Anda di halaman 1dari 9

OPTIMALISASI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA MELALUI PRINSIP-PRINSIP ART OF WAR SEBAGAI PENUNJANG REFORMASI BIROKRASI

Oleh : Dian Meilinda Mahasiswi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Pendahuluan Ketika mendengar atau membaca kata birokrasi, bayangan apakah yang terbentuk dalam kepala Anda? PNS? Prosedur yang lama dan ruwet? Pungutan liar saat membuat KTP? Sebenarnya, inti dari birokrasi adalah sistem. Menurut M.J. Alexander, sistem adalah suatu grup dari elemen-elemen baik berbentuk fisik maupun nonfisik yang menunjukkan suatu kumpulan saling berhubungan diantaranya dan berinteraksi bersama-sama menuju satu atau lebih tujuan, sasaran atau akhir dari sistem. Dalam telaah birokrasi, terbentuk kesatuan elemen-elemen yang berupa sumber daya, prosedur, organisasi, pekerjaan, dan teknologi. Pada ranah birokrasi pemerintah, yang hendak dicapai oleh kesatuan elemen-elemen tersebut adalah pemenuhan tujuan negara. Negara terdiri atas ratusan juta rakyat, ratusan juta kepala dan pemikiran yang, bisa jadi, tiap orang memiliki tujuan hidupnya masing-masing dan berbeda satu dengan yang lain. Namun ketika rakyat ini telah bersatu membentuk suatu negara, mereka semua terikat oleh benang merah yang sama, yang mengarah pada tujuan bersama sebagaimana telah dirumuskan ketika pendirian negara tersebut. Untuk menyatukan banyak orang tentu bukan hal yang mudah. Untuk menampung semua aspirasi dan keikutsertaan rakyat dalam pemenuhan tujuan negara, dibutuhkan suatu sistem sebagai jembatan yang dapat dilalui semua orang yang mengarah pada pencapaian tujuan bersama. Sistem tersebut adalah birokrasi. Birokrasi yang Ideal

Sistem birokrasi ideal yang modern digagas oleh Max Weber, dengan prinsip-prinsip bentuk birokrasinya yang berupa : 1) Adanya struktur hirarkis formal. Hal ini harus terdapat pada setiap tingkat yang berada di bawah kontrol dan dikendalikan secara terpusat untuk perencanaan dan pengambilan keputusan. Hirarki formal ini menjadi ciri khas birokrasi dan menimbulkan kesan kaku. Kaku disini berarti adanya proses prosedural yang harus selalu diikuti dalam setiap kegiatan dan melewati setiap tingkatan kekuasaan, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. 2) Adanya manajemen dengan aturan yang jelas. Sistem manajemen digunakan sebagai alat pengendali agar kebijakan yang dibuat pada tingkat atas dapat dilaksanakan secara konsisten oleh tingkatan-tingkatan di bawahnya. 3) Adanya organisasi dengan fungsional yang khusus. Artinya, yaitu memberikan pekerjaan kepada orang-orang yang memang ahli di bidang tersebut dan disusunnya unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan. Diperlukan adanya proses seleksi dalam pemilihan pegawai yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi serta pengembangan keterampilan pegawai untuk langkah selanjutnya. Tujuannya adalah agar setiap program dan kegiatan dapat dilakukan secara efisien dan efektif. 4) Mempunyai misi target. Sistem birokrasi pemerintah harus memetakan dengan jelas hal-hal yang menjadi visi, misi, dan tujuan serta sasaran yang ingin dicapai. Rumusan tersebut berlaku sebagai acuan setiap program dan kegiatan yang dilakukan pemerintah agar selalu terarah. Banyaknya kebutuhan negara yang harus dipenuhi tentu diiringi dengan banyaknya program untuk mencapai tujuan tersebut. Namun tidak semua usulan program dapat dilaksanakan, karena adanya keterbatasan waktu, sumber daya dan biaya. Oleh karena itu perlu dilakukan seleksi program, mana yang secara

langsung maupun tidak langsung dapat menunjang tercapainya misi pemerintah. 5) Perlakuan secara impersonal. Yaitu adanya perlakuan yang sama terhadap semua pelaksana, baik bawahan maupun atasan serta terhadap setiap kepentingan, terutama yang menyangkut kepentingan rakyat. Hal ini dapat mencegah terjadinya kesenjangan yang besar antara tingkatan pegawai dan menjamin keadilan dalam hirarki formal. Misalnya, dapat dilihat dari segi hukum yaitu dengan pengertian bahwa semua pegawai memiliki kedudukan yang sama di mata hukum, atasan maupun bawahan apabila melanggar ketentuan maka harus ditindak tegas sesuai peraturan yang berlaku. 6) Bekerja berdasarkan kualifikasi teknis. Prinsip ini merupakan perlindungan bagi pelaksana agar dapat terhindar dari pemecatan sewenang-wenang saat menjalankan tugasnya. Birokrasi di Indonesia memang belum sempurna, masih banyak masalah dan keruwetan yang terjadi di sana-sini. Dari keluhan-keluhan tersebut muncullah berbagai gagasan tentang reformasi birokrasi, bagaimana cara yang efektif untuk membuat birokrasi kita benar-benar bisa melayani masyarakat dengan sebaikbaiknya serta sebagai jalan untuk mencapai tujuan nasional. Pentingnya Pengembangan SDM Reformasi birokrasi yang digagas di Kementerian Keuangan dilandasi tiga pilar utama, yaitu penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, serta peningkatan disiplin dan manajemen SDM. Ada dua hal utama yang perlu diperbaiki dalam birokrasi kita, yaitu sistem dan SDM. Dan karena sistem merupakan sebuah karya buatan manusia, maka hal terpenting yang mendasari optimalnya reformasi birokrasi adalah: sumber daya manusia. Para pegawai. Para pimpinan. Dan yang tak kalah penting, masyarakat umum sebagai stakeholder. Dalam situs resmi reformasi birokrasi milik kementerian keuangan, dijelaskan bahwa sebelumnya hal-hal yang berkaitan dengan pegawai negeri sipil akrab

dengan istilah kepegawaian dan identik dengan urusan administratif saja. Namun sejak perubahan paradigma kepegawaian yang dimulai pada akhir tahun 2006, dilakukan penajaman fungsi Biro Kepegawaian untuk melaksanakan perubahan dalam sistem pengelolaan dan pembinaan SDM. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan terkait pengembangan SDM berupa pelaksanaan diklat, pembangunan assessment center, penyusunan pedoman dan penetapan pola mutasi, peningkatan disiplin, serta pengintegrasian sistem informasi manajemen kepegawaian. Namun kegiatan-kegiatan tersebut lebih mengarah pada hal teknis yang mendukung pendayagunaan SDM daripada melihat sosok manusianya sendiri. Juta Ajrullah dalam situs blog pribadinya menyatakan bahwa faktor SDM sangat erat kaitannya dengan faktor budaya. Budaya memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja reformasi, karena reformasi sangat terkait dengan kepercayaan, nilai-nilai dan sikap yang diadaptasi dan dikembangkan dalam birokrasi (Abueva, 1970). Indonesia merupakan negara multikultur yang mempunyai beragam kebudayaan. Para pegawai juga berasal dari daerah yang berbeda-beda dan membawa prinsip hidup yang berbeda-beda pula, yang dipengaruhi oleh perkembangan sosialnya di lingkungan keluarga tempat mereka dewasa. Namun kiranya tak ada satupun kebudayaan di negeri ini yang mengajarkan budaya korupsi yang begitu mengakar di dalam sistem birokrasi republik ini. Pengembangan SDM merupakan sebuah cara untuk memanusiakan manusia. Pegawai tidak hanya dipandang sebagai sebuah alat semata yang harus dimanfaatkan dan dieksplorasi sebesar-besarnya untuk kepentingan organisasi, tetapi organisasi juga harus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka sebagai manusia. Abraham Maslow dengan Teori Kebutuhan Bertingkatnya menyatakan bahwa kebutuhan manusia dibedakan atas lima jenis yang pemenuhannya bertingkat, yaitu : kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan kasih sayang, harga diri, serta aktualisasi diri. Tingkatan yang tertinggi adalah kebutuhan akan aktualisasi diri, yakni keinginan individu untuk menunjukkan potensi yang

dimilikinya. Apabila kebutuhan ini telah terpenuhi, akan terjadi peningkatan kualitas SDM yang berdampak pada meningkatnya kualitas kerja. Optimalisasi Pengembangan SDM dengan Prinsip-Prinsip Art of War Ada beragam metode yang dapat digunakan dalam optimalisasi pengembangan SDM. Salah satunya dengan menerapkan prinsip-prinsip seni berperang seperti yang dikemukakan Sun Tzu dalam kitab strategi perangnya yang terkenal, The Art of War. Strategi ini telah banyak diikuti oleh para pemimpin perang dunia meskipun bukunya sendiri ditulis kurang lebih 2500 tahun yang lalu. Apabila ditelaah dengan saksama konsep dan filosofinya, sebenarnya prinsip-prinsip perang Sun Tzu tak hanya dapat diterapkan dalam strategi perang, tapi bisa juga digunakan untuk bidang kehidupan yang lain. Dewasa ini banyak pelaku bisnis yang menyadari hal tersebut dan menerapkan prinsip-prinsip Sun Tzu dalam menjalankan kegiatan bisnis mereka. Bahkan Columbia University menjadikan The Art of War sebagai bacaan wajib untuk mengikuti kursus tentang kewirausahaan yang diadakan universitas tersebut. Selanjutnya, untuk reformasi birokrasi melalui pengembangan SDM, prinsip-prinsip Sun Tzu dapat diimplementasikan sebagai berikut: The Art of War terdiri atas 13 bab, yaitu kalkulasi, perencanaan, strategi, kekuatan pertahanan, formasi, kekuatan dan kelemahan, manuver, sembilan variasi, mobilitas, tanah lapang, sembilan situasi klasik, menyerang dengan api, serta intelijen. Sun Tzu menyatakan bahwa dalam peperangan ada lima hal yang harus dipertimbangkan, yaitu the moral law (alasan moral), heaven (alam), earth (situasi), the commander (kepemimpinan), dan method and discipline

(kedisiplinan). Dengan memahami konsep-konsepnya, lima hal ini dapat pula diterapkan untuk peningkatan SDM dalam pelaksanaan reformasi birokrasi. a. The Moral Law (Alasan Moral) Alasan moral dideskripsikan sebagai keyakinan rakyat untuk

mengutamakan kepentingan bersama demi tercapainya tujuan negara. Prinsip ini harus ditanamkan pada setiap pegawai pemerintahan, baik atasan maupun
5

bawahan. Yang ditegaskan di sini adalah meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi serta semangat nasionalisme harus selalu dikobarkan. Bagaimana cara yang efektif untuk menanamkan prinsip ini? Pada jenjang pendidikan formal mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, pihak sekolah mengajarkan dan menumbuhkan semangat nasionalisme dengan melakukan kegiatan rutin upacara bendera setiap hari Senin. Pada tingkat kementerian, cara ini bisa juga dilakukan tapi dengan kegiatan yang berbeda, upacara bendera diganti dengan kajian nasionalisme yang diadakan secara rutin setiap minggu, dengan waktu 30 menit sampai satu jam saja. Kajian ini bisa diisi dengan pemberian motivasi, pemutaran film atau video, games, atau hal lain yang bisa meningkatkan rasa kecintaan terhadap negara Indonesia dan menumbuhkan semangat kerja demi kepentingan rakyat. Selain itu, seperti yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Kiagus Ahmad Badaruddin selaku Tim Ketua Pelaksana Reformasi Birokrasi di lingkungan kementerian keuangan yang dikutip dari Media Keuangan, penerapan nilai budaya Kementerian Keuangan harus terus dipegang teguh dalam melaksanakan tugas sehari-hari, mengungkapkan pikiran, dan menyusun sistem dan peraturan. Nilai-nilai tersebut meliputi integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan.

b. Heaven (Alam) Prinsip ini berkaitan dengan cuaca, iklim, dan waktu. Biro kepegawaian harus dapat menganalisis fenomena yang terjadi seputar pegawai yang diperkirakan dapat mempengaruhi kualitas kerja. Misalnya, ketika terjadi epidemi atau wabah penyakit, pihak kantor hendaknya memberi perhatian kepada kondisi kesehatan para pegawainya dengan mengadakan sosialisasi kesehatan (dapat bekerjasama dengan kementerian kesehatan), atau dengan pencegahan penyebaran penyakit di lingkungan kerja (misalnya untuk mencegah malaria dilakukan fogging). Perhatian yang diberikan pada pegawai akan membuat pegawai merasa dihargai oleh kantor tempatnya bekerja sehingga dapat meningkatkan semangat kerja, seperti telah dijelaskan

sebelumnya mengenai teori kebutuhan Maslow bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Selain itu, tentu kita sering mendengar bahwa satu kebaikan akan diikuti oleh kebaikan lainnya. Tempat kerja yang baik kepada pegawainya tentu akan lebih disukai dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap tempat kerja tersebut, sehingga apabila ada kesempatan untuk berbuat curang atau ilegal di kantor, akan ada rasa segan. Rasa segan ini timbul karena apabila tindakan ilegal tersebut, misalnya korupsi, terdeteksi oleh hukum, maka yang tercemar nama baiknya tak hanya si pegawai tapi juga pimpinannya serta kantor dan kementerian/lembaga tempatnya bekerja.

c. Earth (Situasi) Dalam prinsip ini dipertimbangkan kondisi fisik. Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip sebelumnya, yang memperhatikan kondisi fisik lingkungan kerja. Tempat kerja yang kondusif tentu lebih menghasilkan pekerjaan yang berkualitas daripada lingkungan yang kacau balau. Tak hanya peran pimpinan yang berpengaruh di sini, tetapi juga peran para pegawai karena merekalah yang merasakan dampak langsungnya. Diperlukan dasar hukum yang jelas untuk mengatur perilaku dan suasana lingkungan kerja, misalnya yang sempat ramai dibicarakan di media massa adalah adanya rancangan undang-undang yang melarang para wanita menggunakan rok mini untuk bekerja. Sebenarnya hal-hal semacam ini lebih mengarah ke hal-hal yang bersifat etis, namun karena setiap pegawai mempunyai kebudayaan dasar yang berbeda-beda, maka harus ada satu peraturan tunggal yang dapat mempersatukan semua perbedaan pandangan.

d. The Commander (Kepemimpinan) Diperlukan sosok pemimpin yang bijaksana, percaya diri, berani serta bertanggung jawab. Akan ada nilai tambah juga apabila sang pemimpin ini mampu menciptakan situasi yang kondusif dan nyaman untuk bekerja. Dengan berkembangnya sistem demokrasi, saat ini pemimpin yang otoriter cenderung

tidak efektif dan malah akan menimbulkan banyak masalah baru. Paul Hersey bersama dengan Blanchard mengembangkan metode framework situational leadership. Teori ini membagi empat jenis situasi dalam kepemimpinan, yaitu telling, selling, participating, dan delegating. Dalam situasi telling, pimpinan memberikan instruksi yang spesifik dan mengawai kinerja secara dekat. Gaya kepemimpinan ini digunakan ketika para bawahan tidak memiliki kemampuan dan kepercayaan diri. Di dalam kementerian keuangan, instruksi yang spesifik telah terlihat dalam tiap SOP (standard operating procedure). Gaya kepemimpinan kedua adalah selling, yaitu menjelaskan keputusan dan mengklarifikasi kepada para bawahan. Gaya ini digunakan apabila bawahan tidak memiliki kemampuan, tetapi kepercayaan dirinya tinggi. Yang ketiga adalah participating, yaitu membagi ide dan memfasilitasi bawahan dalam mengambil keputusan. Participating tepat digunakan apabila bawahan mempunyai kemampuan tetapi tidak percaya diri. Gaya yang terbaik adalah yang keempat, yaitu delegating. Pada situasi ini, pimpinan mendelegasikan wewenang, pengambilan keputusan, serta implementasi. Gaya ini digunakan apabila bawahan memiliki kemampuan dan kemauan. Pada KPPN Percontohan, gaya yang cocok digunakan adalah gaya ini karena setiap pegawai KPPN harus memiliki kemampuan atau kompetensi di bidang keuangan negara serta memiliki kemauan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dengan menyadari bahwa KPPN adalah ujung tombak keuangan negara di republik ini.

e. Method and Discipline (kedisiplinan) Inti dari prinsip ini adalah mengenai imbalan, ancaman, hukuman dan logistik. Di kementerian keuangan telah diterapkan sistem reward and punishment yang dapat menciptakan pengelolaan keuangan negara dengan lebih efektif. Yang perlu ditambah dan dijaga adalah motivasi para pegawai dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Masalah kedisiplinan juga telah menjadi perhatian pemerintah sejak lama, yaitu dengan adanya landasan hukum yang kuat berupa Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang

disiplin pegawai negeri sipil. Dalam PP ini diatur mengenai kewajiban dan larangan PNS, pelanggaran dan jenis hukuman, pejabat-pejabat yang berwenang menghukum, tata cara pemanggilan, penyampaian, dan penjatuhan hukuman disiplin, serta upaya administratif yang dapat ditempuh dan kegiatan pendokumentasian hukuman disiplin. Untuk mendukung penerapan disiplin ini, di kantor-kantor Kementerian Keuangan juga telah ada fasilitas yang memadai, seperti pemindai sidik jari untuk keperluan absen, sistem informasi kepegawaian yang dapat mengolah data pelanggaran pegawai, dan lain sebagainya. Ketika peraturan telah ada dan fasilitas pun menunjang, yang perlu dikembangkan selanjutnya adalah pembinaan moral untuk

menumbuhkan kesadaran pegawai itu sendiri akan pentingnya kedisiplinan dalam bekerja. Simpulan Birokrasi di Indonesia memang masih belum sempurna, belum bisa memuaskan seluruh rakyat sebagai stakeholder sistem ini. Untuk mengatasi hal tersebut, gagasan mengenai reformasi birokrasi telah banyak disampaikan. Kementerian Keuangan sendiri mempunyai tiga landasan utama reformasi birokrasi, yaitu penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, serta peningkatan disiplin dan manajemen SDM. Ada beragam cara yang dapat digunakan dalam optimalisasi pengembangan SDM, salah satunya adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip seni berperang seperti yang dikemukakan Sun Tzu dalam kitab strategi perangnya yang terkenal, The Art of War. Dalam buku tersebut dikemukakan lima hal yang harus dipertimbangkan, yaitu the moral law (alasan moral), heaven (alam), earth (situasi), the commander (kepemimpinan), dan method and discipline (kedisiplinan). Dengan memahami konsep-konsepnya, lima hal ini dapat pula diterapkan untuk peningkatan SDM dalam pelaksanaan reformasi birokrasi.

Anda mungkin juga menyukai

  • Tug As
    Tug As
    Dokumen9 halaman
    Tug As
    Dian Meilinda Uchiha
    Belum ada peringkat
  • Resume Pu
    Resume Pu
    Dokumen18 halaman
    Resume Pu
    Dian Meilinda Uchiha
    Belum ada peringkat
  • Creep
    Creep
    Dokumen2 halaman
    Creep
    Dian Meilinda Uchiha
    Belum ada peringkat
  • Creep
    Creep
    Dokumen2 halaman
    Creep
    Dian Meilinda Uchiha
    Belum ada peringkat
  • Analisis LRA
    Analisis LRA
    Dokumen7 halaman
    Analisis LRA
    Dian Meilinda Uchiha
    Belum ada peringkat