Anda di halaman 1dari 25

Formula Restrukturisasi Sistem Zakat di Indonesia

Oleh :

IRVANY DYAH INDRAWAN IRMA FEBVANIA

040810069 040810144 040810326

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG

Sejak diberlakukannya UU No.38 Th 1999, zakat di Indonesia semakin berkembang. Hal ini menyebabkan pertumbuhan Lembaga Amil Zakat / Badan Amil Zakat. Dalam kondisi sosial dan ekonomi di Indonesia saat ini , peran zakat dalam mengentaskan permasalahan umat menjadi penting. Berbagai pihak berupaya mengelola dana zakat secara baik bagi kesejahteran umat. Zakat sebenarnya dapat difungsikan dalam mengentaskan permasalahan umat di Indonesia. Mayoritas penduduk indonesia yang beragama islam menjadi modal dasar utama dalam menggali potensi zakat. Potensi zakat Di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 16,3 triliun, namun yang terealisasi hanya mencapai 500 miliar (Laporan BAZNAS : 2008) Zakat merupakan bagian dari rukun islam, sehingga setiap muslim wajib menjalankanya. Petunjuk Al-Quran tentang pendayagunaan zakat kepada 8 asnaf (fakir, miskin, amil, ibnu sabil, ghorim, fisabillillah, muallaf, riqob) merupakan konsep nyata dalam memberdayakan masyarakat. Di Indonesia, pengelolaan zakat masih belum optimal. Negara memiliki peranan dalam mengatur zakat, tetapi posisinya dinilai sebatas formalitas saja. Zakat belum dikelola secara profesional. Negara menyerahkan peranan pengelolaan ini pada sebuah lembaga yang disebut BAZ baik bentukan pemerintah maupun masyarakat. Regulasi peran negara yang terbatas diwujudkan dalam sebuah UU Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Dalam UU tersebut, zakat diposisikan sebagai pengurang laba / pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan dualitas kewajiban yang berbeda bagi umat muslim Di Indonesia. Kewajiban itu adalah dalam membangun negara melalui sumbangsih pajak dan kepada sesama manusia (habluminannas) melalui zakat. Dalam kondisi tersebut, permasalahan muncul pada pengelolaan zakat dan pajak. Peranan negara yang belum optimal menjadi inti permasalahan ini. Kedudukan pemerintah sebagai representasi umat muslim, tidak mampu memberikan kontribusi yang lebih dalam pengelolaan zakat. Pemerintah memposisikan mencari aman, sebagai upaya menghindari kontroversial peranan

negara dalam agama yang dominan. Permasalahan ini berdampak pada seluruh aspek pengelolaan zakat yang belum optimal. Pada sisi yang lain negara memfokuskan pada pengelolaan pajak. Berangkat dari permasalahan di atas, restrukturisasi posisi zakat terhadap pajak mutlak dilakukan. Terlebih ketika iklim zakat di Indonesia semakin membaik. Zakat dan pajak adalah dua instrumen pembiayaan penyelenggaraan negara yang mampu disinergikan. Perbaikan posisi peranan negara yang mengakomodir mayoritas penduduknya dalam menjalankan kewajiban beragama sesuai amanat UUD. Perbaikan kedua instrumen melalui restrukturisasi posisi zakat dan pajak merupakan salah satu upaya memperbaiki kesejahteraan umat dan masyarakat indonesia. Restrukturusasi posisi zakat terhadap pajak tidak bisa dilakukan tanpa merombak system penataan zakat secara keseluruhan. Hal ini disebabkan sistem yang tumpang-tindih dan tanpa koordinasi antara pajak dan zakat sudah berjalan menjadi sebuah kebiasaan. Upaya restrukturisasi posisi zakat dan pajak akan menjadi kunci pengelolaan zakan secara optimal di Indonesia.

1.2.Perumusan masalah Berdasarkan dari latar belakang diatas, perumusan masalah yang dapat dikemukakan ialah : Bagaimana Formula Restrukturisasi Sistem Zakat di Indonesia?

1.3.Tujuan 1. Untuk mengetahui Bagaimana Formula Restrukturisasi Sistem Zakat di Indonesia 1.4.Manfaat Melalui karya tulis ini diharapkan dapat memberikan mannfaat antara lain: 1) Memberikan sumbangan bagi khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ekonomi islam tentang upaya pengintegrasiaan pajak dan zakat di Indonesia 2) Memberikan masukkan kepada pihak yang berwenang yaitu pemerintahg sebagai pelaku utama pembuat kebijakan di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Landasan Zakat Dalam Islam Hukum zakat dalam Islam adalah wajib. Hal ini dilandaskan pada beberapa sumber ajaran Islam seperti yang diuraikan di bawah ini (Ali, 2006:24-29). 2.1.1.Al Quran Di dalam Al Quran dijumpai 32 kata zakat dan diulang sebanyak 82 kali dengan menggunakan sinonim zakat yakni shadaqoh dan infaq. Hal ini menegaskan bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi, dan peranan yang sangat penting dalam Islam. Selain itu, kata zakat seringkali ditemukan berangkaian dengan kata sholat. Hanya dalam tiga ayat yang menunjukkan tidak berangkaian, yakni QS AlKahfi:81, Maryam:13, dan Al-Muminun:4. Hal ini menunjukkan bahwa kaitan antara shalat dan zakat adalah sangat erat sekaligus menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan antarmanusia. 2.1.2.Hadist Imam Buhkari dan Muslim telah menghimpun sekitar 800 hadist yang berkaitan dengan zakat. Hadist-hadist tersebut ada yang memberikan perintah umum tentang zakat dan ada pula yang berupa rincian dari pelaksanaan zakat tersebut, seperti jenis harta yang wajib dizakati, nisab, haul, dan sasaran zakat. 2.1.3.Ijma Setelah Rasulullah saw wafat, maka pimpinan pemerintahan dipegang oleh Abu Bakar As Shiddiq yang selanjutnya dinobatkan sebagai khalifah pertama. Pada masa kepemimpinannya timbul gerakan sekelompok orang yang menolak membayar zakat kepada khalifah. Abu Bakar mengajak para sahabat bermufakat untuk memantapkan pelaksanaan dan penerapan zakat, serta mengambil tindakan tegas untuk menumpas orang-orang yang menolak membayar zakat dengan mengaktegorikan mereka sebagai murtad. Seterusnya pada masa tabiin dan imam mujtahid serta murid-murid mereka dilakukan ijtihad untuk merumuskan pola operasional zakat sesuai dengan situasi dan kondisi ketika itu.

2.1.4 Landasan Historis Kewajiban zakat telah disyariatkan kepada para nabi dan rasul sebagaimana telah dilaksanakan oleh Ibrahim a.s dan Ismail a.s. Bahkan terhadap Bani Israil, umat Nabi Musa a.s syariat zakat telah diterapkan. Demikian pula terhadap umat Nabi isa a.s ketika Isa a.s masih dalam buaian. Ahli Kitab juga diperintahkan untuk menunaikan zakat sebagai salah satu instrument agama yang hanif (lurus). Meski demikian, penerapan zakat pada umat sebelum Islam belum merupakan suatu perintah yang mutlak dan ilzami, tetapi bersifat solidaritas dan rasa belas kasihan daam rangka menyantuni orang-orang miskin. Barulah dalam syariat Islam zakat ditetapkan menjadi suatu kewajiban yang bersifat mutlak dan menjadi salah satu rukun islam.

2.2. Landasan Pajak Dalam Islam


2.2.1 Dalil-dalil yang Membolehkan Adanya Kewajiban Pajak di Samping Zakat Qardawi (1993:1073-1078) menjelaskan bahwa ada lima alasan pembolehan kewajiban pajak di samping pembayaran zakat yang dilaksanakan oleh kaum Muslim, yakni : a. Jaminan/Solidaritas Sosial Merupakan Suatu Kewajiban Pajak merupakan sumber pembiayaan bagi kebutuhan social. Oleh karena itu, apabila dana zakat tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan social tersebut, maka dibolehkan adanya pungutan-pungutan di luar zakat seperti pajak. Bahkan apabila ada keperluan yang perlu ditanggulangi bersama, pungutan tersebut dibenarkan meskipun menghabiskan seluruh harta. b. Sasaran Zakat itu Terbatas, Sedangkan Pembiayaan Negara itu Banyak Sekali Zakat harus digunakan pada sasaran yang ditentukan oleh syariah dan menempati fungsinya yang utama dalam menegakkan solidaritas social. Sasaran zakat tersebut terbatas pada delapan asnaf. Zakat tidak boleh digunakan untuk

membangun infrastruktur. Oleh karena itu, untuk membiayai kepentingan umum dibolehkan adanya ketentuan pajak bagi kaum Muslim karena adanya sebuah kaidah yang mengatakan sesuatu yang menjadi syarat bagi yang wajib adalah wajib. c. Kaidah-kaidah Hukum Syara Dalam menetapkan suatu kewajiban atau fatwa, disamping berlandaskan nash-nash yang terdapat Al Quran dan hadist, juga dilandaskan pada kaidah hokum syara. Dari kaidah tersebut timbul berbagai istilah seperti memelihara kepentingan umum, menolak bahaya didahulukan atas manfaat dari dua hal yang sama-sama bermanfaat, memilih salah satu yang bahayanya lebih kecil dari dua hal atau keadaan yang sama-sama berbahaya. Dengan menggunakan kaidah tersebut, pajak bukan hanya dibolehkan, tetapi juga diwajibkan pemungutannya untuk merealisasikan kepentingan umat dan Negara, apabila sumber penerimaan Negara yang lain tidak mencukupi. Menurut Mahzab Maliki, berdasarkan prinsip al-mashalih al-mursalah, jika sewaktu-waktu bait al-mal (kas Negara) mengalami deficit, sedang kebutuhan untuk membiayai tentara meningkat dan tidak dapat dipenuhi bait al-mal, maka pada saat itu pemerintah boleh memungut pajak secara teratur dari orang-orang kaya sampai bait al-mal itu terisi kembali. d. Jihad atas harta dan Tuntutannya yang Besar Islam telah mewajibkan kepada umatnya untuk berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa. Saah satu bentuk jihad dengan harta yang diperintahkan adalah kewajiban lain di luar zakat. Diantara hak pemerintah (uli al amr) dari rakyatnya adalah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul beban jihad dengan harta. e. Kerugian Dibalas dengan Keuntungan Dana yang diperoleh dari pajak dipergunakan untuk membiayai segala keperluan pengeluaran Negara yang manfaatnya kembali kepada seluruh rakay seperti untuk pertahanan, keamanan, hokum, pendidikan, kesehatan, pengangkutan,

perhubungan, pengairan, dan kepentingan-kepentingan lain yang diambil manfaatnya oleh seluruh rakyat Negara tersebut. 2.2.2 Syarat-syarat Pajak Qardawi (1993:1079-1085) menjelaskan bahwa system pajak yang diakui dalam sejarah Islam harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. Tidak Ada Sumber Pendapatan Lain Pajak yang dipungut dari rakyat hendaknya merupakan alternative terakhir apabila tidak ada sumber pemasukan lain untuk menutupi pengeluaran Negara. Karena pada dasarnya harta seseorang tidak boleh diganggu dan pemiliknya bebas dari segala beban, baik materil maupun nonmaterial. b. Pembagian Beban Pajak yang adil Dalam pemberlakuan pajak, tiap golongan rakyat memperoleh beban secara adil dan tidak diskriminatif. Besarnya pajak didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan social. Sehingga beban pajak pada masing-masing anggota masyarakat adalah tidak sama. c. Dipergunakan untuk Membiayai Kepentingan Umat Bukan untuk Maksiat Pajak yang telah dihimpun harus benar-benar digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi, kemewahan keluarga pejabat, dan orang-orang dekatnya. Hal ini telah diteladankan oleh khulafaur rasyidin dan para sahabat yang menekankan penggunaan kekayaan masyarakat itu pada sasaran-sasaran yang ditetapkan syara. d. Persetujuan para Ahli dan Cendikia Pemerintah suatu Negara tidak boleh memungut pajak tanpa mendapat masukan dan persetujuan dari para ahli dan cendikia. Karena mereka dianggap mampu melakukan analisis terhadap rasionalitas beban pajak terhadap kebutuhan Negara dan mampu membuat peraturan-peraturan yang dapat menjamin pembagian beban itu terhadap rakyat secara adil.

2.3.Persamaan dan Perbedaan antara Zakat dan Pajak dalam Perdebatan Ulama Islam
2.3.1.Persamaan Zakat dan Pajak a. Unsur Paksaan Jika seorang muzaki lalai atau tidak menunaikan zakat, maka penguasan yang diwakili petugas zakat wajib memaksanya. Hal ini sejalan dengan QS AtTaubah:103: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui . Demikian pula halnya bagi wajib pajak, dapat dikenakan tindakan tegas dari Negara, baik secara langsung maupun tidak. Tindakan paksa tersebut dilakukan secara bertingkat, mulai dari peringatan, teguran, surat paksa, sampai kepada penyitaan. b. Unsur Pengelola Landasan pengelolaan zakat adaah QS At-Taubah:60: Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang daam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. Ayat tersebut mengisyaratkan adanya amil zakat. Artinya, amil zakat inilah yang bertugas melakukan sosialisasi kepada masyarakat, melakukan penagihan, pengambilan, dan mendistribusikan secara tepat dan benar. Adapun pengelolaan pajak, jelas harus diatur oleh Negara. Hal ini sejalan dengan pengertian pajak itu sendiri, yaitu iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum, berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

10

c. Dari Sisi Tujuan Muhammad Said Wahbah menggambarkan tujuan zakat dari sisi

pembangunan kesejahteraan masyarakat adalah sebagai berikut : 1) Membangun jiwa dan semangat untuk saling menunjang dan solidaritas social di kalangan masyarakat Islam; 2) Merapatkan jarak kesenjangan social ekonomi dalam masyarakat; 3) Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul akibat berbagai bencana; 4) Menutup biaya-biaya yang timbul akibat terjadinya konflik, persengketaan dan berbagai bentuk kekerasan dalam masyarakat; serta 5) Menyediakan suatu dana taktis dan khusus untuk penanggulangan biaya hidup gelandangan, pengangguran, dan para tuna social lainnya. Pajak memiliki tujuan yang relative sama dengan tujuan zakat dari sisi pembangunan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Permono dalam Ali (2006:33) menjelaskan bahwa pajak dan zakat sama-sama digunakan sebagai sumber dana untuk mewujudkan suatu masyarakat adil makmur yang merata dan berkesinambungan antara kebutuhan material dan spiritual. 2.3.2.Perbedaan Zakat dan Pajak a. Dari Segi Nama dan Etiketnya Perbedaan antara zakat dan pajak dapat dilihat dari nama dan maknanya. Kata zakat menurut bahasa berarti suci, tumbuh, dan berkah. Syariat Islam menggunakan kata zakat untuk mengungkapkan arti dari bagian harta yang wajib dikeluarkan untuk fakir miskin dan para mustahiq lainnya. Sedangkan kata pajak diambil dari kata dharaba, yang berarti utang, pajak tanah, atau upeti, dan sebagainya, yaitu sesuai yang mesti dibayar, sesuatu yang menjadi beban. Dengan demikian, orang biasanya memandang pajak sebagai paksaan dan beban yang amat berat. Dari Segi Niatnya Niat khusus yang menyertai pengeluaran zakat sebagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah tidak dapat disamakan dengan niat ketika membayar pajak kepada pemerintah.

11

c. Mengenai Hakikat dan Tujuannya Perbedaan antara zakat dan pajak adalah bahwa zakat itu ibadah yang diwajibkan kepada orang Islam, sebagai tanda syukur kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, zakat dalam fiqih Islam dimasukkan ke dalam bab ibadah, karena mengikuti jejak Al-quran dan Sunnah yang menyebutkan zakat bersama dengan sholat. Sedangkan pajak diwajibkan kepada semua orang, sesuai dengan ketentuan wajib pajak, dan tidak ada hubungannya dengan makna ibadah serta pendekatan diri kepada Allah. d. Mengenai Batas Nisab dan Ketentuannya Zakat adalah hak yang ditentukan Allah, sebagai pembuat syariat. Dial ah yang menentukan batas nisab bagi setiap macam benda dan membebaskan kewajiban itu terhadap harta yang kurang dari senisab. Allah juga memberikan ketentuan atas kewajiban zakat itu dari 1/5, 1/10, sampai 1/40. Tidak ada yang boleh mengubah dan mengganti apa yang telah ditentukan oleh syariat. Berbeda dengan pajak yang bergantung kepada kebijaksanaan dan kekuatan penguasa, baik mengenai objek, persentase, harga dan ketentuannya. Bahkan ditetapkan atau dihapuskannya pajak bergantung pada penguasa, sesuai dengan kebutuhan. e. Mengenai Kelestarian dan Kelangsungannya Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus menerus. Ia akan berjalan terus selagi Islam dan Muslim ada di muka bumi ini. Kewajiban tersebut tidak akan dihapuskan oleh siapapun. Seperti sholat, ia merupakan tiang agama dan pokok ajaran Islam. Sedangkan pajak tidak memiliki sifat yang tetap dan terus menerus, baik mengenai jenis, persentase, maupun kadarnya. Tiap pemerintah dapat mengurangi atau mengubah atas dasar pertimbangan dan rasionalitas ekonomi. Bahkan adanya pajak itu sendiri tidak kekal, ia akan tetap ada selagi diperlukan dan lenyap bila sudah tidak dibutuhkan lagi.

12

f. Mengenai Pengeluarannya Sasaran dari zakat adalah kemanusiaan dan Islam. Sasaran zakat telah diatur dalam Al Quran dan Sunnah. Setiap muslim dapat mengetahuinya dan membagikan zakatnya sendiri bila diperlukan. Sedangkan pajak dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran umum Negara, sebagaimana ditetapkan oleh peraturan penguasa. Oleh karena itu, anggaran zakat terpisah dari anggaran belanja Negara secara umum. Zakat harus dikeluarkan melalui pos-pos yang telah ditentukan Al Quran sebagai suatu kewajiban dari Allah. g. Hubungannya dengan Penguasa Pajak menunjukkan hubungan antara wajib pajak dengan Negara. Karena pemerintah yang mengadakan, maka pemerintah pula yang memungutnya dan membuat ketentuan wajib pajak. Pemerintah berwenang mengurangi bahkan mencabut beban pajak dalam keadaan tertentu. Bila pemerintah membiarkan atau terlambat menarik pajak, maka wajib pajak tidak diberi teguran dan tidak dikenakan denda. Sedangkan zakat menunjukkan hubungan antara wajib zakat dengan Tuhannya. Allah yang memberinya harta dan mewajibkan membayar zakat. Allah menerangkan berapa kadar zakat dan siapa yang berhak menerimanya. Apabila tidak ada pemerintah Islam yang menghimpun, mengelola, dan membagikan zakat, maka orang Islam diperintah oleh agama untuk membagikan zakatnya sendiri kepada mereka yang berhak. Kewajiban zakat tidak gugur karena alas an tidak adanya pemerintahan Islam. h. Maksud dan Tujuan Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Tujuan yang luhur ini tersirat dari kata zakat itu sendiri yang bermakna suci, tumbuh, dan berkah. Pajak tidak memiliki tujuan luhur seperti zakat. Tujuan utama pajak adalah untuk mengisi kas Negara. Sedangkan peran pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi dan social tertentu hanyalah sebagai tujuan sampingan.

13

Dari Sisi Objek dan Persentase serta Pemanfaatannya Zakat memiliki nishab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya baku, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadist. Nishab zakat emas perak adalah senilai 85 gram dan persentase zakatnya 2,5 persen. Demikian pula zakat harta perdagangan, pertanian, peternakan, pertambangan, dan komoditas lainnya. Pemanfaatan zakat tidak boleh keluar dari asnaf yang jumlahnya delapan, seperti yang tertuang dalan QS. At-Taubah:60, meskipun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang criteria dari masing-masing mustahiq. Sedangkan besarnya pungutan pajak sangat bergantung pada peraturan yang ada serta objek pajaknya. Pengklasifikasian pajak didasarkan pada jenis, sifat, dan cirinya. Berdasarkan sifatnya, pajak dibedakan menjadi enam yakni 1) pajak pribadi, lebih memperhatikan keadaan pribadi seseorang seperti istri, jumlah anak, dan kewajiban financial lainnya (PPH pribadi); 2) pajak kebendaan, yang diperhatikan adalah objeknya, pribadi wajib pajak dikesampingkan (PPH Badan Hukum); 3) pajak atas kekayaan, yang menjadi obyek pajak adalah kekayaan seseorang atau badan hukum (PKK); 4) pajak atas bertambahnya kekayaan. Pengenaannya didasarkan atas seseorang yang mengalami kenaikan kekayaan, biasanya hanya dikenakan satu kali; 5) pajak atas pemakaian (konsumsi). Pajak atas kenikmatan seseorang (PRT/PPI); dan 6) pajak yang menambah biaya produksi, yakni pajak yang dipungut karena jasa Negara yang secara langsung dapat dinikmati oleh produsen. Zakat digunakan untuk kepentingan mustahiq yang berjumlah delapan asnaf. Sedangkan pajak digunakan di seluruh sector kehidupan, sekalipun dianggap tidak berkaitan sama sekali dengan ajaran agama. Zakat dapat digunakan untuk membiayai semua sector pembangunan kecuali: 1) untuk agama non-Islam, 2) untuk aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME, 3) yang tidak mengandung taqarrub (kebajikan menurut Islam), dan 4) yang berbau maksiat dan atau syirik menurut Islam. Selain itu, banyak bidang yang dapat dibiayai dengan zakat, tetapi tidak adapat dibiayai oleh pajak. Diantaranya adalah segala kegiatan yang dapat dimasukkan dalam kategori mustahiq zakat yakni amilin, muallaf, riqab, dan gharim.

14

Meskipun terdapat persamaan antara zakat dan pajak dalam hal pendayagunaan, penyampuran anggaran zakat dan pajak sebagai sumber pendapatan Negara dalam satu APBN tidak dapat dilakukan (Permono, 1995:84). Hal ini dikarenakan zakat dipungut khusus dari umat Islam dan didayagunakan khusus pada delapan asnaf yang ditentukan Allah. Tidak seorang pun yang berhak menerima zakat selain delapan asnaf tersebut. Sedangkan jika zakat dan pajak dijadikan dalam satu APBN, maka kemungkinan penyalahgunaan zakat adalah sangat besar sekali. Dan itu dosa dihadapan Allah.

BAB III METODOLOGI PENULISAN 3.1. Metode Deskriptif Metode penulisan yang digunakan dalam karya tulis ini adalah metode deskriptif.Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan dalam meneliti suatu system pemikiran terhadap suatu objek dan peristiwa masa sekarang.Adapun tujuan dari metode deskriptif ini adalah untuk membuat gambaran ataupun lukisan secara sistematis,faktual dan akurat mengenai fakta fakta ,serta hubungan antara fenomena yang diselidiki (Suryabrata,1991). Studi pustaka yang kami lakukan yaitu dengan cara mengumpulkan berbagai literature, informasi ,dan referensi yang dapat menunjang pembahasan untuk mengatasi permasalahan. Dalam penulisan ini studi pustaka dan pengamatan dilakukan secara langsung di lapangan bertujuan untuk mengetahui keadaan dari objek yang akan kita gunakan dalam penulisan karya tulis ini.

15

3.2. Teknik Pengumpulan Data Di dalam penyusunan karya tulis ini teknik pengumpulan data yang kami gunakan adalah dengan studi literatur (Library research).Teknik studi literature adalah pengumpulan data dari buku buku dan refrensi lain yang mendukung. Penggunaaan metode ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai masalah masalah yang diajukan.Data tersebut dijadikan dasar untuk menganalisis dan menjelaskan masalah dalam sebuah pembahasan. 3.3. Analisis Data Data yang diperoleh dari studi literature dianalisis secara deskriptif yaitu memberikan gambaran secara sistematis,faktual atau nyata mengenai bagaimana mengintegrasikan Zakat dan Pajak di Indonesia serta bagaimana formula restrukturisasi sistem zakat di Indonesia

BAB IV PEMBAHASAN

4.1.Mengintegrasikan Zakat dan Pajak di Indonesia Posisi Zakat dan Pajak Saat Ini: Sejak zaman penjajahan Belanda, menurut Aqib Suminto (Politik Islam Hindia Belanda, 1985), dana masjid yang diambil lewat institusi ZIS, telah mempunyai peranan yang besar terhadap kemajuan masyarakat. Pendayagunaannya bersifat lintas agama dengan dasar kemashlahatan. Setelah masa kemerdekaan, regulasi yang dikeluarkan meliputi Permenag No. 4 Th. 1968 tentang Badan Amil Zakat, Momerendum 11 Alim Ulama 1968 tentang Soeharto sebagai Amil Nasional, Instruksi Menag No. 16 Th 1989 Tentang Pembinaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah, SKB Menag dan Mendagri No. 19 Maret

16

1991 tentang pembinaan BAZIS dan ditutup dengan diundangkannya UU. No. 38 Th. 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Kehadiran Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan program-program pemberdayaan masyarakat muncul pasca dikeluarkan berbagai regulasi pemerintah. Hasilnya menciptakan kemandirian umat, meskipun kontribusinya belum besar bila dibandingkan dengan permasalahan yang dihadapi. Pengelolaan zakat oleh LAZ atas inisiasi para amil yang inofatif, kreatif, amnah, pathnah, dan profesional. Lembaga ini adalah entitas yang berada di luar struktur negara, tapi peran dan eksistensinya telah membantu, bahkan mengambil beberapa peran negara dalam merealisasikan kemakmuran bagi warganya. LAZ sebagai entitias yang berada di luar negara ini bersifat otonom dalam hal pendanaan dan operasioanlisasi lembaga. Peran negara sebatas pembuatan regulasi dan registrasi lembaga agar accountable, profesional, dan transparan. Bentuknya berupa proses pengukuhan, legalitas bukti setor zakat kaitannya dengan pengurang penghasilan kena pajak (tax deductable), pemberian sanksi atas penyelewengan dana oleh Amil Zakat dengan delik korupsi, dan pencabutan izin beroperasi lembaga manakala tidak sesuai lagi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga amil zakat berjalan sendiri-sendiri dan tanpa koordinasi yang jelas. Peranan pemerintan melelui BAZNAS hanya sebatas koordinator yang tidak jelas fungsi dan tugasnya. Upaya pemerintah selama ini dalam memfasilitasi pengelolaan zakat yang cukup bgus hanya melalui regulasi yang mencoba mensinergikan pajak dengan zakat saja. UU No.38 Th.1999 tentang Pengelolaan Zakat Bab IV Pasal 14 ayat (3) dijelaskan bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat (BAZ) atau lembaga amil zakat (LAZ) dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam UU No.17 Th.1983 tentang Pajak Penghasilan pasal 9 ayat (1) dikemukakan bahwa untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha, tetap tidak boleh dikurangkan; (2) harta

17

yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 3 huruf a dan b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada BAZ yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah. UU 38/1999 lebih merupakan bentuk himbauan moral, bukan ketentuan legalformal yang mengikat warga negara. Hal ini dibuktikan dengan tidak ada pasalpasal mengenai sanksi bagi mereka yang tidak mau membayar zakat. Pasal 21 hanya menjelaskan sanksi untuk pengelola zakat yang tidak profesional, bukan sanksi bagi muzakki yang enggan membayar zakat. Keberadaan UU 38/1999 ini sama saja dengan ketiadaannya. Keberadaan UU ini maksimal hanya legalisasi keberadaan lembaga pengelola zakat baik oleh pemerintah atau masyarakat.. Kedua UU tentang zakat dan pajak tersebut merupakan upaya maksimal (setidaknya untuk saat ini) untuk mengakomodasi keinginan kaum Muslim di Indonesia agar pembayaran zakat didahulukan daripada pajak, sekaligus zakat tersebut dapat mengurangi pembayaran pajak.

4.2.Formula Restrukturisasi Sistem Zakat di Indonesia Formula Restrukturisasi Sistem Zakat yang Diajukan a. Regulasi Indonesia tidak berbentuk negara Islam yang memberlakukan syariah Islam secara formal, namun ada keterlibatan negara dalam batas tertentu untuk memfasilitasi umat Islam melaksanakan ajaran agamanya. Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945, pasal 29, menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat berdasarkan agama dan kepercayaan masingmasing. Jaminan tersebut bersifat aktif, artinya negara berkewajiban menyediakan sarana dan fasilitasi yang diperlukan demi terlaksananya kewajiban beribadah.

18

Syariah Islam merupakan kebutuhan hidup para pemeluk agama Islam dan norma abadi yang berasal dari Allah itu, dapat dibagi dalam tiga kategori (Prof. Mr. Hazairin : 1983). Kategori pertama, adalah syariat yang mengandung hukum dunia, misalnya hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum zakat, dan hukum pidana. Hukum-hukum ini memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya agar dapat berjalan dengan sempurna. Kategori kedua, adalah norma abadi yang memuat syariah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya seperti shalat dan puasa. Pelaksanaan syariah ini tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara. Kategori ketiga, adalah syariah yang mengandung tuntunan hidup keruhanian (iman) dan kesusilaan (akhlak). Syariah dalam kategori ini tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya. Peranan negara dalam menjamin pengelolaan zakat harus termuat didalam regulasi yang jelas. Pembuatan UU yang tegas beserta peraturan pendukungnya mutlak diperlukan sebagai upaya pemberian ruang bagi lembaga amil untuk mengoptimalkan dana zakat. Pembuatan aturan ini meliputi subjek zakat, obyek zakat, kelembagaan zakat, fungsi pengumpulan zakat, fungsi pendayagunaan zakat, pencatatan & transparansi OPZ, pertanggungjawaban OPZ, pencegahan penyimpangan & sanksi baik yang dilakukan muzakki ataupun OPZ. b. Bentuk Struktur Kelembagaan (Penghimpunan-pengelolaan-penyaluran) Bagan Formula Struktur Kelembagaan Lembaga Amil Zakat

19

Pemerintah
1 3

Dep. agama

BAZNAS

Mustahiq (8 asnaf)

Lembaga Amil Zakat Pemerintah

Lembaga Amil Zakat Non Pemerintah (Masyarakat)

Muzzaqi (WN Muslim Wajib Zakat)

Ketentuan Yang Harus Dipenuhi : 1. Setiap warga negara yang beragama muslim dan mampu digolongkan sebagai muzzaki wajib punya NPWZ (Nomor pokok wajib pajak). 2. Zakat bisa dibayar pada setiap lembaga amil, layaknya nasabah pada suatu lembaga keuangan. 3. Fungsi lembaga bentukan pemerintah dan masyarakat: Mengumpulkan, mengelola dan menyalurkan. Bentuk badan/institusi pemerintah berupa BAZNAS 1. BAZNAS adalah lembaga yang kuat, independent & kredibel : Langsung di bawah kontrol presiden/wapres. Saat ini yang ada adalah BAZNAS sehingga peranan

BAZNAS yang berfunsi sebagai penghimpun-pengelola-penyalur zakat secara jemput bola perlu dihapus untuk dipindah kelembaga amil zakay. BAZNAS hanya berfungsi sebagai pengontrol seluruh OPZ sebaga representasi dari pemerintah. nama BAZNAS bisa diganti atau mendirikan lembaga yang baru asaalkan essensinya sama.

20

BAZNAS memutuskan dana zakat bisa langsung dipotong

dari pajak yang dikelola oleh Departemen Keuangan kerjasama Dirjen Pajak dengan BAZNAS dana yang terhimpun langsung masuk ke rekening lembaga amil yang dikehendaki muzzaki dengan kontrol dari BAZNAS. Pengelolaan zakat diserahkan ke BAZ/LAZ bentukan pemerintah atau masyarakat. BAZNAS melakukan standarisasi lembaga amil zakat baik bentukan pemerintah atau masyarakat. Konsekuensinya, dengan kondisi menjamurnya BAZ/LAZ, maka harus ada keikhlasan untuk merger antar lembaga amil zakat. Dengan demikian, semakin jelas di dalam suau wilayah ada berapa dan siapa aja BAZ/LAZ yang ada sehingga mereka tidak saling berebut pasar (ini hubungannya dengan kredibilitas LAZ/BAZ) 2. Kewenanga BAZNAS Memiliki kewenangan mengkoordinir sekaligus mengawasi semua OPZ Memiliki kewenangan untuk memberikan dan mencabut izin operasional OPZ Memiliki peran dalam melakukan mobilisasi dan pengaturan terhadap semua OPZ, sehingga sinergis Menyusun database perzakatan secara menyeluruh Pada lembaga ini akan terkumpul data lengkap seluruh muzakki, mustahik dan peta kemiskinan serta program pemberdayaan zakat yang dilakukan oleh semua OPZ Mengontrol profesionalitas kerja seperti corporate seluruh sistem perzakatan. Kedudukan BAZ/LAZ Bertugas untuk mengelola dan menyalurkan zakat dari

masyarakat. (kalau di Malaysia ada BM)

21

Ini juga harus sinergi dengan Dirjen pajak, dimana semua Dana 1/8 yang dikumpulkan oleh lembaga independent juga

wajib pajak punya NPWP menyangkut gaji pegawai BAZ/LAZ. Namun demikian, pegawai BAZ/LAZ juga berhak dapat gaji dari infak dan sedekah yang dihimpun.

BAB V PENUTUP

22

5.1.Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan : 1. Restukturisasi zakat di Indonesia dapat dilakukan dengan Pemerintah bertugas mensinergiskan dana zakat dan pajak melalui BAZNAS dan Departemen agama disalurkan untuk pembiayaan pembangunan dan sebagian untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat miskin. 5.2. Saran 1. Pemerintah : 1. Membentuk BAZNAS yang mengontrol seluruh badan amil zakat. 2. Menstandarisai seluruh badan amil zakat untuk menjadi amanah dan profesional. 3. Sosialisai pentingnya zakat dan pajak kepada seluruh warga negara yang muslim dan masuk dalam kategori muzzaqi. 2. Masyarakat : 1. Mengawasi kinerja lembaga amil zakat agar tetap berada pada prinsip yang benar.

Daftar Pustaka
Ali, Nurudin. 2006. Zakat Sebagai Instrument Dalam Kebijakan Fiskal. PT. Raja Grafindo : Jakarta.

23

Azmi, Sabahuddin. 2002. Islamic Economics. New Delhi : Goodwork Books. Badawi, Zaki. 2008. Zakat : A-new Source of Development Finance. Hafidhuddin, Didin. 2000. Peran Zakat Dalam Pembangunan Ekonomi : Jakarta, Haroen , Nasrun. 2008. Zakat dan Peran Negara. PkesInteraktif. 4 September. Hazairin, Prof. Mr. 1983.Demokrasi Pancasila : Padang. Idris ,Handi Risza.2003. Zakat Sebagai Dasar Kebijaksanaan Fiskal. PPI Malaysia : Kuala Lumpur Jalaluddin, Abul Khair Mohd. 1991. The Role of Government in an Islamic Economy. Kuala Lumpur : A.S. Noordeen. Khan , Arshi.1995. How effective are religious ideals in serving their economic goals? The case of zakat (a religious tax) in Pakistan, 1980-1995. London School of Economics : UK. Laporan Departemen Agana RI. 2008. BAZIS DKI. www.bazisdki.go.id M. Shiddiq al-Jawi, Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Zakat. Musyawarah Regional III Forum Silaturahmi Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Jateng dengan tema"Profesionalisme Pengelolaan Zakat sebagai Solusi Pembangunan Ekonomi Umat", di Aula Gedung D STAIN Surakarta, Sabtu 22 April 2006. Nasar ,M.Fuad. ZAKAT DAN PERAN NEGARA. MEDIA INFORMASI DITJEN BIMAS ISLAM. 04 June 2007 : Jakarta. Perlu Orang-orang Kompeten untuk Mengelola Zakat Kamis, 22 November 2001 | 09:54 WIB. TEMPO Interaktif : Jakarta. Qaradhawi, Yusuf. 1995. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan (Musykilah al-Faqr wa Kayfa Alajaha al-Islam). Terjemahan Syafril Halim. Gema Insani Press : Jakarta. Suharto, Ugi. 2004. Keuangan Publik Islam Reinterpretasi Zakat dan Pajak : Studi Kitab al-Amwal Abu Ubayd. Umar, Nasaruddin. 2008. ZAKAT DAN PERANAN NEGARA : Perspektif Hukum Positif di Indonesia. UU No 38 Tahun 1999. Sekretariat Negara Republik Indonesia.

24

25

Anda mungkin juga menyukai