Anda di halaman 1dari 1

Sekeping Memori Hidup

Aku tidak bisa berhenti memandangi Incoming Calls dihandphoneku. Dari sekian banyak nomor yang menghubungiku, aku hanya terpaku pada satu titik, satu tanggal, satu waktu, dan satu nama. Di l ayar itu tertulis nama Tutut Sari Lestari. Suatu kebiasaanku dalam memberi nama di kontak handphoneku. Seseorang yang spesial akan kuberi nama dengan nama lengkapnya. Daripada harus memberi embelembel beibi atau sayang aku lebih prefer menuliskan nama lengkapnya. Tutut Sari Lestari, apanya aku ya? Pacar bukan, walaupun banyak yang bilang kita kayak pacaran. Sahabat pastinya, tapi aku gak mau kalau disamakan dengan sahabatnya yang lain. Yang jelas kita gak TTMan ataupun HTSan. Yah, absurd memang, tapi beginilah adanya. Kalau kata orang, tanda kita suka sama seseorang adalah kita merasakan geligeli di perut (butterfly effects) saat deketan sama dia ataupun degdegan, speechless, yang terpenting nyaman. Jujur, untuk yang pertama gue gak pernah tuh ngerasain, dan yang kedua dan yang ketiga juga jarangjarang. Nyaman, itu yang selalu gue rasa. Hanya dengan Tutut Sari Lestari aku punya dunia lain yang isinya hanya aku dan dia, yang peraturannya yang tahu hanya aku dan dia, hanya di sebuah ruang paralel itulah dia selalu bisa membuatku tersenyum, tidak ada kegundahan apalgi kesedihan. Entah sihir apa yang dimilikinya untuk bisa seperti itu. Senyumnya kah? Atau wajah teduhnya yang bisa berubah menjadi konyol dan bisa juga menjadi serius dalam sekejap mata? Satu yang aku bisa setujui dari opini orang tentangnya: dia, orang yang hampir sempurna dari semua orang yang tidak sesempurna Tuhan. Melihat seorang Tutut Sari Lestari dikelilingi cowokcowok yang tingkahnya naehaneh dan dengan muka penuh cinta padanya sudah biasa. Dan melihat mereka jadi bte garagara dia lebih mengappreciate kehadiranku sudah menjadi makananku belakangan ini. Aku tidak tahu apa yang ada di benak ataupun hatinya. Aku tidak pernah berharap dia yang kusayangi, dia yang punya sebuah aula besar di hatiku akan memberikan hatinya padaku. Sungguh, perasaan itu aku kubur dalamdalam. Penyesalan selalu datang terakhir. Penyesalan. Rasa bersalah. Itu tidak dapat hilang dengan mudah di hatiku. Dua perasaan itu tercetak sempurna dan dalam di dalam hatiku saat hati ini masih basah oleh perasaan yang mungkin bersambut, seperti semen basah yang siap mengabadikan apapun. Seminggu yang lalu seorang Tutut Sari Lestari mengucap satu dari sekian seri kata ajaib: kangen. Hari yang bersejarah. Dua hari kemudian aku minta diantar pulang olehnya dan disanggupinya, tak banyak bicara, terlalu menikmati momen itu. Dua hari setelahnya aku melakukan hal bodoh, dan itu membuatnya marah, aku terlebih dulu marah padanya. Hari setelahnya sungguh aneh, beku bagai es, seolah ada yang membatasi aku dan dia. Sesuatu yang membuat seluruh kata sulit terucap, sesuatu yang membuat aku menunda hal yang ingin aku lakukan. Esoknya, aku bertekad. Aku harus mengutarakan semuanya. Harus. Tidak ada waktu lagi. Seharian itu aku bingung, apa yang harus kukatakan? Darimana aku akan memulai? Bagaimana kalau reaksinya tidak sesuai hharapan? Bagaimana kalau dia menjauh? Bagaimana kalau kita takk kan pernah sama lagi? Tutut Sari Lestari yang bisa membuatku berpikir seperti itu. Dia terlihat sudah lebih tenang, senyumnya untukku telah kembali. Harusnya itu membuatku lebih mudah untuk mengatakannya, tapi itu malah menyulitkanku. Akhirnya aku memutuskan aku akan mengatakannya sore ini. Aku undang dia ke rumahku, seperti yang dia inginkan. Lagi, sore itu kami berselisih. Hal sepele memang, tapi itu membuatku marah. Dia benar datang, memang dia tidak pernah ingkar terhadap apapun yang dia janjikan. Aku terlalu marah dan membiarkannya berdiri begitu saja. Kebetulan, keluargaku sedang keluar kota, hanya aku dan kakakku. Telepon rumah tidak pernah aku angkat, handphone kubiarkan berdering kala dia memunculkan nama Tutut Sari Lestari.

Hujan. Aku kasihan melihatnya, aku SMS dia menyuruh pulang. Dia berkeras akan tetap disitu sampai aku memaafkannya. Satu jam Dua jam Dia benarbenar masih disana, basah kuyup. Aku tergerak, aku ambilkan handuk dan bergegas menyusulnya ke depan rumah. Aku terkejut, dia bawakan dua tangkai mawar putih dan sekotak coklat, dua dari tiga hal yang pasti akan membuatku berhenti marah padanya. Resah dan terkejut membuatku limbung hanya untuk bisa memegang payung dengan benar. Selama menanti hujan mereda kata itu tak kunjung kuucapkan, yang kurasa hanya jeritan hati yang inginkan aku mendekapnya. Aku memilih membicarakan hal lain, yang ku tahu dia mengerti kalau aku telah memaafkannya. Suasana hangat kembali tercipta di dinginnya guyuran hujan. Dia pamit pulang, masih menungguku mengucapkan katakata itu. Aku tahu dia tahu, tapi sudah sifatnya seperti itu. Dan aku masih terlalu angkuh untuk membuka mulutku. Hanya untuk dua hal yang harus kuucapkan: maaf, dan perasaanku selama ini yang aku tahu dia juga rasakan. Sepuluh menit berselang aku hanya mampu menulis SMS padanya berisikan satu kata: maaf. Aku menanti jawabannya, namun hal yang kunanti tak kunjung kudapat. Aku khawatir. Aku meneleponnya, berkalikali, tidak ada jawaban. Aku hubungi teman temanku yang mungkin ada bersamanya, nyatanya mereka tidak bersamanya. Aku berusaha kuat dan tetap berdiri. Aku mengucap tanpa suara: Tutut Sari Lestari, maafin aku.. Maaf.. Aku sayang kamu.. Please kamu bangun lagi dan bilang kamu cuma bercanda. Bilang kamu cuma mau bikin aku panik. Bangun Tapi, apa yang telah takdir tuliskan tidak bisa kita hapus dan tulis sesuai kemauan kita. Apa yang telah menjadi kehendakNya, tidak dapat kita bantah. Aku menangis sejadijadinya. Mengulang kata yang sama dari balik pundak temanku dengan terisak. Sampai hari ini, sudah lebih dari 1 bulan semenjak hari itu, sesal dan rasa bersalah itu terkadang masih menghinggap di hati. Aku berusaha jalani hidup, tapi tetap tak bisa dan tak mau hilangkan dia dari hidupku. Karena dia selalu ada disampingku. Satu hal yang aku tahu pasti: Ikuti kata hati saat ia telah begitu menginginkanmu melakukan suatu hal. Hatimu tak pernah salah, karena itu yang kau mau. Sekarang atau nanti, saat kau tak bisa lagi dan menyesal.

Anda mungkin juga menyukai