Anda di halaman 1dari 19

KomMTi Volume : 3, No.

: 9 / Desember 2009

PERANAN MEDIA MASSA PADA PEMILU LEGISLATIF 2009 Oleh : S. Arifianto Abstract The success of election campaign by marketing political concept depends on the role of mass media. Because the dependancy of politic partij toward mass media is not only focused in matter of campaign publication, but also have a power to create public opinion. Thats way, there are some politic partijs raised, but there are still also politic partijs collapsed because of mass media opinion. Politic partij which its ideology platform do not support the democration fundamental will get the critical criticism from mass media, it is so in the other hand. The basic problem is how the cooperation between politic partijs contestant of election and mass media. The cooperation is not only for both side importances, but for the relationship among politic partij; mass media; and society. The relationship must be understand as a form of democration tolerance in building the future and ideology for all society in Indonesia. Keywords : Politic Partij, Mass Media , Society Pendahuluan Kampanye pemilu di media massa telah menjadi trend sebagai sarana parpol kontestan pemilu untuk mempengaruhi calon pemilihnya. Trend itu di rasakan mulai dominan sejak pemilu 2004, hingga tahun 2009 ini. Sebelum tahun 2004 model kampanye pemilu legislatif lebih di dominasi oleh sistem kampanye rapat akbar di lapangan terbuka. Sekarang model kampanye cenderung bergeser secara interaktif yang melibatkan media massa. Model ini menjadi alternatif pilihan karena disamping biayanya rendah resikonya juga kecil. Resiko bukan hanya menyangkut masalah keamanan, tetapi juga sektor finansial. Model ini lebih efektif di banding dengan rapat akbar di fasilitas umum. Efektivitas itu bisa di lihat dari tujuan kampanye itu sendiri yaitu untuk mempengaruhi calon pemilih di masyarakat. Jika dilihat dari perspektif marketing kampanye pemilu

Peneliti Madya Pusat Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Telematika, dan Sarana Komunikasi Diseminasi Informasi Balitbang SDM Depkominfo RI di Jakarta.

__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

tidak ubahnya menjual suatu produk. Hanya saja dalam kampanye pemilu yang di jual adalah produk politik. Produk parpol itu berisi visi, misi, jargon-jargon dari parpol kontestan pemilu. Menjual visi dan misi parpol tentu tidak mudah serta memerlukan strategi yang jitu. Karena hal ini akan membawa konsekuensi, bahwa menjual produk politik jauh berbeda dengan menjual produk industri komersial. Artinya jika menjual produk industri komersial biasanya sudah memilki segmentasi pasar yang tetap. Menjual produk politik (program parpol) segmentasinya lebih luas dan permasalahannya lebih kompleks. Maka model kampanyenyapun bergeser dengan menggunakan perspektif marketing. Visi dan misi akan laku di jual jika bisa meyakinkan calon konstituennya. Model kampanye telah mengalami pergeseran ke-arah konsep marketing, dengan memanfaatkan potensi media massa. Permasalahannya bagaimana strategi pengemasan produk parpol yang akan di pasarkannya. Dalam kampanye pemilu legislatif parpol kontestan pemilu senantiasa berjuang keras untuk mendapatkan simpati masyarakat. Simpati itu harus mereka bangun melalui berbagai indikator yang kadang kala sulit diterapkan karena ketatnya persaingan. Merosotnya citra parpol karena masih banyaknya kasus korupsi di parlemen menjadikan salah satu indikator akibat menurunnya kepercayaan masyarakat. Misalnya dalam pemilu legislatif 2009 jumlah golput berada di kisaran 41 % (Koran Tempo, 12/4/2009). Indikator tersebut semakin memperjelas terhadap rendahnya partisipasi dan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja parpol kontestan pemilu legislatif 2009. Realitas menunjuk kan dari 34 parpol kontestan pemilu legislatif 2009, yang lolos hanya 9 parpol. (P. Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PKB, PPP, PAN, Gerindra dan Hanura. Tulisan ini difokus kan bahasannya terhadap pencitraan parpol dan peran media massa dalam pemenangan pemilu legislatif 2009. Kedua indikator permasalahan itulah yang di gunakan sebagai dasar pijakan untuk menganalisis keberhasilan, maupun ketidak berhasilan parpol dalam pemenang pemilu legislatif 2009. Menjual Visi dan Misi Parpol Perbedaan konsep memasarkan produk industri dengan produk politik bisa dilihat dari segmentasi pasar dan sasarannya. Memasarkan produk industri (komersial) biasanya untuk membidik segmen pasar terbatas yang memiliki nilai ekonomis. Hal itu untuk menciptakan profit margin perusahaan seoptimal mungkin. Sementara memasarkan produk politik lebih dominan membidik segmen pasar yang lebih luas dan berbeda. Tujuannya untuk mendapatkan dukungan suara pemilih yang signifikan sesuai sasaran obyektif masing masing parpol kontestan pemilu legislatif. Maka dari
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

itu diperlukan strategi komunikasi politik yang tepat sasaran. Dalam konteks ini Skenner (1978), Wright (1978), Hill (1989) dan Anderson (1984) melihat bahwa untuk mencapai tujuan tersebut di perlukan straegi untuk mengintrodosir sumber daya yang dimiliki. Strategi itu mengimplementasikan visi jangka panjang yang terdiri dari misi, tujuan, dan kebijakan parpol(Rangkuti, 2000:56, 57). Strategi manajemen lebih di tekankan pada komitmen terhadap semua kegiatan yang di rencanakan di dalam lingkup perusahaan (baca parpol). Kegiatan kampanye yang dilaksanakan secara optimal selalu memerlukan sumber daya secara optimal, guna memaksimalkan sasaran parpol yang akan di capai dalam pemilu. Sumber daya merupakan proses transformasi untuk mencapai tujuan parpol dalam upaya mempengaruhi konstituennya. Dalam ukuran normatif memasarkan produk politik (program parpol) cenderung mengintegrasikan beberapa konsep marketing. Konsep itu menyangkut berbagai aspek diantaranya pemasaran organisasi (organization marketing), pemasaran pribadi (personal marketing), serta pemasaran gagasan (idea or social marketing) yang menurut Wicaksono (1998) merupakan disiplin pemasaran secara terencana dan terpadu. Konsep perencanaan kampanye pemilu legislatif yang mengguna kan strategi marketing, misalnya (program-program parpol yang dikampanyekan sudah harus terseleksi kualitasnya). Bukan sekedar retorika politik yang dikemas dalam bentuk janji janji politik yang tidak rasional. Jika materi kampanye hanya berupa retorika politik itu sama halnya dengan menjual pepesan kosong. Memang ada parpol yang komunikasi politiknya sudah relatif baik, tetapi juga masih banyak di antara banyak parpol yang model kapanyenya masih konvensional. Implikasinya informasi politik yang dikemas dalam bentuk kampanye itu tidak mampu menyentuh aspirasi calon pemilih. Arena kampanye bukan digunakan sebagai ajang untuk mendapatkan informasi tentang visi dan misi parpol yang ditawarkan, melainkan hanya di maknai sebagai panggung hiburan gratis oleh masyarakat di sekitarnya. Meski kita sudah berada di era masyarakat informasi, model kampanye konvensional seperti itu masih sering di lakukan. Hasilnya sudah bisa di prediksikan, bahwa keikutsertaan mereka dalam kampanye hanya sekedar penggembira ritual politik lima tahunan untuk meramaikan ajang pemilu legislatif. Inilah potret kampanye pemilu legislatif hingga tahun 2009 yang baru lalu. Mengkampanyekan visi dan misi parpol untuk menarik simpati publik bukanlah suatu hal yang mudah. Karena disamping persaingan, platform sangat menentukan apakah parpol yang bersangkutan memiliki kedekatan dengan calon pemilih, atau justru sebaliknya. Bisa jadi para elite parpol yang bersangkutan mempunyai kendala politik dimasa lalu. Jika demikian permasalahannya menurut Adnanputra (1998:25), bagaimana mengubah kendala itu menjadi kendali. Seperti telah diuraiakan sebelumnya, modal dasar untuk
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

menjual program parpol adalah pendekatan kepada masyarakat calon pemilih secara terpadu dan terencana, melalui political marketing. Pendekatan political marketing menurut Adman Nursal (2004:23) merupakan serangkaian aktivitas terencana, strategis, taktis berdemensi jangka panjang dan pendek untuk menebarkan makna politik kepada para calon pemilih. Semua perencanaan berusaha membentuk dan menanamkan harapan baru, sikap, keyakinan dan orientasi perilaku pemilih semakin transparan. Pada era keterbukaan demokrasi yang sedang berkembang hal itu sangat penting. Sikap dan perilaku calon pemilih yang diharapkan parpol kontestan pemilu legislatif 2009 adalah munculnya ekpresi pendukung dengan berbagai demensinya. Khususnya mereka yang mengambil keputusan untuk menjatuhkan pilihan politiknya kepada parpol yang bersangkutan. Barangkali inilah bentuk lain yang bisa di artiakan sebagai makna, yang diharapkan dalam kampanye pemilu legislatif. Jika political marketing berangkat dari konsep makna (meanings) Peter & Olson (1993) memberikan batasan interpretasi seorang terhadap stimulus yang berasal dari lingkungan di sekitarnya. Dalam konsep ini makna (meanings) yang muncul adalah pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan sikap dan perilaku calon pemilih. Perubahan sikap dan perilaku konstituen itu berkorelasi dengan pilihan politik pada pelaksanaan pemilu legislatif, 09 April 2009 yang baru lalu. Jadi output akhir yang diharapkanpolitical marketing adalah tindakan pemilih untuk mencontreng simbol parpol dan nama calon legislatif yang telah di yakininya. Makna perubahan di lingkungan masyarakat itu lebih dikenal sebagai pergeseran perilaku pemilih dalam organisasi politik. Perubahan itu kondisinya sangat situasional, karena adanya pengaruh baik secara internal maupun eksternal. Pengaruh internal datang dari organisasi parpol. Misalnya kebijakan parpol yang tidak kondosif dan cenderung merugikan anggotanya sendiri. Dalam istilah yang lebih populis di sebut penggembosan dari dalam organisasi politik sendiri. Sedangkan pengaruh eksternal bisa datang dari luar organisasi parpol, karena pengaruh atau tekanan dari organisasi atau kebijakan parpol lainnya. Maka dari itu untuk memenangkan pertarungan dalam pemilu legislatif para elite politik perlu mempelajari karakteristik sosial budaya calon pemilihnya. Hal ini sekaligus untuk mengetahui potensi dukungan yang ada di wilayah atau daerah tertentu. Titik Suryani (2004) mengistilahkan dalam konteks tersebut parpol masih perlu belajar untuk menumbuhkan semangat dan kesadaran masyarakat bagaimana menggu nakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif. Misi tersebut perlu dilakukan oleh setiap parpol kontestan pemilu legislatif. Misalnya Partai Demokrat telah berhasil menanamkan makna solidaritas politik di benak calon pemilihnya, sehingga memperoleh dukungan suara 20 % lebih. Mereka telah mempersiapkan diri jauh sebalumnya sebagai kontestan pemilu yang
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

konsisten. Dalam setiap kampanyenya di berbagai daerah parpol tersebut selalu mengusung jargon memperjuangakan kualitas hidup masyarakat miskin, serta kandidat mereka terdiri dari para tokoh yang memiliki riputasi terhadap pembelaan kaum marginal yang dapat dipercaya. Jargon politik yang mereka tampilkan di hadapan publik itu mampu membius konstituennya. Perubahan dalam organisasi dan strategi parpol tersebut mampu menumbuhkan kepercayaan calon pemilihnya dalam pileg 9 April 2009 yang lalu. Perubahan itu memiliki benang merah yang terkait dengan orientasi sikap dan perilaku pemilih. Oleh karenanya makna politik dan perilaku pemilih amat berpengaruh terhadap kinerja political marketing yang juga bisa di ukur dengan model penelitian marketing baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Terkait dengan masalah ini Baines (1997) dalam Nursal (2004-49) memberikan 5 ukuran pemasaran program politik. (1). Pangsa suara (share of the vote), (2). Perolehan kursi (seats won), (3). Tingkat kepuasan pemilih (voter satisfection), (4). Tingkat kepercayaan pemilih (voter confidance), (5). Pengharuh imbal balik dengan pemilih (voter interaction). Dengan merujuk pada karakter program politik seperti itu maka proses dan orientasi political marketing memiliki perbedaan yang jauh dengan bisnis marketing. Konsep political marketing lebih di lihat sebagai penyebaran makna politik untuk menarik perhatian masyarkat melalui madia massa. Sebagai parpol kontestan pemilu dalam menyebarkan makna politik melalui konsep political marketing seharusnya sudah dapat dikelompokkan sesuai dengan targetnya. Konsep seperti itu diharapkan dapat memperbaiki kualitas kampanye legislatif bagi kontestan pemilu di masa mendatang. Dengan melakukan publikasikan pesan politik, mengembangkan kredibilitas dan kepercayaan kepada pendukung, merespon aspirasi pendukung, menyampaikan visi dan misi dengan cara yang santun dan elegan, menyedia kan pelatihan SDM kepada para juru kampanye yang akan diterjunkan kelapangan akan memperkuat kredibilitas parpol peserta pemilu legislatif yang akan bertarung di arena pemilu. Hasil pemilu legislatif 2009 yang baru lalu mudah dibaca, mana parpol yang mempersiapkan diri dengan menggunakan konsep political marketing, dan parpol mana yang masih kedodoran strateginya. Meski dalam strategi manajemen politik, hanya ada satu tujuan yang sangat mendasar untuk dipasarkan, yaitu kekuasaan yang diperoleh secara demokratis (Adam, 200:4). Demokrasi yang sehat dalam suatu negara adalah yang pasar politiknya di dasarkan pada kompetisi yang jujur, sehat dan transparan. Secara teoritis sistem demokrasi yang jujur dan transparan itu selalu berpedoman pada partisipasi politik. Partisipasi politik itu berupa kebijakan yang diarahkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik bagi para calon pemilih di arena pemilu (Hutington
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

&J. M. Nelson, 1997). Tidakkah terbentuknya keseimbangan komunikasi politik antara parpol dengan pemerintah, antar parpol, parpol dengan rakyat sebagai konstituennya hanya akan menghambat proses komunikasi politik dalam konteks pendekatan parpol dengan konstituennya. Dalam bahasa yang lebih sederhana Nurudin, (2004:4) mengistilahkan sebagai propaganda politik. Dari pemaparan konsep political marketing dan berbagai teori tersebut menggambarkan bahwa menjual produk politik (kampanye pemilu) disamping menyiapkan strategi manajemen politik juga perlu mempelajari perilaku budaya, dan struktur social masyarakat. Semua informasi yang lengkap tentang karakteristik calon pemilih mempunyai arti penting untuk menetukan strategi parpol. Konsep tersebut untuk menghindari adanya bias politik, dalam visi dan misinya yang kadang kala tidak mampu menyentuh kebutuhan informasi politik konstituennya. Kampanye pemilu legislatif hanya dipersepsikan sebagai opera sabun yang berisi pepesan kosong, pembohongan publik dan berbagai jenis isu negatif lainnya. Suara masyarakat sebagai konstituen pemilihan umum legislatif hanya di gunakan sebagai legalitas kekuasaan untuk meraih kedudukan di legislatif, tanpa memperhatikan kepentingan rakyat yang mengantarkannya di bilik suara. Fenomena itu dapat kita lihat dalam media massa pada kebijakan koalisi parpol menjelang pilpres 2009 (kompas, 5/5/2009). Kebiasaan rutin para elite parpol pemenang pemilu hanya bersikap ramah tamah ketika menjelang pemilu legislatif. Tetapi ketika mereka sudah duduk di legislatif , apa yang mereka janjikan saat kampanye pemilu di hadapan publik tidak pernah terealisasikan. Drama politik yang terjadi di dalam Gedung DPR yang Megah di Senayan itu justru berbalik dari ideologi politik yang mereka janjikan. Harapan masyarakat miskin dan kaum duafa yang tinggal di kolong jembatan, rumah bedeng, yang ikut menyumbangkan suaranya ketika pemilu nyaris tidak pernah tersentuh. Penggusuaran rumah tanpa solusi yang jelas masih menjadi fenomena sehari hari. Para anggota legislatif hanya berjuang untuk merengkuh kekuasaan, yang di ujungnya mengandung nilai material untuk komunitas partainya sendiri. Persepsi itu tidak terbantahkan ketika banyak di antara anggota legislatif secara berjamaah melakukan korupsi dan di jebloskan ke penjara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun terakhir ini. Pentas korupsi, dan perebutan kekuasaan justru yang mendominasi setiap agenda politik di media massa. Potret buram anggota legislatif seperti itu semakin meneguhkan asumsi, bahwa menjadi anggota legislatif bukan semata mata untuk membela dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Menjadi anggota legislatif lebih cenderung untuk mencari pekerjaan dan kekuasaan, yang ujung ujungnya mendapatkan imbalan materi. Apalagi konfigurasi calon anggota legislatif hasil pemilu 2009 sebagian kecil saja yang berubah. Sebagian besar masih terlihat orang
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

orang lama, sehingga muncul prediksi yang tidak akan jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Meski banyak calon anggota baru, tetapi di antara mereka adalah politikus kutu loncat yang hanya berkeinginan menduduki kekuasaan dengan platform baru dari parpol yang berbeda. Tetapi ketika di Gedung DPR Senayan tidak ada garansi yang bisa menjamin bahwa mereka akan memperjuangkan kepentingan rakyat sesuai dengan janji kampanyenya. Karena sebagian diantara mereka akan bergabung dengan koleganya kembali untuk menyusun strategi baru yang lebih aman. Mereka bersuara lantang hanya untuk menggalang perbedaan pendapat yang pada ujungnya permasalahannya tidak pernah tuntas. Berapa kali anggota legislatif (2004-2009) melakukan hak angket, tetapi selalu kandas di tengah jalan, atau lenyap begitu saja. Fenomena seperti itu memberikan gambaran bahwa sebagian anggota legislatif piriode tersebut masih di warnai gaya kepemimpinan yang jauh dari profesiaonal. Artinya sikap dan penampilan mereka di legislatif sangat bertolak belakang seperti apa yang mereka janjikan saat kampanye di hadapan publik sebelumnya. Seolah mereka tidak paham dalam membaca sikap dan perilaku konstituennya di daerah pemilihan (dapil) yang mereka ampu. Ketika berkampanye sebelum tahun 2004 yang lalu mereka semuanya ramah, menebar senyum, berjanji membela kepentingan rakyat, anti korupsi dan sejenisnya. Kejadian yang sama terulang kembali pada masa kampanye pemilu legislatif 2009. Tetapi ketika sudah menjadi anggota legislatif dan duduk di Senayan persoalannya menjadi lain. Kenyataannya dalam rekam jejak perjalanan para anggota legislatif masih di warnai korupsi, perebutan kekuasaan, meninggalkan sidang, dan berbagai pemborosan lainnya. Pada hal mereka sudah di berikan fasilitas dan gaji yang cukup besar. Fenomena seperti itu dapat di potret dari mereka yang lolos menjadi calon anggota legislative 2009. Membaca Perilaku Pemilih Hasil observasi pemilu legislatif 2009 melalui media cetak (Kompas & Jawa Pos) yang terbit tanggal (9 Maret9 April 2009) yang di lakukan penulis menggambarkan bahwa kebijakan parpol, perilaku dan kinerja anggota legislatif berpengaruh terhadap perilaku pemilih untuk menentukan pilihan politiknya. Meski di akui dalam hal ini masih banyak faktor lain yang ikut mempengaruhi. Misalnya representasi agama, klas sosial, figur ketokohan dan lainnya, untuk memberikan identivikasi penyusunan strategi political marketing. Strategi politik yang digunakan untuk menarik simpati masyarakat itu tidak lepas dari bagaimana masing masing kandidat mempersiapkannya. Artinya kandidat legis latif selalu dituntut mampu berkomunikasi politik secara elegan di hadapan publik baik ketika kampanye berlangsung, maupun dalam wawancara dengan media televisi. Kemampuan penyampaian komunikasi politik itu amat
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

tergantung dari bagaimana pesan politik itu disampaikan berdasarkan kebutuhan calon pemilihnya. Dimana setiap kebutuhan informasi itu selalu mengacu pada sifat sifat dasar dan perilaku pemilih. Pada tataran ini perilaku pemilih menjadi sebuah informasi penting dalam perencanaan kampanye sebuah partai politik kontestan pemilu legislatif. Paling tidak terdapat beberapa pendekatan secara teoritis yang bisa digunakan sebagai alat untuk menganalisis berbagai model penyampaian komunikasi politik. Model itu yakni melalui pendekatan sosiologis, psikologis, rasional dan kognitif, dimana untuk masing masing katagori memiliki sifat dan cirikhas yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, melalui berbagai pendekatan. Pendekatan sosiologis, model ini sebenarnya sudah sering dilakukan pembahasan, bahwa subkultur tertentu memiliki kognisi sosial yang berasal dari perilaku tertentu. Perilaku itu baik yang bersifat individu maupun yang mewakili kelembagaan, dan komunitas tertentu. Sedangkan kognisi yang sama antar anggota subkultur terjadi karena sepajang hidup mereka juga memiliki kepercayaan nilai dan harapan yang sama termasuk preferansi pilihan politiknya dalam pemilu legislatif 9/4/2009 yang lalu. Kepercayaan itu mengacu pada oposisi biner seperti apa yang diterima sebagai kebenaran atau ketidak benaran tentang sesuatu. Kepercayaan yang mereka miliki itu juga di dasarkan pada pengalaman masa lalu, pengetahuan, dan informasi yang diperoleh saat ini. Pengakuan nilai itu menyangkut kesukaan dan ketidak sukaan, cinta dan kebencian, hasrat dan ketakutan seseorang. Sedangkan pengharapan mengandung citra seseorang akan seperti apa kondisi mereka setelah dilakukan tindakan. Pendekatan sosiologis menjelaskan karakteristik dan pengelompokan sosial yang bisa mempengaruhi perilaku pemilih dan pemberian suara pada dasarnya adalah pengelompokan dari kelompok kelompok tertentu (Nimmo, 1993-21). Pendekatan Psikologis, pendektan ini diharapkan dapat menambah kekurangan dari pendekatan sosiologis yang tidak bisa digunakan untuk mengukur indikator strata sosial, pendidikan, agama dll. Para pakar ilmu politik Barat mempercayai teori ini di landasi oleh sikap dan sosialisasi. Artinya sikap seseorang di prediksiksikan sangat mempengaruhi prilaku politiknya. Adapun sikap seperti itu dibentuk melalui sosialisasi yang berlangsung lama bahkan pada usia dini dari seseorang. Pada usia dini seorang calon pemilih parpol tertentu telah mendapat pengaruh politik dari orang yang paling dekat dengannya. Proses interkasi seperti itu datang dari berbagai pihak di lingkungannya, akhirnya meneguhkan pilihan seseorang terhadap parpol tertentu. Proses sosialisasi itu membentuk ikatan kuat terhadap organisasi politik, dan terjadilah identivikasi partai. Pendekatan Rasional, pada realitasnya pemilih selalu berubah ubah pilihannya dari pemilu ke pemilu berikutnya. Jadi perilaku pemilih bukan hanya ditentukan dari karakteristik sisoal dan
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

identivikasi parpol saja. Tetapi masih tergantung juga pada penilaian masyarakat terhadap keberadaan parpol yang mengikuti kontestan pemilu legislatif. Kondisi itu mengakibatkan hasil rating dukungan masyarakat pada awal kampanye berubah pada akhir pekan secara signifikan. Ini karena kampanye memberi andil dalam pembentukan perilaku calon pemilih. Hal ini juga sekaligus mengindikasikan bahwa isu politik pilihan para jurkam parpol tidak bisa kita abaikan begitu saja. Meski tidak serta merta menjadi daya pikat yang dominan. Karena masih juga harus dilihat kepiawaian dan kemampuan jurkam dalam berorasi, rasional ataukah hanya sekedar melakukan retorika politik, yang sulit dipahami maknanya. Ketertarikan pemilih pada isu politik atau jurkam tertentu bersifat situasional. Artinya tidak permanen dan selalu berubah ubah. Maka dari itu daya tarik seorang kandidat/jurkam ditentukan oleh dua hal. Yakni kualitas instrumen yang menyangkut keyakinan para calon pemilih, dan kualitas simbolis, yang terkait dengan kepribadian seseorang. Maka untuk mempermudah mengenali karakteristik pemilih rasional dapat kita kenali melalui identivikasi sebagai berikut. Ciri pemilih rasional adalah , memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan mendapat informasi yang cukup dan berfikir berdasarkan logika. Dapat mengambil keputusan jika dihadapkan pada pelilihan alternatif. Membandingkan berbagai alternatif pilihan. Membuat rengking dari alternatif yang ada. Memilih alternatif yang tingkat preferensinya tinggi, dan mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan alternatif yang sama. Menurut Newman & Shets (1985) dalam Nursal (2004:69) bahwa penilaian pemilih di tentukan oleh 7 domain kognitif yang berbeda, antara lain: (1). Isu dan kebijakan politik (issues and policies) yakni merepresen tasikan program yang diperjjuangkan, flatform dasar yang ditawarkan kepada calon pemilih. (2). Citra sosial (social imagery), yaitu menunjukkan steriotif kandidat untuk menarik pemilih dengan menciptakan asosiasi antara kandidat dengan masyarakat tertentu (pemula, agama, suku dsb). (3). Perasaan Emosional (emotional felling), yaitu demensi emosional yang ditunjukkan oleh kandidat tentang policy partai yang ditawarkan kepada calon pemilih (pemberantasan korupsi, kemiskinan, ekonomi kerakyatan, sembako murah, dsb). (4). Citra kandidat (candidat personality), yakni mengacu pada sifat pribadi yang penting dan dianggap sebagai karakter kandidat (welas asih, jujur, tegur dsb). (5). Peristiwa mutakhir (curret event) yakni mengacu pada himpunan peristiwa isu dan kebijakan yang berkembang menjelang dan selama kampanye (misalnya : inflasi, KKN, pengaruh negara lain dsb). (6). Peristiwa personal (personal events) yaitu mengacu pada kehidupan pribadi dan peristiwa yang pernah di alami oleh seorang kandidat (skandal dll). (7). Faktor epistimik (epistimic issues) yakni isu pemilihan yang bersifat spesifik yang mengacu keingintahuan pemilih ke hal hal yang baru.
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

Sikap dan perilaku pemilih seperti itu dapat dibentuk dan di pengaruhi oleh kebijakan parpol tertentu dalam implementasi hasil pemilu sebelumnya. Serangkaian peristiwa politik dan kebijakan parpol yang sedang berkuasa bisa saling menguatkan satu sama lain dalam membentuk citra partai (positioning). Citra itu bisa mengarah pada perilaku pemilih ketika saatnya pemilu berlangsung. Citra negatif parpol kontestan pemilu dimasyarakat justru menjadi bumerang bagi parpol yang bersangkutan untuk menarik simpati masyarakat calon pemilih. Citra negatif yang demikian sering diciptakan sendiri oleh para elite parpol didalam mengambil kebijakan politik di tengah tengah masyarakat. Mereka sering bermain retorika politik untuk memikat pemilih dalam kampanye pemilu legislatif. Misalnya menyampaikan janji kosong yang yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kapasitas untuk mewujudkannya. Dalam bahasa marketing hal tersebut sering di sebutover promise under delevery Tentu hal ini sangat bertentangan dengan prinsip prinsip marketing, bahwa positioning harus diwujudkan oleh produk politik yang bisa dibuktikan kebenarannya. Jika parpol kontestan pemilu tidak mengindahkan persoalan dan konsep tersebut cepat atau lambat parpol yang bersangkutan akan ditinggalkan oleh konstituennya. Sedangkan pada posisi yang lain kompetitor parpol yang sedang berlaga dalam kampanye pemilu tentu akan menggunakan kelemahan pihak lawan politiknya untuk menyusun strategi serangan balik. Isu dan jargon masing masing parpol selalu di kemas secara bersayap. Meski jargon itu tidak secara langsung dikemas untuk menembak lawan politiknya, tetapi orang awam juga tahu jika amunisi politik itu di arahkan pada lawan politik yang sedang bersaing di pentas pemilu legislatif. Fenomena seperti itu mudah dibaca oleh siapapun, karena tujuannya memang untuk menembak lawan politiknya guna mendapatkan simpati masyarakat. Rasionalitas dan Realitas Salah satu tujuan pemilihan umum Legislatif adalah memilih wakil rakyat dan wakil daerah untuk membentuk pemerintahan yang mendapatkan dukungan rakyat Indonesia secara demokratis (UUD 1945). Bahkan Gabriel A. Almond mellihat betapa pentingnya mitos demokrasi sebagai komponen stabilitas politik dalam pemilu. Demokrasi dalam konteks ini sebagai kepercayaan dan harapan masyarakat (pelaku politik) untuk berpartisipasi dalam proses pemilu legislatif. Jika kondisi itu bisa terwujud, dan dapat dipertahankan, maka pemilu legislatif mejadi salah satu media ritual demokrasi modern di Indonesia yang bisa di implementasikan pada setiap kampanye pemilu (Eko Prasodjo, 2004:4). Realitasnya elite politik lebih tertarik membahas sistem pemilu legislative, dari pada proses pemilu legislatif itu sendiri. Pada hal sistem pemilu apapun yang
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

digunakan tidak secara signifikan menentukan hasil pemilu yang berkualitas. Sebuah negara modern yang demokratis tidak mungkin dibangun hanya dengan sistem pemilu dan keberadaan parlemen yang dianggap sebagai perwakilan rakyat. Hal itu hanyalah salah satu tiang penyangga demokrasi masyarakat politik tetapi yang lebih penting bagaimana masyarakat mampu membangun terwujudnya cipil society dan munculnya nilai-nilai yang menopang demokrasi dalam pelaksanaan pemilu legislatif itu sendiri (Satya Arinanto, 1999:81). Fenomena yang terjadi sekarang ini banyak diantara partai politik yang dibentuk dengan mengambil jalan pintas dan kurang berakar pada kepentingan masyarakat secara umum. Pengaruhnya mereka lebih banyak mementingkan kelompok tertentu dalam partainya. Kondisi seperti itu cenderung memunculkan aktivitas pro demokrasi merasa prustasi. Karena tidak sesuai dengan sistem dan perkembangan partai politik yang ada sekarang ini. Imlikasinya ia berusaha mencari cara untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional ke sistem distrik atau penggabungan keduanya. Menurut Olle Tornquist(2004:3) hal itu dilakukan karena banyak partai politik kontestan pemilu tidak memiliki basis yang kuat dimasyarakat bawah. Sementara konsep pemerintahan demokratis adalah bagaimana membentuk dan membatasi kekuasaan politik dan terbentuknya kekuasaan melelui pemilu. Pembatasan kekuasaan harus melalui hukum dan institusi sosial yang tepat (Adam, 2000:3). Pembatasan dilakukan semata- mata agar pemilu legislatif tetap terjaga kualitasnya. Semua orang tahu sistem politik kita lebih berpihak pada sistem depolitisasi. Depolitisasi masa mengambang di satu sisi positif untuk mengeliminir politisasi massa di tingkat bawah (grassroots), tetapi di sisi lain cenderung menjadi faktor penghalang bagi partisipasi politik rakyat kalangan bawah dalam sistem pengambilan keputusan (Nusa Bhakti, 1997:106). Namun meski sistem dan kondisi kebijakan politik berkembang demikian dari sejumlah parpol kontestan pemilu 2009 telah menyiapkan berbagai jurus jurus partai untuk menarik simpati calon pemilihnya dalam pemilu legislatif 09 April 2009 yang lalu. Negara memberikan kebebasan untuk membangun parpol, tetapi realitasnya tidak semua idiologi parpol kontestan pemilu legislatif bisa di terima masyarakat. Kalau di masa lalu pemerintah yang menyeleksi parpol, sekarang masyarakat yang lebih berkuasa menyeleksinya. Realitasnya dari 34 parpol peserta pemilu legislatif 2009, hanya 9 parpol yang masuk electoral threshold. Partai Demokrat, 20, 85%. Partai Golkar, 14, 45%. PDIP, 14, 03%. PKS, 7, 88 %. PAN, 6, 01%. PPP, 5, 32%. PKB, 4, 94%. Gerindra, 4, 46% dan Hanura, 3, 77% (Sumber : KPU, 2009). Fenomena ini memberikan makna bahwa kebebasan demokrasi akan di ukur dari seberapa besar untuk memberikan
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

pembelaan kepada rakyat. Pada tataran tersebut masyarakat yang akan menilai, dan masyarakat pula yang memponisnya. Bagi partai politik yang hanya tampil seadanya tanpa visi dan misi yang jelas tampak tersungkur dalam perhelatan akbar pemilu legislatif. Mereka yang tersisih dari perhelatan pemulu legislatif itu sebagian besar partai gurem. Partai ini suaranya lantang tetapi tidak punya amunisi untuk memenangkan pemilu legislatif. Kelompok mereka inilah yang banyak melakukan protes dengan berbagai alasan ke KPU. Mereka menuntut haknya dengan mengadukan berbagai kecurangan pelaksanaan pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MA). Tetapi hanya di daerah tertentu yang permohonannya di kabulkan MK, misalnya di Nias Provinsi Sumatra Utara dan Yahukimo Provinsi Papua Barat (Indo Pos, 11/6/2009). Kampanye Pemilu Legislatif 2009 Kampanye merupakan strategi parpol kontestan pemilu untuk menarik simpati masyarakat. Ritual politik itu dapat dianggap sebagai ajang berlangsungnya proses komunikasi politik yang sangat tinggi intensitasnya. Berbeda dengan hari hari sebalum dan sesudahnya. Dalam kurun waktu yang ditentukan itulah parpol berkonsentrasi bagaimana strategi mempengaruhi calon pemilihnya. Dalam konteks itu akan terjadi interaksi politik berlangsung dengan tempo yang meningkat. Mereka berusaha menyakinkan calon pemilihnya bahwa parpol bersangkutan paling layak untuk dipilih (Harsono Suwardi, 1993:64). Kampanye pemilu dapat di katagorikan sebagai propaganda program parpol yang ditawarkan kepada calon pemilih. Menurut Brown&Both dalam Werner. J. Severin & W. James Tankard (1979) seperti di kutip Nurudin (2001:9). propaganda would include much of advertising, much of political campaigning and much of public relation. Kampanye berkaitan secara individu, maupun kelompok yang dilakukan dalam peristiwa tertentu untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat, dalam kepentingan politik (Nimo, 1970-10). Hasil penelitian di Barat yang terkait dengan kegiatan kampanye pemilu, menunjukkan bahwa orang menerima informasi politik paling tidak bersumber dari : (1). organisasi politik, (2). media massa, (3). masyarakat (Harsono Suwardi, 1997:66). Penelitian Petterson (1980) menunjukkan komunikasi politik yang dikemas parpol peserta pemilu mempunyai kaitan erat terhadap pengetahuan masyarakat tentang misi parpol yang bersangkutan selama kampanye berlangsung. Pada pemilu legislatif 2009 masyarakat Indonesia lebih cenderung dihadapkan pada penilaian parpol mana yang mempunyai komitmen serta pro kepada rakyat. Komitmen seperti itu akan dinilai dan di cermati selama masa kampanye berlangsung. Maka partai politik dan para calon anggota legislatif sudah saatnya mengusung platform partai yang jelas
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

programnya. Parpol harus mampu menjabarkan visi dan misinya untuk mengatasi permasalahan rakyat. Misalnya krisis ekonomi, kemiskinan, pengangguran serta mahalnya harga bahan pokok yang melanda Bangsa Indonesia selama ini. Sebaliknya masyarakat yang kritis dan kian rasional menuntut agar parpol dan caleg memberikan solusi kongkrit terhadap berbagai masalah yang menghimpit kehidupan rakyat secara umum. Sekarang sudah saatnya parpol modernisasi partainya dengan menawarkan program yang dapat diterapkan secara nyata ketika mereka berkuasa nanti. Sebab selain memilih orang dalam pemilu legislatif 2009 sebetulnya juga memilih program. Hanya rakyatlah yang memiliki kekuasaan untuk memilih, maka dari itu sudah saatnya memberikan pilihan yang rasional dan kritis. Jika konsep ini dilakukan, maka di maknai bukan hanya konsolidasi demokrasi yang akan berlangsung, tetapi sejatinya bangsa Indonesia sudah mencapai taraf kedewasaan berpolitik yang lebih baik. Mereka telah menyumbangkan terwujudnya demokrasi yang matang bagi kepentingan berbangsa dan bernegara. Namun demikian realitasnya baru sebagian kecil dari parpol kontestan pemilu 2009 yang melakukan sistem kampanye yang bersifat programatik dengan kepentingan rakyat. Misalnya dengan mengusung issue politik yang akan mempreoritaskan:lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, kemiskinan, pembangunan infrasruktur (Sparingga, 2004:1). Pakar lain berpendapat, visi dan misi parpol yang ditawarkan hendaknya seperti perusahaan industri menawarkan prodaknya. Kampanye legislatif dapat disamakan dengan langkah pemasaran untuk mendapatkan brand loyalty. Kampanye juga mempu nyai makna teknologis, artinya sudah seharusnya kampanye pemilu legislatif meninggal kan sistem tradisional pengerahan massa. Idealnya menggunakan sistem dialogis di media massa, seminar, lokakarya dan sejenisnya. (Rian Nugroho, 1998:90). Kampanye pemilu legislatif yang berkualitas seperti itu juga perlu ditunjang munculnya para politisi yang bersikap professional dan berwawasan luas. Dalam arti secara kualitas personal, organisasi dan cultural. Dalam konteks politisi berkualitas personal dan organisasional agar dimuncul kannya juru kampanye yang berkualitas tidak asbun (asal bunyi) dan mengarah pada penghujatan terhadap lawan politiknya yang memunculkan konflik antar partai politik yang melibatkan massa. Secara cultural memang masyarakat kita belum siap secara budaya untuk menerima kekalahan secara sportif baik dalam pelaksanaan kampanye maupun pemilu legislatif 2009. Dalam konteks tersebut perkembangan konfigurasi politik telah terbuka luas, serta memberikan peluang kepada masyarakat untuk berperan secara maksimal dan ikut aktif melakukan kebijakan negara (Mahfud. MD, 1995:14). Mental dan moral politik masyarakat kita baru bisa menerima kemenangan, tetapi belum bisa menerima kekalahan.
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

Arogansi individu masing masing tokoh parpol lebih menonjol dibanding kemampun mereka sebagai leadership. Perilaku budaya politik yang penuh arogansi dan kepalsuan sesaat seperti itu oleh Adorno. T. & Horkheimer M (1999: 143) di istilahkan sebagai pencitraan palsu. Dalam masa kampanye pemilu legislatif 2009 budaya politik seperti itulah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita. Peran Media Massa Antara kampanye dan perolehan suara parpol pada pemilu legislatif merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan. Dukungan calon pemilih akan di tentukan seberapa itenkah kampanye yang mereka lakukan mampu mempengaruhi sikap masyarakat. Sedangkan pengaruh terhadap sikap pemilih terjadi jika apa yang di kampanyekan termediasi. Kampanye pemilu legislatif tidak mungkin akan bergema luas tanpa peran media massa. Dengan demikian kehadiran media ketika sedang berlangsung kampanye pemilu legislatif menjadi sangat penting. Pada konteks kampanye pemilu legislatif 2009, media massa mempunyai peran yang sangat strategis. Peran media massa dapat di katagorikan menjadi 4 (empat) indikator. (1). Dampak media terhadap strategi kampanye pemilu legislatif, (2). pengaruh media terhadap pemilih, (3). Iklan kampanye, (4). reportase kampanye, dan (5). Issue / jargon politik yang di usung. Dampak media : semua orang tahu bahwa opini yang dibentuk media mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberhasilan atau kegagalan kampanye parpol kontestan pemilu legislatif. Menurut Denver (1992) dampak media terhadap strategi kampanye juga dipengaruhi perubahan daptar pemilih, perubahan UU Pemilu, hasil survey , meluasnya media, perkembangan televisi, teknologi informasi(internet) dan mahalnya biaya kampanye. Keberpihakan pemberitaan media terhadap parpol tertentu akan berdampak luas, baik bagi parpol lain maupun media itu sendiri. Dalam konteks ini netralitas media menjadi kunci utama dalam penyelenggaraan pemilu legialatif. Media yang berafiliasi pada parpol tertentu reputasinya hanya tergantung pada parpol yang bersangkutan. Maka banyak diantara media yang tidak ingin masuk perangkap tersebut. Media akan memberikan ruang yang lebih terbuka dan berimbang bagi parpol kontestan pemilu. Misalnya media cetak memberikan rubrik khusus untuk berkampanye, televisi memberikan acara khusus untuk kampanye, demikian juga media online. Media akan memfasilitasi kepentingan parpol, karena media juga akan mengambil manfaat iklan dari mereka. Pengaruh Media Terhadap Pemilih : pada dasarnya media mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap sikap dan
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

keputusan pemilih. Di lihat dari anatomi politik, pemilih pemilu legislatif 2009 terlihat semakin kritis. Fenomena itu dapat kita lihat dalam pemberitaan media massa selama kampanye pemilu berlangsung. Visualisasi potensi pemilih hamper dapat dibaca dan di pelajari melalui media massa. Dari sana bisa juga di analisis tentang sikap, perilaku dan kecenderungan keputusan yang akan diambilnya ketika hari H pemilu legislati berlangsung. Misalnya antara tahun 1999-2004 potensi pemilih dapat teridentivikasi sebagai :pemilih sekedar partisipasi, pemilih partisan, pemilih rasional dan golongan putih (Pawito, 2008:180). Pemilih yang masuk katagori sekedar berpartisipasi, ikut mencontreng di bilik suara hanya karena memenuhi haknya, tanpa memiliki pengetahuan tentang latar belakang dan rekam jejak calon yang dipilihnya. Pemilih partisan, ia lebih memiliki keberpihakan yang kuat terhadap parpol atau kandidat, yang meluas pada keluarga, family, agama, etnik dan ideology lainnya. Pemilih rasional, adalah mereka yang memiliki ikatan ideology dan sosio cultural dengan parpol atau kandidat tertentu. Kelompok mereka ini dapat mengambil keputusan yang rasional dengan mempertimbangkan berbagai alternative kepentingan umum, dan mencari banyak informasi di media massa. Kelompok golput, adalah komunitas intelektual yang meresa tidak puas dengan kondisi yang ada dengan sistem atau mekanisme pemilihan umum legislatif. Mereka lebih banyak menyalurkan aspirasinya melakukan kritik melalui media massa, atau berbagai forum seminar dan diskusi. Penelitian Lowden (1994:304) di California USA dalam pemilihan pendahuluan (primary elections) menunjukkanpemilih katagori sekedar berpartisipasimenggunakan media cetak sebagai sumber informasi yang mempengaruhinya. Sedangkan pemilih kelompok partisan lebih banyak menggunakan media televisi. Menurut Chaffe (1994:324) pengaruh media dalam kampanye presiden di USA tahun 1992 cukup besar. Kasus di Indonesia media mampu memberikan tekanan dalam pembentukan opini public terhadap berbagai hal yang terkait dengan kampanye pemilu legislatif 2009. Iklan Kampanye : ada pemandangan yang sangat luar biasa ketika kampanye pemilu legislati sedang berlangsung tahun 2009. Para caleg disamping menggunakan media massa, juga memanfaatkan media luar ruang. Misalnya dalam media luar ruang hamper semua pohon, tiang listrik, tembok yang ada di jalan raya, dan gang kecil tidak luput dari tempelan photo para caleg. Ironisnya karena yang di contreng bukan photo caleg tetapi nama caleg. Maka dari itu iklan penempelan photo caleg dianggap tidak efektif, dan tidak banyak pengaruhnya. Pada hal dalam konteks political marketing seharusnya iklan mempunyai pengaruh terhadap sikap dan keputusan calon pemilih. Iklan akan membentuk image pada benak pemilih. Pengaruh iklan juga pengaruh media terhadap calon pemilih. Penelitian Atkin & Heal (1976), penelitian Lang & Lanfear (1990),
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

penelitian Geiger&Revees(1991) semua membuktikan adanya pengaruh struktur visual iklan pada ingatan dan penilaian pemilih terhadap kandidat (Kaid, 2004:169). Banyak penelitian membuktikan pengaruh iklan terhadap penilaian dan citra para caleg untuk maju dalam pemilu. Meski hasil penelitian mengenai pengaruh iklan secara langsung terhadap keputusan pemilih sangat jarang, dan sulit di lakukan. Tetapi dapat di deteksi dari jumlah belanja iklan untuk kampanye pemilu secara keseluruan dengan hasil perolehan suara. Reportase Kampanye : Media massa memberikan respon yang cukup besar dalam kampanye pemilu legislatif 2009. Banyak peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan kampanye pemilu kita dapatkan di media massa. Media cetak, televisi, radio dan media on-line secara kreatif membuat polling via SMS dan sejenisnya untuk menarik perhatian khalayak. Semua informasi dan hasil perolehan suara dalam pemilu legislatif dapat dengan cepat dan mudah di peroleh melalui media massa. Kondisi seperti itu merupakan bentuk kepedulian media massa terhadap layanan informasi public. Dalam tataran ini media massa tidak sedikit perannya untuk mensukseskan pemilu. Media mampu mencetak seorang pigur parpol tertentu. Hal ini penting karena calon pemilih kita lebih tertarik pada pigur. Prestasi PAN dalam pemilu legislatif 2009, banyak di topang oleh kehadiran para artis. Masyarakat mendukung parpol tersebut bukan karena tertarik dengan visi dan misinya. Mereka mendukung karena artis/actor pavoritnya ada di parpol tersebut. Semua itu terbentuk karena kegiatan jurnalistik media ada di sana, media mampu mencitrakan seorang pigur. Maka dari itu profil dan rekam jejak seorang pigur menjadi sangat penting. Rangkaian itulah yang di narasikan media sehingga menjadi seorang pigur yang di bentuk media massa. Issue politik : bagi setiap parpol kontestan pemilu dalam konsep political marketing perlu menciptakan issue politik yang akan di kampanyekan. Issue/jargon politik di gunakan untuk menciptakan positioning bagi calon pemilih. Maka dari itu jargon politik biasanya di buat dengan kalimat pendek, tetapi penuh makna. Berupa kalimat pendek agar mudah di ingat, karena konsepnya positioning adalah mencitrakan imagepada seseorang individu, konsep ini banyak di adopsi pada dunia periklanan. Jargon politik yang sering di usung beberapa parpol kontestan pemilu 2009, diantaranya: (berantas korupsi, pengentasan kemiskinan, pendidikan gratis, menciptakan lapangan kerja, menekan harga kebutuhan pokok, pro rakyat kecil dll). Jargon politik seperti itu selalu di jadikan konsumsi kampanye pemilu legislatif setiap 5 tahunan. Meski janji politik seperti itu tidak pernah terwujudkan, masyarakat selalu memaafkan. Ketika media massa hadir dan berinteraksi dengan institusi lain dalam masyarakat pada saat berlangsungnya pemilu legislatif, sejujurnya ia memiliki peran dan konsekuensi tertentu. Tidak
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

terkecuali ketika kampanye pemilu legislatif 2009 berlangsung. Maka dari itu menjadi sangat menarik jika kita mengkaji kehadiram media massa di kaitkan dengan berbagai teori dan pandangan demokrasi pada saat itu. Banyaknya parpol (34 orpol) kontestan pemilu legislatif 2009 dengan mengusung jargon politik yang pro rakyat dapat di maknai sebagai munculnya kebebasan demokrasi. Kondisi itu sejalan dengan pemikiran Ebenstein et al (1967:3), bahwa demokrasi di pahami bertolak dari apa yang di katakan oleh Abraham Lincoln : government of the people, by the people, for the people. Dalam konteks tersebut mengandung makna yang paling mendasar bahwa kehendak rakyatlah yang paling penting dalam demokrasi. Prinsip dasar demokrasi itu di berikan kepada rakyat, seperti kebebasan berpendapat, berserikat, menyatakan pendapat, kebebasan pers, kesamaan derajat, keadilan, penegakan supremasi hukum serta kemakmuran rakyat. Kebebasan pers merupakan salah satu pilar demokrasi dalam konteks kehadiran media massa dalam kampanye pemilu legislatif 2009 yang bersifat kritikal. Kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat di Indonesia pasca reformasi mendapatkan porsi yang cukup luas. Berbagai bentuk kebebasan itu telah di lembagakan mulai dari amandemen UUD 1945, dan turunannya. Dengan demikian dalam kurun waktu pelaksanaan kampanye pemilu legislatif 2009 kebebasan demokrasi tidak menjadi persoalan yang esensial lagi. Kini pilar demokrasi itu telah terbentuk tinggal bagaimana implementasinya. Pada titik inilah parpol kontestan pemilu di uji kemampuannya untuk beradaptasi masyarakat yang tumbuh semakin kritis. Tumbuh dan berkembangnya pengetahuan masyarakat karena mereka belajar dari media massa tentang realitas politik. Kini media massa telah mengambil peran posisi posisi penting dalam konteks pemberitaan social politik di masyarkat, termasuk ketika kampanye pemilu legislatif 2009 berlangsung. Penutup Kampanye pemilu legislatif yang syarat dengan pemasaran visi dan misi sebuah parpol kontestan pemilu, dalam teori political marketing keberhasilannya tidak terlepas dari peran media massa. Bentuk ketergantungan sebuah orgasisasi politik terhadap media massa bukan sebatas pada kerja sama atau publikasi program parpol yang bersangkutan. Tetapi lebih dari pada itu, karena media massa memiliki kebebasan untuk membentuk opini publik. Potensi itulah yang menyebabkan ada parpol yang keberadaannya terangkat oleh media massa. Tetapi juga banyak parpol yang tumbang karena opini yang di bentuk media massa. Parpol kontestan pemilu yang platform ideologinya tidak menjungjung pilar-pilar kebebasan dan demokrasi akan mendapatkan kritikan media massa. Begitu sebaliknya parpol yang program-programnya menjunjung tinggi kebebasan demokrasi
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

dan kerakyatan cenderung mendapatkan simpati media massa. Persoalan yang paling mendasar bagaimana kerjasama antara parpol kontestan pemilu dengan media massa. Kerjasama tersebut bukan sekedar untuk kepentingan mereka berdua, tetapi juga masyarakat mendapatkan apa atas kerjasama tersebut. Maka dari itu dalam konteks pemberitaan pemilu legislatif, antara parpol, media massa dan masyarakat mempunyai ikatan yang saling ketergantungan. Ikatan itu harus dimaknai untuk menjunjung toleransi demokrasi dan kebersamaan untuk membangun sebuah bangsa. Akhirnya semua perbedaan, kebhinekaan atas pandangan dan ideologi akan berujung pada konsep demokratisasi masyarakat untuk kemajuan bangsa ini. Daftar Pustaka Adorno. T. & Horkheimer, M (1999) The Culture Industry Enlightenment as mass Deception dalam During S. ed The Cultural Studies Reader, Second edition, London : Routledge : 1999 Adam, Rainer, Media Politik Radio, Buku Pegangan Jurnalis Radio, PT Sembrani Aksara Nusantara Jakarta : 2000 Arinanto, Satya. Pemilu, Demokrasi Dan Paradigma Baru Kehidupan politik, Visi Indonesia Baru, Jurnal UNISIA, No: 39/XXIII/Yogyakarta : 1999 Chaffe, Stephen. H. Xinshu Zhao, Glenn Lashner. Political Knowledge and the Campign Media of 1992 Communication Research Vol. 21 No:3 Juni 1994. Denver, David. Campaigns and Elections dalam Mary Hawkeswarth & Maurice Kogan (eds) Encylopedia of Government and Politics Vol. 1 London : Routledge, 1992. Ebenstein, William, C. Herman Pritchett, Henry A, Turner, & Dean Mann, American Democracy in World Perspective, New York : Harper&Row Publisher, 1997. Hutington. S, P & Johan M. Nelson, No Essy Choice Political Participation in Developing Countries Cambridge , Havard : University Press, 1997 Ikrar Nusa Bhakti, & Moch. Nurhasim, Jurnal Masyarakat Indonesia, Penerbit LIPI, XXIII/No:2 1997-106. Kertajaya, Hermawan, Marketing Ujung Tombak Bisnis, Lembaga Manajemen FE UI Jakarta : 1991 Kaid, Lynda Lee, (eds) Handbook of Political Communication Research, Mahwah, New Jersey : Lawrence Earlbaum Assocates Publisher, 2004. Lowden, Nancy at all : Media Use in Primary Election Communication Research Vol. 21 No:3 Juni 1994.
__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KomMTi Volume : 3, No. : 9 / Desember 2009

Mahfud. MD, Konfigurasi Politik Dan Karakter Produk Hukum, Majalah Prisma, Edisi 7 Juli, Jakarta : 1995 Nimo, Dan. The Political Persuaders The Tekniques of Modern Election Campaigns, Englewood, Cllifs New Jersey: Pretice Hall Inc, 1970-10 Nurudin, Komunikasi Propaganda, Remaja Rusda Karya, Penerbit Bandung: 2001 Nugroho, Rian, Indonesuia 2020, Sebuah Sketsa Tentang Visi Dan Strategi Dalam kepemimpinan Manajemen Politik dan Ekonomi, Penerbit RBI Jakarta : 1998 Pawito, Ph. D, Komunikasi Politik Media Massa Dan Kampanye Pemilihan, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta: 2008, Petterson Thomas, The Mast Media Election, How American Choase Their President New York : Praeger 1980. Peter & Olson, . Consummer behavioural and Marketing Strategy, third Edition, Boston : 1993 Suwardi, Harsono. Peran Pers Dalam Politik Di Indonesia, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta : 1993. Usman, Suyanto, P. Hd. Struktur Interaksi Kelompok Elite Dalam Pembangunan, Majalah Prisma, Edisi 6 Juni, Jakarta : 1991 Sumber Lain : Eko Prasodjo, Artikel Harian Kompas Edisi 12 Januari 2004 halaman 4 Dr. Olle Tarnquest, Pakar Ilmu Politik, Universitas Oslo, Norwegia, Kompas Edisi 31 Januari 2004 hl, 8 Dr. Ikrar Nusa Bhakti, Head Line Kompas, Edisi 16 Januari 2004. Dr. Daniel Sparingga, Dalam diskusi, Kompas 16 Januari 2004. Titik Suryani, Dr, Kiat Jitu Menang Pemilu, Jawa Pos 2004 hal 111 Harian Kompas, Edisi Penerbitan tanggal, 5/5/ 2009-06-29 Harian Indo Pos, Edisi Penerbitan tanggal, 11/6/2009 Komisi Pemilihan Umum, (KPU), Tahun 2009

__________________________________________________________________________ Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

Anda mungkin juga menyukai