Anda di halaman 1dari 24

B

4
Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan
Sali Susiana1

I. Pendahuluan
Kemiskinan masih menjadi salah satu persoalan yang harus dihadapi oleh negara-negara di berbagai belahan dunia, terutama negara berkembang, terrmasuk Indonesia. Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa sepertiga penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan, dan sekitar 70% di antaranya adalah perempuan.2 Banyaknya

Peneliti Madya bidang Studi Kemasyarakatan, Studi Khusus Gender pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. 2 Prolog: Perempuan dalam Dimensi Kemiskinan, dalam Jurnal Perempuan No. 42 Mengurai Kemiskinan Dimana Perempuan? Halaman 4.

75

76

Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan

aspek yang terkait dengan kemiskinan menjadikan konsep ini memiliki beragam definisi. Max Nef mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana tidak terpenuhinya kebutuhan dasar atau esensial individu sebagai manusia. 3 Sedangkan menurut Ollenburger dan Moore kemiskinan adalah tidak adanya sumber-sumber ekonomi yang cukup guna menjamin kebutuhan hidup, termasuk makanan, perumahan, dan pakaian.4 Mengingat jumlah terbesar dari masyarakat miskin dunia adalah perempuan dan persoalan kemiskinan memberikan dampak yang jauh lebih buruk pada perempuan, maka dalam Konferensi Perempuan se-Dunia ke IV tahun 1995 di Beijing, para pemimpin dunia termasuk Indonesia, telah berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan perempuan. Dalam konferensi tersebut Indonesia bersama 188 negara lainnya juga telah menyepakati Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing atau Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA). BPFA merupakan landasan operasional yang disepakati bagi pelaksanaan Konvensi Perempuan yang bertema kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian (equality, development, and peace). BPFA mengidentifikasi 12 bidang kritis beserta tujuan-tujuan strategis bagi setiap bidang. Kedua belas bidang kritis tersebut meliputi: (1) perempuan dan kemiskinan; (2) pendidikan dan pelatihan bagi perempuan; (3) perempuan dan kesehatan; (4) kekerasan terhadap perempuan; (5) perempuan dan konflik bersenjata; (6) perempuan dan ekonomi; (7) perempuan dan pengambilan keputusan; (8) mekanisme institusional bagi kemajuan perempuan; (9) hak asasi perempuan; (10) perempuan dan media; (11) perempuan dan lingkungan; dan (12) anak perempuan. Jelaslah bahwa kemiskinan merupakan salah satu bidang kritis yang harus dihadapi oleh banyak perempuan di seluruh dunia. Untuk memerangi kemiskinan yang
Laporan Organisasi non-Pemerintah tentang Pelaksanaan Landasan Aksi Beijing 1995-2005. Forum NGO Indonesia untuk BPFA + 10, Februari 2005, halaman 1. Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Sosiologi Wanita, penerjemah Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana, Jakarta: Rineka Cipta, halaman 125. 5 Ibid., halaman 3.
4 3

Pendahuluan

77

dihadapi para perempuan tersebut, negara-negara peserta konferensi juga sepakat untuk melakukan berbagai tindakan strategis, yaitu: 1. Menelaah, menetapkan, dan mempertahankan kebijakan-kebijakan ekonomi makro dan strategi pembangunan yang diarahkan untuk menangani kebutuhan dan upaya-upaya perempuan yang hidup dalam kemiskinan; 2. Memperbaiki peraturan perundang-undangan dan praktek-praktek administrasi untuk menjamin persamaan hak dan akses perempuan untuk memperoleh sumberdaya ekonomi; 3. Menyediakan kesempatan bagi perempuan untuk menabung serta memanfaatkan mekanisme dan lembaga-lembaga kredit lainnya; 4. Mengembangkan metodologi berdasarkan gender dan melakukan penelitian untuk menangani kemiskinan di kalangan perempuan.5 Selain menjadi salah satu bidang kritis dalam BPFA, kemiskinan juga menjadi salah satu target dalam Tujuan Pembangunan Abad Milenium/ atau lebih dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan oleh PBB dalam Millenium Summit yang diselenggarakan pada bulan September 2000. MDGs berisi 8 tujuan dan 17 target yang harus dicapai oleh 191 negara anggota PBB pada tahun 2015. Ke delapan target tersebut adalah: 1) meniadakan kemiskinan dan kelaparan ekstrim; 2) mencapai pendidikan dasar secara universal; 3) meningkatkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan; 4) mengurangi tingkat kematian anak; 5) memperbaiki kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lainnya; 7) menjamin kelestarian lingkungan hidup; dan 8) membentuk sebuah kerja sama global untuk pembangunan. 6
Diterjemahkan dari The UN Millennium Development Goals. Pernyataan Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick di Brussels, Belgia, pada saat berbicara pada telekonferensi trans-Atlantik dengan think-thank dari
7 6

78

Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan

Krisis ekonomi global yang berawal dari Amerika Serikat telah membawa berbagai dampak bagi sebagian besar negara-negara di dunia. Bagi sejumlah negara berkembang, krisis telah membuat aliran modal keluar, menurunkan bantuan, dan menghambat ekspor.7 Krisis juga meningkatkan jumlah penduduk miskin yang saat ini jumlahnya sekitar 1,2 miliar dari 7 miliar penduduk dunia.8 Demikian pula dengan Indonesia. Krisis ekonomi global akan mempengaruhi kondisi kemiskinan di Indonesia, termasuk di dalamnya kemiskinan yang dialami oleh perempuan. Tulisan ini akan membahas kaitan antara krisis ekonomi global dengan perempuan, khususnya perempuan yang berasal dari golongan ekonomi lemah atau perempuan miskin dari perspektif feminis. Pembahasan akan dikaitkan dengan teori feminisasi kemiskinan.

II. Feminisasi Kemiskinan


Permasalahan perempuan di bidang ekonomi tidak pernah terlepas dari kemiskinan. 9 Perempuan adalah kelompok yang terus mengalami pemiskinan. Secara ekonomi, pendapatan perempuan di seluruh dunia jauh lebih kecil dari laki-laki dan jumlahnya terus menurun setiap tahun. Pengalaman kemiskinan perempuan juga berbeda dengan pengalaman laki-laki. 10 Lebih dari setengah penduduk

Jerman, Marshall Fund. Lihat Krisis Pukul Banyak Negara, Zoellick: 400.000 Bayi Akan Meninggal pada Tahun 2009, Kompas, 22 Maret 2009, halaman 15. 8 Ibid,. 9 Kebijakan Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP), Satker Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Unit KIE, 2006, halaman 13. 10 Jurnal Perempuan No. 42: Mengurai Kemiskinan Dimana Perempuan? halaman 119. 11 Ann Whitehead, dalam Imam Cahyono, Wajah Kemiskinan, Wajah Perempuan, Jurnal Perempuan No. 42: Mengurai Kemiskinan Dimana Perempuan? halaman 11.

Feminisme Kemiskinan

79

miskin di negara berkembang adalah perempuan.11 Hal ini menguatkan terjadinya feminisasi kemiskinan (feminization of poverty), yaitu sebuah kenyataan bahwa sebagian besar angka kemiskinan diisi oleh kaum perempuan 12 . Dengan kalimat lain, kemiskinan memiliki wajah perempuan. Meskipun seorang laki-laki dan perempuan sama-sama miskin, kemiskinan itu disebabkan oleh alasan yang berbeda, pengalaman yang berbeda, serta kemampuan yang berbeda pula dalam menghadapinya. Selain itu, feminisasi kemiskinan adalah sebuah istilah untuk menggambarkan kegoyahan ekonomi tertentu bagi perempuan yang secara sendirian menyokong penghidupan mereka sendiri dan/atau anak-anak mereka.13 Istilah ini juga menggambarkan subordinasi posisi ekonomi perempuan pada umumnya yang dialami perempuan di sepanjang siklus kehidupan: pengangguran remaja, pekerjaan rumah tangga non-upahan, pengasuhan anak yang tidak dibayar, kurangnya keuntungan bagi pekerjaan paruh waktu, hilangnya dukungan ekonomi bila bercerai atau menjanda, serta kemiskinan di kalangan perempuan tua yang memiliki sejarah penghasilan sekali-sekali atau berupah rendah. Ruang lingkup internasional dari feminisasi kemiskinan ini terlihat jelas dari angka statistik. Perempuan merupakan 50% dari populasi dunia, 70% dari tenaga kerja (yang dibayar dan tidak dibayar), menghasilkan 10% upah, dan memiliki kurang dari 1% kekayaan.14

12

Istilah feminisasi perempuan untuk pertama kali diperkenalkan oleh Diana Pearce, seorang sosiolog dari Universitas Wisconsin, dalam sebuah tulisan hasil kajiannya yang berjudul, The Feminization of Poverty: Women, Work, and Welfare, dimuat dalam Urban and Social Change Review (February, 1978). Dalam Tulisan ini Pearce mengemukakan kurangnya dukungan pemerintah (Amerika Serikat) terhadap perempuan sebagai orangtua tunggal, dan pemberian gaji/upah yang lebih rendah kepada pekerja perempuan ketimbang pekerja laki-laki, sehingga secara struktural terjadi pemiskinan terhadap kaum perempuan.. 13 Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, op.cit., halaman 124. 14 Ibid., halaman 124-125. 15 Imam Cahyono, Wajah Kemiskinan, Wajah Perempuan, Jurnal Perempuan No. 42: Mengurai Kemiskinan Dimana Perempuan? halaman 12. 16 Ibid,.

80

Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan

Kemiskinan memiliki dimensi yang sangat bias gender karena adanya ketimpangan gender dan akses kekuasaan.15 Dalam kaitan ini, Nilufer Cagatay menyatakan bahwa: gender-based power relation mean that women experience poverty differently and more forcefully than man do and women are more vulnerable to chronic poverty because of gender inequality in the distribution of income, acces to productive inputs, such as credit, command over poverty or control over earned income, as well as gender biased in labour markets.16 Tiga pendekatan kemiskinan dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab kemiskinan di kalangan perempuan. Ketiga pendekatan tersebut adalah pendekatan kultural, struktural, dan alamiah.17 Secara kultural, sebagian masyarakat Indonesia masih dipengaruhi secara kuat oleh budaya tradisional yang berideologi patriarki. Ketimpangan struktural berupa keterbatasan kaum perempuan untuk memperoleh akses ekonomi (misalnya bekerja untuk memperoleh penghasilan, bukan sekedar menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga), berorganisasi, dan sebagainya masih berlaku. Kemiskinan struktural berakses pada timbulnya kemiskinan kultural, dalam bentuk rendahnya pendidikan dan ketrampilan sebagian besar perempuan, terutama di pedesaan. Sedangkan kemiskinan alamiah menjelaskan adanya sebagian kaum perempuan yang bersikap pasrah terhadap posisi dirinya dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat, karena secara sadar mereka menganggap demikianlah kodrat sebagai seorang perempuan. Fenomena kemiskinan alamiah ini tidak hanya dijumpai pada masyarakat pedesaan, melainkan
Kebijakan Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP), op.cit., halaman 13. 18 Ibid., halaman 14.
17

Feminisme Kemiskinan

81

juga di perkotaan, termasuk di kalangan perempuan terpelajar. 18 Ruspini dalam Longitudinal Research in the Social Sciences menemukan bahwa kemiskinan struktural yang menyebabkan ketergantungan, pengabaian sosial (social exclusion), dan ketiadaan akses dalam perubahan sosial berakar pada tiga sistem utama, yaitu:19

1. Dalam ruang privat rumah tangga


Kekuasaan dalam rumah tangga dan keluarga erat kaitannya dengan kontrol terhadap sumber keuangan dan partisipasi perempuan dalam pasar kerja. Umumnya laki-laki atau suami memiliki akses yang lebih besar terhadap dunia kerja, sementara perempuan lebih diarahkan untuk mengelola sektor keluarga yang tidak produktif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan tidak dibagi secara merata dalam keluarga. Keluarga-keluarga lebih miskin biasanya menyerahkan pengelolaan keuangannya pada perempuan. Sedangkan keuangan keluarga dengan kemampuan ekonomi lebih baik selalu berada di bawah kontrol laki-laki. Studi lain juga menunjukkan, perempuan yang memiliki beban untuk menjaga kehidupan keluarga biasanya mengutamakan pembagian bagi anak-anak atau keluarga yang lain. Dalam situasi sumber daya yang sangat terbatas, perempuan terpaksa mengkonsumsi sisa-sisa pembagian tersebut. Tidak mengherankan jika dalam keluarga kualitas hidup perempuan lebih buruk dari laki-laki;

2. Dalam pembagian kerja secara seksual (sexual division of labour)


Perempuan lebih banyak mengerjakan tugas-tugas yang tersembunyi dan tidak dibayar. Mereka merupakan kelas
19

Lihat Feminisasi Kemiskinan (Feminization of Poverty) dalam Kata dan Makna, Jurnal Perempuan No. 42: Mengurai Kemiskinan Dimana Perempuan? halaman 119-120. 20 Imam Cahyono, op.cit., halaman 12-13.

82

Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan

kedua dalam susunan pasar kerja. Kehidupan perempuan dibentuk oleh tanggung jawabnya terhadap keluarga, baik ketika melakukan pekerjaan yang dibayar maupun tidak. Itulah sebabnya meskipun perempuan telah bekerja di sektor-sektor produktif, perempuan tetap terbebani oleh tanggung jawab moral untuk mendedikasikan hasil kerjanya pada keluarga;

3. Globalisasi
Dampak negatif globalisasi adalah terbentuknya sistem ekonomi yang terintegrasi dalam sebuah pasar dunia. Sistem ekonomi menjadi lebih banyak mengabaikan program-program kesejahteraan, mengurangi pengeluaran untuk kemaslahatan publik, dan menekan biaya kesejahteraan keluarga yang berakibat pada beban-beban tambahan bagi perempuan. Kemiskinan perempuan juga dapat ditelaah melalui dua hal.20 Pertama, perspektif ekonomi. Kemiskinan dan pemiskinan perempuan secara jelas terlihat dari sektor ekonomi. Perempuan yang hidup dalam kemiskinan selalu kesulitan untuk mendapatkan akses sumber daya ekonomi. Untuk bekerja mereka tidak diakui dan tidak dihargai. Dalam bekerja pun, perempuan mendapat upah jauh lebih rendah dari apa yang diperoleh laki-laki. Seorang perempuan yang turut mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, atau yang menjadi kepala keluarga dari kelompok miskin, lebih miskin dibandingkan laki-laki dari kategori yang sama. Perempuan yang tidak memiliki penghasilan jauh lebih buruk situasinya dibandingkan dengan perempuan yang mempunyai penghasilan dalam keluarga dengan tingkat ekonomi subsistem. Perempuan mengalokasikan sebagian besar penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga, dan lebih mementingkan kebutuhan dasar keluarganya dibandingkan laki-laki. Dengan demikian, semakin besar penghasilan perempuan, semakin sedikit kemungkinan anak-anak
21

Prolog: Perempuan dalam Dimensi Kemiskinan, op.cit., halaman 4.

Feminisme Kemiskinan

83

menderita kekurangan gizi. Lebih jauh, perempuan lebih banyak memberikan waktunya untuk memproduksi barang dan pelayanan untuk keluarga dibandingkan laki-laki. Secara adil harus diakui perempuan dari berbagai belahan dunia memiliki jam kerja sekitar 30-50% lebih panjang daripada laki-laki untuk pekerjaan yang dibayar maupun tidak dibayar, dibandingkan dengan laki-laki pada usia yang sama. Kedua, perspektif politik. Dalam dimensi ini, perempuan tidak terwakili secara proporsional di antara kelompok miskin dan tidak memiliki kekuasaan. Kemiskinan perempuan ini antara lain kerentanan hidup (vulnerability), kesempatan dan suara (voicelessness and powerlessness), serta didukung pemerintah yang sangat bias gender (male-biased governance systems). Dimensi kemiskinan gender, yaitu bias gender, mudah ditemui dalam kebijakan struktural, perbedaan efek kebijakan, dan dana yang tidak memadai untuk mendukung kebijakan yang memihak kaum perempuan, sehingga diskriminasi terhadap perempuan sangat kental. Perempuan sangat rentan terhadap kekerasan, terutama kekerasan domestik (domestic violence). Secara fisik, tubuh perempuan lebih rentan dan lebih lemah dibandingkan laki-laki, sehingga kualitas hidup perempuan juga lebih rendah. Di Indonesia, terdapat berbagai dimensi kemiskinan yang menimpa perempuan, yaitu: akibat lemahnya posisi tawar dalam masyarakat; kultur yang represif, miskin akibat bencana dan konflik, diskriminasi di ruang publik dan domestik, serta tidak pedulinya negara dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bermanfaat guna mengentaskan perempuan dari kemiskinan.21 Forum non-Government Organization (NGO) Indonesia untuk BPFA + 1022 mencatat adanya isu-isu yang muncul dan berulang dalam penanganan masalah kemiskinan di Indonesia. Isu yang muncul antara lain: a. Meningkatnya pengangguran dari perempuan yang bekerja di sektor infomal;
22

BPFA + 10 merupakan istilah yang digunakan untuk Sepuluh Tahun Pelaksanaan BPFA. 23 Laporan Organisasi non-Pemerintah tentang Pelaksanaan Landasan Aksi Beijing 1995-2005, op. cit., halaman 8-11.

84

Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan

b. Kurangnya perempuan yang berada dalam posisi pengambilan keputusan, sementara para pengambil keputusan yang ada tidak sensitif gender; c. Perempuan yang termarginalisasikan menjadi prioritas utama dari kegiatan untuk penanggulangan kemiskinan; dan d. Masih kurangnya akses pada sumberdaya bagi perempuan kelompok marginal. Sedangkan isu yang berulang adalah: Kebijakan pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh perempuan yang aktif di bidang ekonomi; b. Makin meningkatnya jumlah perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan; dan c. Meningkatnya feminisasi kemiskinan. a. Menurut Forum NGO Indonesia untuk BPFA + 10, hambatan yang dihadapi dalam mengentaskan perempuan dari kemiskinan di Indonesia adalah:23

1. Kebijakan sosial, ekonomi, dan politik yang buta gender


Perbedaan gender masih belum dipahami dan disadari oleh para pengambil kebijakan. Hal ini terlihat dari kecilnya perhatian dan minimnya upaya yang dilakukan untuk mengatasi persoalan mendasar yang masih dihadapi oleh perempuan Indonesia, terutama masalah pendidikan dan kesehatan. Di lain pihak, kebijakan makroekonomi yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi dengan promosi tenaga kerja murah, sumber alam yang melimpah, dan kestabilan politik, telah mengabaikan dampak negatif pembangunan. Kebijakan tersebut pada akhirnya menyulitkan perempuan untuk mendapatkan sumber daya kehidupan yang memadai;

24 25

Resesi dan Kemiskinan, Republika, 3 April 2009, halaman 18. Ibid,.

Feminisme Kemiskinan

85

2. Dominasi ideologi patriarki yang menjadi nilai dalam relasi laki-laki dan perempuan
Ideologi patriarki telah menyebabkan rendahnya otonomi dan kekuasaan sosial perempuan dalam kehidupan seharihari. Otonomi perempuan dapat dilihat dari adanya kekuasaan perempuan atas dirinya dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan kekuasaan sosial dilihat dari ada tidaknya kekuasaan perempuan terhadap orang lain dalam rumah tangga maupun masyarakat. Beberapa indikator menunjukkan bahwa perempuan miskin pada umumnya tidak memiliki otonomi dan kekuasaan sosial, misalnya pembagian kerja yang berdasarkan perbedaan seks dan rendahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan;

3. Ketergantungan Indonesia pada negara donor dan lembaga keuangan internasional


Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutang terbesar, yang berakibat pada rendahnya independensi dalam mengembangkan kebijakan sosial. Adanya tekanan dari negara-negara donor mengharuskan Indonesia untuk menyesuaikan kebijakan ekonomi yang berorientasi dan terintegrasi dengan sistem pasar dan perekonomian global tetapi mengabaikan hak-hak warga negaranya;

4. Konflik yang berkepanjangan


Konflik yang melanda Indonesia sejak tahun 1998 telah membawa bangsa Indonesia ke dalam kemiskinan yang berkepanjangan. Konflik telah menyebabkan terusirnya sebagian masyarakat dari tempat mereka mencari kehidupan, terhentinya proses pendidikan, terdamparnya masyarakat ke tempat-tempat pengungsian, terbunuhnya kaum laki-laki yang menyebabkan perempuan terpaksa menjadi kepala keluarga dalam kondisi serba kekurangan,

86

Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan

terhentinya kegiatan ekonomi masyarakat, dan hilangnya rasa aman. Dan yang paling menderita dalam kondisi seperti ini adalah perempuan dan anak-anak.

5. Dampak globalisasi
Dibukanya pasar global telah menyebabkan komersialisasi sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Globalisasi juga menyebabkan peningkatan eksploitasi terhadap perempuan yang terdapat dalam komunitas pekerja seks. Penjualan anak perempuan untuk menjadi penghibur di wilayah-wilayah industri dan negara-negara lain masih mewarnai kehidupan perempuan miskin di Indonesia. Ketidakberdayaan pemerintah menyebabkan semakin beratnya perjuangan masyarakat untuk mengatasi kemiskinan absolut yang terdapat di negeri ini. Banyaknya hambatan tersebut di atas, baik yang bersifat struktural maupun kultural, dan yang berskala nasional maupun global, telah membuat upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan perempuan menjadi sebuah tantangan berat yang harus dihadapi semua pihak, baik para pengambil kebijakan/stake holders, organisasi nonpemerintah, maupun perempuan itu sendiri.

III. Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya terhadap Perempuan


Riset Bank Dunia memperkirakan krisis ekonomi global menyebabkan 53 juta orang terperangkap dalam kemiskinan.24 Kriteria miskin menurut Bank Dunia adalah penghasilan kurang dari US$ 2 per hari. Dalam riset tersebut dikemukakan bahwa pada tahun 2008, akibat
26

Ibid., halaman 14,

Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya terhdap Perempuan

87

melambungnya harga pangan dan bahan bakar, jumlah warga miskin di dunia dapat mencapai 130 juta sampai dengan 155 juta orang. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, data PBB menunjukkan bahwa 70% dari sepertiga penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah perempuan. Oleh karena itu, jika penduduk miskin dunia bertambah menjadi 130 juta sampai dengan 155 juta orang akibat krisis ekonomi global, maka terdapat 91 juta sampai dengan 108,5 juta perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih lanjut hasil riset Bank Dunia menyatakan, sekitar 40% dari 107 negara berkembang terancam terkena dampak kemiskinan akibat krisis ekonomi global. Bank Dunia mengelompokkan tiga kategori negara yang terdampak krisis ekonomi global, yaitu: (1) negara yang mengalami pertumbuhan menurun; (2) negara dengan kerentanan tinggi; dan (3) negara yang mengalami pemiskinan tinggi. Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok ketiga, bersama dengan Ethiopia, Mali, Lesotho, Ghana, dan Timor Leste.25 Masuknya Indonesia menjadi salah satu negara yang mengalami pemiskinan tinggi versi Bank Dunia tersebut memang tidak berlebihan. Sebelum krisis ekonomi global terjadi, kemiskinan dan ketertinggalan masih ada di hampir semua wilayah dan provinsi di Indonesia. Data statistik menunjukkan, lebih dari 43% atau 190 kabupaten/kota dari 440 kabupaten/kota di Indonesia masuk dalam kategori daerah tertinggal. Sebagian besar di antaranya (63%) terdapat di kawasan Timur Indonesia, 28% di wilayah Sumatera, dan 8% di wilayah Jawa dan Bali. Hanya dua provinsi, yaitu Provinsi Kalimantan Selatan dan DKI Jakarta, yang tidak tercantum dalam daftar daerah tertinggal.26 Salah satu sektor atau bidang yang paling terpengaruh akibat adanya krisis ekonomi global adalah ketenagakerjaan. Organisasi Perburuhan Dunia (International Labour Organization (ILO) memperkirakan, jumlah pengangguran di seluruh dunia akan mencapai 210 juta pada

27

Pengangguran Global 210 Juta, Suara Pembaruan, 26 November 2008 halaman 1.

88

Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan

akhir 2009.27 Jumlah ini meningkat sekitar 20 juta orang jika dibandingkan dengan pengangguran pada tahun 2007 yang mencapai 190 juta orang. Peningkatan ini disebabkan maraknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda banyak industri besar di seluruh dunia akibat krisis finansial yang menyeret perekonomian global ke jurang resesi saat ini. Tingginya tingkat PHK sebagai salah satu dampak dari krisis ekonomi global juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sudah 38.000 orang pekerja yang menjadi korban PHK dan 16.400 orang pekerja dirumahkan. Di samping itu, sedikitnya 180.000 buruh kontrak kehilangan pekerjaan akibat perusahaan pemakai jasa tidak lagi memperpanjang masa kerja. Diperkirakan PHK akan meningkat tajam pada kuartal II tahun 2009 saat industri sudah kehabisan order.28 Adapun data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menunjukkan, hingga awal Maret 2009 sudah terjadi PHK terhadap sekitar 240.000 pekerja, 5 sampai 10% di antaranya merupakan pekerja tetap, dan sekitar 90-95% lainnya merupakan PHK pada pekerja harian dan outsourcing. 29 Diperkirakan PHK akibat krisis dapat menimpa 200.000 pekerja. Hal ini disebabkan industri berbasis ekspor terpukul akibat turunnya pesanan dari pasar global yang berujung pada turunnya produktivitas.30 Pekerja perempuan merupakan bagian dari angkatan kerja. Oleh karena itu, PHK sebagai salah satu dampak dari krisis ekonomi global yang terjadi saat ini mau tidak mau juga menimpa para pekerja perempuan. Data BPS/Sakernas 2007 menyebutkan jumlah penduduk yang bekerja mencapai 97.583.141 orang. Dari total jumlah tersebut, jumlah perempuan yang bekerja adalah 35.431.859 orang, sementara jumlah laki-laki yang bekerja mencapai
180.000 Buruh Kontrak di-PHK, Pemerintah Harus Lebih Tegas, Kompas, 13 Maret 2009 halaman 18. 29 PHK Terjadi di Berbagai Sektor, Apindo: Segera Realisasikan Stimulus, Suara Pembaruan, 12 Maret 2009 halaman 16. 30 PHK 200.000 Orang, Pemerintah Koreksi Target Pertumbuhan Ekonomi, Kompas, 6 Februari 2009 halaman 17. 31 Jumlah Penduduk Bekerja :http:/www.depnakertrans.go.id/pusdatin.html.
28

Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya terhdap Perempuan

89

62.151.282 orang.31 Dengan demikian, pekerja perempuan yang jumlahnya mencapai 36,3% dari total jumlah pekerja secara keseluruhan juga memiliki kemungkinan yang sama untuk terkena PHK sebagaimana pekerja laki-laki yang persentasenya mencapai 63,7%. Implikasi lebih jauh dari banyaknya pekerja yang terkena PHK adalah meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia. Data BPS menyebutkan per Maret 2008 jumlah penduduk miskin mencapai 35 juta jiwa atau 15,42% dari total penduduk. 32 Jumlah ini memang menurun bila dibandingkan sebelumnya. Data BPS per Maret 2007 menunjukkan, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta jiwa (16,58%) dan 39,3 juta jiwa pada tahun 2006.33 Akan tetapi, dengan adanya krisis ekonomi global, upaya pengurangan jumlah penduduk miskin akan terhambat. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 diperkirakan meningkat menjadi 33,714 juta orang, lebih tinggi dari target yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar 32,38 juta orang.34 Meningkatnya jumlah penduduk miskin secara otomatis juga akan meningkatkan jumlah perempuan miskin. Hal ini semakin menguatkan terjadinya feminisasi kemiskinan. Selain menambah jumlah perempuan yang termasuk dalam kategori miskin, akibat krisis ekonomi global juga akan semakin membebani perempuan miskin yang menjadi kepala rumah tangga. Data menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga dari tahun ke tahun. Data tahun 1993 menunjukkan, 10% dari rumah tangga dikepalai oleh perempuan. Jumlah ini meningkat menjadi 13,19% pada tahun 2003. Salah satu penyebab terjadinya kondisi ini adalah tingginya angka perceraian. 35
32

Penciptaan Lapangan Kerja Formal Seret, Media Indonesia, 10 Maret 2009 halaman 14. 33 Angka Kemiskinan Sulit Turun, Media Indonesia, 20 November 2008 halaman 7. 34 Kemiskinan Bertambah, Pastikan Semua Proyek Padat Karya Segera Berjalan, Kompas, 13 Februari 2009 halaman 1. 35 Laporan Organisasi non-Pemerintah tentang Pelaksanaan Landasan Aksi Beijing 1995-2005, op. cit., halaman 3. 36 Ibid,.

90

Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan

Yang menjadi masalah adalah, rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan pada umumnya lebih miskin daripada yang dikepalai oleh laki-laki. Hal ini disebabkan tenaga kerja perempuan umumnya dibayar lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, sehingga pendapatan perempuan lebih sedikit US$ 1 per harinya, dengan ratarata 5 orang anggota keluarga yang menjadi tanggungannya.36 Kesenjangan tingkat upah antara pekerja perempuan dengan pekerja laki-laki juga dapat dilihat dari Laporan Country Gender Assessment mengenai Indonesia yang menunjukkan bahwa rata-rata upah yang diterima oleh pekerja perempuan per jam hanyalah 70% daripada pendapatan yang diterima oleh pekerja laki-laki.37 Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, rendahnya gaji atau upah yang diterima oleh perempuan ini tidak terlepas dari pandangan patriarkis bahwa perempuan kurang produktif jika dibandingkan dengan lakilaki.38 Laki-laki sebagai kepala rumah tangga dibayar dengan upah keluarga, yaitu upah yang meliputi kebutuhan hidup bagi dirinya sendiri, istri, dan anak-anaknya. Sebaliknya, perempuan yang melakukan kerja produktif hanyalah memberi tambahan pendapatan keluarga, dan oleh karenanya dapat diberi upah yang kurang daripada pekerja laki-laki, bahkan untuk pekerjaan yang sama nilainya. Pandangan patriarkis seperti itu sebenarnya bertentangan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa di banyak negara, 25-40% dari semua keluarga pertama-tama hidup dari pendapatan yang diterima oleh perempuan atau merupakan rumah tangga dengan orang tua tunggal yang dikepalai oleh perempuan. Sebagian besar perempuan seperti itu hidup dalam kemiskinan atau bekerja dengan upah yang tidak

Country Gender Assessment: Indonesia, Southeast Asia Regional Department, Regional and Sustainable Development Departement, Asia Development Bank, Manila, Philippines, July 2006, page 13. 38 Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok mengenai Feminisme dan Relevansinya, alih bahasa S. Herlinah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Kalyanamitra, 1995, halaman 26. 39 Ibid, halaman 27.

37

Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya terhdap Perempuan

91

layak dan mengalami diskriminasi di tempat kerja akibat pandangan patriarkis tersebut.39 Berbeda halnya dengan pekerja perempuan yang bekerja di dalam negeri, para tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri atau sering disebut dengan tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di sektor informal relatif lebih aman dari dampak krisis ekonomi global. Secara umum, tenaga kerja Indonesia (TKI) sektor informal memang lebih aman dari krisis, berbeda dengan apa yang dialami oleh pekerja yang termasuk dalam kelompok formal. Menurut Kepala Kerja Sama Luar Negeri dan Promosi BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), tahun 2009 sekitar 100 ribu TKI (10%) yang bekerja di sektor formal di berbagai negara terancam PHK. Mereka bekerja di sektor manufaktur seperti perusahaan telekomunikasi dan elektronik.40 Sebelumnya sejumlah TKI formal yang bekerja di bidang konstruksi di Uni Emirat Arab juga sudah terkena PHK karena perusahaan menghentikan pembangunan proyek. Dari total 4,3 juta orang TKI yang bekerja di 41 negara, sekitar 65% di antaranya memang masih didominasi oleh pekerja sektor informal. Mereka berprofesi sebagai buruh bangunan, buruh perkebunan, dan pembantu rumah tangga (PRT).41 Bagi banyak perempuan miskin, bekerja di luar negeri sebagai TKW telah menjadi salah satu alternatif yang dapat dipilih di tengah segala keterbatasan yang mereka hadapi. Tidak mengherankan jika setiap tahun terjadi peningkatan jumlah TKW yang bekerja ke luar negeri. Setidaknya terdapat empat faktor yang dapat menjelaskan hal ini. Pertama, adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang telah menyebabkan banyak perempuan kehilangan pekerjaan. Kedua, adanya peningkatan permintaan terhadap pekerja perempuan di satu sisi dan terbatasnya kesempatan kerja bagi pekerja tidak terlatih dengan upah yang memadai di sisi yang lain. Ketiga, kebijakan pemerintah (Departemen Tenaga Kerja) yang
40

Pasar Kerja Pramuwisma Belum Tersentuh Krisis, Media Indonesia, 1 April 2009, halaman 14. 41 Ibid. 42 Country Gender Assessment: Indonesia, op.cit., page 72-73.

92

Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan

mendorong perempuan untuk bekerja ke luar negeri melalui Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Dan keempat, peran aktif dari para calo yang membuat perempuan tergiur dan berani pergi bekerja ke luar negeri.42 Sejak krisis ekonomi yang terjadi tahun 1998, terdapat sekitar 400.000 orang yang secara resmi tercatat sebagai TKI setiap tahunnya. 43 Data Bank Dunia menunjukkan, pada tahun 2004, sekitar 80% dari TKI adalah TKW, dan 95% di antaranya bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga atau profesi lain yang sejenis. Seperti perawat bayi (babysitter) atau orang lanjut usia (pramurukti).44 Data lain dari Bank Dunia menunjukkan, pada tahun yang sama jumlah TKI yang terdaftar mencapai 380.688 orang, dan 83% di antaranya adalah perempuan (TKW). Dari jumlah tersebut, lebih dari 90% TKW bekerja di sektor informal sebagai PRT.45 Meskipun profesi sebagai PRT kemungkinan tidak akan begitu terpengaruh oleh krisis ekonomi global, namun sebenarnya dari perspektif feminis gejala ini menunjukkan adanya stereotip gender yang merefleksikan bahwa peran tradisional perempuan telah terbawa ke dalam pasar kerja internasional.46 Stereotip gender adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang melekat pada peran, fungsi, dan tanggung jawab yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat yang tidak sesuai dengan kenyataan empirik yang ada. 47 Sebagai contoh, ciri yang dianggap dominan pada laki-laki adalah yang berkaitan dengan rasionalitas, sedangkan pada perempuan adalah hal-hal yang berkaitan dengan ekspresi
Fact Sheet: Migration, Remittance, and Female Migrant Workers, Female Migrant Workers Research Team Bank Dunia (World Bank), Januari 2006, page 1. 44 Country Gender Assessment: Indonesia, op.cit.,page 72. 45 Fact Sheet: Migration, Remittance, and Female Migrant Workers, op.cit., hal. 1. 46 Country Gender Assessment: Indonesia, op.cit.,page 73. 47 Panduan dan Bunga Rampai Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan Gender. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan UNFPA, 2005, halaman 314.
43

Penutup

93

perasaan seperti kehangatan, keramahan, kelembutan, dan sejenisnya. Selanjutnya stereotip ini dijadikan dasar untuk mengalokasikan peran untuk laki-laki dan perempuan.48 Peran tradisional perempuan sebagai penjaga, pemelihara, dan perawat dalam rumah tangga inilah yang nampaknya menjadi dasar munculnya stereotip gender tersebut di atas, mengingat bahwa sampai saat ini masih ada pandangan yang menempatkan perempuan di ranah privat (rumah tangga), sementara laki-laki ditempatkan di ranah publik sebagai pencari nafkah utama terkait posisinya sebagai kepala keluarga. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan kenyataan, mengingat adanya kecenderungan semakin meningkatnya jumlah perempuan yang memiliki posisi sebagai kepala rumah tangga, baik yang disebabkan oleh karena perceraian maupun karena suaminya meninggal. Oleh karena itu, stereotip gender sebagaimana diuraikan di atas sudah saatnya dikoreksi, karena hanya akan merugikan perempuan dan semakin menjauhkan upaya menuju kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan dan laki-laki.

IV. Penutup
Krisis ekonomi global yang membawa dampak pada lambannya upaya penanggulangan kemiskinan menuntut adanya tindakan nyata dari Pemerintah untuk mengatasinya. Terkait dengan perempuan, krisis ekonomi global telah memperparah feminisasi kemiskinan yang telah terjadi sebelum adanya krisis. Sebagaimana dinyatakan oleh Forum NGO Indonesia untuk BPFA+10, meningkatnya feminisasi kemiskinan merupakan salah satu isu yang selalu berulang dalam penanganan masalah kemiskinan di Indonesia. Oleh karena itu, berbagai program penanggulangan
Daftar Istilah Gender, disusun oleh Wardah Hafidz, diterbitkan oleh Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Jakarta, tanpa tahun.
48

95

Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan

kemiskinan yang saat ini tengah dijalankan dan sedang direncanakan oleh Pemerintah hendaknya mempertimbangkan isu feminisasi kemiskinan ini sebagai salah satu aspek yang penting. Hal ini sangat diperlukan, mengingat berdasarkan berbagai data yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, perempuan merupakan salah satu kelompok yang paling merasakan dampak krisis ekonomi global, terutama perempuan miskin yang berstatus sebagai pekerja dan perempuan miskin yang memiliki posisi sebagai kepala rumah tangga. Mengingat bahwa profesi TKW di luar negeri telah terbukti relatif lebih aman dari ancaman krisis ekonomi global dibandingkan dengan profesi lainnya yang digeluti oleh TKI, maka terdapat kemungkinan bahwa jumlah perempuan yang menjadi TKW akan meningkat. Untuk itu Pemerintah perlu terus meningkatkan segala upaya yang dapat melindungi para TKW tersebut, mulai dari saat perekrutan, pemberangkatan, penempatan, hingga kembali lagi ke tanah air. Perlindungan secara khusus juga harus diberikan kepada TKW yang berprofesi sebagai PRT, karena pengalaman selama ini menunjukkan bahwa TKW yang bekerja sebagai PRT lebih rentan terhadap resiko pekerjaan yang dilakukannya, seperti gaji yang tidak dibayar atau dibayar tidak sebagaimana mestinya, jam kerja di luar batas kewajaran, dan pelecehan ataupun kekerasan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Dalam jangka panjang, harus diupayakan agar gender dijadikan sebagai arus utama dalam pembangunan, sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Hal ini sesuai dengan hasil konferensi internasional yang berkaitan dengan perempuan yang menunjukkan pentingnya untuk mengubah paradigma pembangunan yang semula bertumpu pada pembangunan ekonomi menjadi paradigma pembangunan yang adil, menyeluruh, dan berkelanjutan. 49 Paradigma ini
Siti Hidayati Amal, Anggaran Responsif Gender: Kebijakan Anggaran untuk Kesejahteraan Perempuan dan Laki-laki, dalam Anggaran Responsif Gender: Konsep dan Aplikasi, Sri Mastuti et al, Jakarta: Civic Education and Budget Transparency Advocation (CiBa), 2007 halaman 8-9.
49

Penutup

95

menekankan pentingnya strategi pengarusutamaan gender untuk mencapai kesejahteraan perempuan dan laki-laki sebagai prasyarat untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut. Salah satu komponen yang sangat penting dalam strategi pengarusutamaan gender adalah penganggaran yang responsif gender, agar dana pembangunan yang digunakan dapat memberi manfaat yang adil bagi kesejahteraan perempuan dan laki-laki.50 Penyusunan anggaran yang responsif gender ini sangat penting karena perempuan memiliki kebutuhankebutuhan khusus yang berbeda dengan laki-laki, sehingga idealnya perspektif gender dijadikan sebagai salah satu instrumen yang penting dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penyusunan anggaran di setiap sektor idealnya harus memasukkan perspektif gender di dalamnya, mengingat kebutuhan perempuan ada di setiap sektor dan pada sektor-sektor tertentu kebutuhan perempuan berbeda dengan kebutuhan laki-laki. Oleh karena itu, anggaran responsif gender perlu diintegrasikan ke dalam APBN. Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang merupakan pedoman bagi penyusunan RAPBN harus benar-benar berperspektif gender, agar dapat dihasilkan anggaran yang responsif gender. Paradigma lama yang menganggap bahwa segala hal yang berkaitan dengan masalah perempuan hanya menjadi tanggung jawab satu bidang atau sektor pemerintahan perlu diubah karena dalam kenyataannya permasalahan perempuan ada di setiap sektor dan bidang pembangunan.

50

Ibid, halaman 9.

96

Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan

DAFTAR PUSTAKA
Amal, Siti Hidayati, Anggaran Responsif Gender: Kebijakan Anggaran untuk Kesejahteraan Perempuan dan Laki-laki, dalam Anggaran Responsif Gender: Konsep dan Aplikasi, Sri Mastuti et al, Jakarta: Civic Education and Budget Transparency Advocation (CiBa), 2007. Bhasin, Kamla, Memahami Gender, Jakarta: Teplok Press, 2001. Cahyono, Imam, Wajah Kemiskinan, Wajah Perempuan, Jurnal Perempuan No. 42: Mengurai Kemiskinan Dimana Perempuan? Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Juli 2005. Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Hafidz, Wardah, Daftar Istilah Gender, Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, tanpa tahun. Jurnal Perempuan No. 42: Mengurai Kemiskinan, Dimana Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Juli 2005. Luhulima, Achie Sudiarti, Hak Perempuan dalam Konstitusi Indonesia, dalam: Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Sulistiowati Irianto (ed), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Ollenburger, Jane C. dan Helen A. Moore, Sosiologi Wanita, penerjemah Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Pambudi, Ninuk Mardiana, Mengubah Perspektif Keliru Mengenai Peran Ekonomi Perempuan, dalam Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Sulistyowati Irianto (ed), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Dokumen Resmi: Country Gender Assessment: Indonesia, Southeast Asia Regional Department, Regional and Sustainable Development Departement, Asia Development Bank, Manila, Philippines, July 2006. Fact Sheet: Migration, Remittance, and Female Migrant Workers, Female Migrant Workers Research Team Bank Dunia (World Bank), Januari 2006.

Daftar Pustaka

97

Kebijakan Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP), Satker Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Unit KIE, 2006. Laporan Organisasi non-Pemerintah tentang Pelaksanaan Landasan Aksi Beijing 1995-2005. Forum NGO Indonesia untuk BPFA + 10, Februari 2005. Materi Advokasi dan Pembekalan kepada Perempuan Bakal Calon Anggota Legislatif dalam Rangka Menyambut Pemilu Tahun 2009, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2008, tidak diterbitkan. Panduan dan Bunga Rampai Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan Gender. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan UNFPA, 2005.

Media Cetak: Angka Kemiskinan Sulit Turun, Media Indonesia, 20 November 2008. PHK Terus Berlanjut, Media Indonesia, 20 November 2008. Pengangguran Global 210 Juta, Suara Pembaruan, 26 November 2008. PHK 200.000 Orang, Pemerintah Koreksi Target Pertumbuhan Ekonomi, Kompas, 6 Februari 2009. Kemiskinan Bertambah, Pastikan Semua Proyek Padat Karya Segera Berjalan, Kompas, 13 Februari 2009. Penciptaan Lapangan Kerja Formal Seret, Media Indonesia, 10 Maret 2009. PHK Terjadi di Berbagai Sektor, Apindo: Segera Realisasikan Stimulus, Suara Pembaruan, 12 Maret 2009. 180.000 Buruh Kontrak di-PHK, Pemerintah Harus Lebih Tegas, Kompas, 13 Maret 2009. Krisis Pukul Banyak Negara, Zoellick: 400.000 Bayi Akan Meninggal pada Tahun 2009, Kompas, 22 Maret 2009. Pasar Kerja Pramuwisma Belum Tersentuh Krisis, Media Indonesia, 1 April 2009. Resesi dan Kemiskinan, Republika, 3 April 2009.

98

Krisis Ekonomi Global dan Feminisasi Kemiskinan

Internet: Jumlah Penduduk Bekerja :http:/www.depnakertrans.go.id/ pusdatin.html.

Anda mungkin juga menyukai