Anda di halaman 1dari 20

KARYA ILMIAH

JERITAN PELAJAR YANG HAUS AKAN ILMU

OLEH:

NAMA JONI ISKANDAR

NPM 120011007

SEKOLAH TINGGI ILMU TEKNIK TRISULA SK. MENDIKNAS NO. 214 / D / 0 /2002
Jl. Jend. Sudirman II No. 02 Pintu Batu Telp. (0736) 347437

BENGKULU
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ada masa-masa ketika saya berpikir tentang apa yang membuat negaraku Indonesia berbeda dengan beberapa negara maju lain di dunia, dan apa saja hal yang bisa dilakukan untuk membuat Indonesia bangkit menjadi sebuah negara maju dengan masyarakatnya yang lebih sejahtera dimana jawaban yang selalu muncul di benakku dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu berkaitan dengan pendidikan yang baik. Pendidikan Yang Baik Adalah Kunci Kebangkitan dan Kemajuan Indonesia. Bagiku pendidikan adalah suatu kata kunci bagi kemajuan Indonesia. Dan pendidikan disini tidak hanya termasuk kesempatan pendidikan yang bisa diperoleh oleh semua lapisan masyarakat beserta perbaikan sistem pendidikannya, tapi juga termasuk di dalamnya pendidikan di bidang moral dan budaya. Kenapa pendidikan menurutku sangat penting bagi syarat kemajuan

Indonesia? Tak terlalu sulit bagiku mencari sebuah alasan. Sedikit saja kita berjalan dari rumah, maka akan kita lihat di perempatan jalan banyak anak-anak gelandangan, pengemis, pengamen, dan lain-lain, yang masih berada di usia sekolah. Bukankah hal ini sama saja dengan hilangnya potensi yang ada pada anak-anak Indonesia tersebut ? Padahal jika diberi pendidikan yang baik, bisa jadi di antara mereka ada yang akan menjadi pemimpin yang hebat, teknokrat, ilmuwan, dokter, guru, seniman, dan sebagainya, yang bisa berguna bagi orang banyak, dan barangkali bisa mengangkat harkat martabat bangsa di dunia internasional dengan prestasinya. Tapi karena mereka tak diarahkan dan diberi pendidikan maka sia-sia lah potensi otak dan bakat anak-anak tersebut. Dan sesungguhnya jumlah anak-anak yang senasib dengan mereka ini ada banyak di negara kita, dan ditengarai jumlahnya mencapai belasan juta orang. Sungguh

suatu fakta yang menyesakkan bagi pihak-pihak yang mencintai dan menginginkan perbaikan di negara ini. Itu tadi adalah jumlah anak putus sekolah yang tak bisa menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya hingga selesai. Maka jumlah anak-anak Indonesia yang menyelesaikan pendidikannya hingga perguruan tinggi makin sedikit lagi. Walau ada di antara tamatan sekolah tingkat atas itu yang memiliki kemampuan belajar yang baik, namun karena alasan keuangan mereka pun terpaksa tak bisa meneruskan pendidikannya. Sangat menyedihkan memang fakta pendidikan di Indonesia, padahal

pendidikan sangat menentukan kualitas suatu bangsa, dan salah satu gerbang kesuksesan bagi generasi penerus bangsa. Apalagi kita dihadapkan dengan era globalisasi, dimana persaingan sudah tak lagi mengenal batas negara, dan menyangkut berbagai sektor dan profesi. Jika tak dilakukan upaya perbaikan pendidikan secara nyata, maka bangsa Indonesia hanya akan menjadi pecundang di bawah bangsabangsa lain di dunia. Tanpa memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya, tentu tak akan muncul generasi baru yang lebih cerdas, kritis, dan kreatif untuk membawa Indonesia keluar dari keterpurukan moral saat ini. Bagaimana mungkin bisa terpilih para wakil rakyat yang berkualitas, yang tak hanya bermodalkan nama besar, uang, dan segala hal yang berbau politis lainnya, jika rakyat yang memilihnya sebagian besar berpendidikan dan berwawasan di bawah rata-rata ? Hanya dengan rakyat yang berpendidikan tinggi dan berkualitas lah bisa dihasilkan para pimpinan yang berkualitas pula di dalam sebuah demokrasi. Pendidikan juga bisa dijadikan sarana untuk menanamkan nilai-nilai penting dalam kehidupan. Sistem pendidikan yang baik, yang dapat dijangkau semua lapisan masyarakat tentunya akan mengajarkan pada anak-anak tentang pentingnya nilai-nilai moral dan agama, menaati hukum, pentingnya hidup disiplin, perlunya memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan, dan seterusnya.

Jika ditanamkan sejak dini di sekolah-sekolah, diikuti dengan penerapan dan contoh yang diberikan lingkungannya, maka diharapkan bangsa ini bisa menjadi makin disiplin, beretos kerja tinggi, dan semakin bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), dan peduli terhadap pelestarian lingkungannya. Ilmu harus terus diasah dan mengasahnya pun harus dilakukan sesering dan setajam mungkin. Para pelajar bagaikan pisau tersebut, mereka selalu berkeinginan mengasah dan terus mengasah hingga seruncing mungkin dan memenuhi otaknya dengan segala ilmu yang ada, sehingga tak diragukan para pelajar tentunya ingin melanjutkan study mereka di Perguruan Tinggi Ternama, berbagai fasilitas yang disediakan menjadikan kami para pelajar bertekad bulat dalam meraih impian. Impian yang membangun tersebut harus dapat kami wujudkan! Dengarkan suara hati kami para pelajar Indonesia! Belanda mungkin bukanlah salah satu alternatif utama yang dapat memuaskan dahaga kami, namun melalui pendidikan di Belanda dapat menjanjikan kehidupan yang cerah bagi masa depan kami. Kami para pelajar Indonesia menginginkan pendidikan yang lebih baik, ingin melihat masa depan yang jauh lebih cerah, ingin melihat negara Belanda sebagai negara tempat kami menuntut ilmu kelaknya.

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah, masalahmasalah yang muncul dapat di identifikasi sebagai berikut: 1. Banyaknya masyarakat atau pelajar yang belum dapat mencicipi Pendidikan di Negeri ini di karenakan keadaan ekonomi yang kurang mendukung. 2. Banyaknya masyarakat belum memiliki pemahaman tentang Pendidikan di karenakan tidak ada solusi yang mendukung. 3. Banyaknya masyarakat belum memiliki konsep hidup yang diinginkan salah satunya mencapai pendidikan yang dinginkan. 1.3.

Tujuan

Penulisan karya tulis ini bertujuan: 1. Agar Banyaknya masyarakat atau pelajar dapat mengetahui dan Mencicipi Pendidikan. 2. Agar Banyaknya masyarakat dapat mengetahui pemahaman tentang pendidikan. 3. Agar Banyaknya masyarakat memiliki konsep hidup yang layak. 1.4.

Metode
Metode yang digunakan dalam Penulisan ini adalah Metode Secara Langsung.

Metode ini mengkaji berbagai referensi tentang Jeritan Pelajar Yang Haus Akan Ilmu di Negeri ini.

1.5. Manfaat Karya Ilmiah


1. Pembaca dapat mengerti betapa pentingnya pendidikan dan dapat berpikir lebih kritis lagi. 2. Memperluas cakrawala berfikir para Pelajar dan Mahasiswa sebagai warga Negara Indonesia sekaligus pejuang bangsa dalam usaha menciptakan serta meningkatkan pendidikan yang lebih bermutuh lagi. 3. Menumbuhkan apresiasi mahasiswa sebagai calon pemimpin di masa mendatang.

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Kemiskinan Membuat Pendidikan Terhenti Malang bagi anak-anak Indonesia yang terlahir dari rahim keluarga miskin. Alihalih berpikir bisa kuliah, tamat wajib belajar sembilan tahun saja sudah terasa mewah. Di negeri ini, selain dilarang sakit, orang miskin juga dilarang sekolah. Yang boleh mencicipi pendidikan bermutu seperti Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan Badan Hukum Pendidikan yang biayanya melambung, hanya anak-anak orang kaya. Wajar saja jumlah orang miskin Republik ini, termasuk Sumatera Barat, bergerak bak siput. Boleh jadi, jumlahnya justru semakin banyak ketimbang data-data pemerintah. Bagaimana mungkin kaum apa di negeri ini bisa bangkit dari kubangan kemiskinan, jika sekolah anak-anak mereka tidak lebih baik dari orangtuanya. Sudut pandang berbeda biasanya disampaikan pemerintah setiap peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei. Dari pusat hingga daerah, berlomba-lomba mengklaim cerita sukses pendidikan. Angka partisipasi kasar dan murni setiap tahun selalu membaik. Nyatanya, kualitas manusia Indonesia kok seperti itu-itu juga. Dalam pendidikan, kemiskinan memengaruhi kemampuan murid untuk belajar secara efektif dalam sebuah lingkungan belajar. Terutama murid yang lebih kecil yang berasal dari keluarga miskin, kebutuhan dasar mereka seperti yang dijelaskan oleh Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhan Maslow: kebutuhan

akan keamanan dan rumah yang stabil, pakaian, dan kurangnya kandungan gizi makan mereka membayangi kemampuan murid-murid ini untuk belajar. Lebih jauh lagi, dalam lingkungan pendidikan ada istilah untuk menggambarkan fenomen "yang kaya akan tambah kaya dan yang miskin bertambah miskin" (karena berhubungan dengan pendidikan, tetapi beralih ke kemiskinan pada umumnya). Perdebatan yang berhubungan dalam keadaan capital manusia dan capital individual seseorang cenderung untuk memfokuskan kepada akses capital

instructional dan capital social yang tersedia hanya bagi mereka yang terdidik dalam sistem formal. Akan tetapi bagaimana dengan yang tidak terdidik mereka diacuhkan begitu saja. Padahal seandainya merekan mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan akan berdampak pada kemiskinan itu sendiri, dimana kemiskinan itu sendiri akan berkurang. Dengan mereka mengenal pendidikan, mereka akan berkreasi untuk masa depannya nanti, karena mereka telah mendapat kan bekal untuk ke depannya. Kemiskinan banyak dihubungkan dengan penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari pelajar itu sendiri. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga, tidak hanya disekolah pendidikan perlu akan tetapi pendidikan disekitar keluarga sangat pengting. Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari tidak mengenal pendidikan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin yaitu: orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, dimana yang akan berdampak pada Negara itu sendiri nantinya dan akan mengurangi garis kemiskinan. Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim. Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan

sehingga timbul pertanyaan ,Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan. Bagaimana dengan Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas. Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, sesuai keputusan Komite Sekolah. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan

yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit. BANYAK data menunjukkan bahwa bagi golongan masyarakat tidak

berkemampuan finansial memadai (miskin), untuk mendapatkan pendidikan yang optimal itu mempunyai batas keterjangkauan atau limit tertentu. Kalaupun ada sebagian dah masyarakat berpenghasilan rendah yang mampu mencapai jenjang pendidikan tinggi didapat melalui perjuangan serta pengorbanan yang luar biasa. Adapun pendapat salah satu dari Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh Dalam suatu perbincangan di salah satu TV swasta beliau mengatakan. "Sepertinya orang miskin ini pendidikannya terbatas hanya dengan orang yang miskin pula. Mereka tidak mampu menjangkau untuk mendapatkan kesempatan menimba ilmu di universita.-; ternama yang telah menghasilkan manusia Indonesia yang luar biasa kontribusinya terhadap bangsa ini sebut saja, beberapa perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Bandung. Universitas Indonesia, UGM, dst" Demikian antara lain kata pembuka dari Menteri Pendidikan. Kalau kita re-nungkan. memang itulah kenyataan pahit yang dirasakan warga bangsa ini yang mempunyai keinginan yang sama seperti halnya kesempatan yang diperoleh oleh sebagian masyarakat mampu. Akan tetapi, karena ketidakmampuan ekonomi, mereka seperti terjerembap dalam lingkaran diskriminasi untuk menerima berbagai fasilitas pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, hukum, dll. Pendapat Pak Menteri sangat mengusik rasa kebangsaan kita. Rasa nasionalisme sesama warga bangsa yang kemudian dimanifestasikan melaluiberbagai program untuk memberi kesempatan yang sama terhadap anak bangsa yang kebetulan kondisi ekonominya berada di bawah. Memang, tidak bisa dimungkiri saat ini memperoleh pendidikan yang tinggi itu adalah hal yang sangat berat dan sulit dilakukan oleh rakyat miskin. Saatnya pendidikan bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Kita tahu bagaimana sulitnya masyarakat bawah menempuh pendidikan ke jenjang tinggi Berapa persen masyarakat bawah yang bisa mencicipi kuliah? Beragam program sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat bawah patut kita dukung dan terus kita upayakan. Hal

itu dilakukan agar benar-benar tepat sasaran karena jumlah masyarakat miskin tetap banyak dan kita tidak tahu sampai kapan angka kemiskinan itu dapat ditekan. Kita sepakat bahwaketerbatasan kemampuan finansial tidak lantas harus memengaruhi kualitas intelektual. Faktanya siswa yang berprestasi di sekolah juga tidak didominasi oleh orang kasa, tetapi juga bisa diperoleh dari siswa yang mempunyai semangat belajar yang baik, meskipun kemampuan ekonominya terbatas. Kita mempunyai harapan dari intelektual muda yang diangkat dari strata masyarakat bawah akan lahir banyak sosok dengan semangat maju untuk mengubah kondisi sosial, ekonomi masyarakat di lingkungannya. Mereka yang miskin jika tidak diberi kesempatan untuk maju maka sangat sulit untuk diangkat dari lembah kemiskinan. Saatnya pendidikan berpihak kepada rakyat. memang itulah kenyataan pahit yang dirasakan warga bangsa ini yang mempunyai keinginan yang sama seperti halnya kesempatan yang diperoleh oleh sebagian masyarakat mampu. Rasa nasionalisme sesama warga bangsa yang kemudian dimanifestasikan melaluiberbagai program untuk memberi kesempatan yang sama terhadap anak bangsa yang kebetulan kondisi ekonominya berada di bawah. Memang, tidak bisa dimungkiri saat ini memperoleh pendidikan yang tinggi itu adalah hal yang sangat berat dan sulit dilakukan oleh rakyat miskin. Faktanya siswa yang berprestasi di sekolah juga tidak didominasi oleh orang kasa, tetapi juga bisa diperoleh dari siswa yang mempunyai semangat belajar yang baik, meskipun kemampuan ekonominya terbatas. Besarnya anggaran pendidikan, seharusnya bisa meningkatkan kualitas pendidikan nasional, sekaligus menghapus diskriminasi pendidikan. Asal, dikelola dan diatur secara baik dan tepat. Saat dijajah Belanda selama hampir 3,5 abad, di masa itu strata sosial dan pendidikan diberlakukan secara diskriminatif oleh penguasa. Masyarakat terbelah menjadi tiga kelas, masyarakat Keraton, masyarakat Timur Asing (China, Arab, India), dan masyarakat biasa (rakyat jelata). Ketiga komunitas ini mendapat perlakuan berbeda dalam peran sosialnya.

Masyarakat Keraton mendapat prioritas menjadi pelaku utama (tangan kanan) di bidang pemerintahan, warga Timur Asing mendapat privilege di bidang perekonomian, sedangkan mayoritas rakyat biasa dijadikan tenaga kerja untuk kepentingan ekonomi Belanda. Di bidang pendidikan, diskriminasi itu juga terjadi. Anak-anak dari masyarakat Keraton diberi masa pendidikan lebih lama hingga tujuh tahun. Masyarakat Timur Asing bisa mengikuti pendidikan selama empat tahun. Sementara anak-anak dari kalangan masyarakat biasa hanya diperbolehkan mengecap bangku sekolah selama dua tahun, itu pun dengan fasilitas dan pengajar yang sekadarnya. Pendidikan yang sangat minim membuat sebagian besar rakyat pribumi makin terkungkung dalam kebodohan. Kebodohan yang akumulatif ini membuat anak bangsa kemudian terus-menerus terpuruk dalam keterbelakangan, ujar Among Kurnia Ebo, Pemerhati Masalah Pendidikan dan staf pengajar Kampus Gratis Isbuja (Institut Budaya Jawa) Yogyakarta. Itu cerita lama, Bagaimana dengan kondisi sekarang? Apakah pendidikan sudah tak lagi diskriminatif? Apakah pendidikan bisa diakses dengan mudah dan murah oleh semua lapisan masyarakat? Apakah sekat-sekat yang dibangun oleh kompeni Belanda masih terlestarikan hingga kini? Jawabannya bisa sebagian iya. Tapi Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh, buru-buru menyatakan bahwa semua warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama di bidang pendidikan. Oleh karena itu, diskriminasi pendidikan, baik menyangkut diskriminasi sosial, diskriminasi kewilayahan, maupun diskriminasi agama, harus dihapuskan, setidaknya diperkecil. Semua warga negara harus mempunyai akses yang sama. Tidak boleh dibedakan kaya-miskin, Jawa atau luar Jawa. Semua harus punya akses yang sama. Terserah, akses tersebut akan dimanfaatkan atau tidak, kata Mantan Menkominfo itu. Prinsipnya, jangan sampai gara-gara tak punya uang, kemudian ada masyarakat yang tak bisa mendapat pendidikan berkualitas.

2.2. Solusi Permasalahan pendidikan


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten. Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisahpisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerahdaerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi dieraglobal. Betapa tidak. Produk pendidikan kita masih sebagai pencetak pencari kerja, belum pencipta lapangan kerja. Orientasinya sebatas memburu pegawai negeri sipil (PNS) yang setiap tahun dibuka. Sudah jelas-jelas birokrasi kita mengalami obesitas, saban tahun pengelola negara ini malah membuka lowongan kerja di kursi pemerintahan. Ketidakmampuan negara membuka lapangan kerja, harus diobati dengan membuka CPNS sebagai pelipur lara. Akar tunggang dan serabut persoalan bangsa ini tidak lain adalah sistem pendidikan. Orang-orang miskin di negeri kaya raya ini, jangan pernah bermimpi mendapatkan pendidikan murah dan bermutu. Untuk melepaskan tanggung jawab konstitusi itu, pemerintah kita bereksprimen membuka RSBI dan SBI, hingga Badan Hukum Pendidikan. Setiap satuan pendidikan

bertanggung jawab membiayai hidup sendiri alias mandiri. Boleh mencari dana dari sumbangan masyarakat, swasta dan membuka usaha. Pendidikan juga bisa dijadikan sarana untuk menanamkan nilai-nilai penting dalam kehidupan. Sistem pendidikan yang baik, yang dapat dijangkau semua lapisan masyarakat tentunya akan mengajarkan pada anak-anak tentang pentingnya nilai-nilai moral dan agama, menaati hukum, pentingnya hidup disiplin, perlunya memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan, dan seterusnya. Jika ditanamkan sejak dini di sekolah-sekolah, diikuti dengan penerapan dan contoh yang diberikan lingkungannya, maka diharapkan bangsa ini bisa menjadi makin disiplin, beretos kerja tinggi, dan semakin bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), dan peduli terhadap pelestarian lingkungannya. Pendidikan yang baik harus bisa memberikan pendidikan dasar dan menengah pada semua anak bangsa, tak peduli apa pun caranya, termasuk dengan menggratiskannya. Dan gratis jangan hanya sekedar slogan belaka, sementara kenyataannya pungutan dengan segala bentuknya ada dimana-mana. Pendidikan yang baik harusnya juga mampu meningkatkan kualitas manusiamanusia yang dididiknya secara nyata, tidak hanya menciptakan lulusan-lulusan yang bermodalkan ijazah dan gelar belaka tanpa skill dan pengetahuan di kepala. Pendidikan yang baik juga tidak akan menghasilkan para lulusan ujian nasional melalui aksi contek masal di nyaris semua sekolahnya. Pendidikan yang baik pun harus ditunjang oleh guru dan pendidik yang berkualitas. Sudah sepantasnyalah Indonesia memiliki guru-guru dari para sarjana yang merupakan lulusan terbaik dari berbagai universitas, sebagaimana beberapa negara maju lainnya di dunia, dengan tes dan seleksi ketat, sementara mereka pun ditinggikan tingkat kesejahteraannya. Pendidikan yang baik juga hendaknya yang memperhatikan anak didikannya yang berprestasi, yang menyalurkan potensi besar pada mereka, bukan malah membiarkankan mereka jatuh ke tangan pihak asing dengan segala bentuk beasiswanya sehingga habislah masa-masa produktif mereka untuk kepentingan

negara luar. Terkait hal ini, saya teringat dengan kisah nyata pertemuan antara mahasiswa Indonesia dengan sesama mahasiswa asing asal Kazakhstan di Singapura. Yang dari Indonesia berstatus penerima beasiswa dari negara Singapura dengan kewajiban bekerja di negara tersebut atau mengembalikan beberapa biaya yang diberikan kepadanya setelah bekerja, sementara yang dari Kazakhstan adalah penerima beasiswa utuh dari negaranya sendiri yang sengaja dikirim oleh pemerintahnya. Pendidikan yang baik pun harus ditunjang oleh semua pihak di negeri ini. Keberhasilan di dunia pendidikan juga harus didukung contohnya oleh media, terutama siaran media elektroniknya. Jangan hanya diisi dengan acara-acara yang mengejar rating dan keuntungan belaka, sementara nyaris isinya hanya berkisar pada sinetron, gosip artis, dan acara musik semata. Dan pada akhirnya, pemerintah pun diharapkan memberikan dukungan penuh bagi kemajuan dunia pendidikan melalui kebijakan dan langkah yang kongkrit. Belajarlah dari Jepang dan negara sejenisnya yang mampu membalikkan kondisi negaranya dalam sekejap, negara dari yang sebuah terdepan negara dalam

yang mengandalkan

samurainya hingga

menjadi

penguasaan teknologi, semata-mata karena mampu mengirim putra-putra bangsa nya untuk mempelajari dan mencuri teknologi kemudian memodernisasi negaranya. Dan mulailah negara ini menghargai orang-orang yang berprestasi, menyalurkan kemampuan mereka, dan menempatkan mereka pada posisi yang selayaknya, sehingga putra-putra bangsa yang hebat-hebat yang tersebar di berbagai belahan dunia bisa kembali pulang dan memberikan karya terbaik bagi bangsanya. Dan berikanlah kesempatan yang lebih besar lagi di bidang penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi. Dan juga mulailah bangsa ini berpikir bagaimana mengubah pola pikir dan budaya negatif yang ada. Jadilah bangsa yang lebih agresif, lebih ambisius dengan pencapaian prestasi, dan meninggalkan segala budaya malas dan hanya asal kerja. Masa-masa kejayaan dan kebanggaan akan kekayaan alam kita sudah mulai sirna. Kesusahan hidup sudah tampak dimana-mana. Alam pun sudah tak lagi ramah untuk dijadikan tempat bersandar. Maka pada sebuah generasi baru harapan kebangkitan

Indonesia itu ada. Generasi dengan budaya dan semangat baru. Tapi yakinlah kebangkitan dan kemajuan Indonesia itu hanya sebuah keniscayaan belaka tanpa kerja keras yang sungguh-sungguh dan perbaikan di bidang pendidikannya.

2.3. Jika Pendidikan Adil Pasti Pendidikan Lebih Bermutu lagi


Jika Pendidikan Adil Sebagai pihak yang dibebani oleh negara untuk menjamin hak-hak warga negara dalam mengenyam pendidikan, pemerintah sedianya mampu menghilangkan beragam diskriminasi dalam pelaksanaan program pendidikan di tanah air. Jika terjadi, maka hasilnya adalah: Timbul efek persaingan yang positif. Merangsang stakeholder sekolah memberikan yang terbaik untuk kemajuan

pendidikan di tingkatan masing-masing. Semua sekolah mampu menjadi sekolah unggulan. Sekolah dapat menjadi sarana efektif bagi pembentukan karakter siswa yang positif dan berbudi pekerti yang luhur. Andai alokasi dana diatur secara adil, akan mampu merangsang sekolah-sekolah untuk memberikan yang terbaik kepada anak didiknya. Kesejahteraan guru akan meningkat, hingga mereka mampu memberikan ilmu secara optimal kepada anak didik. Akan tetapi, yang menjadi persoalan, sistem pendidikan kita ini kurang menyerap dan mengapresiasi aspirasi masyarakat banyak. Salah satunya yang menjadi polemik dan kontroversi berkepanjangan ialah sistem penilaian akhir siswa/ siswi/ peserta didik secara nasional. Sistem itu adalah Ujian Nasional [UN]. UN merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa/ siswi. Dalam beberapa tahun ini kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya UN sekolah dan guru akan dipacu untuk memberikan

pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa/ siswi dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa/ siswi didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya. Sementara, di pihak lain tidak setuju karena menganggap UN sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan. Sebagaimana diketahui, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma model pembelajaran kita, dari pembelajaran yang berorientasi pada pencapaian kemampuan afektif dan psikomotorik, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme, ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian kemampuan kognitif. Kita memaklumi pula bahwa UN yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif. Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah. Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual dan behavioristik. Selain itu, UN sering dimanfaatkan untuk kepentingan di luar pendidikan. Seperti kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. Oleh karena itu tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan. Seperti kasus kebocoran soal, mencontek yang sistemik dan disengaja, merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Pendidikan kita semakin hari semakin merosot dan jauh dari istilah pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan atau pendidikan sebagai alat pembebasan. Kita

menyaksikan terjadi suatu degradasi dan demoralisasi [peluruhan kebudayaan] di dunia pendidikan kita. Apa buktinya? Banyak hal sesungguhnya dapat dijadikan bukti. Dan, bukti-bukti itu secara umum bisa kita bagi dalam dua hal. Yakni, pertama, kemerosotan pendidikan di Indonesia saat ini terjadi melalui hal teknis. Yaitu, dipisahnya kata "pendidikan" dengan "kebudayaan". Ini terkait dengan dipisahnya Departemen Pendidikan dengan Departemen Kebudayaan, yang dulunya menjadi satuDepartemen Pendidikan Dan Kebudayaan [Depdikbud/P dan K]. Sekarang menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata [Depbudpar]. Seolah-olah, kebudayaan hanya berwujud dalam arketip-arketip dan wisata-wisata pulau [sekarang kita sering mendengar istilah wisata budaya]. Ya, itu benar. Tapi, itu bukan satu-satunya dan bukan yang utama. Kebudayaan sesungguhnya mengandaikan adanya nilai, norma, adat-istiadat, serta kultur dan karakter suatu bangsa. Dan, di dalam nilai suatu bangsa Indonesia, merujuk pada jati diri bangsa, filosofi, dan Ideologi. Yakni, PANCASILA! Dengan dipisahnya Departemen Pendidikan dengan Departemen Kebudayaan mengindikasikan adanya usaha melepaskan nilai budaya dari proses pendidikan. Nilai budaya menjadi hilang dari pendidikan, yang sesungguhnya nilai tersebut inheren [melekat] serta saling berkelindan, juga tidak dapat dilepaskan/ dipisahkan satu sama lainnya! Hal teknis lain tentulah, termasuk ide dijadikannya UN sebagai ukuran/ standarisasi mutu dan keberhasilan siswa/ siswi sekolah secara nasional. Di situ terjadi proses "perobotan/ robotisasi" manusia sebagai individu yang memiliki budi pekerti dan bagian dari kebudayaan. Para peserta didik menjadi kehilangan kepekaan sosialnya [sence of social crisis] atau meminjam istilah Soekarno sebagai hilangnya kasadaran budi nurani manusia [social consciousness of men]. Karena, terbatas hanya memiliki kemampuan

teknis skill dan hanya menjadi manusia "siap pakai" [hanya diaplikasikan untuk kerja dan kerja atau ilmu untuk ilmu]. Menjadi pertanyaan besar di dunia pendidikan Indonesia, mau dibawa ke mana arah pendidikan kita? Ke mana hilangnya istilah pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan dan pendidikan sebagai alat pembebasan? Bercermin pada kenyataan dunia pendidikan kita saat ini, yang suka tidak suka, kita katakan mengalami dekadensi akut jika pendidikan dipahami sebagai bagian dari kebudayaan dan alat pembebasan. Meski kita juga tidak bisa menutupi beberapa kemajuan di sisi lainnya persoalan kompetensi. Dalam menjalani hidup semua orang berlomba menjadi yang terbaik dan terdepan dalam kehidupan mereka, Indonesia sendiri merupakan negara yang kurang dalam aspek pendidikannya, dimana masih rendahnya kualitas dan kuantitas para pelajar di Indonesia menjadikan para pelajar menjadi rindu untuk menggali ilmu yang jauh lebih dalam lagi, begitu pula dengan diri saya. Sebuah kesuksessan tidak didapat semudah membalikkan tangan saja, namun dalam mencapai impian itu harus disertai dengan upaya serta kerja keras yang tentunya merupakan tantangan sulit bagi tiap individu. Kerja keras dari tiap individu khususnya generasi muda adalah melalui pendidikan, pendidikan mungkin bagi segelintir pelajar hanyalah syarat kelulusan dan sarana dalam mendapatkan ijasah saja, namun tidak dimata para pelajar yang haus akan ilmu, mereka selalu menggali ilmu yang benar-benar dapat melepaskan dahaga mereka. Wajah Pendidikan yang Kian Memprihatinkan Permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini tak hanya berbagai kebijakan yang kontra produktif dengan semangat dan ruh pendidikan. Tetapi, pendidikan kita juga kehilangan ide-ide besar. Pada praksis pendidikan problem tersebut antara lain adalah dirumuskannya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan [RUU BHP] beberapa tahun silam yang sarat nuansa neoliberal. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang akan turut melegitimasi RUU BHP, Peraturan Mendiknas No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menjadi

dalil keabsahan UN walaupun bertentangan dengan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional [Sisdiknas] yang telah berbuah banyak tragedi menimpa guru dan murid. Juga keputusan Mahkamah Konstitusi [MK] tentang gaji guru yang masuk dalam alokasi 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] untuk dunia pendidikan, dan banyak lagi lainnya.

BAB III PENUTUP

3.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Masyarakat perlu berpikir lebih kritis lagi terhadap pendidikan di Negeri ini.

2) Upaya pemerintah memberikan Pendidikan yang lebih layak lagi dan dapat di jangkau oleh semua kalangan. 3) Pendidikan Yang Baik Adalah Kunci Kebangkitan dan Kemajuan Indonesia. 4) memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya, tentu akan muncul generasi baru yang lebih cerdas, kritis, dan kreatif untuk membawa Indonesia keluar dari keterpurukan moral saat ini.

3.2. Saran
1) Hendaknya Pemerintah lebih memperhatikan rakyatnya yang tidak dapat mencicipi pendidikan di negeri ini. 2) Pemerintah hendaknya mencari solusi agar penyebaran pendidikan di Negeri berjalan seperti semesti. 3) Pendidikan kita semakin hari semakin merosot dan jauh dari istilah pendidikan, saya harap Pemerintah dapat bekerja lebih keras lagi terhadap pendidikan di Indonesia ini.

Anda mungkin juga menyukai