Anda di halaman 1dari 1

Profesor dan Calon Dokter

Oleh : Irfan Toni Herlambang

Di sebuah ruang kuliah, seorang profesor kedokteran memberikan kuliah perdananya. Para mahasiswa
baru itu tampak serius. Mata mereka terpaku menatap profesor, seraya tangan sibuk mencatat.
"Menjadi dokter, butuh keberanian dan ketelitian," terdengar suara sangprofesor. "Dan saya harap kalian
dapat membuktikannya." Bapak itu beranjak ke samping. "Saya punya setoples cairan limpa manusia
yang telah direndam selama 3 bulan." Profesor itu mencelupkan jari ke dalam toples, dan memasukkan
jari itu ke mulutnya. Terdengar teriak-teriak kecil dari mahasiswa itu. Mereka terlihat jijik. "Itulah yang
kusebut dengan keberaniandan ketelitian," ucap profesor lebih meyakinkan.

"Saya butuh satu orang yang bisa berbuat seperti saya. Buktikan bahwa kalianingin menjadi dokter."
Suasana aula mendadak senyap. Mereka bingung: antarajijik dan tantangan sebagai calon dokter. Tak
ada yang mengangkat tangan.Sang profesor berkata lagi, "Tak adakah yang bisa membuktikan kepada
saya? Mana keberanian dan ketelitian kalian?"

Tiba-tiba, seorang anak muda mengangkat tangan. "Ah, akhirnya ada juga yang berani. Tunjukkan pada
teman-temanmu bahwa kau punya keberanian dan ketelitian." Anak muda itu menuruni tangga, menuju
mimbar tempat sang professor berada. Dihampirinya stoples itu dengan ragu-ragu. Wajahnya tegang,
dan perasaan jijik terlihat dari air mukanya.

Ia mulai memasukkan jarinya ke dalam toples. Kepala menoleh ke samping dengan mata yang
menutup. Teriakan kecil rasa jijik kembali terdengar.Perlahan, dimasukkannya jari yang telah tercelup
lendir itu ke mulutnya.Banyak orang yang menutup mata, banyak pula yang berlari menuju kamar
kecil.Sang professor tersenyum. Anak muda itu tersenyum kecut, sambil meludah-ludah ke samping.

"Aha, kamu telah membuktikan satu hal, anak muda. Seorang calon dokter memang harus berani. Tapi
sayang, dokter juga butuh ketelitian." Profesor itu menepuk punggung si mahasiswa. "Tidakkah kau
lihat, aku tadi memasukkan telunjuk ke toples, tapi jari tengah yang masuk ke mulut. Seorang dokter
memang butuh keberanian, tapi lebih butuh lagi ketelitian."
***
Tantangan hidup, kadangkala bukan untuk menghadapi kematian. Tapi, justru bagaimana menjalani
kehidupan. Banyak orang yang takut mati. Tapi, tidak sedikit yang memilih mati ketimbang hidup.
Banyak yang menghabisi hidup pada jalan-jalan tercela. Banyak pula yang enggan hidup hanya karena
beratnya beban kehidupan.

Ujaran profesor itu memang benar. Tantangan menjadi seorang dokter-dan sesungguhnya, menjadi
manusia-adalah dibutuhkannya keberanian danketelitian. Bahkan, tantangan itu lebih dari sekadar
mencicipi rasa cairan limpa di toples. Lebih berat. Jauh lebih berat. Dalam kehidupan, apa yang kita
alami kadang lebih pahit dan menegangkan. Namun, bagi yang teliti,semua bisa jadi manis, menjadi
tantangan yang mengasyikkan. Di sanalah ditemukan semua rasa, rupa dan suasana yang mendidik.
Dan mereka dapat dengan teliti memilah dan memilih.

Teman, hati-hatilah. Hidup memang butuh keberanian. Tapi, akan lebih butuh ketelitian. Cermati
langkahmu, waspadai tindakanmu. Hati-hati saat "mencelupkan jari" dalam toples kehidupan. Kalau
tidak, "rasa pahit" yang akan kita temukan..

Anda mungkin juga menyukai