Anda di halaman 1dari 3

Pemberian hukuman atau sanksi kepada anak bertujuan untuk mencegah tingkah laku atau kebiasaan yang tidak

diharapkan atau yang bertentangan dengan norma, sehingga anak akan berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Hukuman merupakan teknik untuk meluruskan tingkah laku anak. Pemberian hukuman kepada anak hendaknya didasari perasaan cinta kepadanya, bukan atas dasar rasa benci atau dendam. Hindarkan hukuman yang bersifat fisik, seperti: memukul, menjewer, atau menendang, maupun bersifat psikologis seperti: melecehkan dan mencemoohkan. Terkait dengan cara pemberian hukuman, hindarkan memberikan hukuman kepada anak dihadapan teman-temannya, karena dapat merusak harga dirinya (selfesteem). Baiknya dijelaskan kepada anak tentang kekeliruan atau kesalahannya dan alasan mengapa tingkah laku atau kebiasaan tersebut harus dihentikan. Alasan yang dikemukakan harus bersifat rasional dan objektif, jangan bersifat subjektif dan alasan-alasan yang tidak masuk akal. Dalam proses pembelajaran, hukuman yang diterapkan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan dikurangi seminimal mungkin. Karena apabila kurang hati-hati dan seringnya memberikan hukuman, dapat berdampak negatif bagi perkembangan pribadi anak. Ahmad Ali Budaiwi (terjemahan M. Syihabuddin, 2002: 44) mengemukakan berdasarkan hasil penelitiannya, bahwa orang yang cenderung memberikan sanksi tidak dapat meluruskan tingkah laku dan membuahkan hasil. Bahkan sanksi jenis fisik dapat menimbulkan jiwa permusuhan pada diri anak terhadap pihak pemberi hukuman, dan juga dapat menumbuhkan perasaan gagal dalam diri anak. Abdullah Nashih Ulwan (terjemahan Jamaluddin Miri, 1995: 166-170), terkait penerapan hukuman, juga mengemukakan beberapa petunjuk Rasulullah SAW tentang metode dan tata cara yang baik bagi para pendidik untuk memperbaiki penyimpangan perilaku anak, meluruskan kebengkokannya, serta membentuk moral dan spiritualnya, yaitu: 1. Menunjukkan kesalahan dengan pengarahan. Dalam hadist Bukhori dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah ra, ia berkata: Ketika aku kecil berada dalam asuhan Rasulullah SAW. Pada suatu ketika tanganku bergerak ke sana

kemari di atas meja berisi makanan, berkatalah Rasul SAW Wahai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah yang dekat denganmu. 2. Menunjukkan kesalahan dengan memberikan isyarat. Imam Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata: Fahal pernah mengikuti Rasulullah SAW. Pada suatu hari datanglah seorang wanita dari Khutsum yang membuat Fadhal memandangnya dan wanita itu pun memandangnya pula, maka Rasulullah SAW memalingkan muka Fadhal ke arah yang lain. 3. Menunjukkan kesalahan dengan kecaman. Imam Bukhori meriwayatkan dari Abu Dzar ra, ia berkata: Saya mencaci seorang laki-laki dengan menjelekkan ibunya (dengan berkata: Hai anak wanita hitam!), maka Rasulullah SAW berkata: Wahai Abu Dzar kamu telah mencacinya dengan menjelekkan ibunya, sesungguhnya kamu orang yang masih berperilaku jahiliyah 4. Menunjukkan kesalahan dengan memutuskan hubungan (memboikotnya). Diriwayatkan bahwa salah seorang saudara Ibnu Mughaffal melempar dengan telunjuk dan ibu jari, maka Rasulullah SAW melarangnya dan berkata: Sesungguhnya Rasul SAW melarang melempar dengan telunjuk dan ibu jari, karena sesungguhnya lemparan itu tidak akan mengenai binatang buruan. Kemudian ia mengulangi dan berkata: Bukankah aku sudah memberitahu kamu bahwa Rasul SAW melarangnya, kemudian kamu kembali mengulanginya? Sama sekali aku tidak akan berbicara lagi denganmu. 5. Menunjukkan kesalahan dengan pukulan. Imam Abu Daud dan Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasul SAW bersabda: Mur auldakum bishshalt wahum abnu asyrin, wafarriq bainahum filmadhajii. (Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat sejak mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika melalaikannya, ketika mereka berusia 10 tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka). Hukuman dengan pukulan ini merupakan alternative terakhir, apabila hukuman-hukuman lainnya tidak mempan. Apabila terpaksa menggunakannya, jangan melakukan pada saat sedang marah, dan jangan memukulnya di bagian wajah (waltadhribil wajha). Cara memukulnya pun tidak seperti pukulan orang yang berkelahi, tetapi dengan pukulan ringan, dan yang dipukul sebaiknya bagian kaki (betisnya).

Anda mungkin juga menyukai