Anda di halaman 1dari 6

Hal - 1

Mengapa Banyak Bule Masuk Kampung Lambusango?


Oleh : Dr. Edi Purwanto1 Di salah satu stasiun layar kaca (Indosiar), sekitar awal hingga pertengahan tahun 2005 lalu, begitu nge-top-nya sinetron Bule Masuk Kampung. Begitu populernya di hati para pemirsa, setiap ada orang barat (kita sering menyebut bule, artinya orang kulit putih) lewat, kita secara spontan berbisik eh itu ada bule masuk kampung. Kehadiran bule biasanya begitu menyita perhatian kita, hal itu memang wajar, mengingat mereka secara fisik, budaya dan sosial berbeda dengan kita. Mereka sering kita anggap sebagai bangsa yang segalanya jauh lebih hebat dari kita, karena itu kita biasanya begitu senang dan ramah menerima kunjungan bule, bahkan anak kecilpun begitu tertarik dan kegirangan bila melihat bule melintas, dan selalu spontan berteriak memanggil hei Mister, Mister. Orang bule umumnya berasal dari negara yang lebih maju dari negeri kita, mereka selain memiliki standar pendidikan dan kehidupan yang lebih baik, umumnya juga memiliki kocek yang jauh lebih tebal daripada kebanyakan kita, selain itu mereka memiliki kebiasaan berwisata secara rutin setiap tahunnya. Di Indonesia, Pulau Bali masih menjadi magnet utama yang menyedot kunjungan wisata para bule, walau selama satu dasa warsa terakhir, Pulau Buton dan Wakatobi telah menjadi magnet baru yang menarik kunjungan wisata bule. Ketenaran Pulau Buton di dunia internasional jelas tidak perlu diragukan, terpilihnya Kraton Buton sebagai penyelenggara seminar internasional pernaskahan kuno pada awal Agustus 2005 kemarin menunjukan bahwa budaya dan sejarah Kraton Buton begitu termasyur di dunia. Selain itu, (dan ini yang banyak kita lupakan), bahwa Buton juga memiliki warisan kekayaan dunia yang luar biasa (selain Kraton Buton), dan ini telah terbukti menarik kunjungan wisata bule dalam jumlah besar setiap tahunnya. Sayangnya hal ini belum banyak disadari (bahkan oleh kebanyakan warga Buton sendiri), yaitu bahwa kita dikaruniai Hutan Lambusango! Adalah Operation Wallacea Ltd, sebuah lembaga ekspedisi ilmiah dari Inggris yang didirikan dan dipimpin oleh Dr. Tim Coles, yang sejak tahun 1995 berhasil mengorganisasi kegiatan wisata ilmiah (mereka biasa menyebut dengan istilah ekspedisi ilmiah) di Hutan Lambusango dan Kepulauan Wakatobi. Dengan didukung oleh manajemen yang baik dan promosi gencar setiap tahunnya, bahkan hal ini dilakukan sendiri oleh Dr. Tim Coles secara door-to-door di hampir setiap Universitas di Inggris, Operation Wallacea Ltd telah mampu menarik ratusan mahasiswa dan peneliti bule setiap tahunnya untuk berwisata ilmiah sambil membuka berbagai misteri keragaman hayati biologi Hutan Lambusango. Sebelum berbicara panjang lebar tentang Hutan Lambusango perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hutan Lambusango (dalam tulisan ini sering disingkat HL), adalah bukan semata hutan yang berada di sekitar Desa Lambusango, melainkan merupakan ekosistem hutan alam tropis dataran rendah yang berada di Pulau Buton bagian selatan. Secara administratif
1

Direktur Operation Wallacea Trust, Jl. Labalawo No. 25, Baubau, Sulawesi Tenggara,

HP : 081 296 55 233, website : www.owt.or.id

Hal - 2

wilayah ini berada di Kabupaten Buton (Kecamatan Kapontori, Lasalimu, Lasalimu Selatan, Siontapina, Wolowa, dan Pasarwajo). Berdasarkan statusnya dapat dibedakan menjadi tiga; (1) Suaka Margasatwa (SM) Lambusango ( 28.510 ha); (2) Cagar Alam (CA) Kakenauwe ( 810 ha). Keduanya saat ini berada dibawah pengelolaan Departemen Kehutanan (Balai Konservasi Sumberdaya Hutan, Sulawesi Tenggara/BKSDA); (3) Kawasan hutan lindung dan produksi yang berada di sekitar kawasan konservasi ( 35.000 ha) yang dikelola oleh Pemerintah daerah Kabupaten Buton (Dinas Kehutanan Kabupaten Buton). Pertanyaannya, mengapa Operation Wallacea Ltd dan para bule itu begitu tertarik berwisata ilmiah di Hutan Lambusango? Mengapa mereka rela meluangkan waktu dan biaya yang tidak sedikit (ribuan dollar, pululan juta rupiah), serta melakukan perjalanan jauh (ribuhan kilometer) untuk berwisata ilmiah di HL? Perlu kita ketahui bahwa selama ini, kegiatan wisata ilmiah yang mampu menyedot bule dalam jumlah ratusan orang hanya semata dilakukan oleh Operation Wallacea Ltd, dan itu hanya terjadi di Hutan Lambusango dan Kepulauan Wakatobi. Padahal Indonesia dikenal memiliki hutan tropis yang begitu luas (sekitar 100 juta ha) dan kaya keragaman hayati. Lalu, mengapa para bule itu tidak memilih datang ke Sumatera, Kalimantan atau Papua, yang notabene hutannya tidak kalah bagus dan luas, tetapi mereka menentukan pilihannya di Hutan Lambusango. Nah ini dia .. Ada apa dengan Hutan Lambusango? Jawabannya antara lain diuraikan di bawah ini.

Hutan Lambusango memiliki keragaman hayati endemik yang tinggi


Istilah keragaman hayati digunakan untuk menggambarkan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan; peran ekologis yang ditampilkan, dan keanekaragaman genetis yang dikandungnya. Keanekaragaman hayati membentuk dasar bagi kelangsungan semua kehidupan di bumi. Tumbuhan dan satwa yang berbeda menjalankan fungsi-fungsi ekologis yang sangat menentukan bagi kehidupan kita. Tumbuhan menyediakan makanan bagi kita, pepohonan menyediakan kayu untuk bangunan. Kemudian kulit kayu, daun, buah dan bunga dapat dimakan atau penting sebagai sumber bahan obat-obatan. Pohon yang tinggi memberikan naungan, makanan dan perlindungan bagi satwa, serta menopang rotan. Kelelawar buah (Ponisi) menyerbuki tanaman pangan seperti pisang, mangga dan pepaya yang menjadi sumber makanan. Kelelawar, ular dan katak memangsa nyamuk, dengan demikian mereka berperan mencegah penyebaran penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Burung Halo dan Andoke memakan buah dan bijinya tersebar, sehingga dapat memperluas penyebaran pohon-pohon yang bermanfaat bagi kehidupan. Hutan yang utuh mampu menyimpan air dan mengalirkannya secara menerus, sehingga diwaktu musim hujan tidak kebanjiran, sedangkan di musim kemarau tidak bingung kekurangan air. Hutan juga mencegah erosi dan tanah longsor, menyediakan habitat yang penting bagi hidupan liar, dan memberi kita udara yang bersih dan segar. Singkatnya, keragaman hayati menyediakan tumbuhan dan satwa yang beragam, dimana darinya kita dapat menuai berbagai manfaat baik langsung maupun tidak langsung. Kondisi inilah yang selama ini menjamin lingkungan kehidupan kita terasa tetap aman, nyaman dan sejahtera.

Hal - 3

Sedangkan yang dimaksud dengan keragaman hayati endemik adalah keragaman jenis tumbuhan dan satwa yang hanya dijumpai di wilayah tertentu saja. Misalnya, Gajah Sumatera hanya terdapat di Pulau Sumatera. Dengan demikian Gajah Sumatera (Elephas maximus) adalah satwa endemik hutan tropis di Sumatera, namun bukan satwa endemik hutan tropis di WayKambas (Lampung Timur), karena di hutan lain di Lampung Barat, Utara dan Selatan, bahkan di Provinsi Riau, dan Sumatera Utara-pun dijumpai gajah dengan ciri biologis dan genetis yang sama. Dengan demikian dapat disebut bahwa Gajah Sumatera adalah satwa endemik Pulau Sumatera, namun bukan satwa endemik Way-Kambas atau Riau. HL memiliki kekayaan satwa endemik Sulawesi, artinya sebagian besar satwa endemik (yang hanya dijumpai) Sulawesi dapat ditemukan di Hutan Lambusango. Lalu mengapa Pulau Sulawesi dikenal memiliki keragaman hayati endemik yang tinggi? Ceritanya menurut teori geologi, kira-kira 40 juta tahun silam, lempeng Benua Australia bergerak kearah utara kemudian menabrak lempeng Benua Asia dan menciptakan Sulawesi bagian timur. Sulawesi bagian timur ini kemudian bergerak kearah utara kemudian menabrak Sulawesi bagian barat dan mengawali penyatuan antara keduanya, konon hal ini terjadi sekitar 15 juta tahun yang lalu. Tabrakan tektonik ini menghasilkan bentuk Pulau Sulawesi sebagaimana kini, dengan puncak-puncak gunung disegala penjuru serta lembah-lembah yang dalam. Mengingat kedua bagian Sulawesi berasal dari benua yang berbeda, konsekuensinya, masing-masing bagian membawa campuran tumbuhan dan satwa yang berbeda. Dengan kata lain, tumbuhan dan satwa Pulau Sulawesi merupakan campuran dari dua benua, yaitu Benua Asia dan Australia. Sebagaimana difahami bahwa Sulawesi merupakan pulau terbesar di Zona Wallacea. Yang dimaksud dengan Zona Wallacea adalah suatu wilayah peralihan (transisi) atara Benua Asia dan Australia. Disebut sebagai Wallaceae karena yang menemukan fenomena peralihan tersebut adalah seorang ilmuwan Inggris bernama Alfred Wallacea, dimana pada abad 19 melakukan penelitian biologi di Indonesia. Yang perlu dicatat bahwa Pulau Sulawesi selalu dalam kondisi terisolasi sejak terbentuknya, mengingat pulau ini dikelilingi oleh palung-palung laut yang dalam. Besarnya ukuran pulau dan lamanya terisolasi telah membuat jenis tumbuhan dan satwa Sulawesi tidak dipengaruhi oleh sumber genetik dari Asia maupun Australia dalam jangka lama. Singkatnya, kenapa Sulawesi memiliki keragaman hayati endemik tinggi, karena tumbuhan dan satwa Sulawesi berasal dari dua benua, kemudian berevolusi dalam kondisi terisolasi dalam jangka waktu yang lama (jutaan tahun!). Hutan Lambusango memiliki lima satwa kebanggaan (flagship species), yaitu Anoa (Bubalus sp.), Kuskus (Phalanger ursinus), Julang Sulawesi (Burung Halo, Aceros cassidix), Andoke (Macaca ochreata brunnescens) dan Tangkasi (Tarsius sp.). Kelima satwa tersebut merupakan satwa endemik Sulawesi yang dapat ditemukan di HL. Endemisitas yang tinggi ini telah terbukti mampu memacu rasa keingintahuan para ahli konservasi biologi, sehingga mereka tidak merasa rugi jauh-jauh, dan menghabiskan banyak uang untuk berwisata ilmiah di HL, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang telah datang berkali-kali. Alasan utamanya, karena HL memiliki keunikan dan eksotisitas yang tinggi!

Hal - 4

Dari jenis burung saja, HL memiliki kekayaan burung endemik lebih dari 30 jenis! Berbagai jenis burung yang berwarna-warni begitu sangat mudah dilihat dan diamati, karena HL memiliki tajuk pohon yang tidak begitu tinggi. Burung Halo yang begitu langka misalnya, begitu mudahnya dilihat terbang berpasangan pada saat kita melintas jalur jalan antara Desa Wakangka dan Kakenauwe (Labundo-Bundo) yang menembus Cagar Alam Kakenauwe dan Suaka-Margasatwa Lambusango. Apabila kita melintas jalur jalan tersebut pada pagi hari (antara jam 5.30 sampai jam 7.00), selain bisa merasakan segar dan bersihnya udara hutan tropis, kita akan begitu terhibur oleh ocehan Pelanduk Sulawesi (Sulawesi Babler, Trichastoma celebese), jumlahnya cukup melimpah dan sering terlihat bertengger di lapisan bawah hutan. Dan tentunya masih banyak hal lain yang menarik dari hutan ini.

Hutan Lambusango masih menjadi rumah Anoa


Anoa merupakan sapi kerdil (keluarga Bovini/sapi-sapian) yang merupakan satwa endemik Sulawesi (dan pulau lepas Pantai, termasuk Pulau Buton) dan merupakan satwa yang dilindungi oleh hukum baik secara nasional2 maupun internasional3. Berburu Anoa dan memperdagangkan daging Anoa merupakan kegiatan melanggar hukum. Di dunia ini, jumlah populasi Anoa diperkirakan kurang dari 300 ekor4, dimana sekitar 100 ekor atau sepertiganya berada di Hutan Lambusango. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa HL merupakan benteng terakhir bagi keberadan Anoa di dunia yang sekaligus menjadi maskot Propinsi Sulawesi Tenggara. Sayangnya, jumlah satwa kebanggaan bumi Anoa ini terus merosot karena kerusakan habitat dan perburuan liar. Sebagaimana diketahui bahwa Anoa adalah satwa yang sangat sensitif dan peka terhadap kehadiran manusia dan menyukai hutan-hutan primer yang tidak pernah didatangi manusia. Oleh kartena itu, ketika hutan-hutan mulai dirambah manusia untuk lahan pertanian, ditebang pohon dan rotannya, maka Anoa semakin terdesak dan semakin masuk ke hutan atau ke bukitbukit yang jarang didatangi manusia. Akibatnya habitat mereka menjadi semakin sempit, makanan semakin terbatas. Semakin terisolirnya habitat Anoa berdampak pada merosotnya keragaman genetik dan meningkatnya resiko kepunahan populasi. Sungguh memilukan bahwa Anoa terus-menerus diburu dan dibantai tanpa ampun, demi sepenggal daging dan sekeping rupiah di bumi-nya sendiri. Tanpa kepedulian kita bersama, Anoa di HL akan segera lenyap dan hanya menjadi cerita pengantar tidur anak-anak. Dan . apabila Hutan Lambusango tidak lagi menjadi rumah Anoa, Pulau Buton dan desa-desa disekitar HL mungkin akan segera terhapus dari peta wisata dunia para bule. Kita semuanya
2

Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar. 3 Anoa adalah satwa yang masuk kategori langka (red-list) menurut World Conservation Union (IUCN), Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES), Appendix 1 (tidak boleh diperdagangkan). 4 Sebagian besar habitat Anoa berada di Taman Nasional (TN) Lore Lindu, TN Bogani Nani-Wartabone, TN Rawa Aopa-Watumhai, Cagar Alam (CA) Lambusango, CA Buton Utara.

Hal - 5

tentunya tidak ingin hal tersebut terjadi, karena itu sudah saatnya kita berusaha keras untuk mengendalikan dan kalau bisa menghentikan perburuan Anoa. Mari kita pertahankan keberadaan HL agar masih dan tetap menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi Anoa!

Hutan Lambusango aman dikunjungi


Keamanan (safety) menjadi pertimbangan utama dan pertama bagi para pelancong bule. Masalah keamanan ini sering mengharu-biru kesehatan bisnis wisata di negeri ini yang sering disalah-fahami sebagai sarang teroris. Kita melihat, bagaimana surutnya jumlah turis asing begitu bom Bali satu meledak pada tahun 2002. Ironisnya, walau ledakan bom teroris ini bukan monopoli di Indonesia (bahkan di London-pun tak luput dari guncangan bom), tetapi turis asing itu begitu takut dan traumanya berkunjung ke bumi pertiwi, seakan seluruh persada nusantara ini berada dalam cengkeraman para teroris. Pada tahun 2002, bule yang berkunjung ke HL mencapai lebih dari 300 orang, setelah bom Bali satu meledak, jumlah kunjungan langsung merosot hingga kurang dari 100 orang. Untungnya, kondisi keamanan Pulau Buton selama ini sangat kondusif, sehingga masih banyak bule yang terus berdatangan. Dari sisi keamanan hutannya, HL juga tergolong sangat aman untuk dihuni. Di hutan ini tidak ada harimau yang berpeluang memangsa manusia jika mereka kelaparan. Disini tidak ada kawanan gajah yang bisa jadi tiba-tiba muncul dan menerjang tenda-tenda peneliti bule di tengah hutan. Absennya satwa yang membahayakan, telah membuat para bule itu dapat tenang dan nyaman tidur di hammock (tempat tidur gantung), sambil menikmati suasana malam di hutan tropis.

Hutan Lambusango mudah dikunjungi


Hutan Lambusango sangat mudah dijangkau, selain telah dikelilingi secara temu-gelang oleh jalan propinsi/Kabupaten, berbagai jenis transportasi tersedia (bus, pick-up, truk, ojek) selama hampir 24 jam, tanpa mengenal musim, serta dapat mengantar hingga tepat di depan jalan akses masuk hutan. Sungguh tidak mudah mencari padanan hutan seperti ini di Indonesia. Hutan di tempat lain biasanya terletak pada wilayah yang remote (tepencil), sulit dijangkau dan memerlukan waktu berhari-hari untuk mencapainya. Banyak diantara hutan tropis yang hanya layak dijangkau pada musim kemarau, karena pada musim hujan jalannya tidak saja becek, namun penuh dengan kubangan, sehingga tidak hanya tidak nyaman tetapi terkadang juga tidak mungkin dijangkau melalui transportasi darat.

Hutan Lambusango dipangku oleh masyarakat berbudaya


Masyarakat Buton memiliki perangai yang ramah, terbuka dan suka membantu serta berbudaya bersih dan rapi. Karakter seperti ini sangat kondusif bagi bekembangnya kegiatan wisata berbasis alam (ekowisata) yang menarik pelancong bule. Sebagaimana budaya dari daerah asalnya, bule menyukai kebersihan dan kerapian.

Hal - 6

Sungguh beruntung bahwa masyarakat yang berada disekitar HL memiliki budaya bersih. Rumah, halaman, kebun dan tempat-tempat umum ditata begitu rapi dan bersih. Kondisi seperti ini antara lain dapat kita amati di Desa Kakenauwe (Labundo-Bundo), desa yang bersih dan permai ini dapat menyediakan sebagian rumah tinggalnya menjadi home-stay yang tertata apik dan rapi sehingga sangat layak dihuni oleh para tamu bule itu. Dari uraian diatas jelaslah bahwa sedikitnya ada lima pesona utama yang menyebabkan para bule itu masuk kampung Lambusango. Singkatnya, selain aman, nyaman dan mudah untuk dikunjungi, Hutan Lambusango memiliki pesona keindahan dan menjadi benteng terakhir bagi berbagai jenis satwa endemik Sulawesi. Dengan demikian, adalah wajar bila para bule itu begitu tertarik untuk datang ke Lambusango. Lebih dari itu, dan ini sebetulnya yang terpenting, bahwa HL adalah benteng kehidupan masyarakat Buton itu sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana gersang dan sulitnya hidup, apabila pulau karang yang gersang ini tidak ditumbuhi oleh hutan tropis yang lebat sebagaimana kini. Berbagai permasalahan akan segera timbul, yaitu sulitnya mendapat air bersih di musim kemarau, terjadi banjir dan tanah longsor di musim hujan, turbin pembangkit listrik yang tidak lagi berputar (karena seretnya pasokan air), tingginya sedimentasi sungai dan lenyapnya kekayaaan dan keindahan ekosistem pantai, karena tertimbun oleh sedimen dari wilayah pegunungan yang telah telanjang tanpa kehijauan hutan. Berbagai hama dan penyakit akan merajalela karena hilangnya musuh-musuh alami (biologis) yang selama ini berada di hutan. Wajah dan kehidupan pulau ini akan semakin kusam dan sulit, sehingga mungkin tidak ada satupun bule yang tertarik lagi untuk berkunjung ke kampung Lambusango. Dengan demikian melestarikan Hutan Lambusango bukan hanya penting agar bule nyaman masuk kampung, tetapi yang terpenting adalah agar kita dan anak cucu kita bisa tetap hidup nyaman di kampung halaman kita sendiri !

Anda mungkin juga menyukai