Anda di halaman 1dari 8

FILSAFAT ISLAM: SEJARAH KEMUNCULAN Oleh: Yunizar Ramadhani A.

Pendahuluan: Definisi Filsafat Islam Salah satu bagian penting dalam peradaban Islam bidang keilmuan yang nampaknya m encapai kemajuannya di zaman dahulu dan semoga akan berlanjut di masa-masa menda tang adalah Filsafat Islam. Tradisi dan metode berfikir yang diilhami dan diruju k dari karya peradaban Yunani ini tadinya bersifat bebas dari unsur-unsur magis dan spiritual karena memang unsur-unsur itulah yang ditolak Filsafat dapat disin gkronkan dengan agama di tangan para pemikir Islam. Ada berbagai macam istilah yang digunakan untuk merepresentasikan tradisi berfik ir filosofis dalam Islam. Telah diketahui bahwa istilah Filsafat (Inggris: Philo sophy) berasal dari kata bahasa Yunani philos (cinta) dan sophos (kebijaksanaan). Me lalui gerakan penerjemahan buku-buku Filsafat Yunani pada abad ke-2 hingga ke-4 H (8 10 M), istilah tersebut masuk ke dalam bahasa Arab sehingga muncullah istil ah falsafah. Namun ada pula istilah lain yang disematkan pada tradisi ini dengan berdasarkan pada al-Qur`an dan Hadits oleh para otoritas muslim, yakni hikmah. Han ya saja istilah terakhir ini menimbulkan debat klaim yang besar antara kaum sufi , ahli (mutakallimun) dengan para filosof. Ibnu Arabi dalam Fushush al-Hikam-nya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah kebijaksanaan yang terpapar melalui setiap manifestasi logos sebagai hikmah. Sedangkan ahli Kalam seperti F akr al-Din al-Razi menyatakan bahwa kalam-lah yang dimaksud hikmah. Namun Ibnu K haldun menegaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah konsep-konsep kalam mutakhir (al-kalam al-muta`akhkhirin) dalam teori-teori kalam Mutazilah, Asyariyah, dan M aturidiyah. Bagaimana dengan para filosof Islam? Para filosof Islam menyatakan bahwa falsafah diidentifikasikan dengan terma hikma h dalam al-Qur`an, sehingga di sini telah kelihatan corak tradisi filsafat dalam Islam yang lebih bersifat ilahiyah. Filosof Islam awal, Abu Yaqub al-Kindi, menul is definisi falsafah atau hikmah dalam Fi al-Falsafah al-`Ula bahwa: filsafat ada lah pengetahuan tentang realitas hal-hal yang mungkin bagi manusia, karena tujua n puncak filosof dalam pengetahuan teoritis adalah untuk memperoleh kebenaran, d an dalam pengetahuan praktis untuk berperilaku sesuai kebenaran. Al-Farabi membe narkan definisi ini, hanya saja ia membedakan antara filsafat yang didasarkan pa da kepastian dan keyakinan (al-yaqiniyyah), yakni yang didasarkan pada metode de monstrasi (burhani), dengan filsafat yang didasarkan opini atau dugaan (al-mazhn unah), yaitu didasarkan pada dialektika, kemudian menambahkan bahwa filsafat ada lah induk segala ilmu dan mengkaji segala yang ada. Ibnu sina juga menandaskan hal yang sama, dimana dalam Uyun al-Hikmah ia menyatakan bahwa hikmah adalah usah a untuk menyampaikan kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi (tashawwur) atas segala hal dan pembenaran (tashdiq) realitas-realitas teoretis dan praktik sesua i ukuran kemampuan manusia. Dari ketiga filosof tersebut dapat disimpulkan bahw a Filsafat Islam merupakan upaya untuk mencapai kebenaran yang meyakinkan tentan g segala hal dengan jalan rasiosinasi dan eksperimen-eksperiman argumentatif dem i mencapai kesempurnaan dalam pengetahuan dan pengamalan pengetahuan itu. Akan t etapi, di akhir hayatnya Ibnu Sina menambahkan bahwa Filsafat Islam tidak hanya berbentuk rasiosinasi, namun juga mencakup pengetahuan isyraqiyah sebagaimana da lam pemikiran Syuhrawardi. Melalui Hikmah al-Isyraq Syuhrawardi maka kita akan menemukan corak baru dalam F ilsafat Islam. Jika orientasi pemikiran filosof pada masa awal disebut Filsafat Peripatetik (al-falsafah al-masya`iyah) yang polanya merujuk pada rasio Aristote lian, maka filsafat iluminatif (al-falsafah al-isyraqiyah) Syuhrawardi melampaui nya dengan melibatkan intuisi sebagai konstruksi filsafat. Di sini peran pengala man kontemplatif menempati posisi yang lebih unggul atas rasio Aristotelian seba gaimana ditampakkan oleh filsafat peripatetik, sehingga filsafat Syuhrawardi ter kadang dianggap cenderung anti-aristotelian. Hikmah lebih disebut Syuhrawardi d engan istilah al-hikmah al-ilahiyah (kebijaksanaan ilahi atau Teosofi), yang ber arti realisasi kebijaksanaan dalam sosok utuh manusia, tidak hanya secara mental dan diidentifikasikan dengan proses pelepasan diri dari tubuh dan pendakian ke dunia cahaya. Mencoba mendamaikan kedua epistemologi filsafat yang berbeda antara madzhab peri

patetik dengan iluminatif, Mulla Shadra mendefinisikan hikmah lebih jauh lagi. I a menggambarkan hikmah sebagai upaya pencarian kebenaran dengan peran rasio dan intuitif sekaligus. Mulla Shadra setuju dengan pendapat filosof-filosof peripate tik terdahulu tentang definisi filsafat yang bertujuan membuat manusia menjadi se buah dunia yang intelijibel yang menceritakan dunia intelijibel yang objektif, se bagaimana disampaikannya dalam al-Syawahid al-Rububiyah, namun ia juga menambahk an bahwa hikmah juga menginginkan keterceraian dari nafsu dan kesucian jiwa dari cemaran-cemaran materiilnya. Definisi pertama yang dilontarkan Mulla Shadra sa ngat terkesan rasiosinatif, sedangkan tambahannya mengesankan unsur iluminatif y ang sangat kental. Corak filsafat Mulla Shadra dan kebanyakan diikuti oleh para filosof Islam-Iran ini dikenal dengan Filsafat Wujud (al-falsafah al-wujudiyah). Melihat pergeseran definisi hikmah atau falsafah, sebagaimana dipaparkan di atas , saja sudah memperlihatkan pesona dan kekayaan Filsafat Islam. Keluasan dan kea gungan bahasannya tentu tidak mungkin terwujud tanpa sejarah, sehingga menarik k iranya untuk menelisik sejarah kemunculan Filsafat Islam yang akan penulis papar kan di bawah ini. B. Sejarah Kemunculan Filsafat Islam Kemunculan Filsafat Islam tidak dapat dilepaskan dari upaya-upaya ekspansi wilay ah kekuasaan Islam yang dimulai secara sistematis sejak masa pemerintahan Umar ib n Khaththab. Saat itu kekuasaan Islam sudah menjamah daerah-daerah di luar jazir ah Arabia, seperti Suriah, Mesir, Irak, dan Iran. Upaya tersebut dilanjutkan ol eh para Khalifah dan raja-raja Islam hingga masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah y ang berhasil membangun suatu pemerintahan besar beribukota Baghdad yang diakui d an disegani dunia, dimana kekuatannya telah meruntuhkan Bizantium secara total d an menaklukan Raqqah (kota di tepi sungai Efrat) sampai ke Hiraqlah dan Thuwanah . Keberhasilan pemerintahan Islam tersebut tak ayal membangun masyarakat Arab-Is lam dari kehidupan yang nomaden dan primitif kepada kehidupan kosmopolitan. Suasana sosial semacam ini tentu saja mendorong kepada asimilasi budaya antara b angsa Arab-Islam dengan masyarakat daerah-daerah taklukan yang tentu saja telah memiliki peradaban yang lebih maju dibandingkan dengan bangsa Arab. Bangsa yang budayanya terbilang tidak kaya ini lantas mengagumi karya-karya peradaban-perada ban asing tersebut, sehingga kemudian mereka serap, pelajari, dan adopsi dengan berbagai modifikasi. Hanya beberapa waktu saja mereka telah memiliki berbagai ke kayaan budaya hasil asimilasi dengan budaya Indo-Persia, Suriah, Aramaik, Persia , India, dan yang terpenting adalah Yunani. mereka pun menyerap ilmu dan budaya di berbagai bidang, mulai dari ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, seni, arsite ktur, astromonomi, kedokteran, matematika, hingga filsafat. Inilah saat yang ser ing disebut-sebut dengan kebangkitan intelektual Islam yang dimulai pada masa pe merintahan Harun al-Rasyid (786-809 M), salah seorang penguasa Bani Abbas, yang p aling dikenal dunia karena jasanya dalam kebangkitan tersebut, dilanjutkan oleh anaknya al-Ma`mun (813-), dan berlangsung sepanjang abad ke-8 hingga ke-10 Masehi . Di tangan khalifah-khalifah itu pulalah, filsafat Yunani diadopsi dalam rangka merumuskan suatu konsepsi dan menumbuhkan tradisi berfikir filosofis yang sanga t berguna dalam upaya menjelaskan dan kritik terhadap ajaran Islam. Hal itu dimu lai dengan penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. 1. Penerjemahan karya-karya Filsafat Yunani Ada dua motif yang mendorong gencarnya gerakan transmisi filsafat Yunani ke dala m dunia Islam. Motif pertama adalah kebutuhan akan pentingnya berdebat dengan or ang-orang dari agama lain yang telah memiliki konsepsi-konsepsi keagamaan mumpun i untuk mengajak mereka masuk Islam. Memang masyarakat Islam telah mengakui bahw a agama mereka tidak memaksa seseorang untuk masuk agama mereka dan memang masuk nya masyarakat baru dalam pemerintahan Islam ke dalam agama Islam tidak berpenga ruh besar selama masyarakat asing itu mengakui kekuasaan Islam. Namun sebagai im perium yang berkuasa akan sangat memalukan jika agama Islam yang mereka anut tid ak memiliki kecanggihan dan keahlian konsepsi dibandingkan dengan agama-agama ya ng lebih tua. Maka dari itu, perlu kiranya suatu penjelasan rasional dan objekti f dalam menjelaskan Islam. Selain itu, masyarakat muslim penakluk, meskipun ter bilang superior, terkotak-kotak dalam kelompok-kelompok yang saling berselisih, khususnya dalam bidang Teologi. Maka dipandang perlu juga konsepsi-konsepsi sist

ematis tentang Teologi yang berguna untuk menyadarkan lawan mereka kepada pendapat nya yang dianggap benar. Motif kedua lebih bernilai praktis. Masyarakat muslim yang telah menguasai daera h-daerah baru untuk dikelola pemerintahan Islam menemukan kebudayaan-kebudayaan yang maju di sekitar mereka. Orang-orang asing tersebut memiliki kehidupan berst andar cukup tinggi dengan dipenuhi suasana yang sangat berbeda dengan apa yang t elah dialami. Orang-orang muslim pun dengan segera tertarik untuk mencari tahu a pa yang membangun kebudayaan semacam itu. Para elit politik Islam menyadari betul hal ini, sehingga dimulailah transmisi f ilsafat Yunani ke dalam dunia Islam dengan penerjemahan karya-karya filosof Yuna ni yang ditemukan di kota-kota tempat pertemuan tradisi Barat dan Timur, seperti Alexandria (Iskandariyah) dan daerah Bulan Sabit Subur. Penemuan karya-karya Y unani ini menjelaskan pada kita bahwa persentuhan dunia Islam dengan filsafat Yu nani tentu saja bukan dengan kontak langsung, melainkan melalui jalur tertentu, yakni pertemuan Yunani di Eropa Selatan dengan daerah-daerah Timur Dekat, sepert i Mesir, Suriah, dan wilayah bekas Mesopotamia yang menjadi tempat kajian-kajian filosofis Yunani, lalu dengan Arab-Islam yang berpusat di Baghdad. Karena itu, ketika pemerintahan Islam menguasai daerah-daerah tersebut, umat Islam dikelilin gi oleh semangat Hellenisme (faham serba Yunani secara filosofis). Berbagai sera ngan ke wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai kerajaan Romawi itu, terutama d i masa Harun al-Rasyid, merupakan jalan masuknya filsafat Yunani ke dalam dunia Islam. Khalifah berikutnya, al-Ma`mun diceritakan mengirim utusan ke Konstantino pel (sekarang Istanbul), menemui raja Leo dari Armenia untuk mencari dan mengump ulkan karya-karya filsafat Yunani. Khalifah al-Ma`mun memang merupakan seorang yang memiliki kecenderungan rasionalistik karena madzhab Mutazilah yang dianutnya , dan ia memang memerlukan filsafat Yunani untuk mendukung fahamnya itu. Keseriu sannya dalam hal ini segera mendorong Khalifah untuk membangun suatu institusi y ang disebut Bayt al-Hikmah, perpustakaan, akademi, sekaligus biro penerjemahan d i Baghdad pada tahun 830 M. Dengan demikian, sejak masa Harun al-Rasyid, dan tidak terlalu gencar di masa se belumnya, gerakan penerjemahan sudah dimulai sejak 750 M dan berlangsung lebih s eabad lamanya. Pada awalnya, para penerjemah berasal dari kalangan Aramaik (Suri ah), maka filsafat Yunani pertama kali diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam ba hasa Aramaik, baru kemudian ke dalam bahasa Arab, sehingga belum ada kontak lang sung kebudayaan Arab dengan Yunani. Salah satu penerjemah pertama karya-karya Yu nani adalah Abu Yahya ibn al-Bathriq (w. antara 796 906 M). Ia menerjemahkan kar ya-karya Galen dan Hippocrates untuk Khalifah al-manshur, dan karya Ptolemius, Q uadipartitum, untuk khalifah lainnya. Namun terjemahannya dianggap tidak dilaku kan dengan baik, sehingga harus direvisi di masa pemerintahan Harun al-Rasyid da n al-Ma`mun. Ketua para penerjemah dan kepandaiannya dalam bidang ini membuatnya memperoleh ban yak pujian adalah Hunayn ibn Ishaq (809-873). Sebenarnya Hunayn adalah seorang p emeluk agama Kristen Neston dari Hirah (Irak) dan pembantu dokter Ibn Masawayh y ang tertantang untuk mempelajari bahasa Yunani karena ejekan majikannya. Ia pun segera bertualang ke berbagai wilayah berbahasa Yunani untuk mencari teks-teks Y unani dan menjadi pembantu Jibril ibn Baktisyu, dokter Khalifah al-Ma`mun. Penga laman dan kepandaiannya tak ayal menarik hati sang Khalifah untuk mengangkatnya mengawas perpustakaan-akademinya, Bayt al-Hikmah, dan dengan jabatannya ini ia d itugasi untuk menerjemahkan karya-karya ilmiah dengan dibantu oleh anaknya, Isha q, dan keponakannya, Hubaisy ibn al-Hassan. Ia juga dibantu oleh asisten-asisten nya, seperti Isa ibn Yahya dan Musa ibn Khalid. Asisten-asisten ini membantunya u ntuk menerjemahkan tulisan-tulisan berbahasa Suriah yang merupakan hasil terjema hannya atas karya-karya berbahasa Yunani. Jadi, sebelum menjadi bahasa Arab, ka rya-karya filsafat Yunani dan bidang-bidang lainnya terlebih dahulu diterjemahka n ke bahasa Suriah. Di antara karya filsafat terjemahan Hunayn adalah Hermeneuti ca karya Aristoteles, Republic (Siyasah) karya Plato, Categories (Maqulat), dan lain-lain. Selanjutnya bertaburanlah penerjemah-penerjemah karya-karya filsafat Yunani dan karya-karya di bidang lainnya, seperti kedokteran, astronomi, dan matematika, se perti Tsabit ibn Qurrah (836 901) (juga seorang pemeluk Kristen Nestor), yang di

lanjutkan oleh anaknya, Sinan (w. 943), dan dua cucunya, Tsabit (w. 973), dan Ib rahim (w. 946). Dari kalangan Islam sendiri muncul Abu Abdullah Muhammad ibn Jab ir ibn Sinan (w. 929) yang lebih dikenal dengan nama al-Battani, seorang ahli as tronomi disamping penerjemah. Ada pula al-Hajjaj ibn Yusuf ibn Mathar (786 833), Yahya ibn Adi (893 974), dan Abu Ali Isa ibn Zurah (w. 1008), dan tentunya masih b anyak lagi penerjemah-pernerjemah teks-teks asing, khususnya Yunani, yang karyan ya tidak kalah penting. Persoalannya kemudian adalah sejauh mana sumber-sumber luar Islam diadopsi dan d igunakan untuk kepentingan ajaran Islam? Dan bagaimana posisi ajaran Islam murni saat berhadapan dengan sumber-sumber tersebut? Tentu saja pertanyaan ini menjad i sesuatu yang krusial antara fundamentalisme dan keterbukaan ideologis. Alhasil , gerakan pengadopsian filsafat Yunani ke dalam wilayah keilmuan Islam mendapat tantangan serius dari kalangan yang tidak senang filsafat masuk ke dalam dunia I slam, khususnya dari kalangan mutakallimin. Tapi hal ini telah coba dijawab oleh para filosof. Menurut mereka, melalui penumbuhan dan pengembangan filsafat Isla m mereka telah berhasil membangkitkan dan mengangkat kembali warisan kuno yang t elah lama hilang. Para filosof menemukan bahwa kebijaksanaan Yunani sebenarnya d iambil dari kebijaksanaan di Timur Dekat. Al-Farabi, misalnya, mengatakan bahwa filsafat telah ada sejak zaman kuno di kalangan bangsa Kaldea di Irak, lalu dipe lajari oleh orang-bangsa Mesir, dan dari sana filsafat ditransfer ke dalam kebud ayaan Yunani. Filsafat kemudian berkembang dan tersebar kembali dari Yunani ke S uriah dan melalui perantaraan Suriah-lah filsafat dipelajari oleh bangsa Arab se lama masa pemerintahannya. Bahkan, para filosof menyatakan bahwa orang-orang Yu nani mempelajari kebijaksanaan tersebut dari para Nabi dan orang-orang luhur di Timur. Empedokles, misalnya, dikatakan telah belajar dari Luqman al-Hakim di Syr o-Palestina, pada masa Nabi Daud; Phytagoras pernah belajar fisika dan metafisik a dari murid-murid Sulaiman di Mesir. Studi filsafat Yunani oleh bangsa Arab-Isl am karena itu lebih berupa renovasi daripada penemuan. Dengan demikian, mengadop si filsafat Yunani bukan berarti mengadopsi sesuatu yang berasal dari luar Islam , melainkan memperbarui kebijaksanaan kuno yang universal. Karena itulah beberap a sarjana Barat menyebut masa puncak keemasan Islam yang membentang sejak abad k e-8 hingga ke-12 M dengan istilah renaissance. Selain argumen revisi kebijaksanaan kuno ini, para filosof muslim juga menyataka n bahwa al-Qur`an dan Hadits adalah sumber dan inspirasi Filsafat Islam. Di dala m al-Qur`an terdapat istilah-istilah yang menunjukkan suatu kegiatan berfikir (t afakkur) untuk memperoleh kebenaran. Selian kata hikmah, ada pula kata al-haqiqah ya ng menunjukkan signifikansi yang sangat erat antara filsafat dengan wahyu agama. Kata ini berarti kebenaran dan realitas, yang berhubungan erat dengan Tuhan, se bab salah satu dari nama Tuhan yang baik (asma al-husna), al-Haqq. Banyak pula a yat-ayat yang mengajak pembacanya untuk berfikir dan memikirkan realitas dan men yebut para pemikir itu dengan istilah ulul al-bab. Adapun sumber al-Qur`an yang pa ling jelas menunjukkan pada filsafat adalah cerita tentang Luqman, yang konon di katakan oleh filosof muslim berasal dari nama seorang Nabi, dan namanya diabadik an sebagai nama surah ke-31 yang tentu saja menunjukkan alasan yang tidak sepele . Ayat ke-12 dari surah tersebut menyatakan bahwa Luqman telah diberikan Allah hikmah (kebijaksanaan), dan kebijaksanaan akan dianugerahkan oleh Allah kepada m ereka yang mau berterima kasih, sebagaimana ayat al-Qur`an: Allah memberikan hikm ah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah itu, su ngguh telah diberi kebajikan yang banyak (QS. al-Baqarah: 269). Ada pula redaksiredaksi lain yang menunjukkan hal serupa, seperti: Dan Allah akan mengajarkan kep adanya kitab dan kebijaksanaan (hikmah) (QS. Ali Imran: 48), dan Dan (ingatlah) ket ika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah (QS. Ali Imran: 81). 2. Mutazilah Kemunculan Filsafat Islam memang dimulai dan ditandai dengan penerjemahan buku-b uku filsafat Yunani yang sebenarnya diambil melalui perantaraan Suriah dan Alexa ndria dan diterjemahkan ke bahasa Arab dari bahasa Suriah itu. Namun selama masa penerjemahan umat Islam sudah mempergunakan filsafat dalam menjelaskan doktrindoktrin kegamaan atau Teologi (kalam), dimana hal ini terlihat dalam pemikiran a liran Mutazilah. Karena itu kita tidak dapat melupakan pihak yang satu ini dalam

upayanya melahirkan Filsafat Islam. Mutazilah adalah kelompok penganut aliran kalam yang telah muncul sekitar tahun 1 00 Hijriyah atau 718 Masehi dan dibidani oleh Washil ibn Atha yang sejak memprot es gurunya, Hasan al-Bashri, mengenai perkara dosa besar, menyusun konsepsi-kons epsi teologisnya hingga memiliki banyak pengikut. Mutazilah dikenal sebagai kelom pok yang memiliki konsep-konsep teologi yang dihasilkan dari pendekatan rasional . Yang dimaksud rasional bukan serta-merta berarti merujuk secara langsung dengan kegiatan filosofis, melainkan lebih kepada penghormatan yang setinggi-tingginya kepada akal, suatu semangat yang mengandung kecenderungan untuk berfikir filoso fis. Tokoh-tokoh Mutazilah telah menyatakan tentang betapa agungnya akal dengan k emampuannya yang hebat dalam mencari kebenaran. Abu al-Huzail al-Allaf (w. 235 H) , misalnya, mengemukakan bahwa manusia dengan akal pikirannya dapat mengenal Tuh an, dan bahkan manusia yang tidak mempergunakan akalnya dapat mendapat siksa. Ak al juga dapat mengetahui baik dan buruk, serta dapat mengetahui hal-hal metafisi k, seperti kejujuran, keadilan, dan lain sebagainya. Al-Nazhzham (w. 221 H) meny atakan bahwa sebelum wahyu sampai kepada pengetahuan manusia, akal wajib dipergu nakan untuk mengetahui kebenaran. Lebih jauh lagi, Mutazilah di satu sisi memang tidak mengingkari dalil naqliy (al-Qur`an dan Hadits), namun tanpa ragu Mutazila h menundukkan naqliy pada kemampuan akal. Semangat semacam ini tentu saja memud ahkan jalan bagi masuknya filsafat ke dalam pemikiran teologi Mutazilah, terlebih ketika kursi kekuasaan diduduki oleh orang Mutazilah, yang dalam hal ini adalah Khalifah al-Ma`mun, dan perkembangan aliran ini bersamaan dengan proses transmis i filsafat Yunani ke dunia Islam. Alhasil, kerasionalan Mutazilah tidak hanya dalam bentuk pengagungan akal, tapi j uga bercampurnya konsep teologinya dengan filsafat. Ketika berbicara mengenai ke beradaan Tuhan, misalnya, Mutazilah sudah menggunakan istilah al-jauhar al-fard (te ori atom) yang digunakan untuk menyokong teori materi eternal yang dikemukakan A ristoteles. Dalam menjelaskan keesaan Tuhan yang berhubungan dengan keberadaan sifat-sifat Tuhan, Mutazilah mengemukakan satu pernyataan: Barangsiapa meneguhkan suatu pengertian dan sifat eternal (abadi) berarti dia telah meneguhkan dua Tuha n. Pernyataan ini nampaknya dihasilkan dari pola berfikir silogisme Aristotelian , yakni bahwa jika Allah bersifat qadim (abadi) dan sifat juga qadim, maka akan ada dua hal yang qadim. Lalu bagaimana Tuhan memiliki kekuasaan untuk mengetahui , mendengar, melihat, dan mampu melakukan apapun? Abu Huzail al-Allaf mengungkapk an bahwa kekuasaannya juga adalah zat-Nya, sehingga baginya tidak ada beda antar a zat dan sifat. Kesimpulan ini serupa dengan teori Aristoteles tentang pengger ak pertama, yakni akal, yang sekaligus sebagai subyek yang berfikir. Tokoh-toko h Mutazilah lain juga disebut-sebut sebagai seorang filosof atau setidaknya hidup di lingkungan filosofis, seperti al-Nazhzham, Muammar ibn Ibbad al-Sulami (w. 220 H), dan Abu Hasyim al-Jubbai (w. 321 H). Dari keterangan-keterangan di atas, tidak berlebihanlah kiranya jika dikatakan b ahwa Mutazilah memiliki peran penting dalam penumbuhan Filsafat islam. 3. Filsafat Islam Awal Dengan transmisi filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, maka muncul figur-figur y ang mempelajari dan, dengan tujuan demi kepentingan ajaran Islam, memfilsafatkan d oktrin-doktrin agama. Hasil-hasil terjemahan tersebut, yang tercatat tak kurang dari seratus karya, dibaca dan dipelajari dengan cermat oleh para filosof. Dari kandungan sekian banyak karya-karya terjemahan tersebut dapat disimpulkan satu kecenderungan, yakni filsafat Aristoteles. Namun terdapat keraguan yang cukup ku at mengenai orisinalitas Aristotelian pada filsafat Islam yang ditelurkan para f ilosof muslim awal. Yegane Shayegan, seorang peneliti para komentator Aristotele s, menyatakan bahwa transmisi filsafat Yunani tidaklah sekedar proses kontak geo grafis dan sosial, melainkan juga proses perubahan dan pengembangan teori-teori Aristoteles yang dilatarbelakangi persoalan-persoalan politik. Proses transmisi filsafat Yunani tidak terlepas dari peran suasana politik di dua wilayah: Kristi anisasi imperium Romawi, dan internasionalisasi imperium Sassaniyah di Persia. K eterangan panjang dan rumit yang disampaikan Shayegan tidak dapat penulis hadirk an di sini, namun satu hal yang dapat disimpulkan, bahwa pemikiran Aristoteles y ang masuk ke dalam dunia Islam merupakan hasil modifikasi oleh para komentator A ristoteles yang berada di bawah tekanan pemerintah. Seperti Ammonius yang mencob

a memodifikasi pemikiran Aristoteles yang terpaksa meninggalkan pemikiran Platon ik karena dianggap tidak sesuai dengan doktrin-doktrin Gereja Romawi. Modifikasi filsafat Yunani beserta unsur-unsur politik yang melatarbelakangi perubahan epi stemiknya inilah yang diserap dan dikembangkan oleh filosof-filosof awal seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Dengan demikian, orang bisa mengatakan bahwa filsafat Islam di awal kemunculannya dan mempengaruhi teori-teori filsafat berikutnya me rupakan komentar-komentar terhadap Aristoteles, namun karya-karya para filosof m uslim awal yang mengembangkan pemikiran Aristoteles sebagai para komentator Aris toteles, menunjukkan orisinalitas Filsafat Islam. Salah satu persoalannya adalah mengenai prima causa (Sebab Pertama) dalam proses penciptaan alam semesta. Aristoteles menyatakan bahwa Sebab Pertama (Tuhan) ada lah sesuatu yang menggerakkan benda-benda, namun ia sendiri tidak bergerak. Menu rut Ammonius dan Ibnu Sina, terdapat ketimpangan ontologis dalam pendapat Aristo teles ini. Jika Sebab Pertama tidak bergerak, bagaimana ia mendapatkan eksistens inya? (emosi semacam ini juga muncul dalam kritik Muhammad Iqbal bahwa logika se bab-akibat akan bermasalah jika berhenti di satu titik, sebab hukum tersebut men gandaikan rangakaian yang tak pernah berhenti). Karena itu, bagi Ammonius dan I bnu Sina, sebab pertama bukan sebab final, melainkan sebab efisien, karena tidak mungkin untuk menganggap bahwa Sebab Pertama merupakan prinsip gerak dan prinsi p wujud sekaligus. Dengan demikian, konsepsi tentang imanensi dan transendensi T uhan Ibnu Sina menjadi sesuatu yang baru dibanding pemikiran Aristoteles yang me ngkondisikan Sebab Pertama hanya sebagai prinsip wujud yang transenden. Inilah bentuk Neo-Platonisasi Aristotelian. Adapun upaya Aristotelianisme Neo-Platonism e adalah sistem penciptaan yang hirarkis dalam emanasi Tuhan, dimana di dalamnya mengandung transendensi Sebab Pertama dalam asas hubungan sebab-akibat antara w ujud-wujud (setiap benda memiliki bentuk). Konsepsi yang mengorelasikan antara pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonisme ini begitu penting dalam upaya untuk merasionalisasikan ajaran Islam dan meng-Islam -kan rasio. Transendensi Tuhan, sebagaimana pemikiran Aristoteles tentang posisi Sebab Pertama dalam rentetan penciptaan, menyiratkan tiadanya hubungan antara d iri-Nya dengan makhluk-makhluk. Karena itu, pendapat Aristoteles yang menyatakan tiadanya hubungan eksistensial antara Tuhan Yang Satu dengan yang banyak ini ti dak dapat dipertahankan jika dikorelasikan dengan ajaran Islam. Filosof muslim p un memerlukan pemikiran lain yang dapat menjelaskan secara rasional hubungan ter sebut, yakni teori pemancaran (iluminasi) Neo-Platonisme. Di lain pihak, jika p ara filosof semata-mata merujuk pada pemikiran Neo-Platonisme dalam persoalan wu jud, maka mereka akan terjebak pada pandangan panteistik tentang dunia, dimana t idak ada pemisah antara Tuhan dengan makhluk dan dengan itu Tuhan menjadi antrop omorfis, yang tentu saja lagi-lagi tidak bersesuaian dengan ajaran Islam, sehing ga para filosof tidak sama sekali meninggalkan pemikiran Aristoteles. Dalam menj awab pertanyaan bagaimana Sebab Pertama mendapatkan eksistensinya? di atas, Ibnu S ina pun menambahkan suatu teori yang menunjukkan korelasi Islam-filsafat tentang esensi dan eksistensi Tuhan. Esensi berarti mengenai apakah Tuhan itu? dan eksist ensi mengenai kenyataan bahwa Ia ada. Tuhan itu Tunggal, sehingga Ia bukanlah dua unsur dalam satu wujud, melainkan satu unsur atomik dalam wujud yang tunggal. Ha l ini berbeda dengan wujud selain-Nya yang menurut Aristoteles bahwa esensi tida k identik dengan eksistensinya, sebab sesuatu yang lain hanya mungkin dan dituru nkan dari adanya Tuhan. Tuhan karena itu tidak sama dengan lainnya. Prinsip ini berhubungan dengan konsepsi tentang bentuk (shurah) dan materi (maaddah). Bentuk suatu benda adalah kualitas-kualitas universal yang membentuk definisi benda, s ehingga apakah suatu benda itu? dapat dilihat dengan menjawab pertanyaan ini. Hany a saja, menurut Ibnu Sina, bentuk dan materi saja, sebagaimana Aristoteles, tida k dapat menjelaskan keberadaan suatu benda secara nyata. Dalam Al-Syifa, Ibnu Si na menyatakan bahwa bentuk dan materi sebagai unsur pembentuk keberadaan bergant ung kepada akal aktif (Tuhan) dan segala eksistensi yang tersusun juga tidak dapat disebabkan oleh bentuk dan materi saja, melainkan disebabkan oleh sesuatu yang l ain. Ibnu Sina secara eksplisit juga menyatakan: segala sesuatu kecuali yang Esa, yang esensi-Nya adalah Tunggal dan Maujud, memperoleh eksistensinya dari sesuatu yang lain. Demikianlah, Ibnu Sina sebagai komentator Aristoteles mencoba memodif ikasi filsafat Yunani agar dapat berkorelasi dengan Islam, sehingga dengan itu F

ilsafat Islam adalah sesuatu yang benar-benar orisinil. C. Penutup Banyak sentimen yang ditujukan pada Filsafat Islam, yakni bahwa ia bukan berasal dari Islam sendiri, Filsafat Islam adalah produk kebudayaan Barat karena pengar uh filsafat Yunani yang begitu besar. Penulis telah menyebutkan bahwa filosof mu slim berkeyakinan bahwa filsafat bukan merupakan barang baru dalam proses pencar ian hakikat. Filsafat telah ada sejak masa sebelum filsafat Yunani muncul. Jadi, penumbuhan tradisi filsafat dalam Islam adalah upaya untuk membangkitkan kembal i warisan kebudayaan yang telah lama hilang secara historis. Mungkin tulisan say a mengenai Filsafat Hindu dapat menambah referensi bahwa filsafat justru lahir di belahan dunia timur, bukan di Barat. Meskipun inspirasi FIlsafat Islam adalah filsafat Yunani, namun modifikasi-modifikasi yang telah dilakukan para filosof muslim menunjukkan bahwa Filsafat Islam adalah produk tradisi orisinil dalam Isl am. Kita pun karena itu tak punya alasan untuk tidak merayakannya.

DAFTAR PUSTAKA Daftary, Farhad (ed.), Tradisi-Tradisi Intelektual Islam, dari Intellectual Trad itions in Islam, Jakarta: Erlangga, 2002 Hadariansyah AB, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, Banj armasin: Antasari Press, 2010 Hasan, Ilyas (ed.), Para FilosofMuslim, dari M.M. Sharif (ed.), A History of Mus lim Philosophy (Volume Three), Bandung: Mizan, 1996 Hitti, Philip K., History of the Arabs, dari History of the Arabs: From the Earl iest Times to the Present, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010 Iqbal, Muhammad, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, dari The Reconstructi on of Religion Thought in Islam, Jakarta: Lazuardi, 2002 Kraemer, Joel L., Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan, dari Humanism in the Renaissance of Islam: The Cultural Revival Dur ing the Buyid Age, Bandung: Mizan, 2003 Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam (Bagian ke-satu dan dua), dari A His

tory of Islamic Societies, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999 Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, dari Fi-al-Falsafah al-Islami yyah: Manhaj wa Tathbiquhu al-Juz al-Tsani, Jakarta: Bumi Aksara, 1995 Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama), dari History of Islamic Philosophy, Bandung: Mizan, 2003 Ramadhani, Yunizar, Konsep Eskatologi Dalam Filsafat Hindu (Suatu Perbandingan D engan Eskatologi Islam), skripsi, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah-Filsafat, 2010. Sharif, M.M. (ed.), A History of Muslim Philosophy (Volume One), Delhi: Low Pric e Publications, 1995

Anda mungkin juga menyukai

  • Untitled
    Untitled
    Dokumen5 halaman
    Untitled
    Annida Shaira
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen5 halaman
    Untitled
    Annida Shaira
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen4 halaman
    Untitled
    Annida Shaira
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen4 halaman
    Untitled
    Annida Shaira
    Belum ada peringkat
  • Difusi Dan Osmosis
    Difusi Dan Osmosis
    Dokumen4 halaman
    Difusi Dan Osmosis
    Annida Shaira
    Belum ada peringkat