetahui bahwa dimensi eksternal tidaklah selalu sama dengan dimensi internalnya. Fungsi psikologis dari komunikasi adalah untuk menginterpretasikan tanda-tanda melalui tindakan atau perilaku yang dapat diamati. Proses interpretasi ini setiap individu berbeda. Karena setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda, yang terbentuk karena pengalaman yang berbeda pula.

2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam komunikasi antarpribadi

Tampilan komunikasi yang muncul dalam setiap kita berkomunikasi mencerminkan kepribadian dari setiap individu yang berkomunikasi. Pemahaman terhadap proses pembentukan keperibadian setiap pihak yang terlibat dalam komunikasi menjadi penting dan mempengaruhi keberhasilan komunikasi. Realita komunikasi antarpribadi dianalogikan seperti fenomena gunung es (the

communication iceberg). Analogi ini menjelaskan bahwa ada berbagai hal yang mempengaruhi atau yang memberi kontribusi pada bagaimana bentuk setiap tampilan komunikasi. Gunung es yang tampak, dianalogikan sebagai bentuk komunikasi yang teramati atau terlihat (visible/observable aspect) yaitu:

1. Interactant, yaitu orang yang terlibat dalam interaksi komunikasi seperti pembicara, penulis, pendengar, pembaca dengan berbagai situasi yang berbeda. 2. Simbol ,terdiri dari simbol (huruf, angka, kata-kata, tindakan) dan symbolic language (bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan lain lain)

Universitas Sumatera Utara

3. Media, saluran yang digunakan dalam setiap situasi komunikasi.

Sedangkan bagian bawah gunung es yang menjadi penyangga gunung es itu tidak tampak atau tidak teramati. Inilah yang disebut sebagai invisible / unobservable aspect. Justru bagian inilah yang penting. Walaupun tak tampak karena tertutup air, dia menyangga tampilan gunung es yang muncul menyembul kepermukaan air. Tanpa itu gunung es tidak akan ada. Demikian halnya dengan komunikasi, di mana tampilan komunikasi yang teramati atau tampak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak terlihat, tapi terasa pengaruhnya, yaitu:

1. Meaning (makna). Ketika simbol ada, maka makna itu ada dan bagaimana cara menanggapinya. Intonasi suara, mimik muka, kata-kata dan gambar merupakan simbol yang mewakili suatu makna. 2. Learning. Interpretasi makna terhadap simbol muncul berdasarkan pola-pola komunikasi yang diasosiasikan pengalaman, interpretasi muncul dari belajar yang diperoleh dari pengalaman. Interpretasi muncul disegala tindakan mengikuti aturan yang diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman merupakan rangkaian proses memahami pesan berdasarkan yang kita pelajari. Jadi makna yang kita berikan merupakan hasil belajar. Pola-pola atau perilaku komunikasi kita tidak tergantung pada turunan atau genetik, tapi makna dan informasi merupakan hasil belajar terhadap simbol-simbol yang ada di lingkungannya. Membaca, menulis, menghitung adalah proses belajar dari lingkungan formal.Jadi, kemampuan kita berkomunikasi merupakan hasil belajar dari lingkungan. 3. Subjectivity. Pengalaman setiap individu tidak akan pernah benar-benar sama, sehingga individu dalam meng-encode (menyusun atau merancang) dan men-

Universitas Sumatera Utara

decode (menerima dan mengartikan) pesan tidak ada yang benar-benar sama. Interpretasi dari dua orang yang berbeda akan berbeda terhadap objek yang sama. 4. Negotiation. Komunikasi merupakan pertukaran simbol. Pihak-pihak yang berkomunikasi masing-masing mempunyai tujuan untuk mempengaruhi orang lain. Dalam upaya itu terjadi negosiasi dalam pemilihan simbol dan makna sehingga tercapai saling pengertian. Pertukaran simbol sama dengan proses pertukaran makna. Masing-masing pihak harus menyesuaikan makna satu sama lain. 5. Culture. Setiap individu adalah hasil belajar dari dan dengan orang lain. Individu adalah partisipan dari kelompok, organisasi dan anggota masyarakat. Melalui partisipasi berbagi simbol dengan orang lain, kelompok, organisasi dan masyarakat. Simbol dan makna adalah bagian dari lingkungan budaya yang kita terima dan kita adaptasi. Melalui komunikasi budaya diciptakan, dipertahankan dan dirubah. Budaya menciptakan cara pandang (point of view). 6. Interacting levels and context. Komunikasi antarmanusia berlangsung dalam bermacam konteks dan tingkatan. Lingkup komunikasi setiap individu sangat beragam mulai dari komunikasi antarpribadi, kelompok, organisasi, dan massa. 7. Self reference. Perilaku dan simbol-simbol yang digunakan individu mencerminkan pengalaman yang dimilikinya, artinya sesuatu yang kita katakan dan lakukan dan cara kita menginterpretasikan kata dan tindakan orang adalah refleksi makna, pengalaman, kebutuhan dan harapan-harapan kita.

Universitas Sumatera Utara

8. Self reflexivity. Kesadaran diri (self-cosciousnes) merupakan keadaan dimana seseorang memandang dirinya sendiri (cermin diri) sebagai bagian dari lingkungan. Inti dari proses komunikasi adalah bagaimana pihak-pihak memandang dirinya sebagai bagian dari lingkungannya dan itu berpengaruh pada komunikasi. 9. Inevitability. Kita tidak mungkin tidak berkomunikasi. Walaupun kita tidak melakukan apapun tetapi diam kita akan tercermin dari nonverbal yang terlihat, dan itu mengungkap suatu makna komunikasi.

Berbagai aspek yang dibahas di atas menegaskan bahwa suatu proses komunikasi secara fisik terlihat sederhana, padahal jika kita melihat pola komunikasi yang terjadi itu menjelaskan kepada kita sesuatu yang sangat kompleks. Jadi dapat disimpulkan di sini bahwa komunikasi antarpribadi bukanlah sesuatu yang sederhana. Dalam sudut pandang psikologis komunikasi antarpribadi merupakan kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih yang memiliki tingkat kesamaan diri.

Saat dua orang berkomunikasi maka keduanya harus memiliki kesamaan tertentu, katakanlah laki-laki dan perempuan. Mereka secara individual dan serempak memperluas diri pribadi masing-masing ke dalam tindakan komunikasi melalui pemikiran, perasaan, keyakinan, atau dengan kata lain melalui proses psikologis mereka. Proses ini berlangsung terus menerus sepanjang keduanya masih terlibat dalam tindak komunikasi. Saling berbagi pengalaman tidaklah berarti memiliki kesamaan pemahaman atau kesamaan diri yang tunggal tetapi bisa merupakan persinggungan dan sejumlah perbedaan

Universitas Sumatera Utara

Fisher mengemukakan bahwa ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, proses intrapribadi kita memiliki paling sedikit tiga tataran yang berbeda. Tiap tataran tersebut akan berkaitan dengan situasi antarpribadi, yaitu pandangan kita mengenai diri sendiri, pandangan kita mengenai diri orang lain, dan pandangan kita mengenai pandangan orang lain tentang kita. Pentingnya proses psikologis hendaknya dipahami secara cermat, artinya proses intrapribadi dari partisipan komunikasi bukanlah hal yang sama dengan hubungan antarpribadi. Apa yang terjadi dalam diri individu bukanlah komunikasi antarpribadi melainkan proses psikologis. Meskipun demikian proses psikologis dari tiap individu pasti mempengaruhi komunikasi antarpribadi yang pada gilirannya juga mempengaruhi hubungan antarpribadi.

Untuk

memprediksi suatu bentuk komunikasi termasuk

komunikasi

antarpribadi atau bukan perlu dilakukan pemahaman terhadap identifikasi 3 data tingkat informasi, yaitu :

1. Data tingkat kebudayaan (cultural level-data). Kebudayaan merupakan sekumpulan keteraturan, norma, institusi sosial, kebiasaan, dan ide-ide yang dimiliki oleh sekumpulan orang. Terkadang kebudayaan didefinisikan sebagai lokasi geografis, etnis, pola religius. Para ahli menganggap bahwa orang yang termasuk kelompok kebudayaan yang sama mempunyai kesamaan cara bertingkah laku dan tampak memiliki sikap dan nilai tertentu. Dengan demikian, kebudayaan dapat memberi petunjuk bagaimana anggota kelompok kebudayaan tertentu akan berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Dengan data kebudayaan yang ada, dapat dibuat prediksi atau perkiraan bagaimana anggota dalam kebudayaan tertentu akan berkomunikasi dan merespon orang lain.

Universitas Sumatera Utara

Masalah yang mungkin terjadi ketika seseorang yang hanya mempunyai data tingkat kebudayaan berhadapan dengan orang lain adalah kesalahpahaman. Ketika berhadapan dengan individu yang spesifik, seseorang harus berhati-hati untuk menerapkan perkiraan tentang orang tersebut berdasar data tingkat kebudayaan. Masing-masing individu yang tergabung dalam suatu kelompok kebudayaan mempunyai kepribadian sendiri-sendiri. Para ahli komunikasi berpendapat bahwa dengan hanya menggunakan strategi yang memiliki data tingkat kebudayaan saja, belum cukup untuk dapat dikatakan mampu berkomunikasi secara interpersonal atau pribadi. Dengan demikian berarti seseorang hanya menggeneralisasi data yang diambil dari sebuah kelompok kebudayaan dan tidak membedakan serta menyesuaikan komunikasi dengan individu yang berbeda-beda.

2. Data tingkat sosiologis (sociological-level data). Analisis data tingkat sosiologis didasarkan pada pertimbangan yang dibuat tentang orang lain dengan mengetahui kelompok tempat orang tersebut termasuk. Ada pertimbangan untuk mengelompokkan seseorang ke dalam kelompok tertentu berdasar keanggotaannya pada bentuk kelompok sosial yang dipilihnya. Namun ada juga keanggotaan kelompok yang tidak dipilih sendiri oleh yang bersangkutan, misalnya termasuk ke dalam kelompok orang tua, dewasa, dan remaja. Bagaimanapun juga, anggota yang termasuk kelompok tertentu, baik yang dipilih sendiri maupun tidak mempunyai kesamaan dengan anggota lainnya dalam satu kelompok. Antar kelompok itu sendiri mempunyai perbedaan yang merupakan ciri dari masing-masing bentuk

kelompoknya. Membuat prediksi berdasar pada analisis data tingkat sosiologis ternyata sulit bila seseorang berkomunikasi dengan yang lainnya. Data tingkat sosiologis merupakan generalisasi dari tingkah laku yang ditemui pada keanggotaan

Universitas Sumatera Utara

setiap kelompok, yang tidak dapat begitu saja diterapkan pada setiap anggota kelompok.

3. Data tingkat psikologis (psychological-level data) Untuk lebih dapat mengenal perbedaan-perbedaan individu dibutuhkan strategi mengenai data tingkat psikologis. Data tingkat psikologis menuntut adanya saling mengenal antar individu yang terlibat di dalam transaksi komunikasi. Walaupun individu mempunyai sekumpulan data mengenai kebudayaan dan sosiologis seseorang tidak dapat memperkirakan perilaku khusus seseorang yang dihadapinya. Informasi mengenai data tingkat psikologis tidak dapat dipisahkan dari proses keintiman yang terjalin, terkadang seseorang memberikan informasi mengenai dirinya sendiri kepada orang lain, dan mendapatkan informasi balik dari orang lain mengenai dirinya. Memperoleh informasi data tingkat psikologis sangat dibutuhkan untuk mengembangkan komunikasi antar pribadi yang terjalin.

Dapat dibayangkan bila seseorang menggunakan waktunya untuk terlibat dalam komunikasi antar pribadi dengan orang lain dan tetap merasa hanya memiliki data yang sedikit tentang orang tersebut, maka komunikasi yang dilakukannya tidak dapat melibatkan emosi yang mampu mencerminkan kehangatan, keterbukaan, dan dukungan. Di dalam mengembangkan transaksi komunikasi, individu cenderung untuk lebih banyak menggunakan data tingkat psikologis. Dengan kata lain, strategi komunikasi yang dilakukan individu didasarkan pada pengetahuan tentang perbedaan individu-individu yang dihadapi. Setiap individu memiliki karakteristik yang unik dan tidak dapat digeneralisasikan begitu saja. Jadi, di dalam komunikasi antarpribadi yang lebih ditekankan adalah strategi komunikasi yang berdasar pada data tingkat psikologis. Data tingkat kebudayaan dan sosiologis digunakan sebagai pelengkap di

Universitas Sumatera Utara

dalam mengumpulkan data tentang seseorang yang sedang dihadapi. Selain kemampuan menganalisis data tingkat psikologis seseorang, di dalam melakukan transaksi komunikasi antarpribadi, juga dibutuhkan kemampuan- kemampuan khusus.

Bochner dan Kelly mengemukakan lima kemampuan khusus di dalam menjalin komunikasi antarpribadi, yaitu :

1. Empati, atau proses kemampuan menangkap hal-hal yang terdapat di dalam komunikasi dengan orang lain melalui analisis isi pembicaraan, nada suara, ekspresi wajah, sehingga seseorang dapat menangkap pikiran dan perasaan yang sesuai dengan orang yang bersangkutan. 2. Diskripsi, kemampuan untuk membuat pernyataan yang konkrit, spesifik, dan diskriptif. 3. Kemampuan merasakan dan memahami pernyataan yang dibuat dan mempertanggungjawabkannya sehingga tidak hanya menyalahkan orang lain terhadap perasaan yang dialami. 4. Sikap kedekatan, keinginan untuk membicarakan perasaan-perasaan pribadi. 5. Tingkah laku yang fleksibel ketika menghadapi kejadian yang baru dialami.

Burgoon dan Ruffner (1978) dalam Human Communication menjelaskan hambatan komunikasi (communication apprehension) sebagai bentuk reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami seseorang ketika berkomunikasi, baik komunikasi antarpribadi, komunikasi di depan umum, maupun komunikasi massa. Individu yang mengalami hambatan komunikasi (communication apprehension) akan merasa cemas bila berpartisipasi dalam komunikasi bentuk yang lebih luas, tidak sekedar cemas berbicara di muka umum. Individu tidak mampu untuk mengantisipasi

Universitas Sumatera Utara

perasaan

negatifnya,

dan

sedapat

mungkin

berusaha

untuk

menghindari

berkomunikasi. Individu yang mengalami kecemasan dalam berbagai bentuk, termasuk cemas ketika berkomunikasi antarpribadi sebenarnya berada dalam kondisi emosi yang sama sekali tidak menyenangkan (Spielberger, dalam Post dkk.,1978).

Burgoon dan Ruffner (1978) mengemukakan tentang ciri-ciri kecemasan komunikasi antar pribadi, yaitu ;

a. Tidak berminat untuk berprestasi dalam berkomunikasi (unwillingness). Individu tidak berminat berkomunikasi disebabkan adanya rasa cemas, sifat introvert. b. Penghindaran (avoiding). Individu cenderung menghindar terlibat dalam berkomunikasi, dapat disebabkan adanya kecemasan, atau kurang informasi mengenai situasi komunikasi yang akan dihadapi. c. Skill acquisition atau syarat ketrampilan.

(http: library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-lita.pdf)

2.2. Komunikasi Keluarga

Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling awal dikenal dan dekat dengan anak, maka peranannya dalam pendidikan dan proses pembentukan pribadi tampak dominan. Tumbuh dan berkembangnya aspek manusia baik fisik, psikis atau mental, sosial dan spiritual, yang akan menentukan bagi keberhasilan bagi kehidupannya, sangat ditentukan oleh lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang kondusif sangat menentukan optimalisasi perkembangan pribadi, moral, kemampuan bersosialisasi, penyesuaian diri, kecerdasan, kreativitas juga peningkatan

Universitas Sumatera Utara

kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan.

Kelompok pertama yang mengenalkan nilai - nilai kebudayaan kepada anak adalah keluarga dan disinilah terjadi interaksi dan pendisiplinan pertama yang dikenalkan kepadanya dalam kehidupan sosial (Khairuddin, 1997:163). Salah satu fungsi keluarga adalah sebagai lembaga sosialisasi nilai budaya yang berlaku di suatu masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Keesing (1992:23) bahwa keluarga merupakan pusat seluruh kehidupan sosial seorang anak, di situ ia diasuh dibesarkan dan dididik tentang kebudayaannya, hubungan seksual dan reproduksi. Karena itu, kelestarian masyarakat terpusat pada keluarga. Melalui internalisasi inilah anak- anak akan diajarkan oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya aturan- aturan atau norma-norma yang harus mereka patuhi.

Masa perkembangan yang rentan pada anak ialah masa remaja. Masa ini adalah masa yang dimana seorang sedang mengalami saat kritis sebab ia akan menginjak ke masa dewasa. Masa remaja ialah masa peralihan dimana remaja sedang mencari identitasnya. Dalam proses yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya ini remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya. Fungsi keluarga adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa aman maka dalam masa kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi fungsi tersebut. Sebab dalam masa yang kritis seseorang kehilangan pegangan yang memadai dan pedoman hidupnya. Masa kritis diwarnai oleh konflik-konflik internal, pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, cita-cita dan kemauan yang tinggi tetapi sukar ia kerjakan sehingga ia frustasi dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

Komunikasi keluarga semakin lama semakin menjadi barang mahal dan barang langka karena masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial (hanya sebatas permukaan). Misalnya, pemberitahuan agenda kerja ayah hari ini, rapat di kantor, janji bertemu orang, harus presentasi, atau mungkin membicarakan mengenai teman ayah punya pekerjaan baru, tingkat bunga bank, kurs dollar, situasi politik, kerusuhan yang terjadi di luar daerah, dan lain sebagainya. Sementara ibu membicarakan tentang teman kerja di kantor, rencana bisnis ibu, rencana masak memasak, pertemuan arisan, acara televisi baru, atau membicarakan tentang anak teman ibu yang punya masalah. Anakanak, punya dunianya sendiri yang sarat dengan keanekaragaman pengalaman dan cerita-cerita seru yang beredar di kalangan teman-teman mereka. Dalam kepadatan arus informasi yang serba superfisial dan sempitnya waktu bersama, membuat hubungan antara orang tua anak semakin berjarak dan semu. Artinya, hal-hal yang diutarakan dan dikomunikasikan adalah topik umum selayaknya ngobrol dengan orang-orang lainnya. Akibatnya, masing-masing pihak makin sulit mencapai tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama lain. Dalam pola hubungan komunikasi seperti ini, tidak heran jika ada orang tua yang kaget melihat anaknya tiba-tiba menunjukkan sikap aneh, seperti tidak mau makan, sulit tidur (insomnia), murung atau prestasinya meluncur drastis. Orang tua merasa selama ini anaknya seperti tidak ada apa-apa dan biasa saja. Lebih parah lagi, mereka menyalahkan anak, menyalahkan pihak lain, entah pihak sekolah, guru, atau malah saling menyalahkan antara ayah dengan ibu. Seringkali orang tua lupa, bahwa setiap masalah adalah hasil dari sebuah interaksi

Universitas Sumatera Utara

setiap orang yang terlibat di dalamnya. Setiap orang, punya kontribusi dalam mendorong munculnya masalah, termasuk masalah pada anak-anak mereka. ( http://www.e-psikologi.com/anak/100504.htm) Beberapa cara untuk mengatasi masalah komunikasi keluarga ialah: 1. Fokuskan perhatian pada anak 2. Re-statement, mengulangi cerita anak untuk menyamakan pengertian 3. Menggali perasaan dan pendapat anak akan masalah yang sedang dihadapi 4. Bantu anak mendefinisikan perasaan 5. Bertanya 6. Mendorong semangat anak untuk bercerita 7. Mendorong anak mengambil keputusan yang tepat 8. Menunggu redanya emosi anak dan mengajak berpikir positif Tanggapan-tanggapan orang tua akan membuat anak belajar mengenal banyak informasi dan pengetahuan. Proses saling mendengarkan dan didengarkan akan mengasah daya kritis dan kreativitas berpikir anak karena ketika antara anak dengan orang tua terdapat jalur dua arah yang terbuka, maka terbuka pula akses informasi, pengetahuan, perasaan, pemikiran dan pengalaman dari kedua belah pihak. Satu sama lain, saling belajar dan saling memperkaya, saling mengenal dan semakin memahami. Mendengarkan dan didengarkan, adalah kunci hubungan orang tua-anak yang sangat bermanfaat, baik untuk pengembangkan kematangan emosional, kepandaian intelektual, kemampuan membina kehidupan sosial yang baik serta penanaman nilai prinsip moral yang baik pada anak. Dengan mendengar dan didengar, jalur komunikasi dua arah terbuka lebar antara orang tua dengan anak, memungkinkan keduanya saling mengerti dan membuat orang tua dapat memberikan dukungan yang diperlukan oleh anak. Namun sebaliknya, jika kata-kata yang diucapkan anak hanya

Universitas Sumatera Utara

sekedar terdengar di telinga kita, akan hilang begitu saja terbawa angin dan tidak memberikan makna serta kontribusi apapun dalam proses pertumbuhan anak. (http: perempuan.com) Komunikasi yang sehat akan terlaksana dengan sendirinya apabila antara orang tua dan anak ada kedekatan emosi atau kehangatan hubungan. Anak anak dengan sendirinya akan menjadi pribadi yang dengan senang hati bercerita dan menumpahkan perasaan sedih dan bahagia, keberhasilan dan kegagalannya, serta problem yang dihadapi kepada orangtuanya. Anak- anak tidak akan lari ketempattempat komunikasi dan sumber informasi yang salah dan menyesatkan. Untuk mewujudkan komunikasi yang sehat orang tua harus terlebih dulu menjadi "pendengar yang baik" sebelum memberikan tanggapan agar nantinya dapat menjadi "pembicara yang baik". Betapa banyak orang tua yang menuntut anaknya mau menjadi pendengar yang baik tetapi orangtuanya tidak pernah mau bersabar menjadi pendengar yang baik untuk anaknya. Hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam upaya membangun komunikasi yang sehat dengan anak adalah sebuah kesadaran bahwa komunikasi dengan anak tidak baik bila berlangsung secara verbal, kaku dan formalistis. Dunia anak adalah dunia yang berbeda dengan dunia orang dewasa meskipun mereka berada dalam dunia fisih (tempat yang sama). Oleh karena itu orang orang dewasa atau orang tua ketika berkomunikasi dengan anak sebaiknya menggunakan cara-cara yang dapat di pahami oleh dunia anak. Orang tua yang pemurung cenderung akan membentuk anaknya menjadi pemurung. Orang tua yang pemarah akan menghasilkan anak anak yang pemarah. Anak anak yang sehat (akhlaq/jiwanya) dan bahagia hanya lahir orang tua yang sehat dan bahagia. Untuk membina anak anak menjadi pribadi yang sehat, bahagia

Universitas Sumatera Utara

tidak menuntut banyak persyaratan seperti berpendidikan tinggi dan berharta banyak, akan tetapi lebih bertolak pada kepribadian daripada orang tua. Sejarah membuktikan betapa banyak orang yang baik dan hebat berasal dari keluarga yang sederhana. Wajah orang tua yang bercahaya dan dihiasi senyuman ikhlas yang diberikan kepada anak -anaknya setiap akan berangkat sekolah dan setiap akan tidur jauh lebih berharga dibanding timpalan materi yang diberikan kepada mereka. (http://www.biropersonel.metro-polri.net)

Beberapa penyebab masalah komunikasi dalam keluarga yaitu:

1. Kebudayaan bisu dalam keluarga

Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antaranggota keluarga. Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu tersebut justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali batin. Problem tersebut tidak akan bertambah berat jika kebudayaan bisu terjadi diantara orang yang tidak saling mengenal dan dalam situasi yang perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Keluarga yang tanpa dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri. Mereka lebih baik berdiam diri saja.

Kurangnya dialog dalam masa kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orang tua terlalu menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih diabaikan akan menyebabkan anak menjadi terlantar dalam kesendirian

Universitas Sumatera Utara

dan kebisuannya. Ternyata perhatian orang tua dengan memberikan kesenangan materil belum mampu menyentuh kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan kedudukannya dengan benda mahal dan bagus. Menggantikannya berarti

melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda mati dan menciptakan perang dingin dalam keluarga. (http://library.usu.ac.id/modules.php).

2. Hubungan orang tua dan anak yang tidak harmonis Menurut penelitian Henker (1983), segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua dengan anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Jika hubungan dengan orang tuanya dulu memuaskan dan membahagiakan, maka kesan emosi yang positif akan tertanam dalam memorinya. Segala emosi negatif dari masa lalu, terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsi atau pola pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri atau orang lain. 3. Sikap penolakan orang tua Kurangnya perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan perhatian. Anak harus bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan orangtua, namun seringkali orang tua tetap tidak

memberikan respon seperti yang diharapkan. Sikap penolakan yang dialami seorang anak pada masa kecilnya, akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan, rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga. Perasaan itu akan terus terbawa hingga dewasa, sehingga mempengaruhi motivasi dan sikapnya dalam menjalin relasi dengan orang lain. (http://www.e-psikologi.com/keluarga/070602.htm)

Universitas Sumatera Utara

Beberapa hal yang harus diperhatian agar komunikasi di keluarga bisa efektif yaitu: 1. Respek Komunikasi harus diawali dengan saling menghargai. Adanya penghargaan biasanya akan menimbulkan kesan serupa (feedback) dari si penerima pesan. Orang tua akan sukses berkomunikasi dengan anak bila ia melakukannya dengan penuh respek. Bila ini dilakukan maka anak pun akan melakukan hal yang sama ketika berkomunikasi dengan orangtua atau orang di sekitanya. 2. Empati Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri kita pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang lain. Syarat utama dari sikap empati adalah kemampuan untuk mendengar dan mengerti orang lain, sebelum didengar dan dimengerti orang lain. Orang tua yang baik tidak akan menuntut anaknya untuk mengerti keinginannya, tapi ia akan berusaha memahami anak atau pasangannya terlebih dulu. Ia akan membuka dialog dengan mereka, mendengar keluhan dan harapannya. Mendengarkan di sini tidak hanya melibatkan indra saja, tapi melibatkan pula mata hati dan perasaan. Cara seperti ini dapat memunculkan rasa saling percaya dan keterbukaan dalam keluarga.

3. Audibel Audibel berarti "dapat didengarkan" atau bisa dimengerti dengan baik. Sebuah pesan harus dapat disampaikan dengan cara atau sikap yang bisa diterima oleh si penerima pesan. Raut muka yang cerah, bahasa tubuh yang baik, kata-kata yang sopan, atau cara menunjuk, termasuk ke dalam komunikasi yang audibel ini.

Universitas Sumatera Utara

4. Jelas Pesan yang disampaikan harus jelas maknanya dan tidak menimbulkan banyak pemahaman, selain harus terbuka dan transparan. Ketika berkomunikasi dengan anak, orang tua harus berusaha agar pesan yang disampaikan bisa jelas maknanya. Salah satu caranya adalah berbicara sesuai bahasa yang mereka pahami dengan melihat tingkatan usia. 5. Rendah hati Sikap rendah hati mengandung makna saling menghargai, tidak memandang rendah, lemah lembut, sopan, dan penuh pengendalian diri.

(http://www.republika.co.id)

2.3. Teori Kognitivisme Teori ini berasal dari studi psikologi, khususnya psikologi kognitif. Dalam teori ini manusia tidak lagi dipandang sebagai mahluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya sebagaimana anggapan behaviorisme, tatapi ia dianggap sebagai mahluk yang berusaha memahami lingkungannya, mahluk yang selalu berpikir (homo sapiens). Istilah kognitif (Inggris cognitive) berasal dari kata latin cognoscere yang artinya mengetahui (to know) (Bigge, 1982:171). Aspek kognitif ini banyak mempermasalahkan bagaimana orang memperoleh suatu pemahaman akan dirinya serta lingkungannya itu. Dalam hal ini pusat perilaku kesadarannya ia bertindak terhadap lingkungannya itu. Dalam hal ini pusat perilaku kesadarannya adalah ide-ide itu sendiri di dalam otak, yang tampak pada perilaku berpikir. Berpikir dapat melahirkan ide-ide baru, dapat menetapkan suatu pilihan, bahkan dapat membuka masalah-masalah baru yang mengundang berpikir-pikir selanjutnya. Oleh karena itu, berpikir tidak pernah selesai selama hayat dikandung

Universitas Sumatera Utara

badan. Dalam belajar, orang juga menggunakan berpikir, berpikir untuk menggapai sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Jadi, proses belajar dalam kognitivisme ini tidak lagi dipandang sebagai pembentukan perilaku yang diperoleh dari pengulangan hubungan S-R secara kaku, dan adanya penguatan-penguatan, tetapi mencakup fungsi pengalaman perseptual dan prose kognitif yang meliputi ingatan, lupa, pengolahan informasi dan sebagainya. Cognition diartikan sebagai aktifitas mengetahui, memperoleh pengetahuan, mengorganisasikan, dan menggunakannya. Kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang selalu aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses. Sehingga perhatian utama adalah upaya memahami proses individu mencari, menyeleksi, mengorganisasikan, dan menyimpan informasi. Belajar kognitif berlangsung berdasarkan schemata atau struktur mental individu yang

mengorganisasikan hasil pengamatannya. Struktur mental individu tersebut berkembang sesuai dengan tingkatan perkembangan kognitif seseorang. Semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif seseorang, semakin tinggi pula kemampaun dan keterampilan dalam memproses berbagai informasi atau pengetahuan yang diterimanya dari lingkungan Teori ini mengemukakan konsep dimana seorang manusia yang memiliki otak dengan dilengkapi akal pikirannya dapat diberikan kemampuan berpengetahuan dengan pembiasaan menghapal dan mengingat apa yang harus diketahui. Sehingga, keinginan kognitivisme, bahwa manusia harus berpengetahuan, manakala diberikan pengetahuan oleh orang lain dan harus dihapal agar pengetahuan itu bisa dimiliki olehnya. Karena manusia merupakan mahluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya dengan cara berpikir, maka stimulus-stimulus yang datang dari luar diaturnya, diolahnya, kemudian disesuaikan dengan struktur kognitif yang

Universitas Sumatera Utara

dipunyainya sehingga prosesnya menjadi komplek, dan kemudian terjadilah perubahan perilaku. Membaca pun dapat dikategorikan berpikir, demikian tulis Emmett A. Bett (1967). Bahkan Ruth Strang pada tahun yang sama menambahkan lagi tentang membaca sebagai proses berpikir, yaitu dimulai dengan membaca mengenal katakata, menggunakan informasi, dan membaca mengenai paragraf. Tingkatan-tingkatan tersebut pada pelaksanaanya merupakan langkah pergeseran berpikir dari tingkat pemula menuju tingkatan yang lebih tinggi, mulai membaca yang sekedar membunyikan huruf sampai kepada membaca yang bersifat fungsional, yaitu yang dapat memahami arti, bahkan mampu mengembangkan apa yang sedang dibacanya itu. Semuanya itu termasuk ke dalam kategori belajar karena terjadi perubahan perilaku, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan prosesnya disebut proses belajar, proses perubahan perilaku pada seseorang yang terjadi sebagai akibat ia bereaksi terhadap lingkungannya serta sekaligus memikirkan lingkungannya tadi. Inilah pula yang telah diungkapkan oleh Shores (1968), yaitu bahwa ....Reading is still 95 percent of all education, yang berarti bahwa kegiatan membaca masih merupakan hal yang dominan dalam pendidikan, sekaligus dalam belajar. Kognitivisme menempatkan faktor berpikir pada kedudukan yang lebih tinggi dari sekedar pengalaman inderawi. Dalam beberapa hal memang pengalaman inderawi secara langsung tidak mendapat kebenaran (kenyataan, fakta), bahkan fakta yang ada di sekitarnya sering ditafsirkan salah. Orang sering salah menafsirkan alam dengan panca inderanya. Gunung dari jauh tampak berwarna biru, padahal tidaklah demikian apabila didekati itu kesalahan atau keterbatasan indera mata. Daya cium kita juga sering tertipu oleh rangsangan-rangsangan semua yang ditimbulkan oleh

Universitas Sumatera Utara

berbagai jenis makanan, artinya tidak semua makanan yang berbau harum merangsang itu lezat. Itu juga sebabnya belajar melalui pengalaman langsung tidak selalu berhasil dengan baik. Menurut behaviorisme, belajar itu terjadi sebagai akibat lancarnya hubungan S-R yang tampak membiasa dalam proses yang bersifat mekanis otomatis, tanpa menghiraukan fungsi otak, pada kognitivisme justru belajar itu dari otak. Belajar terjadi secara internal di dalam otak manusia, yang meliputi persepsi, motivasi ingatan, lupa dan sebagainya. Oleh karenanya, hasilnya berupa suatu struktur kognitif atas dasar hasil perangkaian pangalaman-pengalaman faktual, bukan pembiasan. Belajar kognitif lebih banyak menekankan adanya pemahaman dalam memecahkan masalah, atau katakanlah berpikir, sedangkan behaviorisme tidak, tetapi titik beratnya pada unsur Trial and error. Coba lagi, gagal lagi, coba lagi gagal lagi, dan seterusnya. Sehingga pada suatu saat si pelaku belajar akan berhasil karena telah memperoleh unsur pengalaman yang sama dengan percobaan-percobaan yang pernah dilakukan sebelumnya. Berbagai teori belajar yang didasarkan atas kognitivisme banyak

dikembangkan orang diantaranya ialah teori perkembangan genetik dari Piaget, teori belajar kognitif dari Bruner, dan teori perkembangan intelektual dari Gagne meskipun sebenarnya masih tergolong ke dalam aliran behaviorisme, lengkapnya behaviorisme eklektik (behavioristic electic psychology). Teori-teori tersebut mempunyai

pandangan yang berbeda satu sama lain meskipun masih dalam kategori kognitif, atau campuran kognitif-behaviorisme. Piaget beranggapan bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, atau proses yang didasarkan atas mekanisme biologis, yaitu perkembangan dalam sistem saraf. Makin bertambah usia seseorang makin bertambah komplek

Universitas Sumatera Utara

susunan selnya, dan dengan demikian makin meningkat pula kemampuannya (Traves, 1976). Menurutnya, istilah genetic sama dengan developmental, sedangkan epistemologi berarti teori untuk memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi genetika (genetic epistemology), sebagaimana nama teorinya,

merupakan suatu studi tentang tahap-tahap perkembangan anak dalam kaitannya dengan pemerolehan pengetahuan (Bigge, 1982:18). Perkembangan mental katanya terdiri dari perangkaian tiga tahap atau masa yaitu tahap sensorimotorik, simbolik atau praoperasional konkret dan operasional konkret. Setiap langkah mengembangkan tahap-tahap terdahulu, membangun kembali pengetahuan dengan tingkat yang baru sampai dapat melampaui tahap-tahap sebelumnya. Sesuai dengan anggapannya, belajar dalam hal ini merupakan proses yang mengikuti aturan-aturan dan pola tertentu, sejalan dengan perkembangan usia. Dimulai dengan pola belajar dengan tingkatan yang paling sederhana, terus meningkat kepada pola-pola belajar yang semakin mengompleks. Dari belajar sekedar mengenal benda-benda yang ada di sekitarnya secara sederhana, sampai kepada belajar berpikir untuk memecahkan masalah tentang benda-benda tadi. Pekembangan dalam belajar harus dimulai dengan yang mudah-mudah, tidak bisa melompat, dan harus berurutan sejalan dengan tingkatan-tingkatan. Sebelum masuk SLTP disyaratkan melalui SD terlebih dahulu. Begitu pula, agar bisa mengikuti pelajaran di Perguruan Tinggi, seseorang harus sudah lulus SLTA dahulu. Hal ini demikian sebab tingkatan-tingkatan pelajaran yang dirancangnya semakin menyulit pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi. Berbeda dengan teori perkembangan genetik dari Piaget teori belajar kognitif dari Jerome S. Brunner yang lahir di New York AS 1915 menyatakan belajar kognitif merupakan suatu proses yang sejalan dengan perkembangan tiga tahap, yang meliputi

Universitas Sumatera Utara

enactif, iconic, dan simbolic. Tahap enactif menunjukan seorang anak secara aktif melakukan kegiatan dalam usahanya memahami lingkungannya. Perhatian anak tampak tunggal atau satu hal saja, misalnya anak asyik bermain simpul-simpul visual, namun belum mampu menerangkan konsepnya. Sedangkan yang terakhir, simbolik, menunjukan seorang anak mulai menggunakan simbol-simbol yang lebih banyak dari pada kedua tahap sebelumnya. Pada tahap ini seorang telah mempunyai daya imajinasi yang tinggi, mampu menangkap simbol-simbol abstrak, dan belajarnya pun sudah menggunakan konsep-konsep yang abstrak untuk kemudian menyusunnya menjadi prinsip yang mantap. Belajar seseorang dimulai dengan mengenal konsep-konsep yang lebih rumit. Sebelum seorang anak belajar memecahkan masalah sebagai kegiatan belajar yang lebih sulit, dia perlu mengetahui konsep-konsep dan prinsip-prinsip lebih dahulu karena pengetahuan akan konsep dan prinsip mendasari belajar memecahkan masalah. Selanjutnya Brunner mengatakan bahwa kematangan intelektual seseorang dicirikan dengan mulai meningkatnya ketidakbergantungan orang tersebut terhadap stimulus yang ada serta pertumbuhan tersebut bergantung pada kemampuan internal orang yang bersangkutan dalam menyimpan dan memproses informasi yang datang dari luar. Tampaknya orang dewasa lebih mampu bermandiri daripada anak-anak sebab kemampuan intelektualnya sudah matang. Bagi Brunner, pertumbuhan intelektual bukan merupakan penambahan setahap demi setahap, juga bukan merupakan hasil antara hubungan stimulus respons, atau karena memang sudah mencapai tahap siap. Ia bisa tumbuh dengan cepat, kemudian berhenti atau mengaso. Dengan kata lain, pertumbuhan itu bisa cepat, bisa lambat, bergantung pada pengaruh-pengaruh lain yang menyertainya. Dalam konteks ini terdapat perbedaan yang tajam dengan teori Piaget tentang perkembangan mental

Universitas Sumatera Utara

secara genetik. Kalau Piaget mengatakan bahwa perkembangan kognitif seorang anak berpengaruh terhadap perkembangan bahasanya, menurut Brunner justru sebaliknya, yakni perkembangan bahasa si anak berpengaruh terhadap perkembangan kognitifnya (Hilgard dan Bower, 1981, yang dikutip oleh Soekamto, 1986). Semakin tinggi kemampuan inteletual seseorang, semakin mampu orang tersebut menangkap simbol-simbol abstrak melalui bahasa, atau semakin mampu dia berbahasa secara simbolik. Namun, semakin tinggi kemampuan berbahasa seseorang semakin tinggi pula kemampuan kognitifnya. Sulit untuk menentukan mana yang benar, konsep Brunner atau Piaget, Yang penting justru konsep-konsep tersebut hendaknya dimanfaatkan untuk membantu memahami kondisi anak. Kalau kita mengetahui kemampuan berbahasa dapat meningkatkan perkembangan intelektual, maka melalui penggunaan bahasa yang baik dan benar dengan prinsip-prinsip penerapan berbahasa tingkat tinggi, anak diharapkan dapat meningkatkan wawasan sasaran mengenai lingkungannya. Teori berikutnya tentang belajar ialah teori perkembangan ketrampilan dari Gagne. Ia menyebutkan adanya tahap-tahap perkembangan intelektual seseorang dalam kaitannya dengan belajar. Tahap-tahap tersebut bersusun secara hierarkis,mulai dengan tahap yang mudah atau sederhana sampai kepada tahap yang sulit, dari tahap belajar signal sampai kepada tahap belajar memecahkan masalah. Konsep belajar hierarkis ini sebenarnya secara tidak langsung merupakan reduksi dari hubungan mekanismeS-R atau proses pembiasan seperti yang sudah dibicarakan di bagian yang lalu. Sedangkan tahapan-tahapan tersebut adalah (bigge, 1982) sebagai berikut: 1. Belajar signal-signal learning)-belajar melalui tanda-tanda 2. Belajar stimulus-respon (stimulus-respon learning). 3. Belajar Perangkaian (chaining)

Universitas Sumatera Utara

4. Belajar asosiasi verbal (verbal association) 5. Belajar diskriminasi (discrimination learning) 6. Belajar konsep (concept learning) 7. Belajar keteraturan konsep (rule learning) 8. Belajar pemecahan masalah (problem learning) Tahap belajar signal (tahap satu) mendasari belajar selanjutnya (tahap dua). Demikian seterusnya sehingga tahap belajar pemecahan masalah (tahap delapan) hanya bisa dilalui setelah tahap-tahap sebelumnya (tahap satu sampai tahap tujuh) dikuasai. Orang tidak bisa belajar dari tahap yang lebih sulit, tetapi harus memulainya dari tahapan yang lebih mudah. Teori kognitivisme digunakan untuk membantu memperlancar para praktisi komunikasi di lapangan seperti guru, instruktur, penyuluh lapangan, dan para komunikator lainnya bisa kita kelompokan sebagai berikut: a. faktor berpikir mempunyai kedudukan yang penting dalam diri setiap orang, dan belajar menurut teori ini merupakan proses berpikir, sedangkan berpikir menggunakan logika. Untuk itu, di dalam praktek di lapangan, seorang komunikator perlu menggunakan suatu pola dan logika tertentu dalam menyampaikan informasinya agar setiap materi atau informasi yang dibicarakanya bisa diterima oleh sasaran dengan berpikirnya. b. Karena belajar pada prinsipnya adalah proses menggunakan logika atau berfikir, sedangkan perfikir itu sendiri merupakan upaya mental dalam memahami sesuatu yang bermakna, maka belajar memahami lebih baik atau lebih berhasil dari pada belajar hafalan. Belajar bisa bermakna apabila ada kesinambungan konsep dengan pola pemahaman informasi sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara

c. Perkembangan

genetika

seseorang

sejalan

dengan

perkembangan

intelektualnya, makin tambah usia seseorang, makin meningkat pula kemampuan ntelektualnya. (http://ipotes.wordpress.com/2008/05/11/teori-kognitif)

2.4. Teori Disonansi Kognitif Teori ini dikembangkan oleh Leon Festiner tahun 1957. Teori ini menyatakan bahwa manusia selalu logis dan termotivasi untuk menjaga konsistensi kognitif itu ternyata harus berhadapan dengan kenyataan bahwa perilaku manusia seringkali irasional. Motif yang terlalu kuat untuk mempertahankan konsistensi kognitif dapat menimbulkan yang irasional bahkan menyimpang. Rumusan teori disonansi kognitif lebih terpusat pada apa yang akan terjadi bila ketidaksesuaian diantara sikap atau antara sikap dan kenyataan. Festinger mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan unsur kognitif adalah setiap pengetahuan, opini, atau apa yang dipercayai orang mengenai diri sendiri atau mengenai perilakunya. Kita mempunyai banyak kognisi mengenai diri kita sendiri dan lingkungan di sekitar kita. Unsur kognitif atau kognisi-kognisi ini umumnya dapat hadir secara damai (konsisten) tapi kadang-kadang terjadi konflik diantara mereka (inkonsistensi). Sewaktu terjadi konflik diantara kognisi-kognisi terjadilah disonansi. Inti dari teori disonansi kognitif ini sebenarnya sederhana yaitu antara elemenelemen kognitif mungkin terjadi hubungan-hubungan yang tidak pas (nontiffing relations) yang menimbulkan disonansi (kejanggalan) kognitif, disonansi

menimbulkan desakan untuk mengurangi disonansi tersebut dan menghindari peningkatannya, hasil dari desakan tersebut terwujud dalam perubahan-perubahan

Universitas Sumatera Utara

pada kognisi, perubahan tingkah laku dan menghadapkan diri pada beberapa informasi dan pendapat-pendapat baru yang sudah diseleksi terlebih dahulu. Walaupun demikian dari teori ini sangat jauh dari sederhana sebagaimana akan kita lihat berikut ini. Pada kenyataanya disonansi kognitif selalu terjadi dalam kaitan elemen-elemen kognitif yang saling berhubungan. Elemen kognisi adalah hal-hal yang diketahui seseorang tentang dirinya sendiri, tingkah lakunya dan lingkungannya. Istilah kognisi sendiri digunakan untuk menunjuk kepada setiap pengetahuan, pendapat, keyakinan atau perasaan sesorang tentang dirinya sendiri atau lingkungannya. Faktor yang paling menentukan elemenelemen kognitif adalah kenyataan (realitas). Sedangkan elemen kognitif sendiri berhubungan dengan hal-hal yang nyata ada dilingkungan dan hal - hal yang terdapat dalam dunia kejiwaan seseorang.

Hubungan dibedakan menjadi tiga jenis yaitu tidak relevan, disonan dan konsonan. Hubungan yang tidak relevan misalnya : orang tahu bahwa setiap musim hujan Jakarta kebanjiran dan ia pun tahu bahwa di Indocina tentara Vietnam masuk ke wilayah Kamboja. Kedua pengatahuan tersebut tidak saling berkaitan dan saling mempengaruhi karenanya disebut tidak relevan. Hubungan dua elemen kognitif yang salaing berkaitan dan saling mempengaruhi disebut hubungan yang relevan. Ada dua hubungan yang relevan yaitu : hubungan yang disonan dan hubungan yang konsonan.

Disonansi didefinisikan bahwa dua elemen dikatakan ada dalam hubungan yang disonan jika (dengan hanya memperhatikan dua elemen itu saja) terjadi penyangkalan dari satu elemen yang diikuti oleh atau mengikuti suatu elemen yang lain. Contoh jika seseorang berdiri di hujan seharusnya dia kebasahan. Tetapi kalau

Universitas Sumatera Utara

orang yang berdiri di hujan (satu elemen) tidak basah (pengangkatan elemen ke dua) maka terjadilah hubungan disonan.

Disonansi kognitif sendiri mempunyai arti keadaan psikologis yang tidak meyenangkan yang timbul ketika dalam diri manusia terjadi konflik antara dua kognisi (Berhm & Kassin, 1990). Kognisi-kognisi ini meliputi segala sesuatu yang diketahui mengenai kepercayaan, sikap dan perilaku kita. Disonansi kognitif hanya dapat terjadi pada unsur-unsur kognitif yang relevan atau yang ada hubungannya satu sama lain (Festinger, 1957, Shaw & Constanzo, 1982).

Dua unsur kognitif yang relevan tapi tidak konsisten satu sama lain akan menimbulkan disonansi kognitif, sedangkan dua unsur kognitif yang tidak konsisten tapi relevan tidak menimbulkan disonansi. Misalnya seorang pejalan kaki yang merasa kehausan meminum segelas es yang dijual di pinggir jalan dapat berbahaya bagi kesehatan. Haus dan minum merupakan unsur-unsur kognitif yang relevan, karena itu terjadi disonansi kognitif antara haus yang harus dipuaskan oleh minum dan pengetahuan bahwa jajan es yang diminum sangat mungkin tidak bersih dari kuman penyakit. Pada sisi lain, kalau orang yang kehausan itu minum es yang dibeli dipinggir jalan dan kemudian ia melihat air yang digunakan petani untuk mengairi sawah sangat kotor maka tidak terjadi disonansi kognitif dikarenakan minum es dan air yang kotor di sawah merupakan dua unsur yang tidak relevan dalam konteks ini.

Telah dikemukakan bahwa teori disonansi kognitif lebih memusatkan perhatiannya pada keadaan disonansi atau ketidaksesuaian yang terjadi diantara unsur-unsur kognitif yang relevan. Dalam hal ini terdapat empat macam kasus

Universitas Sumatera Utara

disonansi yang bersumber dari penyebab utama terjadinya konsistensi termaksud (Mann, 1969) yaitu:

a. Inkonsistensi logis

Melihat kemajuan tekonologi komputer saat ini saya percaya akhirnya orang akan dapat menanamkan microchip pada kortek otak manusia untuk difungsikan sebagai unit sentral pemrosesan data vs- Saya kira otak manusia terlalu sempurna untuk digantikan oleh apapun.

b. Norma dan tata budaya

Saya sadari bahwa memakai barang kepunyaan orang lain tanpa izin adalah salah vs- Kemarin saya memakai pensil teman saya tanpa sepengetahuanya.

c. Pendapat yang inkonsisten dengan perbuatan

Togel seharusnya dilarang diadakan karena merupakan perjudian dan lebih banyak merugikan daripada manfaatnya vs- Kadang-kadang saya membeli togel siapa tahu nasib saya sedang baik dan saya mendapat hadiah.

d. Pengalaman masa lalu

Sejak dulu saya tahu bahwa mesin sepeda merek Honda adalah yang terbaik vs- Sepeda montor merek Honda yang baru saya beli sekarang sering rewel dan mogok.

Universitas Sumatera Utara

Konotasi adalah terjadi hubungan yang relevan antara dua elemen dan hubungan itu tidak disonan. Jadi, jika satu elemen kognisi diikuti oleh elemen yang lain. Misalnya : orang berdiri di hujan (elemen pertama) dan basah (elemen kedua). Tetapi adanya penyangkalan elemen tidak selalu jelas. Dalam keadaan ini maka antara konsonan dan disonan juga tidak dapat dibedakan dengan tajam. Faktor-faktor motivasi dan keinginan juga berpengaruh di sini, sehingga menambah rumitnya persoalan. Misalnya seorang berjudi terus menerus walaupun ia terus kalah melawan penjudi-penjundi profesional. Perbuatan orang itu berjudi terus disonan dengan pengetahuannya tentang lawannya yang profesional. Tetapi kalau ia memang ingin berjudi sampai habis seluruh uangnya, maka buat orang itu hubungan antara elemenelemen tersebut di atas adalah konsonan.

2.4.1. Ukuran Disonansi

Hubungan disonan tidak semua sama kadarnya. Karena itu Festinger mengemukakan perlu diketahuinya faktor-faktor yang menentukan kadar disonansi itu. Faktor yang pertama adalah tingkat kepentingan elemen-elemen yang saling berhubungan bagi orang yang bersangkutan. Jika kedua elemen itu kurang penting artinya bagi orang yang bersangkutan, maka tidak banyak disonansi yang akan timbul. Sebaliknya jika kedua elemen itu sangat penting artinya bagi orang yang bersangkutan, maka disonansi juga akan tinggi. Tetapi dalam kenyataanya tidak pernah ada hanya melibatkan dua elemen. Masing-masing elemen dari yang dua itu dihubungkan juga dengan elemen-elemen lain yang relevan. Sebagian hubunganhubungan yang lain ini konsonan, sedangkan sebagian lainnya disonan.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Festinger (dalam Shaw & Constanzo, 1982), hampir-hampir tidak pernah terjadi tidak ada dissonan sama sekali dalam hubungan hubungan yang terjadi antar sekelompok elemen. Karena itu kadar disonan dalam hubungan 2 elemen, dipengaruhi juga oleh jumlah disonansi yang ditimbulkan oleh keseluruhan hubungan kedua elemen itu dengan elemen-elemen lain yang relevan. Namun Festinger sendiri tidak menujukkan bagaimana caranya untuk menetapkan kadar kepentingan dan relevansi di atas.

Tingkatan disonansi yang maksimum adalah sama dengan jumlah daya tolak dari elemen yang paling lemah. Jika disonansi maksimum tercapai, maka elemen yang paling lemah akan berubah dan disonansi akan berkurang. Tentu saja ada kemungkinan bahwa perubahan elemen yang lemah itu akan menambah disonansi pada hubungan-hubungan yang lain dalam kumpulan elemen-elemen kognitif yang bersangkutan. Dalam hal ini maka perubahan pada elemen yang lemah tersebut tidak jadi terlaksana. Festinger (dalam Shaw & Constanzo, 1982) mengemukakan hipotesis dasar dalam teori ini yaitu Adanya disonansi, yang menimbulkan ketidakenakan psikologis akan memotivasi seseorang untuk mencoba mengurangi disonansi tersebut dan mencapai konsonansi. Kekuatan tekanan untuk mengurangi disonansi itu merupakan fungsi besarnya disonansi dirasakan.

Disonansi kognitif akan menimbulkan ketidakenakan dan ketegangan psikologis, oleh karena itu selalu akan ada usaha dalam diri manusia untuk mengurangi atau menghilangkannya. Semakin penting unsur kognitif yang terlibat dalam disonansi bagi seseorang semakin besar pula disonansi yang terjadi. Disonansi dan konsonansi dapat melibatkan banyak unsur kognitif sekaligus. Jadi besarnya

Universitas Sumatera Utara

disonansi tergantung pula pada penting dan relevansi unsur-unsur yang disonan dan yang konsonan. Secara formal, besarnya disonansi dapat disimbolkan sebagai berikut:

besarnya disonansi sehubungan dengan unsur kognitif k pentingnya unsur disonan d pentingnya unsur konsonan c banyaknya unsur kognitif yang disonan dengan unsur k banyaknya unsur kognitif yang konsonan dengan unsur k

Usaha untuk mengurangi disonansi ini biasanya berupa pengubahan salah satu atau kedua unsur kognitif yang terlibat atau berupa penambahan unsur kognitif ke tiga sedemikian rupa sehingga konsonansi tercapai kembali.

2.4.2. Konsekuensi-konsekuensi Disonansi

1. Pengurangan disonansi melalui 3 kemungkinan : a. Mengubah elemen tingkah laku. Misalnya : seseorang gadis membeli baju baru yang mahal ketika baju ini dipakainya ke sekolah, seorang temannya mengatakan baju itu norak (kampungan). Untuk

menghilangkan disonansi, gadis itu bisa menjual lagi baju tersebut atau menghadiahkan kepada orang lain (mengubah elemen tingkah laku). b. Mengubah elemen kognitif lingkungan : misalnya, gadis itu meyakinkan temannya bahwa baju tersebut tidak norak dan justru sedang jadi mode yang top masa kini.

c. Menambah elemen kognitif baru : misalnya, mencari pendapat teman lain yang mendukung pendapat bahwa baju tersebut bagus dan tidak norak.

Universitas Sumatera Utara

Namun teori ini tidak memberikan cara untuk memperkirakan kemungkinan mana yang akan ditempuh untuk mengurangi disonansi dalam keadaan tertentu.

2.

Penghindaran disonansi.

Adanya disonansi selalu menimbulkan dorongan untuk menghindari disonansi tersebut. Dalam hubungan ini caranya adalah dengan menambah informasi baru yang diharapkan dapat menambah dukungan terhadap pendapat orang yang bersangkutan atau menambah perbendaharaan elemen kognitif dalam diri orang yang bersangkutan. Penambahan elemen baru ini harus sangat efektif, yaitu hanya mencarinya pada orang-orang yang diperkirakan dapat memberi dukungan dan menghindari orang-orang yang pandangannya berbeda. Demikianlah caranya disonansi dihindarkan.

2.4.3.Dampak Teori Disonansi

Teori Festinger (dalam Shaw & Constanzo, 1982) ini mempunyai pengaruh terhadap berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari. Dampak tersebut antara lain terlihat dalam:

1. Pembuatan keputusan. Keputusan dibuat berdasarkan situasi konflik. Alternatif-alternatif dalam situasi konflik itu bisa positif semua, bisa negatif semua bisa sama-sama mempunyai unsur positif dan negatif. Dalam ketiga situasi tersebut, keputusan apapun yang akan dibuat akan menimbulkan disonansi yaitu terjadi gangguan terhadap hubungan dengan elemen (alternatif) yang tidak terpilih. Kadar disonansi setelah pembuatan

Universitas Sumatera Utara

suatu keputusan tergantung pada pentingnya keputusan itu dan kemenarikan alternatif yang tidak terpilih. Dalam pengambilan keputusan disonansi diprediksi akan muncul karena alternatif pilihan yang ditolak berisi fitur fitur yang akan mengakibatkan ia diterima dan alternatif pilihan yang dipilih berisi fitur fitur yang akan mengakibatkan ia

ditolak. Semakin sulit sebuah keputusan dibuat, maka semakin besar disonansi pasca keputusan atau setelah keputusan diambil. Mengenai suatu keputusan biasanya terjadi hal-hal sebagai berikut : a. Akan terjadi peningkatan pencarian informasi-informasi baru yang menghasilkan elemen kognitif yang mendukung (konsonan) dengan keputusan yang telah dibuat. b. Menimbulkan kepercayaan yang makin mantap tentang keputusan yang sudah dibuat atau timbul pandangan yang makin tegas membedakan kemenarikan alternatif yang telah diputuskan dari pada alternatif-alternatif lainnya. Atau juga bisa dua kemungkinan itu terjadi bersama-sama. c. Makin sukar untuk mengubah arah keputusan yang sudah dibuat terutama pada keputusan-keputusan yang sudah mengurangi banyak disonansi. 2. Paksaan untuk mengalah : dalam situasi-situasi publik (ditengah-tengah orang banyak), seseorang dapat dipaksakan untuk melakukan sesuatu (dengan ancaman hukuman ataupun menjanjikan hadiah). Kalau perbuatan itu tidak sesuai dengan yang dikehendakinya sendiri (sebagai pribadi), maka timbul disonansi. Kadar disonansi itu tergantung pada penting atau tidaknya pendapat pribadi tersebut dan besarnya ancaman hukuman atau

Universitas Sumatera Utara

ganjaran yang akan diterima,tetapi kadang hanya akibat tekanan kelompok untuk menyesuaikan terhadap norma yang tidak terlalu disetujuinya. 3. Ekspose pada informasi-informasi. Disonansi akan mendorong pencarian informasi baru. Kalau disonansi hanya sedikit, atau tidak ada sama sekali, maka usaha untuk mencari informasi baru juga tidak ada. Kalau kadar disonansi pada taraf menengah (tidak rendah dan tidak tinggi), maka usaha pencarian informasi baru akan mencapai taraf maksimal. Dalam hal ini orang yang bersangkutan dihadapkan (eskpose) pada sejumlah besar informasi-informasi baru. Tetapi kalau kadar disonansi maskimal, justru usaha untuk mencari informasi baru akan sangat berkurang, karena pada tahap ini akan terjadi perubahan elemen kognitif. Individu akan menolak informasi yang mengakibatkan disonansi. Sejumlah peneliti berpendapat bahwa banyak orang secara khusus akan memperhatikan bagian bagian sebuah pesan yang tidak bertentangan dengan sikap, kepercayaan atau prilaku yang dianutnya, dan tidak memperhatikan bagian bagian pesan yang sangat bertentangan dengan posisinya dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Orang akan memperhatikan hal hal yang tidak mendukung posisi mereka apabila mereka yakin bahwa hal hal itu akan mudah disangkal, tetapi mereka akan menolak informasi yang mendukung posisi mereka bila informasi itu lemah. Hanya ada sedikit bukti untuk mendukung hipotesis bawa seseorang akan menolak seluruh pesan yang bertentangan dengan keyakinan atau sikap mereka. Artinya orang lebih cenderung untuk

Universitas Sumatera Utara

memperhatikan pesan yang bertentangan dengan keyakinan, prilaku atau pilihan yang tidak terlalu kuat agar dapat menyangkalnya. 4. Dukungan sosial. Jika seseorang (misal A) tahu bahwa pendapatnya berbeda dari orang-orang lain, maka timbullah apa yang disebut kekurangan dukungan sosial (lack social support). Kekurangan dukungan sosial ini akan menimbulkan disonansi kognitif pada A yang kadarnya ditetapkan sebagai berikut : Ada tidaknya obyek (elemen kognitif non sosial) yang menjadi sasaran pendapat orang lain itu, di sekitar A. Banyaknya orang yang dikenal A yang berpendapat sama dengan A. Pentingnya elemen yang bersangkutan bagi A Relevansi orang lain tersebut bagi A Menarik tidaknya orang yang tidak setuju tersebut bagi A. Tingkat perbedaan pendapat.

Menurut Secord & Backman (1964) mengemukakan implikasi teori disonansi kognitif Festinger dalam kaitannya dengan prediksi perubahan sikap. Implikasi termaksud dilukiskan antara lain dalam suatu studi yang dilakukan guna pengujian hipotesa yang bersumber dari teori Festinger itu sendiri. Hipotesa itu adalah : 1. Apabila individu terdorong untuk mengatakan atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sikapnya maka cenderung untuk mengubah sikapnya sehinga terjadi terjadi konsonansi diantara unsur-unsur kognitif ucapan atau perbuatan

Universitas Sumatera Utara

2. Semakin kuat tekanan yang mendorong seseorang untuk berbuat berlawanan dengan sikapnya (yaitu diluar batas yang diperlukan sekedar untuk mendorong perbuatan itu) maka semakin sedikitlah perubahan sikap yang terjadi. (http://elhuda.blogspot.com/20060501archive.html)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai