Anda di halaman 1dari 31

BAB II PEMBAHASAN

A. Perkembangan Anak

1. Perkembangan Fisik (Motorik) a. Masa Pra Sekolah (2-6 tahun) Yang dimaksud dengan motorik ialah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan-gerakan tubuh. Dalam perkembangan motoris, unsur-unsur yang menentukan ialah otot, saraf, dan otak. Ketiga unsur itu melaksanakan masing-masing peranannya secara interaksi positif, artinya unsur-unsur yang satu saling berkaitan, saling menunjang, saling melengkapi dengan unsur yang lainnya untuk mencapai kondisi motoris yang lebih sempurna keadaannya. Selain mengandalkan kekuatan otot, rupanya kesempurnaan otak juga turut menetukan keadaan. Anak yang pertumbuhan otaknya mengalami gangguan tampak kurang terampil menggerak-gerakkan tubuhnya.

Motorik anak-anak dibandingkan dengan motorik orang dewasa Motorik anak-anak jauh berbeda dengan motorik yang dimiliki orang dewasa. Perbedaan itu dapat kita lihat dalam 3 hal, yaitu: 1) Cara memegang Ada perbedaan anztara orang dewasa memegang benda/perkakas dengan cara anak memegang perkakas. Pada orang dewasa, perkakas dipegang dengan cara khas agar ia dapat mempergunakannya secara optimal. Sedangkan anak-anak asal memegang saja.

2) Cara berjalan Perhatikan orang dewasa berjalan; mereka hanya mempergunakan ototototnya yang perlu saja. Sedangkan anak-anak berjalan seolah-olah seluruh tubuhnya ikut bergerak. 3) Cara menyepak Perhatikan anak-anak menyepak bola; kedua belah tangannya mengaju ke depan dengan berlebih-lebihan. Banyak gerakan anak-anak yang kurang jelas tujuannya. Setelah mereka terus melatih motoriknya, dikemudian hari anak akan lebih terampil menguasai otot-ototnya. Semakin bertambah pengalamannya, semakin berkurang ia melakukan gerakan yang tidak jelas tujuannya.

Beberapa macam motorik Gerakan-gerakan itu tidak sama asal dan rupanya. Ada gerakan yang merupakan akibat dari kemauan, ada gerakan yang terjadi diluar kemauan dan biasanya kurang disadari karena ia berjalan otomatis. Karena banyak gerakan yang dilakukan anak-anak, agar lebih mudah mengenali gerakan-gerakannya, kita bagi gerakan-gerakan itu ke dalam tiga golongan seperti berikut ini: 1) Motorik statis Gerakan tubuh sebagai upaya untuk memperoleh keseimbangan, misalnya keserasian gerakan tangan dan kaki pada waktu kita sedang berjalan. 2) Motorik ketangkasan Gerakan untuk melaksanakan tindakan yang berwujud ketangkasan dan keterampilan, misalnya gerak melempar, menagkap, dan sebagainya. 3) Motorik penguasaan Gerakan untuk mengendalikan otot-otot, roman muka, dan sebagainya.

b. Masa Sekolah ( 6-12 tahun)

Matang untuk mulai belajar menulis Yang dimaksud dengan menulis ialah menyatakan pikiran dan perasaan dengan menggunakan tanda-tanda tulis. Untuk memenuhi persyaratan itu diperlukan : 1) Memiliki perbendaharaan bahasa sekadarnya. 2) Perkembangan motorik yang memadai. Secara berangsur-angsur psikomotorik itu berkembang sejak masa kanakkanak. Sekarang ia harus memiliki psikomotorik yang memadai untuk mengikuti latihan menulis. Pada mulanya ia merasa sulit melakukan gerakangerakan tangannya ketika menulis, lambat-laun dirasakan gerakan itu akan menjadi lancar dan otomatis.

c. Gambar anak-anak Suatu hari, seorang ibu rumah tangga melihat anaknya yang berusia kurang lebih empat tahun sedang menggores-gores dinding dengan pensil. Gores-goresan itu bergerak dari kiri ke kanan, dari bawah ke atas. Si ibu segera merebut pensil itu sambil memukul tangan anaknya dengan gagang sapu karena kesalnya melihat dinding penuh dengan gores-goresan. Tentu saja si anak tidak mengerti mengapa ia dimarahi, padahal ia sangat merasa senang membuat garis-garis itu di dinding. Siapa yang bersalah dalam hal ini ? Sebenarnya ibu tidak memahami perkembangan anaknya, si kecil sedang memasuki masa menggambar coret-coretan. Bagi anak itu sendiri coretcoretan itu merupakan cetusan atau ungkapan dari kehidupan jiwanya. Para ahli banyak yang telah mempelajari gambar anak-anak. Mereka itu adalah Corrado Ricci (pada tahun 1887) dari Italia, Sully (pada tahun 1896) dari Amerika, dan Kerschensteiner dari Jerman. Pada umumnya mereka

menggunakan metode pengumpulan, yaitu dengan mengumpulkan gambar anak-anak, kemudian mereka pelajari dengan teliti. Kerschensteiner, misalnya telah mengumpulkan dan meneliti lebih dari 300 ribu gambar anak-anak. Dari hasil-hasil penelitian ia `` membuatkan pembagian sebagai berikut :

5.1 Masa coret-coretan: 3;0 s.d 5;0 Seperti halnya meraban mendahului masa bercakap-cakap yang sebenarnya, begitu pula coret-coretan mendahului masa menggambar yang sebenarnya. Suatu hari anak mulai mencoret-coret dengan sekehendaknya karena di dalam dirinya ada dorongan untuk menyatakan sesuatu. Dalam gambarnya itu belum terkandung maksud tertentu, tepatnya ia baru membuat coret-coretan saja. Setelah membuat garis-garis di dinding atau di atas buku gambarnya, perbuatan itu menimbulkan rasa suka pada dirinya, dan merupakan latihan permulaan ke arah menggambar yang sebenarnya. Orang tua yang mengerti tentang hal itu, tentu akan memberi kesempatan kepada anaknya agar dapat mengembangkan dirinya. 5.2 Masa bagan atau skema: 5;0 s.d 7;0 Kegiatan menggambar yang sebenarnya dimulai dalam masa skema. Dalam masa skema ini telah kelihatan bentuk bentuk bagan di dalam goresgoresannya. Setelah selesai dibuatnya, ia diberi nama-nama orang, binatang, atau nama pohon. Meskipun benda-benda itu sebenarnya tidak begitu jelas kelihatan dalam gambarnya itu. Gambar-gambarnya masih terlalu berbentuk bagan. Contoh sebagai penjelasan: Untuk Menggambar manusia, ia cukup dinyatakan dengan bulatan dan titik-titik didalamnya, ditambah beberapa garis di bawahnya untuk menunjukkan kakinya. Pada mulanya badannya belum digambarkan, kemudian badannya digambar juga, tetapi kaki dan tangannya belum jelas kelihatan. Jadi gambar-gambarnya masih berupa bagan saja belum jelas kelihatan. Jadi gambar-gambarnya masih berupa bagan saja. Karena itulah masa menggambar ini dinamakan masa menggambar bagan.

(Teh icus )

2. Perkembangan Kognitif a. Masa Pra Sekolah (2-6 tahun) b. Masa Sekolah ( 6-12 tahun) Perkembangan Intelektual Pada usia sekolah dasar (6-12 tahun) anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif, seperti membaca, menulis, dan menghitung. Pada usia SD daya pikirnya sudah berkembang ke arah pikir konkret dan rasional (dapat diterima akal). Piaget menamakannya sebagai masa operasi kongkret, masa berakhirnya berfikir khayal dan mulai berfikir kongkret (berkaitan dengan dunia nyata). Periode ini ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru, yaitu mengklasifikasikan (mengelompokan), menyusun atau mengasosiasikan (menghubung atau menghitung) angka-angka atau bilangan. Kemampuan yang berkaitan dengan perhitungan (angka), seperti menambah, mengurangi, mengalikan, dan membagi. Di samping itu, pada akhir masa ini anak sudah memiliki kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang

sederhana. Untuk mengembangkan daya nalarnya, orang tua dapat melatih anak dengan mengungkapkan pendapat, gagasan atau penilainnya terhadap berbagai hal, baik yang dialamainya maupun peristiwa yang terjadi di lingkungan. Misalnya,yang berkaitan dengan materi pelajaran, tata tertib sekolah, pergaulan yang baik dengan sebaya atau orang lain dan sebagainya. Dalam kedaan pertumbuhan yang biasa, pikiran berkembang berangsurangsur, sampai anak mencapai usia 8-12 tahun, ingatannya menjadi kuat sekali. Biasanya mereka senang sekali mnghafal, anak mengalami masa

belajar. Pada masa belajar ini, anak menambah pengetahuannya, menambah kemampuannya, dan mencapai kebiasaan yang baik. Anak mulai

memperhatikan keadaan sekeklilingnya dengan objektif.

Timbulnya

keinginan tersebut akan mendorongnya untuk menyelidiki segala sesuatu yang ada di lingkungannya. Dalam masa anka sekolah, anak sangat suka menguimpulkan benda-benda seperti perangko, gambar-gambar, bungkus roko, bungkus korek api, dan sebagainya. Perkembangan fantasi mengalami perubahab setelah anak berummur delapan tahun. Dongeng-dongeng dan cerita fantasi sudah tidak disukai lagi karena kemampuan berfikir bertambah kritis. Sekarang anak lebih suka membaca cerita yang sungguh-sungguh terjadi, walaupun cerita yang mendekati kenyataan, perasaan, khayal, dan sugesti masih memengaruhi cara berpikirnya. Itulah saah satu alasan mengapa kesaksian yang diberikan anakanak belum dapat dipercaya sepenuhnya.

Matang untuk mulai belajar berhitung Pada umumnya anak yang berumur enam tahun itu belum dapat berhitung dengan sesungguhnya. Yang dimaksud dengan berhitung yang sesungguhnya ialah bekerja dengan bilangan abstrak. Tetapi anak-anak mulai berhitung walaupun itu masih tergolong berhitung permulaan, yaitu berhitung berupa. Sebenarnya berhitung berupa itu telah dikenal anak dari lingkungan dan situasi permainannya. Guru di kelas satu sekolah dasar harus memberikan hitungan berupa, yaitu berhitung dengan mempergunakan bendabenda kongkret sebagai contohnya. Cara mengajar dengan hitungan berupa hanyalah merupakan bimbingan ke arah berhitung yang sebenarnya, yaitu berhitung dengan bilangan abstrak. Pada akhirnya, tujuan pelajaran berhitung itu adakah anak mampu bekerja dengan bilangan-bilangan abstrak.

Menurut Robert Y. Havighurst dalam bukunya Human Development and Education, 1961, hampir semua orang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Kemampuan membaca yang dimiliki seseorang turut menentukan proses dan hasil belajar. Kemampuan membaca dan menulis masih dapat ditingkatkan sampai anak mencapai umur 12 hingga 13 tahun.

Matang untuk mulai belajar membaca Kemampuan membaca dan menulis termasuk keterampilan yang harus dipelajari dengan sengaja. Tidak sama halnya dengan belajar berbicara. Kemampuan mendengarkan dan berbicara termasuk kemampuan yang diperoleh dengan sewajarnya, maksudnya anak mempelajari fungsi itu dengan sendirinya. Untuk belajar membaca diperlukan beberapa persyaratan, yaitu : 1) Anak mampu menangkap perkataan orang lain 2) Anak mampu mengeluarkan isi hatinya 3) Anak menguasai teknis bicara sekadarnya 4) Anak mengerti bahwa coret-coretan da gambar itu mempunyai arti dan bunyi tertentu. Kekurangan dari salah satu syarat-syarat yang disebutkan tadi dapat mengurangi kelancaran pengajaran membaca permulaan, sebab anak akan mengalami hambatan-hambatan yang berarti.

c. Tahapan Berfikir Stadium pra-operasional ( 18 bulan 7 tahun) Stadium pra-operasional dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis, imitasi (tidak langsung) serta bayangan dalam mental. Semua proses ini menunjukan bahwa anak sudah mampu untuk melakukan tingkah laku simbolis. Anak sekarang tidak lagi mereaksi begitu

saja terhadap stimulus-stimulus melainkan nampak ada suatu aktivitas internal. Anak mampu untuk berbuat pura-pura, artinya dapat menimbulkan situasi-situasi yang tidak langsung ada. Ia mampu untuk menirukan tingkah laku yang dilihatnya (imitasi) dan apa yang dilihatnya sehari sebelumnya (imitasi tertunda). Anak dapat mengadakan antisipasi, misalnya ia sekarang dapat mengatakan bahwa menaranya belum selesai, karena ia tahu menara yang bagaimana yang akan dibuatnya. Ia sekarang mampu untuk mengadakan representasi dunia pada tingkat yang konkrit. Tetapi meskipun adanya banyak aspek-aspek yang positif dalam cara berpikir pra-operasional ini, namun masih banyak kekurangan juga. Berpikir pra-operasional masih sangat egosentris. Anak belum mampu (secara persepsual, emosional-motivational, dan konsepsual) untuk

mengambil perspektif orang lain). Contoh: anak diajak ke lapangan balap mobil. Di lapangan tadi ada 3 buah mobil, merah, putih dan biru berjajaran. Bila anak diminta untuk menyebutkan urutan mobil tadi dari sudut pandangan orang lain yang berdiri di sebrang sebaliknya, makan ia akan menjawab dari sudut perpektifnya sendiri. Cara berpikir pra-operasional sangat memusat (centralized). Bila anak dkonfrontasi dengan situasi yang multi-dimensional, maka ia anak memusatkan perhatiannya hanya pada suatu dimensi saja dan mengabaikan dimensi-dimensi yang lain dan akhirnya juga mngabaikan hubungannya antara dimensi-dimensi ini. Contoh: sebuah gelas tinggi ramping dan sebuah gelas pendek dan lebar diisi dengan air yang sama banyaknya. Anak ditanya apakah air dalam dua gelas tadi sama banyaknya. Anak kebanyakan akan menjawab bahwa ada lebih banyak air dalam gelas yang tinggi ramping tadi karena gelas ini lebih tinggi daripada yang satunya. Anak belum melihat dimensi-dimensi yang lain.

Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik (irreversible). Anak belum mampu untuk meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya. Sangat khas bagi anak dalam periode ini adala percakapan antara orang dewasa dan anak sebagai berikut: Totok, kau punya saudara Siapa nama saudaramu Apa Mita punya saudara Ya! Mita Tidak

Hubugan Totok punya saudara Mita bagi anak tidak dapat dibalik. Berpikir pra-operasional adalah terarah statis. Bila situasi A beralih ke situasi B, maka anak hanya memperhatikan situasi A, kemudian B. Ia tidak memperhatikan transformasi perpindahannya A ke B. Contoh: bila anak diminta untuk menggambarkan suatu tongkat yang sedang jatuh, maka anak mula-mula menggambarkan tongkat yang berdiri tegak dan kemudian tongkat berbaring. Aspek dinamikanya -tongkat sedang jatuh- diabaikan oleh anak.

Karakteristik Periode Praoperasional 1) Egosentrisme, yang maksudnya bukan selfishness (egois), atau arogan (sombong), namun kecenderungan untuk memersepsi, memahami dan menafsirkan sesuatu berdasarkan sudut pandang sendiri. 2) Kaku dalam berpikir (rigidity of thought), salah satu karakteristik berpikir preoperasional adalah kaku (frozen). Salah satu contohnya berpikirnya itu bersifat memusat, yaitu kecenderungan berpikir atas dasar satu dimensi, baik mengenai objek maupun peristiwa atas dasar satu dimensi. 3) Alasan yang sedikit logis (semilogical reasoning). Anak-anak mencoba untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa alam yang misterius, yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari.

Stadium operasional konkrit (7 11 tahun) Stadium operasional konkrit dapat digambarkan sebagai menjadinya positif ciri-ciri yang negatif pada stadium berpikir pra-operasional. Cara berpikir anak yang operasional konkrit kurang egosentris. Ditandai oleh desentrasi yang besar, artinya anak sekarang misalnya sudah mampu untuk memperhatikan lebih dari satu dimensi sekaligus dan juga untuk menghubungkan dimensi-dimensi ini satu sama lain (hal ini dapat dilihat dari kemampuan anak dalam stadium ini juga mengadakan konservasi). Anak sekarang juga memperhatikan aspek dinamisnya dalam perubahan situasi. Akhirnya ia juga sudah mampu untuk mengerti operasi logisnya reversibilitas. Namun ada juga kekurangannya dalam cara berpikir yang operasional konkrit. Hal ini sebelumnya sudah secara implisit ditunjukkan oleh istilah operasional konkrit. Anak mampu untuk melakukan aktivitas logis tertentu (= operasi) tetapi hanya dalam situasi yang konkrit. Dengan lain perkataan, bila anak dihadapkan dengan suatu masalah (misalnya masalah klasifikasi) secara verbal, yaitu tanpa adanya bahan yang konkrit, maka ia belum mampu untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik. Dalam uraian lebih lanjut akan ditinjau mengenai tugas-tugas tertentu yng dapat menggambarkan perpindahan dari cara berpikir yang praoperasional ke berpikir yang operasional.

Perpindahan dari berpikir pra-operasional ke operasional konkrit

Piaget menciptakan sejumlah tugas yang dapat menggambarkan perpindahan dari berpikir pra-operasional ke operasional konkrit. Tugas-tugas ini dapat dipandang sebagai tugas-tugas kriterium, artinya bila anak dapat menyelesaikan tugasnya maka ia ada dalam stadium operasional konkrit. Beberapa dari tugas ini akan diterangkan secara singkat sebagai berikut:

a. Mengatur secara serial: Bila anak dalam stadium pra-operasional diberi tugas untuk mengatur beberapa tongkat kecil yang berlain-lainan

panjangnya, maka ia tidak mampu untuk mengaturnya menurut panjang pendeknya tongkat-tongkat tadi. Anak yang berpikir operasional konkrit dapat melakukan hal itu. b. Klasifikasi. Bila anak unur 2 5 tahun diberi sejumlah balok yang mempunyai warna dan bentuk yang berbeda-beda dan bila ia ditanya balok-balok mana yang sama, maka ia tidak dapat menjawabnya. Anak hanya membuat apa yang disebut conceptual chains artinya meletakkan balok-balok tadi dalam suatu seri berdasarkan dasar konsepsi yang senantiasa berbeda. Suatu contoh rangkaian konsepsi adalah; sebuah segi empat putih, sebuah segi empat merah (dasar bentuk), sebuah lingkaran merah, sebuah persegi merah (dasar warna). Anak mengubah-ubah dasar konsepsinya dalam meletakkan urutan balok yang berikutnya. Berikut ini akan diterangkan dulu mengenai pengertian kelas. Dalam melukiskan kelas dapatlah dibuat suatu daftar mengenai semua objek yang ada dalam kelas tersebut. Bila disebutkan mengenai segi empat putih yang kecil, segi empat merah yang kecil, segi empat putih yang besar dan segi empat merah yang besar, maka penyebutan ini dinamakan ekstensi kelas (luasnya kelas). Aspek yang lain ialah bahwa semua objek yang tercakup dalam kelas ini mempunyai ciri segi empat. Ciri yang sama yang dimiliki oleh semua objek dalam kelas tadi disebut intensi kelas. Ciri yang khas dari kelas tadi menentukan objek mana dari suatu kumpulan objek yang dapat digolongkan dalam suatu kelas tertentu. Jadi dapat pula dikatakan: intensi kelas menentukan ekstensinya. Bila ada suatu kumpulan balok yang terdiri dari beberapa persegi merah dan putih serta beberapa bulatan biru dan hijau, maka klasifikasinya dapat dilukiskan seperti nampak pada gambar berikut.

Balok-balok

persegi

bulat

merah

putih

biru

hijau

Skema klasifikasi mengenai sekumpulan balok yang berbeda-beda menurut bentuk dan warnanya. Anak umur 5 7 tahun mampu untuk mengadakan klasifkasi sebagai berikut: Ia akan menggolong-golongkan semua balok-balok (anak-anak yang lebih muda akan sering menyisakan beberapa yang tidak diklasifikasikan). Semua balok diklasifikasi menurut atau bentuk perseginya atau bentuk bulatnya. Jadi intensi menentukan ekstensinya. Ia juga membuat klasifikasi yang tepat menurut warnanya, jika tidak membuat conceptual chains. Ia juga akan menentukan tingkat hirargisnya; di sini tingkat yang paling rendah adalah warna dan tingkat yang paling tinggi adalah bentuk. Namun pada usia ini anak belum mempunyai pengertian akan operasi logis dalam inklus-kelas, artinya ia belum mengerti bagaimana relasi di antara tingkatan yang berbeda-beda itu dalam hirargi tadi. Mengenai kumpulan balok-balok tadi dapat dipikirkan antara lain: (1) semua segi empat adalah merah atau putih, (2) ada lebih banyak segi empat daripada yang merah, (3) ada lebih banyak segi empat daripada yang putih, (4) bila segi empat yang merah diambil, tinggal yang putih, (5) bila segi empat putih diambil tinggallah yang merah dan sebagainya. Nampaknya hal ini semua masuk akal. Tetapi bila anak ditanya apakah ada lebih banyak segi

empat daripada yang merah, atau apakah masih ada segi empat yang sisa bila yang merah semua diambil, maka anak belum dapat menjawabnya. Operasi mengenai inklusi-kelas terletak pada pengertian yang benar mengenai hubungan antara bagian dan keseluruhan, antara keseluruhan dan bagian, dan antara bagian dan bagian. Ketidakmampuan anak pada umur 5 7 tahun untuk mengerti hal ini diterangkan oleh Piaget dengan hipotesis bahwa anak belum dapat menilai dua macam dimensi yang berbeda (di sini keseluruhan dan bagian) dalam satu situasi pengamatan yang sama. Mulai 7 tahun anak nampak makin dapat mengadakan klasifikasi secara hirargis dan memperoleh pengertian dalam inklusi-kelas. Namun hal itu hanya dapat dilakukan bila bahan-bahannya adalah konkrit. Biasanya baru mulai usia 11 tahun anak mampu untuk mengadakan klasifikasi secara tepat, juga mengenai hal-hal yang tidak konkrit. Hal ini berhubungan dengan mulainya stadium operasional formal.

c. Konservasi. Hal ini berhubungan dengan pertanyaan bagaimana anak memperoleh pengertian bahwa sifat-sifat tertentu sesuatu objek akan tetap sama meskipun ada transformasi pada objek tadi. Bagi orang dewasa adalah jelas dan semestinya bahwa misalnya suatu bola dari tanah liat yang diubah bentuknya akan tetap mempunyai berat yang sama. Anak dalam stadium pra-operasional akan mengira bahwa dalam contoh ini perubahan dalam bentuk juga menyebabkan perubahan dalam berat. Dapat dikatakan bahwa anak belum mampu untuk mengerti mengenai konservasi berat. Masalah konservasi ini mengambil tempat yang penting dalam teori Piaget. Mampu untuk konservasi menurut Piaget merupakan persyaratan yang mutlak bagi segala aktivitas intelektual, jelasnya untuk berpikir kuantitatif dan matematis. Prosedur eksperimentalnya yang digunakan

Piaget untuk menentukan apakah anak mampu untuk konservasi atau belum, dapat dilukiskan dengan contoh sebagai berikut: Pencoba menunjukan dua buah gelas yang identik, suatu gelas standard (S) dan suatu gelas variabel (V). Dengan dilihat oleh anak (coba) ia mengisi dua gelas tadi dengan jumlah air yang sama. Ia baru melanjutkan dengan prosedurnya sesudah anak menentukan dengan nyata bahwa dalam dua gelas tadi banyaknya air sama. Kemudian air dalam gelas V dituangkan dalam suatu gelas lain (V1) yang misalnya lebih tinggi dan lebih ramping daripada gelas V. Apakah banyaknya air sama dalam gelas ini (menunjuk pada V1) dan dalam gelas itu (menunjuk pada S) ataukah airnya lebih banyak dalam gelas ini (menunjuk pada V1) atau gelas itu (menunjuk pada S)? Dengan prosedur tersebut dicoba untuk mengetahui kemampuan anak dalam konservasi kuantitas kontinyu. Selanjutnya penelitian konservasi juga tertuju pada konservasi berat (pertanyaan: apakah berat suatu bola tanah liat berubah bila bentuknya berubah?), konservasi jumlah (pertanyaan: bila ada dua deret tangkai korek api yang jumlahnya sama kemudian pada deret yang satu saya jarangkan letaknya, apakah jumlahnya masih sama?) dan pada konservasi substansi (pertanyaan: apakah banyaknya tanah liat berubah bila suatu bola tanah liat diubah bentuknya?). Penelitian Piaget dan lain-lain lagi menjelaskan bahwa anak mulamula ( 4 tahun) tidak mampu untuk menyelesaikan masalah konservasi. Usia 5 tahun harus dianggap sebagai situasi peralihan artinya anak kadang-kadang bisa dan kadang-kadang tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Mulai 6 tahun pertanyaan konservasi tidak merupakan masalah lagi bagi anak.

3. Perkembangan Bahasa

a. Masa Pra Sekolah (2-6 tahun) Bahasa merupakan sebuah kelebihan umat manusia. Dengan menggunakan bahasa. orang mampu membedakan antara subjek dan objek. Berikut adalah beberapa perkembangan bahasa menurut Clara dan William Stern: 1) Prastadium ( Tahun Pertama) Kata pertama yang diucapkan anak dimulai dari suara-suara raban seperti yang kita dengar keluar dari mulut seorang bayi. Dalam masa ini anak cenderung mengucapkan pengulangan suara. Contoh sebagai penjelasan, ma-ma, mi-mi (artinya saya mau minum ), pa-pa, pi-pi, sebagainya. 2) Kalimat Satu Kata (12-18 bulan) Satu perkataan dimaksudkan untuk mengungkapkan satu perasaan atau satu keinginan. Seperti kata mama dimaksudkan untuk mama, saya minta makan. Kemudian anak terus belajar berbicara karena dirangsang oleh dorongan sewajarnya, yaitu dorongan meniru suara-suara yang diucapkan orang lain. Sebagai contoh, anjing menyalak mengeluarkan suara gug-gug, kucing mengeong mengeluarkan suarameong-meong. Sekarang, bila anak itu melihat anjing, ia sebut gug-gug, dan kucing ia sebut meong-meong. Anak menghubung-hubungkan berbagai kata raban dan tiruan suara tersebut dengan benda-benda lainnya sehingga diperoleh nama-nama. bi-bi dan

3) Masa Memberi Nama(18-24 Bulan ) Perkembangan bahasa ini seakan-akan terhenti selama beberapa bulan karena anak memusarkan perhatiannya untuk belajar berjalan. Sesudah peretengahan tahun kedua, timbullah dorongan untuk mengetahui nama semua benda. Di masa ini anak menyadari bahwa setiap benda mempunyai

nama. Biasanya anak mempunyai pertanyaan yang banyak sekali. Sambil berjalan ke sana sini dengan tak henti-hentinya ia bertanya, Ini apa? Itu apa? Itu siapa? Ia mengapa? Itulah alasannya mengapa ada yang menyebut masa ini dengan masa memberi nama atau masa apa itu. 4) Masa Kalimat Tunggal (24-30 Bulan ) Bahasa dan bentuk kalimat makin baik dan sempurna. Anak telah menggunakan kalimat tunggal. Sekarang ia mulai menggunakan awalan dan akhiran yang membedakan bentuk dan warna bahasanya. Sehubungan dengan bentuk dan warna bahasa itu, anak memerlukan waktu untuk mempelajarinya. 5) Masa Kalimat Majemuk ( > 30 Bulan) Anak mengucapkan kalimat yang makin panjang dan bagus. Anak telah mulai menyatakan pendapatnya dengan kalimat majemuk. Sesekali ia menggunakan kata perangkai, akhirnya timbullah anak kalimat. Dalam hal ini anak sering berbuat kesalahan, namun tampaknya ia tidak berputus asa. Kadang-kadang orang dewasa sukar memahami bahasa anak-anak. Kita harus mengenalnya lebih dahulu agar lebih mudah memahami bahasanya.

Bentuk bahasa anak-anak Jean piaget, ilmuwan Prancis, meneliti perkembangan bahasa dan cara berpikir anak-anak. Untuk penelitiannya, Piaget mengambil sampel sebanyak 20 orang anak. Mereka disuruh bermain-main dan bercakap-cakap dengan bebas, sementara Piaget mencatat dengan teliti apa saja yang diperbuat oleh anak-anak itu. Selanjutnya Piaget membuat klasifikasi terhadap 1.000 percakapan dari anak-anak yang berusia 3;6 sampai 7;0. Dari hasil penelitiannya tentang percakapan itu ia mengatakan, bahwa percakapan pada usia itu bersifat egosentris. Sesudah bahasa egosentris, percakapan anak-anak akan berangsur-angsur berkembang menjadi bahasa sosial. 1) Bahasa egosentris

Bahasa egosentris adalah bentuk bahasa yang lebih menonjolkan keinginan dan kehendak seseorang. Contoh sebagai penjelasan: Anak menangkap suatu percakapan, kemudian percakapan itu diulanginya untuk dirinya sendiri. Sambil ia bermain, ia berkata-kata tentang sesuatu yang sedang dikerjakannya, tetapi ia tidak menunjukkan pembicaraan itu kepada orang lain percakapan yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Sebelum anak selesai berbahasa egosentris, ia belum siap untuk mulai berbahasa sosial. 2) Bahasa sosial Bahasa sosial adalah bentuk bahasa yang dipergunakan untuk berhubungan dengan orang lain. Selain itu juga dipergunakan untuk bertukar pikiran dan untuk mempengaruhi orang lain. Bentuk bahasa yang digunaka ialah informasi, kritik, permintaan, dan pertanyaan.

Sehubungan dengan penelitian Jean Piaget itu, banyak reaksi dari kalangan ilmuwan, seorang diantaranya Mac Carthy. Menurut Mac Carthy anak-anak berbicara egosentris karena mereka itu jarang bergaul dengan orang dewasa. Kesempatan bergaul dengan orang dewasa merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengalaman sosial. Piaget hanya meneliti dan mengobservasi lingkungan anak-anak yang terbatas pergaulannya yaitu anakanak yang ditampung di panti asuhan. Lingkungan panti asuhan itu membatasi pergaulan; mereka hanya bergaul dengan anak-anak yang sebaya dengan umurnya; mereka jarang mendapat kesempatan untuk berbicara dengan ibu maupun dengan bapak pengasuh di panti asuhannya.

b. Masa Sekolah ( 6-12 tahun) Bahasa adalah sarana berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk tulisan, lisan, istirahat atau gerak dengan

menggunakan kata-kata, kalimat bunyi, lambang, gambar, atau lukisan. Dengan bahasa, semua manusia dapat mengenal dirinya, sesama manusia, alam sekitar, ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai moral tau agama. Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan berkomunikasi dengan orang lain, anak sudah gemar membaca atau mendengarkan cerita yang bersifat kritis (tentang perjalanan/petualangan, riwayat para pahlawan dan sebagainya). Pada masa ini tingkat berfikir anak sudah lebih maju, dia banyak menanyakan soal waktu dan sebab akibat. Oleh sebab itu, kata tanya yang digunakanpun yang semulanya hanya apa, sekarang sudah diikuti dengan pertanyaan di mana, dari mana, mengapa dan bagaimana . Terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi perkembangan bahasa, sebagai berikut. 1) Proses menjadi matang. Dengan kata lain, anak itu menjadi matang (organ-organ suara/bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata. 2) Proses belajar, yang berarti bahawa anak yang telah matang untuk berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengitimasi atau meniru ucapan/kata-kata yang diengarnya. Kedua proses ini berlangsung setelah masa bayi dan kanak-kanak sehingga pada usia anak memasuki sekolah dasar, sudah sampai pada tinggkat dapat membuat kalimat yang lebih sempurna, dapat membuat kalimat majemuk dan dapat menyusun serta mengajukan pertanyaan.

4. Perkembangan Sosial a. Masa Pra Sekolah (2-6 tahun) Perkembangan Kepribadian Masa ini lazim disebut masa trotzalter yaitu periode perlawanan atau masa krisis pertama. Krisis ini terjadi karena ada perubahan yang hebat dalam

dirinya, yaitu dia mulai sadar akan aku-nya, dia menyadari bahwadirinya terpisah dari lingkungan atau orang lain, dia suka menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang lain. Dengan kesadaran ini anak menemukan bahwa ada dua pihak yang berhadapan yaitu aku nya dan orang lain. Pada masa ini berkembang kesadaran dan kemampuan untuk memenuhi tuntutan dan tanggung jawab. Oleh karena itu, agar tidak berkembang sikap membandel anak yang kurang terkontrol, pihak orang tua perlu menghadapinya secara bijaksana, penuh kasih sayang, dan tidak bersikap keras. Meskipun mereka mulai menampakkan keinginan untuk bebas dari tuntutan orang tua, namun pada dasarnya mereka masih sangat membutuhkan perawatan, asuhan, bimbingan atau curahan kasih sayang orang tua. Aspek-aspek perkembangan kepribadian anak meliputi beberapa hal berikut ini: 1) Ketergantungan vs Citra Diri (Dependency vs Self Image) Konsep anak prasekolah tentang dirinya sulit dipahami dan dianalisis, karena keterampilan bahasanya belum jelas dan pandangannya terhadap orang lain masih egosentris. Mereka memiliki system pandangan dan persepsi yang kompleks, tetapi belum dapat menyataknnya. Perkembangan sikap independensi dan kepercayaan diri anak terkait dengan cara perlakuan orang tuanya. Sebagai orangtua, mereka memberikan perlindungan kepada anak dari sesuatu yang membahayakan dan dari kefrustasian. Gaya perlakuan orang tua kepada anak ternyata sangat beragam, ada yang terlalu memanjakan, bersikap keras, penerimaan dan kasih sayang, serta acuh tak acuh ( permisif). Masing-masing perlakuan itu cenderung memberikan dampak yang beragam bagi kepribadian anak. 2) Inisiatif vs Rasa Bersalah (Initiative vs Guilt )

Erik Erikson mengemukakan suatu teori bahwa anak pra sekolah mengalami satu krisis perkembangan, karena mereka menjadi kurang dependen dan mengalami konflik antara initiative dan guilt. Kemampuan anak berkembang, baik secara fisik maupun intelektual. Selain itu, rasa percaya diri juga berkembang untuk melakukan sesuatu. Mereka menjadi lebih mampu mengontrol lingkungan fisik sebagaimana dia mampu mengontrol tubuhnya. Anak mulai memahami bahwa orang lain memiliki perbedaan dengan dirinya, baik menyangkut persepsi maupun motivasi dan mereka menyenangi kemampuan dirinya untuk melakukan sesuatu. Pada tahap ini, anak sudah siap dan berkeinginan untuk belajar dan bekerja sama dengan orang lain guna mencapai tujuannya. Hal yang berbahaya pada tahap ini adalah tidak tersalurkannya energy yang mendorong anak untuk aktif (dalam rangka memenuhi keinginannya), karena mengalami hambatan atau kegagalan, sehingga anak mengalami rasa bersalah (guilt). Perasaan bersalah itu berdampak kurang baik bagi perkembangan kepribadian anak, dia bisa menjadi nakal dan pendiam.

Perkembangan Moral Pada masa ini anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosialnya (orang tua, saudara, dan teman sebaya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan temannya, anak belajar memahami tentang kegiatan atau perilaku mana yang baik/boleh/diterima/disetujui atau buruk/tidak boleh. Berdasarkan pengalamannya itu, maka pada masa ini anak harus bertingkah laku (seperti mencuci tangan sebelum makan, menggosok gigi sebelum tidur). Pada saat mengenalkan konsep-konsep baik-buruk, benar-salah atau menanamkan disiplin pada anak, orang tua atau guru hendaknya memeberikan penjelasan tentang alasannya. Penanaman disiplin dengan disertai alasannya ini diharapkan akan mengembangkan self control dan self discipline pada

anak. Apabila penanaman disipin ini tidak diiringi penjelasan tentang alasannya, atau bersifat doktrin, biasanya akan melahirkan sikap disiplin buta, apalagi jika disertai dengan perkataan yang kasar.

b. Masa Sekolah ( 6-12 tahun) Perkembangan sosial ini adalah pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga dikatakan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok , tradisi, dan moral (agama). Perkembangan sosial pada anak sekolah dasar ditandai dengan adanya perluasan hubungan, di samping dengan keluarga anak juga mulai membentuk ikatan baru dengan teman sebaya atau teman sekelas, sehingga ruang gerak hubungan sosialnya telah bertambah luas. Pada usia ini anak juga memiliki kesanggupan untuk menyesuaikan keinginan diri sendiri (egosentrisme) kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama). Anak dapat berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sebaya dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok (geng) dan dia merasa tidak senang apabila tidak diterima dalam kelompoknya. Berkat perkembangan sosial, anak dapat menyesuikan dirinya,dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar sekolah, kematangan sosial dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik membutuhkan tenaga fisik (seperti merencanakan kegiatan camping, membuat laporan study tour). Tugas-tugas kelompok ini harus dapat memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk menunjukkan prestasinya. Selain itu juga harus dapat mengarahkan anak untuk mencapai tujuan bersama. Dengan melaksanakan tugas kelompok, anak dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, salng menghormati, bertenggang rasa, dan bertanggung jawab.

5. Perkemabangan Emosi a. Masa Pra Sekolah (2-6 tahun) Pada masa ini, emosi anak sangat kuat , ditandai oleh ledakan amarah, ketakutan yang hebat atau iri hati yang tidak masuk akal. Hal ini dikarenakan kelemahan anak akibat lamanya bermain, tidak mau tidur siang atau makan terlalu sedikit. Disamping itu, anak menjadi marah karena tidak dapat melakukan suatu kegiatan yang dianggap dapat dilakukan dengan mudah Ketegangan emosi dapat juga terjadi pada anak jika anak diharapkan mencapai standar yang tidak masuk akal. Pada usia 4 tahun anak sudah mulai menyadari aku-nya, bahwa akunya (dirinya) berbeda dengan bukan aku (orang lain). Kesadaran ini diperoleh dari pengalamannya, bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi oleh orang lain. Dia menyadari bahwa keinginannya berhadapan dengan keinginan orang lain, sehingga orang lain tidak selamanya memenuhi keinginannya. Besamaan dengan itu, berkembang pula perasaan hargadiri yang menuntut pengakuan dari lingkungannya. Jika lingkungannya(terutama orang tuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti memperlakukan anak secara keras, atau kurang menyayanginya, maka pada diri anak akan berkembang sikap-sikap keras kepala/ menentang atau menyerah menjadi penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan sifat pemalu. Pola emosi umum yang terjadi pada masa anak-anak antara lain adalah sebagai berikut: 1) Takut, yaitu perasaan terancam oleh suatu objek yang dianggap membahayakan. Rasa takut terhadap sesuatu berlangsung melalui tahapan, yaitu mula-mula tidak takut, karena anak belum sanggup melihat kemungkinan bahaya yang terdapat dalam objek, baru kemudian timbul rasa takut setelah mengenal adanya bahaya, dan tahap selanjutnya adalah hilangnya rasa takut setelah mengetahui cara-cara menghindar dari bahaya.

2) Cemas, yaitu perasaan takut yang bersifat khayalan, yang tidak ada objeknya. Kecemasan itu muncul kemungkinan dikarenakan situasi-situasi yang dikhayalkan, berdasarkan pengalaman yang diperoleh, baik perlakuan orang tua buku-buku bacaan/komik, radio atau film. 3) Marah, merupakan perasaan tidak senang, atau benci baik terhadap orang lain, diri sendiri atau objek tertentu yang diwujudkan dalam bentuk verbal (kata-kata kasar/ makian/ sumpah serapah) atau nonverbal (seperti mencubit, memukul, menampar, menendang dan merusak). Perasaan marah itu merupakan reaksi terhadap situasi frustasi yang dialamiya. 4) Cemburu, yaitu perasaan tidak senang terhadap orang lain yang dipandang telah merebut kasih saying dari seseorang yang telah mencurahkan kasih sayang kepadanya. Perasaan cemburu ini diikuti dengan ketegangan yang biasanya dapat diredakan dengan rekasi-reaksi, seperti agresif atau permusuhan terhadap saingan, regresif yang meliputi perilaku kekanakkanakan seperti mengompol atau mengisap jempol, sikap tidak peduli dan menjauhkan diri dari saingan. 5) Kegembiraan, Kesenangan, dan Kenikmatan yaitu perasaan yang positif, nyaman karena terpenuhinya keinginannya. Kondisi yang melahirkan perasaan gembira pada anak diantaranya adalah terpenuhinya kebutuhan jasmaniah (makan dan minum), keadaan jasmani yang sehat, diperolehnya kasih sayang, ada kesempatan untuk bergerak (bermain secara leluasa) dan memiliki mainan yang disenanginya. 6) Kasih sayang, yaitu perasaan senang untuk memberikan perhatian atau perlindungan terhadap orang lain, hewan atau benda. Perasaan itu berkembang berdasarkan pengalamannya yang menyenangkan dalam berhubungan dengan orang lain (orang tua saudara dan teman ), hewan (seperti kucing dan burung) atau benda (seperti mainan). Kasih sayang anak kepada orang tua atau saudaranya amat dipengaruhi oleh iklim emosional dalam keluarganya.

7) Fobia, yaitu perasaan takut terhadap objek yang tidak patut ditakutinya (takut yang abnormal) seperti takut ulat, kecoa, dan lain-lain. Perasaan ini muncul akibat perlakuan orang tua yang suka menakuti-nakuti anak, sebagai cara orang tua untuk menghukum atau menghentikan perilaku anak yang tidak disenanginya. 8) Ingin tahu, yaitu perasaan ingin mengenal, mengetahui segala sesuatu atau objek-objek, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Perasaan ini ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak. Seperti anak bertanya tentang dari mana dia berasal, siapa Tuhan, dan di mana Tuhan berada. Masa bertanya (masa haus nama) ini dimulai pada usia 3 tahun dan mencapai puncaknya pada usia sekitar 6 tahun.

b. Masa Sekolah ( 6-12 tahun) Menginjak usia sekolah, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima di masyarakat. Oleh karena itu, dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi dan emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan. Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang suasana stabil emosionalnya, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil. Emosi merupakan faktor dominan yang memengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi yang positif seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat, atau rasa ingin tahu yang tinggi akan memengaruhi individu untuk mengonsetrasikan dirinya terhadap aktivitas belajar, seperti memerhatikan penjelasan guru, membaca buku, aktif dalam berdiskusi, mengerjakan tugas, dan disiplin dalam belajar. Sebaliknya apabila yang menyertai proses itu adalah emosi negatif, seperti perasaan tidak senang, kecewa, tidak bergairah maka proses belajar

akan mengalami hambatan, dalam arti individu tidak dapat memusatkan perhatian untuk belajar sehingga kemungkinan besar dia akan mengalami kegagalan dalam belajarnya. Perkembangan emosional berbeda satu sama lain karena adnaya perbedaan jenis kelamin, usia, lingkungan, pergaulan, dan pembinaan orang tua maupun guru di sekolah. Perbedaan perkembangan emosional tersebut juga dapat dilihat berdasarkan ras, budaya, etnik, dan bangsa. Emosional juga dapat dipengaruhi oleh adanya gangguan kecemasan, rasa takut, dan faktorfaktor eksternal yang sering kali tidak dikenal sebelumnya oleh anak yang sedang tumbuh. Namun ada juga tindakan orang tua yang sering kali tidak dapat memengaruhi perkembangan emosional anak. Misalnya sangat dimanjakan atau terlalu banyak larangan karena terlalu mencintai anaknya. Akan tetapi, sikap orang tua yang keras, suka menekan, dan selalu menghukum anak sekalipun anak membuat kesalahan sepele juga dapat memengaruhi keseimbangan emosional anak. Perlakuan saudara serumah, seperti kakak atau adik, sebagai orang lain yang sering kali bertemu dan bergaul juga memegang peranan penting pada perkembangan emosional anak. Dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh orang tua dan anak, biasanya orang tua berkonsultasi dengan para ahli misalnya, dokter anak, psikiatri, psikolog, dan sebagainya. Dengan berkonsultasi orang tua akan dapat melakukan pembinaan terhadap anak dengan sebaik mungkin dan dapat menghindarkan segala sesuatu yang dapat merugikan bahkan memperlambat perkembangan mental dan emosional anak. Stress juga dapat disebabkan oleh penyakit, frustasi dan ketidakhadiran orang tua, keadaan ekonomi orang tua, keamanan, serta kekacauan yang sering Kali timbul. Sedangkan dari pihak orang tua, yang menyebabkan stres pada anak biasanya adalah kurangnya perhatian orang tua, perlakuan orang tua yang sering marah sampai melakukan kekerasan fisik yang melukai anak, permintaan orang tua untuk melakukan sesuatu di luar kesanggupannya

menyesuaiakan diri dengan lingkungan. Untuk mengurangi ketegangan emosinya terkadang anak melakukan katarsis emosional dengan cara sibuk bermain, tertawa terbahak-bahak, dan membicarakan masalhnya kepada sahabatnya.

6. Perkembangan Bermain Usia anak prasekolah dapat dikatakan sebagai masa bermain, karena setiap waktunya diisi dengan kegiatan bermain. Kegiatan bermain yang dimaksudadalah suatu kegiatan yangn dilakukan dengan kebebasan batin untuk memperoleh kesenangan a. Teori Bermain 1) Teori rekreasi, teori ini berasal dari Schaller dan Lazarus (dalam Kartono, 2007), berpendapat bahwa permainan merupakan kesibukan untuk menenangnkan pikiran atau beristirahat. Orang akan bermain bila ia telah bekerja, maksudnya untuk menggantikan kesibukan bekerja dengan kegiatan lain yangdapat memulihkan tenaga kembali. 2) Teori pelepasan, teori ini berasal dari Herbert Spencer (dalam Kartono, 2007) menagtakan bahwa dalam dirianak terdapatkelebihan tenaga. Sewajarnya ia harus mempergunakan tenaga itumelalui kegiatan bermain. Dengan demikian dapat tercapai keseimbangan di dalam dirinya. Teori pelepasan ini juga disebut teori kelebihan tenaga. 3) Teori atavisme, teori ini berasal dari StanlyHall (dalam Kartono,2007) yang berpendapat bahwa di dalam perkembangannya anak melalui seluruh taraf kehidupan umat manusia. Dalam bahasa latin, atavisme artinya dalam permainan timbul bentuk-bentuk kelakuan seperti bentuk kehiduapan yang pernah dialami nenek moyang. 4) Teori biologis, teori ini berasal dari Karl Gross (dalam Kartono.2007) yaitu permainan merupakan tugas biologis. Permainan merupakan latihan

untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan kehidupan di masa yang akan datangn. 5) Teori psiko dalam, teori ini berasal dari Sigmund Freud dan Adler (dalam Karton, 2007), bahwa permainan itu merupakan pernyataan nafsu-nafsu yang terdapat didaerahbawah sadar, sumbernya berasal dorongan nafsu seksual.

b. Faedah Permainan 1) Sarana untuk membawa anak kea lam bermasyarakat. Dalam suasana permainan, mereka saling mengenal, menghargai satudengan yang lainnya, dan dengan perlahan-lahan tumbuhlah rasa kebersamaan yang menjadi landasan bagi pembentukan perasaan social. 2) Mampu mengenal kekuatan sendiri. Anak-anak yang sudah terbiasa bermain dapat mengenal kedudukannya di kalangan teman-temannya, dapat menegnal bahan atau sifat-sifat benda yang mereka mainkan. 3) Mendapatkan kesempatan mengembangkan fantasi dan menyalurkan kecenderungan pembawaannya. Jika anak laki-laki dan anak perempuan diberi bahan-bahan yang sama berupa kertas-kertas, perca, gunting, tampaknya mereka akan membuat sesuatu yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa anak laki-laki berbeda bentuk-bentuk permainannya dengan permainan anak perempuan. 4) Berlatih menempa perasaannya. Dalam keadaan bermain-main mereka mengalami bermacam-macam perasaan. Ada ana yang dapat menikmati suasana permainan itu, sebaliknya sementara anak yang lain merasa kecewa. 5) Memperoleh kegembiraan, kesenangan, dan kepuasan. Suasana

kegembiraan dalam permainan dapat menjauhkan diri dari perasaanperasaan rendah, misalnya perasaan dengki atau rasa iri hati.

B. KONSELING PADA ANAK Anak-anak merupakan penonton pada dunia orang dewasa. Segala kebutuhannya masih amat bergantung pada orang tua dan orang dewasa lain. Dalam hal konseling pada anak, peran konselor sebagai konsultan dan agen perubahan adalah yang utama. Konseling pada anak haruslah memperhatikan pola pikir mereka yang masih cenderung egosentris, yaitu amat terpaku pada pola pikirnya sendiri. Konseling akan lebih bermakna bila anak memperoleh kesempatan untuk melakukan eksplorasi secara konkret, misalnya membuat sesuatu, bermain dengan sesuatu, main ayunan, dan lain-lain yang memberi kesempatan untuk mengeksplorasi secara konkret dunianya. 1. Konseling pada anak usia dini (2-5 tahun) Bagi anak-anak usia dini, jarang sekali dilakukan konseling secara langsung, yang lebih umum dilakukan adalah konsultasi, yaitu konselor melakukan intervensi kepada orang dewasa yang dekat dengan kehidupan anak dan dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi anak. Konsultasi dapat dilakukan dengan cara-cara dan pada taraf yang berbeda. Tipe dasar dari konsultasi adalah sebagai berikut. a. Konsultasi individual, yaitu konselor mengadakan konsultasi dengan orang-orang yang dekat dengan klien. Misalnya, orang tua, guru, atau anggota keluarga lain. b. Konsultas kelompok, yaitu konselor melakukan konsultasi dengan sekelompok individu yang dapat memengaruhi populasi klien secra umum. Misalnya, guru-guru yang ingin meningkatkan keterampilan di bidang ubungan interpersonal, dan orang tua yang ingin meningkatkan pemahaman mereka tentang perkembangan anak.

c. Konsultasi organisasi, yaitu konselor menjadi konsultan dari suatu organisasi atau institusi yang memberi jasa kepada populasi klien, misalnya sekolah, panti, dan lain-lain.

2. Beberapa Teknik yang Dapat Digunakan a. Konseling melalui bermain Menurut Baruth dan Robinson III (1987), salah satu bentuk konseling yang sering digunakan untuk anak usia sekolah adalah konseling melalui bermain. Cara ini didasarkan pada fakta bahwa bermain merupakan cara yang natural bagi anak untuk mengekspresikan diri. Beberapa manfaat bermain dalam konseling ialah sebagai berikut. Pemahaman diagnostik tentang anak: memahami karakteristik anak, misalnya kapasitasnya untuk berhubungan dengan dirinya sendiri dan orang lain, mudahnya perhatian beralih, rigiditas, preokupasi, inhibisi, arah agresivitasnya, persepsinya tentang orang-orang, harapan-harapannya, dan persepsinya tentang dirinya. Melalui permainan dapat dilihat bagaimana dia memandang dirinya sendiri dan masalahnya. Membentuk hubungan kerja, terutama bagi anak-anak yang kapasitas verbalnya untuk ekspresi diri masih sangat terbatas, anak-anak yang menunjukkan resistensi, dan yang tidak mampu berartikulasi. Mengetahui cara anak berhadapan dengan situasi sehari-hari dan mekanisme bertahannya terhadap kecemasan. Membantu anak mengungkapkan hal-hal tertentu serta

perasaan yang menyertainya. Sangat bermanfaat bila anak terhalang (mengalami blocking)

Membantu anak mengekspresikan materi-materi yang tidak disadari dan mengurangi ketegangan. Mengembangkan minat bermain pada anak yang dapat dialihkan pada kehidupan sehari-hari dan yang dapat memperkuat dirinya untuk kehidupan selanjutnya.

b. Friendship group Menurut Baruth dan Robinson III (1987), cara lain yang dapat dilakukan dalam konseling dengan anak adalah dengan pelatihan friendship group. Tujuan dari pembentukan kelompok ini adalah untuk menjalin hubungan teman sebaya (peer) yang positif. Kelompok yang dibentuk bersifat heterogen (laki-laki, perempuan, berbagai etnik, dan lain-lain). Melalui kelompok ini anak belajar mengenai arti persahabatan serta aturan-aturan penting dalam hubungan persahabatan. Mereka diminta untuk

mengobservasi teman kelompoknya, bermain peran, berdiskusi mengenai minat, dan kelebihan masing-masing, kemudian ditutup dengan

pengungkapan kesan-kesan dari pertemuan mereka. c. Eksplorasi isi mimpi Eksplorasi dari mimpi anak dapat menjad sarana yang bermanfaat untuk masuk ke dalam pikiran dan perasaan yang mungkin tidak disadari oleh anak. d. Menggunakan board games Menggunakan board games (seperti ular tangga, scrabble, halma, dan lain-lain) adalah salah satu cara untuk menjalin kontak dengan anak-anak yang enggan untuk bicara banyak tentang dirinya sendiri dalam percakapan dan tidak dapat bermain dengan bebas dengan mainan dan materi-materi bermain lainnya yang ada. Dengan permainan board games, kita dapat melihat rasa percaya diri anak, kemauannya untuk bermain sesuai dengan peraturan atau tidak bermain curang. Rasa marah, sedih,

putus asa, takut gagal, kemampuan untuk menikmati permainan atau ekspektasi untuk sukses dapat dilihat dari cara dan sikap anak dalam bermain. Untuk anak-anak yang usia laten biasanya cenderung berkelompok dengan teman sebaya dari jenis kelamin sama dan mempunyai ciri-ciri ada dalam keadaan tidak aktif sendiri. Bentuk konseling yang dianjurkan adalah konseling bermain dan konseling dengan menggunakan media seperti seni, musik, drama, guided fantasy, dan literatur.

BAB III SIMPULAN DAN SARAN

Anda mungkin juga menyukai