Anda di halaman 1dari 150

/HPEDJD3HQHOLWLDQ60(58

Laporan Penelitian

Evaluasi Dampak Sosial-Ekonomi Proyek Pengembangan Wilayah Berbasis Pertanian Sulawesi (SAADP): Pelajaran dari Program Kredit Mikro di Indonesia

-XQL

7HPXDQ SDQGDQJDQ GDQ LQWHUSUHWDVL GDODP ODSRUDQ LQL GLJDOL ROHK PDVLQJPDVLQJ LQGLYLGX GDQ WLGDN EHUKXEXQJDQ DWDX PHZDNLOL /HPEDJD 3HQHOLWLDQ 60(58 PDXSXQ OHPEDJDOHPEDJD \DQJ PHQGDQDL NHJLDWDQ GDQ SHODSRUDQ 60(58 8QWXN LQIRUPDVL OHELK ODQMXW PRKRQ KXEXQJL NDPL GL QRPRU WHOHSRQ   )DNV  (PDLO VPHUX#VPHUXRULG :HE ZZZ VPHUX RU LG

Evaluasi Dampak Sosial-Ekonomi Proyek Pengembangan Wilayah Berbasis Pertanian Sulawesi (SAADP): Pelajaran dari Program Kredit Mikro di Indonesia

Tim Peneliti
Koordinator:
Hastuti

Penasehat:
Joan Harjono Sudarno Sumarto Asep Suryahadi Sri Kusumastuti Rahayu

Peneliti:
Bambang Soelaksono Daniel Perwira Daniel Suryadarma Nina Toyamah Rima Prama Artha Rizki Filaili Sri Budiyati Wawan Munawar Wenefrida Widyanti

Tim Pendukung:
Bambang C. Hadi Mona Sintia Hesti Marsono Mardiani Supriyadi

Lembaga Penelitian SMERU Evaluasi dampak sosial ekonomi proyek pegnembangan wilayah berbasis pertanian Sulawesi (SAADP): Pelajaran dari program kredit mikro di Indonesia/ Lembaga Penelitian SMERU. - Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU, 2004. 131 hal.; 28 cm. ISBN 979-989020-9 1. 2. Kredit Mikro Pertanian I. Judul

361.05/DDC 21

PRAKATA
Kami mengucapkan terima kasih kepada William H. Cuddihy, Guo Li, dan Maria Triyani dari Bank Dunia yang telah memfasilitasi proyek penelitian dan memberikan arahan teknis selama pelaksanaan penelitian ini. Selanjutnya ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua responden yang terlibat dan telah memberikan informasi berharga sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Kami menghargai bantuan yang diberikan oleh para kepala desa dan camat beserta stafnya, pengurus UPKD, fasilitator, pimpinan dan staf Bappeda di tingkat propinsi dan kabupaten di wilayah penelitian, serta informan kunci lainnya yang telah meluangkan waktu untuk penelitian ini. Terima kasih juga kami haturkan kepada staf Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri di Jakarta yang telah memberikan data dan informasi mengenai SAADP. Tak lupa, kami juga berterima kasih kepada para enumerator dari wilayah-wilayah penelitian yang telah membantu tim peneliti SMERU mengumpulkan informasi lapangan, juga kepada mereka yang memasukkan data ke komputer sehingga memungkinkan kami melakukan analisa data. Akhirnya, ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada Ketua Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah, para Ketua Bappeda tingkat kabupaten di wilayah Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, dan semua peserta seminar regional dalam rangka penyampaian hasil awal penelitian ini yang diselenggarakan di Palu atas saran-saran membangun yang kami terima.

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

RINGKASAN EKSEKUTIF
Sulawesi Agricultural Area Development Project (SAADP) adalah sebuah proyek yang bersifat ekonomikomersial yang bertujuan mengurangi kemiskinan di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, dibiayai dana pinjaman Bank Dunia, dan dilaksanakan pada periode Agustus 1996 hingga Desember 2003. Pada tahun 1999 proyek ini mengalami desain ulang sehingga fokusnya berubah dari pengembangan daerah pertanian menjadi Inisiatif Masyarakat Setempat (IMS) dengan penekanan pada kegiatan keuangan mikro yang di tingkat desa dikelola oleh Unit Pengelola Kegiatan/Keuangan Desa (UPKD). Evaluasi Dampak Sosial Ekonomi SAADP merupakan salah satu penelitian dalam rangka memberikan alternatif masukan bagi laporan akhir SAADP yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian SMERU pada Februari Mei 2004 atas permintaan Bank Dunia. Evaluasi hanya dilakukan terhadap pelaksanaan SAADP pascadesain ulang dan dikhususkan pada kegiatan keuangan mikro. Evaluasi ini bertujuan untuk: (a) menilai dampak sosial dan ekonomi SAADP; (b) mengetahui proses pelaksanaan SAADP di tingkat lokal yang berpengaruh pada hasil; dan (c) mempelajari pengalaman SAADP dalam rangka mengembangkan kebijakan dan merancang kegiatan lanjutan. Penelitian ini menggunakan kombinasi survei kuantitatif terhadap rumah tangga dan wawancara kualitatif mendalam terhadap informan kunci. Penelitian lapangan dilakukan di empat kabupaten, yaitu Kabupaten Donggala dan Tolitoli di Provinsi Sulteng, serta Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) dan Muna di Provinsi Sultra. Di setiap kabupaten, dipilih 3 desa peserta SAADP dan satu desa kontrol, yaitu desa yang tidak memperoleh SAADP dan memiliki kesamaan tipologi geografis dan karakteristik sosial-ekonomi penduduk dengan desa SAADP. Total responden berjumlah 618 rumah tangga, terdiri dari 408 rumah tangga peserta SAADP, 90 rumah tangga kontrol yang tinggal di desa SAADP sampel, dan 120 rumah tangga kontrol dari desa kontrol. Sampel rumah tangga dipilih secara acak, kecuali rumah tangga kontrol di desa SAADP dipilih secara purposive. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosialisasi di tingkat desa umumnya dilakukan lebih dari satu kali. Pada sosialisasi pertama fasilitator SAADP menjelaskan tujuan dan proses pelaksanaan proyek. Sosialisasi berikutnya merupakan musyawarah desa untuk membentuk pengurus UPKD. Meskipun demikian, hanya sekitar 60% responden SAADP yang menyatakan telah memperoleh penjelasan tentang proyek pertama kali dari pertemuan. Informasi kualitatif menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan skema pelaksanaan antara tahap awal proyek dan tahap berikutnya atau perguliran. Pada tahap awal digunakan kriteria masyarakat miskin dalam pemilihan peserta; pengajuan pinjaman dilakukan melalui kelompok dengan menggunakan proposal tertulis; waktu pencairan pinjaman relatif lebih lama karena harus menunggu turunnya dana dari pemerintah; dana pinjaman disalurkan secara langsung kepada peserta atau melalui kelompok; bunga pinjaman berkisar antara 15%18% per tahun; besarnya pinjaman diputuskan oleh tim verifikasi desa; dan pengembalian pinjaman dilakukan melalui ketua kelompok atau langsung kepada pengurus UPKD. Sedangkan pada tahap berikutnya, karena alasan ketidaklancaran pengembalian pinjaman yang telah disalurkan, pemberian pinjaman lebih difokuskan pada mereka yang memiliki usaha karena dinilai mampu mengembalikan pinjaman. Bahkan, pegawai negeri sipil (PNS) dan kepala desa beserta stafnya pun dapat meminjam. Umumnya masyarakat mengajukan pinjaman secara individu kepada pengurus UPKD dan dilakukan secara lisan. Hampir semua pinjaman disalurkan secara langsung kepada peserta dengan waktu pencairan yang relatif lebih cepat, bahkan ada peminjam yang menerima dana pada saat pengajuan. Bunga

ii

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

pinjaman ditetapkan lebih tinggi, yaitu antara 18%-24% per tahun. Sementara, umumnya jumlah pinjaman diputuskan oleh pengurus UPKD, dan pengembalian pinjaman diserahkan langsung oleh peserta kepada pengurus. Data kuantitatif menunjukkan bahwa sebagian besar responden rumah tangga (83%) mengaku menjadi peserta SAADP karena mempunyai usaha, dan hanya sekitar 17% rumah tangga yang mengaku terpilih karena tergolong miskin. Sebagian besar pinjaman (76%) diajukan melalui kelompok, dan hanya 69% menggunakan proposal tertulis, padahal sebagian besar merupakan pinjaman pada awal pelaksanaan proyek. Di samping itu, sekitar 35% proposal dibuat oleh pengurus UPKD. Secara umum waktu pencairan pinjaman relatif cepat, sekitar 64% pinjaman hanya memakan waktu paling lama satu bulan. Besarnya pinjaman bervariasi antara 200 ribu sampai 5 juta rupiah, dan terbanyak antara 500 ribu sampai 1 juta rupiah per peminjam. Sebagian besar pinjaman (92%) dikenai bunga antara 15 24% per tahun. Umumnya pembentukan kelompok hanya untuk memenuhi persyaratan proyek dan sebagian besar (87%) didasarkan pada kesamaan jenis usaha. Di samping itu, kelompok hanya berfungsi pada awal pelaksanaan, khususnya saat pengajuan dana. Pembentukan kelompok dari sekitar 49% pinjaman yang diajukan melalui kelompok dilakukan atas inisiatif pengurus UPKD. Hanya 33% dibentuk atas inisiatif masyarakat/peserta sendiri. Pengurus UPKD dipilih melalui musyawarah desa, namun hanya 59% responden rumah tangga SAADP mengaku terlibat dalam proses pembentukan. Keterlibatan responden pada umumnya (46%) hadir pada saat musyawarah, sekaligus ikut memilih. Sebagian besar responden SAADP (68%) menyatakan bahwa pengurus UPKD adalah warga biasa, sementara sekitar 31% responden menyatakan pengurus UPKD adalah tokoh masyarakat. Penilaian responden rumah tangga SAADP terhadap kemampuan pengurus UPKD bervariasi. Sebagian besar responden (71%) menilai bahwa pengurus mampu mengelola UPKD dan 66% responden menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan UPKD baik. Sekitar 52% responden SAADP menyatakan bahwa pengurus UPKD berperan dalam pengambilan keputusan tentang aturan internal UPKD dan mekanisme kredit dan 43% menyatakan bahwa masyarakat desa ikut berperan dalam pengambilan keputusan tersebut. Pada awal pelaksanaan proyek, jumlah pengurus UPKD berkisar antara 4-5 orang yang terdiri dari ketua, sekretaris/juru tagih, bendahara, seksi kegiatan ekonomi dan seksi kegiatan fisik. Beberapa saat setelah beroperasi, pengurus UPKD berkurang menjadi tiga orang yaitu ketua, sekretaris dan bendahara. Susunan kepengurusan seperti ini masih ditemui di hampir seluruh kabupaten sampel, kecuali di Kabupaten Muna yang umumnya hanya dijabat oleh ketua. Aturan program bahwa pengurus UPKD dipilih kembali setelah tiga tahun tidak diterapkan sama sekali. Meskipun di beberapa desa terdapat pergantian pengurus, hal itu bukan untuk memenuhi aturan melainkan karena alasan lain. Pengelolaan UPKD belum berlangsung secara transparan. Hanya sekitar 34% responden yang menyatakan ada atau pernah ada informasi tentang kondisi keuangan UPKD yang dapat diakses masyarakat. Pelaporan dan pengawasan kepada dan dari masyarakat melalui musyawarah desa pun relatif tidak berjalan. Hal ini karena fungsi tersebut tidak ditekankan pada saat sosialisasi proyek, rendahnya rasa memiliki masyarakat terhadap keberadaan proyek, forum musyawarah desa tidak berlanjut sebagaimana ketentuan, dan diperburuk oleh tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah.

iii

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Di samping itu, sistem pelaporan UPKD kepada lembaga lebih tinggi juga hanya berjalan cukup baik ketika proyek masih berjalan, khususnya saat fasilitator masih bertugas. Setelah itu, kegiatan pelaporan di Kabupaten Konsel dan Muna tidak berjalan, sedangkan di Kabupaten Tolitoli dan Donggala meskipun masih berjalan tetapi tidak rutin. Sebaliknya, fungsi pengawasan dari pihak yang lebih tinggi pun dinilai tidak memadai. Umumnya mereka hanya datang ke desa sekali dalam setahun, itu pun hanya pada awal pelaksanaan proyek. Fungsi pengawasan rutin yang dirasakan pengurus UPKD hanya diperoleh dari fasilitator yang biasanya datang sebulan sekali sambil melakukan pendampingan. Sistem pengelolaan UPKD yang kurang transparan, minimnya pendampingan, dan lemahnya pengawasan terhadap kinerja UPKD mengakibatkan beberapa kasus penyimpangan dana proyek. Warga desa, khususnya peserta SAADP, sangat mengharapkan adanya lembaga pengawas kinerja UPKD yang antara lain dapat melibatkan aparat pemerintahan desa atau lembaga lainnya. Upaya tersebut sebenarnya sudah dilakukan dengan dibentuknya Badan Pengawas (BP) UPKD di tingkat desa, tetapi masih terbatas di wilayah Sulteng dan kinerjanya belum maksimal. Pengurus UPKD pun mengharapkan adanya keterlibatan pemerintah desa dan kecamatan, khususnya dalam hal pengawasan terhadap pengembalian pinjaman dari masyarakat. Hal ini terkait dengan masalah wibawa dan wewenang terhadap masyarakat yang tidak dimiliki oleh pengurus UPKD. Di beberapa desa sampel, UPKD masih menjadi satu-satunya lembaga keuangan formal yang ada dengan kondisi yang sangat beragam. Beberapa UPKD berjalan relatif lancar, UPKD lain masih berjalan tetapi dengan sisa dana bergulir yang sangat terbatas, dan sisanya sudah tidak berjalan sama sekali. Masalah utama yang dihadapi sebagian besar UPKD adalah kurang lancar atau macetnya pengembalian pinjaman. Hal ini terutama karena kurangnya rasa memiliki dari masyarakat, sementara UPKD sendiri sulit menerapkan sanksi karena bukan merupakan lembaga berbadan hukum. UPKD juga tidak mempunyai hubungan khusus dengan bank formal, kecuali hanya sebagai nasabah biasa yang membuka rekening di BRI terdekat pada awal proyek untuk keperluan penerimaan dana. Pelaksanaan SAADP tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki. Keduanya dilibatkan sebagai penerima kredit, fasilitator, maupun pengurus UPKD, walaupun jumlahnya belum berimbang. Tidak adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam mengajukan kredit diakui oleh sebagian besar (85%) responden rumah tangga SAADP. Walaupun jumlah peminjam perempuan hanya 27% dari total peminjam, hal itu terjadi karena terdapat aturan bahwa setiap keluarga hanya diperbolehkan mengajukan satu pinjaman untuk satu tahun anggaran. Umumnya perempuan menggunakan pinjamannya sesuai dengan pengajuan, yaitu untuk modal usaha terutama usaha dagang. Dengan adanya SAADP, usaha dagang perempuan banyak mengalami kemajuan dan jumlah perempuan yang terjun dalam usaha dagang terus meningkat. SAADP juga berdampak positif terhadap perubahan peran perempuan dalam hal kegiatan ekonomi produktif (12%) yang signifikan secara statistik pada tingkat nyata 5%. Demikian pula peran perempuan dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga (5%), dan kegiatan di RT/RW/desa (6%) menunjukkan nilai positif, namun tidak signifikan. Guna membantu masyarakat, SAADP pun melibatkan tenaga fasilitator yang direkrut dari LSM/Ornop. Secara umum fasilitator berperan pada awal pelaksanaan proyek, yaitu dalam kegiatan sosialisasi program, fasilitasi pembentukan UPKD, pembentukan kelompok, dan membantu pembuatan serta penyeleksian proposal pinjaman awal. Setelah proyek berjalan, peran pendampingan fasilitator terhadap masyarakat semakin berkurang dan lebih terfokus pada UPKD dan biasanya hanya datang 12 kali per bulan. Oleh karena itu, tidak mengherankan hanya 67% responden rumah tangga SAADP yang mengetahui keberadaan

iv

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

fasilitator di desa. Mereka umumnya mengetahui fasilitator sebagai orang yang memberi penjelasan tentang program saat sosialisasi dan orang yang beberapa kali mendatangi UPKD. Kinerja fasilitator antardesa sampel bervariasi. Beberapa di antaranya dinilai baik, tetapi ada pula yang dinilai kurang baik dan salah memberikan informasi tentang dana proyek sehingga menjadi salah satu penyebab enggannya masyarakat mengembalikan pinjaman. Bahkan, ada juga fasilitator yang menyelewengkan dana proyek. Meskipun demikian, secara umum UPKD menilai keberadaan fasilitator cukup bermanfaat bagi pelaksanaan proyek dan masih dibutuhkan. Fasilitator dapat menjadi tempat konsultasi pengelolaan dana, menjadi sumber kekuatan moril dalam menghadapi tuntutan masyarakat dan dapat mendorong pengembalian pinjaman masyarakat. Fasilitator juga membantu UPKD dalam hal pembukuan dan pembuatan laporan pelaksanaan proyek. Sebagian besar responden SAADP (73%) menyatakan bahwa keterlibatan mereka dalam perencanaan atau pelaksanaan kegiatan di tingkat lokal tidak mengalami perubahan. Dampak SAADP terhadap peningkatan keterlibatan tersebut adalah 6%, namun tidak signifikan secara statistik. Dampak terhadap peningkatan keterlibatan dalam kegiatan berorganisasi di tingkat lokal juga tidak signifikan. Sedangkan dampaknya terhadap peningkatan keterlibatan dalam upacara adat adalah 12% dan signifikan pada tingkat nyata 1%. Pengaruh SAADP terhadap penguatan kelembagaan lokal pun relatif kecil, dengan indikasi: (i) forum musyawarah desa tidak lebih meningkat dibanding sebelum adanya proyek ini, kecuali pada awal pelaksanaan; (ii) sistem kelompok tidak berjalan dengan baik; (iii) kegiatan di tingkat RT/RW/desa tidak mengalami banyak perubahan; dan (iv) sistem UPKD kurang memberikan penguatan terhadap lembaga lain yang ada di desa. Di samping itu, tidak ada indikasi bahwa pelaksanaan SAADP mendorong transparansi pada pemerintahan lokal. Hal ini karena prinsip transparansi pada pengelolaan UPKD itu sendiri pada umumnya tidak dilakukan secara penuh, kecuali pada tahap awal penyaluran dana. Sebagian besar (90%) responden berpendapat bahwa keberadaan SAADP bermanfaat bagi mereka, karena menyediakan modal yang dapat digunakan untuk menambah modal usaha yang telah ada, membuka usaha baru, atau membiayai keperluan lain. Sebagian besar responden (93%) juga mengaku bahwa kredit yang diperolehnya digunakan sesuai dengan proposal, dan hampir seluruhnya (99%) untuk modal usaha, baik usaha tani (tanaman pangan dan perkebunan), usaha dagang, nelayan, industri rumah tangga, maupun usaha lain. Di semua wilayah sampel terdapat rumah tangga yang merasakan adanya peningkatan wawasan berusaha. Pengaruh proyek SAADP terhadap hal ini mencapai 15% dan signifikan secara statistik pada tingkat nyata 1%. Berdasarkan informasi kualitatif, tambahan pengetahuan responden umumnya diperoleh dari tetangga, teman, atau pengalaman sendiri. Jenis pengetahuan yang paling banyak meningkat adalah tentang diversifikasi usaha. Sedangkan jenis pengetahuan yang paling banyak memperoleh dampak dari SAADP secara berturut-turut adalah teknik produksi (11%), pemasaran (8%), dan administrasi/keuangan (7%). Dampak terhadap ketiga jenis pengetahuan tersebut secara statistik signifikan pada tingkat nyata 1%. Sementara dampak terhadap peningkatan pengetahuan tentang diversifikasi usaha (6%) tidak signifikan secara statistik. Dampak SAADP terhadap perubahan praktik berusaha juga positif (5%) namun tidak signifikan, dan pengaruh terhadap perubahan masing-masing jenis praktik usaha relatif kecil. Pengaruh positif terjadi pada praktik pemasaran (2%), teknik produksi (9%), dan administrasi/keuangan (1%). Sedangkan pada diversifikasi usaha berdampak negatif (-4%). Pengaruh yang signifikan secara statistik hanya terhadap praktik teknik produksi, yaitu pada tingkat nyata 1%.

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Berbagai informasi kualitatif menyatakan bahwa SAADP menyebabkan munculnya usaha baru di semua lokasi sampel dengan jenis dan jumlah usaha yang bervariasi, tergantung pada kreativitas masyarakat dan kelancaran pelaksanaan SAADP. Namun, tidak ada pola yang senada antara diversifikasi usaha dengan peningkatan kemampuan responden dalam menghadapi guncangan ekonomi. Meskipun dampak SAADP terhadap diversifikasi negatif, dampak terhadap peningkatan kemampuan menghadapi guncangan ekonomi positif (8%). SAADP berdampak positif terhadap penambahan semua jenis wawasan berusaha tani responden pertanian. Dampak tertinggi terjadi pada pengetahuan tentang cara mengelola lahan (13%) dan penggunaan pupuk (12%), keduanya signifikan pada tingkat nyata 1%. Dampak terhadap pengetahuan pemasaran (8%) signifikan pada tingkat nyata 5%, sedangkan terhadap pengetahuan penggunaan pestisida (7%) dan penanganan pascapanen (4%), tidak signifikan. Dampak SAADP terhadap perubahan praktik usaha tani juga positif. Dampak tertinggi terjadi pada praktik mengelola lahan (15%) yang signifikan pada tingkat nyata 5%. Dampak pada praktik penggunaan pupuk (10%) dan pemasaran hasil (8%), signifikan pada tingkat nyata 1%. Sedangkan dampak terhadap praktik penggunaan pestisida dan penanganan pascapanen tidak signifikan. Secara umum tingkat penggunaan pupuk dan pestisida relatif kecil, kecuali di Kabupaten Tolitoli. Namun demikian, terdapat sejumlah rumah tangga yang meningkatkan penggunaan input pertaniannya. SAADP berdampak positif terhadap penggunaan pupuk hijau (9%) dan pestisida (12%) yang keduanya signifikan pada tingkat nyata 1%, serta terhadap penggunaan pupuk buatan (8%) yang signifikan pada tingkat nyata 5%. Sebagian besar (74%) responden SAADP mengakui bahwa pendapatan nominal rumah tangga mereka mengalami peningkatan. Secara total selisih proporsi rumah tangga SAADP dan kontrol yang mengalami peningkatan pendapatan nominal adalah 9% yang signifikan pada tingkat 5%. Walaupun demikian, dampak SAADP terhadap rata-rata perubahan pendapatan riil rumah tangga adalah kecil (0,5%) meskipun positif, seperti juga terhadap rata-rata perubahan pengeluaran riil (5,4%), tidak signifikan secara statistik. SAADP menunjukkan pengaruh positif terhadap semangat menabung walaupun tidak signifikan secara statistik. Sebagian besar responden menabung dalam bentuk uang, baik di bank maupun di rumah. Sementara itu, sebagian besar kondisi rumah dan fasilitas rumah tangga responden tidak mengalami banyak perubahan. Dampak SAADP terhadap perubahan kondisi rumah dan fasilitasnya secara umum relatif kecil dan tidak menunjukkan pola yang pasti. Dampak SAADP terhadap perubahan kepemilikan sebagian besar barang berharga (seperti barang elektronik, sepeda dan sepeda motor), tanah, dan ternak pun tidak menunjukkan pengaruh yang pasti. Dilihat dari kategori desa terpilih, sasaran SAADP terhadap penanggulangan kemiskinan relatif tepat karena meliputi desa miskin, seperti desa yang terkena dampak kekeringan dan krisis ekonomi, dan desa IDT. Namun, sasaran rumah tangga miskin yang digunakan pada awal pelaksanaan sudah bergeser kepada mereka yang memiliki usaha atau mampu mengembalikan pinjaman. Hasil survei menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar penerima pinjaman adalah masyarakat yang berpendidikan rendah atau tamatan sekolah dasar ke bawah (58%), namun peminjam dari kalangan berpendidikan SLTA, yang umumnya merupakan golongan relatif mampu juga tidak kecil (22%). Di samping itu, rumah tangga yang relatif lebih mampu cenderung lebih sering menerima pinjaman. Proporsi rumah tangga yang menerima tiga kali pinjaman atau lebih, 59% berasal dari kelompok yang relatif mampu. Data kuantitatif juga menunjukkan bahwa dampak SAADP terhadap penanggulangan kemiskinan cenderung positif, namun relatif kecil dan secara statistik tidak signifikan. Dampak terhadap kondisi rumah tangga tetap miskin (-3%) dan berubah dari tidak miskin menjadi miskin (-1%) bernilai negatif. Sedangkan dampak terhadap rumah tangga yang tetap tidak

vi

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

miskin (3%) dan miskin menjadi tidak miskin (2%) bernilai positif. Artinya, dibandingkan dengan rumah tangga kontrol, proporsi rumah tangga SAADP yang tetap miskin cenderung lebih rendah, sebaliknya proporsi rumah tangga yang tetap tidak miskin cenderung lebih tinggi. Proporsi rumah tangga SAADP yang berubah dari miskin menjadi tidak miskin cenderung lebih tinggi dan sebaliknya dari tidak miskin menjadi miskin cenderung lebih rendah. Sementara itu, dampak terhadap kesenjangan kemiskinan ditunjukkan oleh selisih perubahan angka Rasio Gini pada peserta SAADP dan kontrol yakni 0,0305. Selisih ini mengindikasikan bahwa penurunan tingkat kesenjangan kesejahteraan pada peserta SAADP lebih rendah dibandingkan pada peserta kontrol. Dampak SAADP terhadap indikator kesejahteraan rumah tangga miskin lainnya juga secara umum tidak signifikan meskipun positif. Dampak terhadap kemampuan dalam membiayai pendidikan anak 11%, kemampuan mendapatkan pelayanan kesehatan 10%, berpartisipasi dalam upacara adat 10% dan dampak terhadap kemampuan menghadapi guncangan ekonomi 4%. Berdasarkan hasil evaluasi dapat disimpulkan bahwa keberhasilan proyek SAADP dilihat dari perkembangan UPKD, mekanisme pelaksanaan, dan dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat bervariasi antarwilayah penelitian. Namun demikian, secara keseluruhan proyek SAADP dinilai kurang berhasil karena terdapat UPKD yang macet dan dampak SAADP terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat relatif kecil. Mengingat banyaknya kelemahan dalam pelaksanaan proyek, macetnya UPKD yang dapat mempengaruhi kinerja UPKD lain, besarnya sumber daya dan dana yang sudah dikeluarkan, dan pentingnya keberadaan UPKD bagi masyarakat, maka jika proyek SAADP akan dilanjutkan, sebaiknya difokuskan untuk menghidupkan, memperbaiki dan mengembangkan UPKD yang sudah ada supaya dapat menjadi contoh bagi pelaksanaan proyek selanjutnya. UPKD yang tidak berjalan baik atau macet perlu diadakan penyelesaian melalui musyawarah desa yang difasilitasi pemda setempat, misalnya dengan membentuk tim khusus untuk menangani tunggakan. UPKD dengan kinerja baik perlu dikembangkan sambil memperbaiki beberapa aspek dalam pelaksanaan, yaitu: (i) sambil menunggu disahkan RUU keuangan mikro, kelembagaan UPKD perlu ditingkatkan statusnya secara hukum, misalnya melalui Peraturan Daerah agar mempunyai kekuatan dan kewenangan bertindak secara hukum; (ii) perlu penyempurnaan kelembagaan UPKD dalam hal aturan main, struktur kepengurusan, pengawasan dan pelaporan supaya dapat tumbuh menjadi lembaga keuangan yang mandiri; (iii) UPKD disarankan beroperasi sebagai badan usaha, bukan sebagai agen pembangunan agar lebih menjamin keberlangsungan usaha; (iv) peningkatan kemampuan pengurus UPKD dilakukan secara terus menerus; (v) ruang lingkup UPKD dipertahankan pada kegiatan produktif untuk menjamin pengembalian dan perputaran uang; (vi) perlu dipertimbangkan penetapan jaminan yang mudah dipenuhi tetapi dapat mengikat masyarakat untuk menghindari kemacetan tunggakan; (vii) penyaluran kredit dapat dilakukan secara berkelompok atau individu. Jika menggunakan pendekatan kelompok, maka pengembangan kelompok harus dijalankan secara konsisten dengan menetapkan standar baku tertentu; (viii) diperlukan komitmen pemda untuk mendukung secara serius perkembangan UPKD; (ix) pengawasan, pembinaan dan pelatihan sangat penting dan harus terintegrasi dalam setiap tahap; (x) peran fasilitator dalam membimbing peserta mengembangkan usaha dan mengelola pinjaman perlu ditingkatkan. Fasilitator juga perlu diberikan insentif serta pelatihan yang memadai untuk menunjang kinerjanya; dan (xi) pelaksanaan program sejenis di masa mendatang tidak membentuk lembaga baru melainkan menggunakan lembaga yang sudah ada seperti UPKD supaya dapat memperkuat kinerja lembaga yang ada, menghindari persaingan yang tidak sehat, dan tidak menimbulkan keadaan yang kontraproduktif.

vii

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

DAFTAR ISI
PRAKATA RINGKASAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Metode Penelitian 1.4 Jadwal Kegiatan 1.5 Struktur Laporan KARAKTERISTIK SAMPEL 2.1 Karakteristik Desa 2.2 Karakteristik Responden 2.3 Pengalaman Responden Memperoleh Kredit GAMBARAN RINGKAS SAADP 3.1 Tujuan, Desain, dan Karakteristik Program 3.2 Sasaran Penerima Bantuan 3.3 Kriteria Desa dan Alokasi Dana Per Desa 3.4 Pengelola Proyek 3.5 Mekanisme Pelaksanaan PROSES PELAKSANAAN PROYEK 4.1 Tim Pelaksana 4.2 Sosialisasi 4.3 Peserta SAADP: Kriteria dan Proses Seleksi 4.4 Mekanisme Pelaksanaan 4.5 Sistem Kelompok SISTEM UPKD 5.1 Proses Pembentukan UPKD 5.2 Pengurus UPKD 5.3 Keputusan tentang Aturan Internal UPKD 5.4 Sistem Pelaporan dan Pengawasan 5.5 Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Keuangan UPKD 5.6 Hubungan UPKD dengan Bank Formal 5.7 UPKD dan Pengembangan Pasar Uang Lokal 5.8 Status dan Kondisi Proyek SAADP Saat Ini KETERLIBATAN PEREMPUAN DAN ORNOP DALAM SAADP 6.1 Keterlibatan Perempuan 6.2 Keterlibatan Ornop i ii viii x xv 1 1 2 3 4 5 6 6 7 9 14 14 15 16 16 17 19 19 19 21 24 32 35 35 36 39 41 46 47 48 48 50 50 54

II.

III.

IV.

V.

VI.

viii

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

VII.

PERENCANAAN DAERAH, KELEMBAGAAN, DAN TRANSPARANSI LOKAL 59 7.1 Partisipasi Peserta dalam Perencanaan Desa dan Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat 59 7.2 Penguatan Kelembagaan di Tingkat Lokal 61 7.3 Transparansi Tata Kelola Pemerintah Daerah 62 DAMPAK SOSIAL EKONOMI 8.1 Pemanfaatan Kredit SAADP 8.2 Wawasan dan Praktik Berusaha 8.3 Wawasan dan Praktik Usaha tani 8.4 Pendapatan Per Kapita 8.5 Perilaku Menabung 8.6 Fasilitas dan Aset Rumah Tangga 63 63 64 70 76 79 80

VIII.

IX.

DAMPAK SAADP TERHADAP PENANGGULANGAN KEMISKINAN 84 9.1 Kelompok yang Diuntungkan dan Dirugikan 84 9.2 Peran SAADP dalam Mengurangi Kemiskinan 86 KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN 10.1 Kesimpulan 10.2 Saran Kebijakan 92 92 94 97 99

X.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

ix

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.1. 2.1.2. 2.2.1. Karakteristik Desa Sampel Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol yang Menerima Program Pemerintah Non-SAADP (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Utama (%) Halaman 6 7 8

2.2.2.
2.3.1. 2.3.2. 2.3.3. 2.3.4. 2.3.5. 2.3.6. 4.2.1. 4.3.1. 4.3.2. 4.3.3. 4.4.1. 4.4.2. 4.4.3. 4.4.4. 4.4.5.

Rata-rata Jumlah Anggota Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga yang Berusaha pada Rumah Tangga SAADP dan Kontrol (Orang) 8
Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Jumlah Peserta SAADP (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Frekuensi 9

Memperoleh Kredit SAADP (%)


Proporsi Penerima SAADP Berdasarkan Tingkat Pendidikan (%) Jumlah Rumah Tangga yang Memperoleh Kredit Non-SAADP Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Frekuensi Memperoleh Kredit Non-SAADP (%) Proporsi Pinjaman Kredit Non-SAADP Berdasarkan Sumbernya (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Cara Memperoleh Informasi tentang SAADP (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Alasan Menjadi Peserta SAADP (%) Proporsi Rumah Tangga Responden Berdasarkan Penilaian Kelompok Peminjam SAADP (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol tentang Transparansi Seleksi Peserta SAADP (%) Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Proses Pengajuan Kredit (%) Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Pembuat Proposal (%) Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Jenis Dokumen yang Menjadi Persyaratan Kredit Tambahan (%) Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Lamanya Waktu Pengajuan hingga Pencairan Kredit (%) Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Penggunaan dan Besarnya Pinjaman (%)

10
10 11 11 12 20 21 22 23 24 25 27 28 29

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 4.4.6. 4.4.7. 4.4.8. 4.5.1. 4.5.2. Proporsi Pinjaman Berdasarkan Perbandingan Realisasi terhadap Pengajuan Besarnya Pinjaman (%) Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Tingkat Bunga Per Tahun (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pengakuan Pemberian Insentif kepada Pengurus UPKD (%) Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan yang Berinisiatif Membentuk Kelompok (%) Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Dasar Pembentukan Kelompok (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP yang Mengetahui dan Terlibat dalam Proses Pembentukan UPKD (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Cara Penentuan Pengurus UPKD (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Latar Belakang Pengurus UPKD (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Penilaian terhadap Kemampuan Pengurus UPKD (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Penyebab Pengurus UPKD Kurang/Tidak Mampu Mengelola UPKD (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Penilaian terhadap Pelayanan yang Diberikan Pengurus UPKD (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Pihak yang Berperan dalam Mengambil Keputusan tentang Aturan Internal UPKD (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Jenis Aturan yang Kesepakatannya Melibatkan Masyarakat (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pengetahuan tentang Keberadaan Informasi/Laporan Keuangan UPKD untuk Masyarakat (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pengetahuan tentang Bentuk Laporan Keuangan UPKD untuk Masyarakat (%) Proporsi Peminjam dan Pinjaman SAADP Berdasarkan Jenis Kelamin (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Perbedaan Perlakuan terhadap Perempuan dalam Pengajuan Kredit (%)

Halaman 29 31 31 33 33 35 35 37 38

5.1.1.
5.1.2. 5.2.1. 5.2.2. 5.2.3.

39 39

5.2.4. 5.3.1.

40

5.3.2.

41

5.4.1.

42 43 50

5.4.2. 6.1.1. 6.1.2.

51

xi

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 6.1.3. 6.1.4. 6.2.1. 6.2.2. 6.2.3. 6.2.4. 6.2.5. 6.2.6. 7.1.1. Proporsi Pinjaman Perempuan Berdasarkan Jenis Pengajuan Kredit SAADP (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Persepsi terhadap Peningkatan Peran Perempuan (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP yang Mengetahui Keberadaan Fasilitator SAADP (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Keberadaan Fasilitator SAADP Saat Ini (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Kegiatan yang Dilakukan Fasilitator (%)

Halaman 52 53 55 55 56 56 57 58

Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Tingkat Keterlibatan Fasilitator dalam Pelaksanaan Proyek (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP yang Mengetahui Fasilitator Berdasarkan Pendapat tentang Manfaat Fasilitator (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Kebutuhan terhadap Fasilitator (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Keterlibatan dalam Perencanaan/Pelaksanaan Kegiatan di Tingkat RT/RW/Desa (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Peningkatan Keterlibatan dalam Upacara Adat (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Keterlibatan dalam Kegiatan Berorganisasi di Tingkat RT/RW/Desa (%) Proporsi Rumah Tangga yang Berpendapat SAADP Bermanfaat dan Kesesuaian Pengajuan dengan Penggunaan Kredit (%) Proporsi Rumah Tangga yang Merasakan Penambahan Wawasan Berusaha (%) Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Penambahan Wawasan Berusaha (%) Proporsi Rumah Tangga yang Merubah Praktik Berusaha (%) Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Perubahan Praktik Berusaha (%) Proporsi Rumah Tangga yang Merasa Mengalami Peningkatan Kemampuan dalam Menghadapi Guncangan Ekonomi (%) Proporsi Rumah Tangga Pertanian yang Merasakan Penambahan Pengetahuan Berusaha Tani (%)

60 60

7.1.2. 7.1.3.

60

8.1.1.

63 65 66 67 68 70 71

8.2.1. 8.2.2. 8.2.3. 8.2.4. 8.2.5. 8.3.1.

xii

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 8.3.2. 8.3.3. 8.3.4. 8.4.1. 8.4.2. 8.4.3. 8.5.1. 8.5.2. 8.5.3. 9.1.1. 9.2.1. Proporsi Rumah Tangga Pertanian yang Mempraktikkan Peningkatan Pengetahuan Berusaha Tani (%) Proporsi Rumah Tangga Pertanian yang Meningkatkan Penggunaan Input Pertanian (%) Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Sistem Penanganan Lahan Pertanian (%) Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Pengakuan mengenai Perubahan Pendapatan Nominal Rumah Tangga (%) Perubahan Pendapatan Riil Per Kapita Per Bulan Rata-rata Sebelum dan Setelah Proyek SAADP Perubahan Pengeluaran Total Riil Per Kapita Per Bulan Rata-rata Sebelum dan Setelah Proyek SAADP Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Perilaku Menabung Setelah Ada Proyek SAADP (%) Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Bentuk Tabungan (%) Proporsi Rumah Tangga yang Menabung Uang Berdasarkan Tempat Menabung (%) Proporsi Kelompok Kuintil Pendapatan Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Frekuensi Pinjaman (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Perubahan Kondisi Kemiskinan antara Sebelum dan Sesudah Ada Proyek SAADP (%) Perubahan Rasio Gini Sebelum dan Sesudah SAADP Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Kategori Miskin yang Mengakui Mengalami Peningkatan Kemampuan(%)

Halaman 73 74 75 76 77 77 78 79 80 85

87 89 90

9.2.2. 9.2.3.

xiii

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.1. 4.1. 8.1. 8.2. 8.3a. 8.3b. 8.3c. 8.4a. 8.4b. 8.4c. Alokasi Dana SAADP di Desa Sampel Pinjaman SAADP yang Realisasinya Lebih Kecil dari Pengajuan (%) Proporsi Frekuensi Pinjaman SAADP Berdasarkan Jenis Kegiatan/Usaha yang Dibiayai Kredit (%) Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Perubahan Jumlah/ Jenis Usaha (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Perubahan Kondisi Fasilitas Tempat Tinggal (%) Proporsi Rumah Tangga Kontrol Berdasarkan Perubahan Kondisi Fasilitas Tempat Tinggal (%) Selisih Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Halaman 109 110 111 112 113 115

Berdasarkan Perubahan Kondisi Fasilitas Tempat Tinggal (%)


Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Perubahan Kepemilikan Barang Berharga (%) Proporsi Rumah Tangga Kontrol Berdasarkan Perubahan Kepemilikan Barang Berharga (%) Selisih Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Perbedaan Perubahan Kepemilikan Barang Berharga (%) Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Perubahan Kepemilikan Lahan dan Ternak (%) Proporsi Rumah Tangga Kontrol Berdasarkan Perubahan Kepemilikan Lahan dan Ternak (%) Selisih Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Perbedaan Perubahan Kepemilikan Lahan dan Ternak (%) Kondisi Rumah dan Fasilitasnya

117
119 121

123 125 127

8.5a. 8.5b. 8.5c.

129 131

8.6.

xiv

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

DAFTAR SINGKATAN
Bappeda BKKBN BPD BPD BPKB BPS BP-UPKD BRI BTN Ditjen Bangda ICR IMS Juklak Kadus KK KPKN KPS KTP LEPPSEK LSM MCK MTR Ornop PBB PEMPP PMD PNS PPK PPL P4-IMS P4K RT RW SAADP SD SMP SMU SP2D Sulteng Sultra SUTA TKPP TPP UEP UPKD Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Bank Pembangunan Daerah Badan Perwakilan Desa Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Badan Pusat Statistik Badan Pengawas - Unit Pengelola Kegiatan/Keuangan Desa Bank Rakyat Indonesia Bank Tabungan Negara Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Implementation Completion Report Inisiatif Masyarakat Setempat Petunjuk Pelaksanaan Kepala Dusun Kepala Keluarga Kantor Pembendaharaan dan Kas Negara Keluarga Pra-Sejahtera Kartu Tanda Penduduk Lembaga Pengkajian dan Pembinaan Sosial Ekonomi Lembaga Swadaya Masyarakat Mandi, cuci, dan kakus Mid-term Review Organisasi Non-Pemerintah Pajak Bumi dan Bangunan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pinggir Pantai Pembangunan Masyarakat Desa Pegawai Negeri Sipil Program Pengembangan Kecamatan Petugas Penyuluh Lapangan Pembangunan Prasarana Pendukung Program IMS Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil Rukun Tetangga Rukun Warga Sulawesi Agricultural Area Development Project Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Umum Surat Perjanjian Pemberian Dana Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sistem Usaha Tani Tim Koordinasi Pengelolaan Program Tim Pengarah Pusat Usaha Ekonomi Produktif Unit Pengelola Kegiatan/Keuangan Desa

xv

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

I.
1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN

Sebagai salah satu upaya mengurangi kemiskinan di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, Pemerintah Indonesia dengan bantuan Bank Dunia berinisiatif mengembangkan Sulawesi Agricultural Area Development Project (SAADP), sebuah proyek yang bersifat ekonomikomersial, dibiayai dari dana pinjaman, dan dilaksanakan pada periode Agustus 1996 hingga Desember 2003. Proyek ini bertujuan meningkatkan pendapatan petani, mengurangi kesenjangan pendapatan dan kesenjangan tingkat kesejahteraan, serta meningkatkan daya dukung pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan usaha ekonomi.1 Kegiatan SAADP terdiri dari empat bagian utama, yaitu replikasi sistem usaha tani (SUTA), penggaduhan ternak, usaha ekonomi produktif, dan pembangunan prasarana pendukung program, dan inisiatif masyarakat setempat (IMS).2 Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan pada tahun 1999, maka dilakukan perubahan mendasar pada fokus kegiatan SAADP, yaitu dari pengembangan daerah pertanian menjadi inisiatif masyarakat setempat (IMS). Perubahan tersebut bertujuan mengatasi kerumitan struktur pengelolaan dan kerancuan yang disebabkan oleh rancangan awal proyek.3 Setelah perubahan mendasar tersebut dilakukan, sebagian besar aktivitas proyek dikelompokkan dalam IMS yang dilaksanakan melalui unit bentukan baru, yaitu Unit Pengelola Kegiatan/Keuangan Desa (UPKD) dengan penekanan pada kegiatan keuangan mikro. Kegiatan IMS ini dilaksanakan hingga berakhirnya proyek. Pemerintah Indonesia telah lama melaksanakan kegiatan keuangan mikro. Namun, sebagian besar mengalami kendala, antara lain karena masih melekatnya anggapan masyarakat bahwa dana pemerintah yang disalurkan melalui program/proyek tertentu merupakan dana hibah yang tidak perlu dikembalikan.4 Melalui SAADP ini pemerintah memperkenalkan kegiatan keuangan mikro yang hampir sama dengan yang telah dilakukan sebelumnya. Pertanyaannya adalah apakah lembaga keuangan yang dibentuk melalui SAADP akan lebih mampu bertahan dan berkembang? Selain itu, apakah SAADP memberikan kontribusi dan dampak positif terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat? Oleh karena itu, penting untuk dapat mengetahui pelaksanaan proyek dan dampaknya terhadap masyarakat, terutama karena dana yang dikelola UPKD adalah dana pinjaman. Selain itu, juga penting untuk mengetahui peran keberadaan UPKD bagi masyarakat dan apakah layak untuk dipertahankan dan ditingkatkan kemampuannya sehingga dalam jangka panjang dapat secara mandiri membantu masyarakat dalam menyediakan modal usaha.
1

Lihat Bab III mengenai tujuan SAADP secara rinci berdasarkan Juklak. Sedangkan berdasarkan TOR Bank Dunia, SAADP bertujuan mengurangi kemiskinan, meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani, mempromosikan kegiatan pertanian yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan setempat, memperkuat kelembagaan lokal, dan meningkatkan partisipasi peserta dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Berdasarkan TOR Bank Dunia, terdiri dari pengembangan daerah pertanian, peningkatan kemampuan, penelitian sistem bercocok tanam, dan inisiatif masyarakat setempat (IMS). Lihat Bab III.

Lihat beberapa laporan SMERU: Kredit Kecil Perdesaan di Kupang, Minahasa, Tanggamus, Cirebon, dan Kredit Kecil Perkotaan di Jogjakarta, 2002.

17

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia saat ini sedang mendiskusikan kemungkinan proyek lanjutan yang bertujuan meningkatkan kemampuan dan mengubah UPKD menjadi lembaga keuangan mikro yang berkelanjutan. Guna memastikan proyek lanjutan dapat menyerap pengalaman dan pelajaran dari SAADP secara maksimal, laporan akhir (Implementatioin Completion Report/ICR) SAADP diusulkan menjadi bahan pembelajaran. Dalam rangka memberikan alternatif masukan bagi laporan akhir SAADP, Lembaga Penelitian SMERU (disingkat SMERU) atas permintaan Bank Dunia telah melakukan studi tentang Evaluasi Dampak Sosial Ekonomi SAADP pada Februari hingga Mei 2004. Laporan ini menyajikan temuan dari hasil penelitian tersebut. 1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pelaksanaan SAADP sejak dilakukan perubahan fokus dari pengembangan daerah pertanian menjadi IMS pada tahun 1999, khususnya kegiatan keuangan mikro. Tujuan umum evaluasi ini adalah: (a) menilai dampak sosial dan ekonomi SAADP; (b) mengetahui proses pelaksanaan SAADP di tingkat lokal yang berpengaruh pada hasil; dan (c) mempelajari pengalaman SAADP dalam rangka pengembangan kebijakan dan perancangan kegiatan lanjutan. Evaluasi dampak sosial-ekonomi ini secara khusus akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (i) Di wilayah proyek, kelompok manakah yang memperoleh keuntungan dari proyek dan kelompok mana yang tidak? Kriteria apa yang digunakan dalam memilih peserta proyek? Apakah pelaksanaan proyek berperan dalam penurunan kemiskinan? Bagaimana pemilihan desa proyek dan metode pelaksanaan mempengaruhi sasaran dan pencapaian tujuan proyek? Apa keuntungan dan kerugian peserta proyek? Apakah pendapatan per kapita peserta mengalami peningkatan? Apakah sumber pendapatan mereka telah berkembang sehingga lebih tahan terhadap goncangan dari luar? Apakah kegiatan ekonomi tradisional mengalami perbaikan? Apakah produktivitas ekonomi meningkat? Bagaimanakah hubungan antara pelaksanaan proyek dengan manfaat yang terlihat?

(ii)

(iii) Apakah proyek ini telah meningkatkan partisipasi peserta dalam perencanaan desa dan pelaksanaan kegiataan masyarakat? Apakah pelaksanaan proyek telah memperkuat kelembagaan lokal? Apakah proyek telah meningkatkan transparansi tata kelola lokal? (iv) Apakah sistem UPKD telah meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola keuangan? Apakah UPKD meningkatkan kapasitas pengelolaan keuangan (misalnya dalam mengelola risiko, arus kas, pembukuan, dan lain-lain)? Bagaimana hubungan antara UPKD dengan bank formal? Apakah UPKD turut mengembangkan pasar keuangan lokal? (v) Seberapa besarkah keterlibatan perempuan dalam pelaksanaan proyek? Apakah perempuan diuntungkan atau justru dirugikan? Apakah kriteria pemilihan peserta bias jender?

(vi) Seberapa jauhkah keterlibatan organisasi nonpemerintah (ornop) dalam pelaksanaan proyek? Apa keuntungan dari keterlibatan ornop dalam proyek? Bagaimana sikap masyarakat secara umum terhadap keterlibatan ornop? 18
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

1.3.

Metode Penelitian

Studi ini menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif melalui survei dan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam terhadap informan kunci. Pengumpulan data dalam survei kuantitatif menggunakan kuesioner, sementara wawancara mendalam menggunakan panduan wawancara. Kuesioner disusun berdasarkan pertanyaan kunci yang harus digali pada studi ini, dan ditambah dengan beberapa pertanyaan pendukung untuk memberi penjelasan. Sementara itu, informasi kualitatif dari informan kunci ditekankan pada pemahaman umum tentang pelaksanaan proyek dan beberapa penjelasan umum yang tidak dapat dijelaskan melalui kuesioner. Dalam rangka memastikan keterwakilan sampel, survei dilakukan di kedua provinsi pelaksana SAADP, yaitu Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Dengan menggunakan data dari Ditjen Bina Pembangunan Daerah - Departemen Dalam Negeri (Ditjen Bangda) dan Bank Dunia di Jakarta, tim peneliti SMERU memilih 4 kabupaten sampel, masingmasing 2 kabupaten di setiap provinsi. Dasar pemilihan yang digunakan adalah jumlah alokasi dana SAADP terbesar, variasi jarak dari ibu kota provinsi (relatif dekat dan relatif jauh), kemudahan akses ke lokasi, dan kondisi keamanan. Di setiap kabupaten, dipilih 1-2 kecamatan dengan kriteria jumlah desa terbanyak yang terlibat dalam proyek SAADP, jumlah alokasi dana SAADP terbesar, dan ketersediaan desa kontrol. Di 1-2 kecamatan sampel, dipilih 3 desa yang memperoleh realisasi dana SAADP pertama tahun 1999 hingga pertengahan 2002, mewakili variasi tipologi geografi kabupaten (pantai dan bukan pantai), memperoleh alokasi dana SAADP terbesar dan mempunyai jumlah penduduk terbesar di antara desa lainnya di kecamatan tersebut. Di samping desa peserta SAADP, penelitian ini juga mengikutsertakan desa kontrol, yaitu desa yang tidak memperoleh SAADP untuk mengetahui dampak bersih dari pelaksanaan proyek. Desa kontrol dipilih di kecamatan sampel atau di kecamatan terdekat, sedapat mungkin bukan merupakan desa yang memperoleh proyek sejenis (misalnya PPK dan P4K) 5, dan memiliki kesamaan dengan desa SAADP dalam hal kondisi tipologi geografi dan karakteristik sosial-ekonomi penduduk. Data kabupaten, kecamatan dan desa yang sesuai kriteria pemilihan telah tersedia di Jakarta, sehingga pemilihannya dilakukan di Jakarta. Khusus untuk pemilihan kecamatan dan desa, konfirmasi di lapangan perlu dilakukan sehingga dapat diubah sesuai perkembangan informasi lapangan. Informasi lapangan juga sangat ditekankan dalam penentuan desa kontrol supaya dapat terpilih desa yang mempunyai karakteristik sosial-ekonomi hampir sama dengan desa SAADP dalam hal kondisi rumah, mata pencaharian utama, dan tingkat penghidupan masyarakat. Secara total, tim peneliti SMERU telah mewawancarai 618 responden rumah tangga, terdiri dari 408 rumah tangga SAADP dan 210 rumah tangga kontrol. Di setiap desa SAADP diwawancarai sekitar 34 responden rumah tangga SAADP dan 7 responden rumah tangga kontrol yang belum pernah menjadi peserta SAADP. Responden rumah tangga SAADP adalah mereka yang pertama kali menerima SAADP pada tahun 2000 hingga awal 2003. Sementara itu, di setiap desa kontrol diwawancara 30 responden rumah tangga kontrol. Baik
5

PPK= Program Pengembangan Kecamatan yang didanai dengan pinjaman Bank Dunia dan P4K=Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil yang juga dibantu oleh Bank Dunia dan ADB.

19

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

responden rumah tangga kontrol di desa kontrol maupun responden rumah tangga SAADP dipilih secara random dengan mempertimbangkan ketersebaran lokasi, yaitu berasal dari 2 3 RW/dusun/blok. Sedangkan responden rumah tangga kontrol di desa SAADP dipilih secara purposive dengan pertimbangan mempunyai karakteristik sosial-ekonomi yang relatif sama dengan responden rumah tangga SAADP dan ketersebaran lokasi. Beberapa informan kunci juga diwawancarai di masing-masing wilayah. Para informan ini meliputi pemimpin proyek SAADP di tingkat provinsi dan kabupaten, konsultan SAADP, manajer klaster, mantan fasilitator, staf kantor kecamatan, staf kantor desa, dan 12 pengurus UPKD. Metode analisis yang digunakan untuk mengukur dampak adalah dengan mengukur perubahan setiap indikator antara sebelum dan setelah adanya SAADP pada responden peserta SAADP dibandingkan dengan responden kontrol. Karena responden peserta SAADP dan responden kontrol memiliki karakteristik yang hampir sama, perbedaan atau selisih perubahan antara responden peserta SAADP dan kontrol tersebut merupakan dampak bersih dari SAADP. Dengan membandingkan perubahan antarkedua kelompok rumah tangga tersebut, diharapkan pengaruh faktor lain dapat ditiadakan atau diminimalkan.6 Penelitian lapangan melibatkan 8 peneliti SMERU dan 12 peneliti daerah yang dibagi menjadi empat tim. Masing-masing bertanggung jawab atas pengumpulan data di satu kabupaten. Setiap tim terdiri dari satu pemimpin tim dan empat anggota dengan proporsi jumlah laki-laki dan perempuan yang seimbang untuk memperlancar pendekatan kepada responden laki-laki dan perempuan. 1.4. Jadwal Kegiatan

Tahap persiapan penelitian dimulai pada pertengahan Januari 2004 dan membutuhkan waktu sekitar 1 bulan. Persiapan ini termasuk mempelajari data sekunder, diskusi metode penelitian, pembuatan kuesioner dan pedoman wawancara, pemilihan lokasi penelitian, dan perekrutan serta pelatihan peneliti lokal. Sebelum survei lapangan dilakukan, diselenggarakan diskusi tentang rencana penelitian yang melibatkan lembaga-lembaga terkait, yaitu Ditjen Bangda, Bank Dunia dan Bappenas, untuk memperoleh masukan. Studi lapangan dilakukan pada pertengahan Februari hingga awal Maret 2004. Entri dan pembersihan data dilakukan dalam empat minggu. Seluruh tim kemudian menyatukan temuan-temuan yang diperoleh dan melaksanakan analisis hasil temuan selama sebulan. Sebelum menyampaikan laporan akhir pada awal Juni 2004, diselenggarakan sebuah forum diskusi di SMERU untuk membahas temuan awal hasil evaluasi pada minggu ketiga April 2004. Peserta diskusi terdiri dari Ditjen Bangda selaku penanggung jawab proyek, wakil dari Bank Dunia, dan para peneliti SMERU. Setelah itu, pada akhir April 2004 dilaksanakan lokakarya hasil evaluasi di wilayah survei, yaitu di Kota Palu Sulawesi Tengah. Peserta terdiri dari pengelola proyek di pusat, provinsi dan kabupaten, pemerintah daerah, konsultan

Namun demikian, perlu disadari bahwa pendekatan tersebut kemungkinan tidak sepenuhnya dapat mengisolasi pengaruh faktor lainnya, mengingat penentuan daerah SAADP dan kontrol yang benar-benar memiliki karakteristik yang sama sangatlah sulit dilakukan.

20

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

proyek, pengurus UPKD, mantan fasilitator, ornop, wakil perbankan, dan Bank Dunia.7 Peserta lokakarya berasal dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Jakarta. 1.5. Struktur Laporan

Laporan akhir penelitian ini dibagi menjadi 10 bab. Bab I menjelaskan latar belakang, tujuan, dan metode penelitian yang digunakan. Bab II menyajikan karakteristik desa sampel dan responden, serta pengalaman responden memperoleh kredit. Bab III menguraikan secara ringkas proyek SAADP berdasarkan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang dikeluarkan pada tahun 2000 oleh Ditjen Bangda. Selanjutnya Bab IV memaparkan proses pelaksanaan proyek mulai dari sosialisasi, seleksi peserta, mekanisme pemberian kredit, sistem pelaporan, pengawasan dan evaluasi, dan status serta kondisi proyek SAADP saat ini. Bab V menyajikan sistem UPKD, seperti proses pemilihan pengurus, pengelolaan, dan pengaruhnya terhadap pengetahuan masyarakat. Bab VI menguraikan keterlibatan perempuan baik sebagai peserta, pengelola UPKD maupun sebagai fasilitator, dan keterlibatan ornop sebagai fasilitator. Bab VI menjelaskan keterkaitan antara SAADP dengan perencanaan daerah, kelembagaan, dan transparansi lokal. Dua bab berikutnya merupakan inti dari penelitian ini, yaitu penyajian analisis dampak sosial-ekonomi dan kemiskinan dari SAADP. Dalam Bab VIII, indikator dampak sosialekonomi yang dianalisis mencakup penggunaan kredit oleh masyarakat penerima manfaat, perubahan pengetahuan dan praktik usaha tani, perubahan diversifikasi sumber pendapatan dan perubahan pendapatan per kapita. Di samping itu, dilakukan analisis tentang perubahan perilaku menabung dan perubahan fasilitas dan kepemilikan aset rumah tangga. Bab IX menguraikan dampak SAADP terhadap penanggulangan kemiskinan. Mengingat kemiskinan bersifat kompleks dan multidimensi, maka tim peneliti SMERU menggunakan berbagai indikator dalam analisis. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah dengan melihat kelompok mana yang paling diuntungkan proyek ini, apakah kelompok miskin, menengah, atau kelompok kaya. Selain itu, tim perlu mengkaji transisi kemiskinan yang terjadi antara sebelum dan sesudah pemberian kredit dan juga menganalisis perubahan yang terjadi dalam hal kesenjangan kesejahteraan serta kemampuan rumah tangga dalam memenuhi berbagai kebutuhan. Bagian penutup dari laporan ini adalah kesimpulan dan saran kebijakan yang disajikan pada Bab X. Laporan ini juga dilengkapi dengan deskripsi wilayah seluruh desa sampel, baik desa SAADP maupun desa kontrol, dan data penyaluran kredit SAADP tahun 1999/2000 2002 dalam lampiran.

Sebelumnya, direncanakan juga untuk menyelenggarakan lokakarya di Kendari, Sulawesi Tenggara, namun karena kesibukan Pemda setempat, lokakarya kedua ini dibatalkan. Sebagai gantinya, Bappeda Provinsi dan Bappeda seluruh kabupaten di Sulawesi Tenggara diundang untuk mengikuti lokakarya di Palu.

21

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

II.
2.1.

KARAKTERISTIK SAMPEL

Karakteristik Desa

Penelitian lapangan dilakukan di empat kabupaten, yaitu di Kabupaten Donggala dan Kabupaten Tolitoli di Provinsi Sulteng, serta Kabupaten Konawe Selatan (pemekaran dari Kabupaten Kendari) dan Kabupaten Muna di Provinsi Sultra.8 Sesuai metodologi, di setiap kabupaten dipilih 3 desa SAADP dan satu desa kontrol sehingga jumlah desa sampel adalah 16 desa, terdiri dari 12 desa SAADP dan 4 desa kontrol (Lihat Tabel 2.1.1). Lokasi desa sampel di setiap kabupaten ada yang seluruhnya terletak di satu kecamatan tetapi ada juga yang terpisah di dua kecamatan yang berbatasan. Hal ini tergantung dari kesesuaian kriteria pemilihan dengan kondisi desa. Tabel 2.1.1. Karakteristik Desa Sampel
Provinsi Kabupaten Sulawesi Donggala Tengah Desa Mata pencaharian utama Perkebunan Pertanian pangan Pertanian pangan Pertanian pangan Perkebunan Pertanian pangan Perkebunan Perkebunan Pertanian pangan Pertanian pangan Pertanian pangan Pertanian pangan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Karakteristik Desa Tipologi Kepadatan Jarak ke ibu wilayah penduduk kota (orang per km2) kabupaten Pantai 94 77 km Pantai 76 51 km Pantai 423 48 km Pantai 576 11 km Daratan 12 32 km Daratan 14 26 km Daratan 15 11 km Daratan 191 6 km Pantai 105 55 km Pantai 122 62 km Pantai 75 81 km Pantai 108 90 km Daratan 11 113 km Daratan 17 80 km Daratan 14 89 km Daratan 8 100 km

Surumana Tosale Salubomba Towale* Oyom Tolitoli Salugan Dadakitan Tambun* Sulawesi Muna Wasolangka Tenggara Labulu-bulu Marobo Wadolao* Amohola Konsel Tambosupa Lamokula Lamotau* Sumber: Podes 2003, BPS. Catatan: * = desa kontrol.

Dalam praktik, cukup sulit menemukan satu desa kontrol yang sepenuhnya mirip dengan tiga desa SAADP sekaligus, apalagi adanya keterbatasan waktu. Oleh karena itu, beberapa wilayah rancangan pemilihan desa kontrol yang ditentukan dalam metode penelitian tidak dapat diikuti secara penuh di lapangan. Namun demikian, sebelum menetapkan satu desa kontrol, tim peneliti melakukan tahapan seleksi secara optimal dengan membandingkan karakteristik beberapa desa berdasarkan data kuantitatif yang tersedia dan informasi dari berbagai narasumber. Paling tidak, desa kontrol yang dipilih adalah desa yang memiliki karakteristik paling mendekati desa
8

Berdasarkan kriteria, kabupaten terpilih di Provinsi Sultra adalah Kabupaten Kendari. Namun, pada saat penelitian dilakukan, Kabupaten Kendari telah dipecah menjadi Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), dan secara kebetulan lokasi kecamatan dan desa sampel terpilih berada di wilayah Kabupaten Konsel.

22

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

SAADP. Di Kabupaten Konsel misalnya, desa-desa di satu kecamatan yang memiliki karakteristik yang sama (wilayah daratan), hampir semuanya telah menerima proyek SAADP sehingga tim peneliti memutuskan untuk mencari desa kontrol di kecamatan lain dan memilih desa yang memiliki karakteristik yang sama. Jenis mata pencaharian utama penduduk dan tipologi wilayah desa SAADP dan desa kontrol di masing-masing kabupaten sebenarnya memiliki kesamaan. Meskipun data BPS (Tabel 2.1.1) menunjukkan bahwa mata pencaharian utama penduduk antardesa sampel di satu kabupaten tidak sepenuhnya sama, namun berdasarkan informasi lapangan, mata pencaharian penduduk pada dasarnya sama, yaitu pertanian, dan hampir semua petani tanaman pangan juga menjadi petani perkebunan. Dilihat dari jarak desa ke ibu kota kabupaten, terdapat variasi antardesa di masingmasing kabupaten. Namun, pada umumnya kondisi jalan dan jenis transportasi yang tersedia di desa sampel masing-masing kabupaten sama. Di samping itu, kondisi rumah penduduk dan ketersediaan berbagai fasilitas sosial ekonomi juga relatif sama. Hal yang sulit dilakukan dalam mencari desa kontrol adalah mencari kesamaan keberadaan program pemerintah non-SAADP. Kondisi ini antara lain karena cukup beragamnya jenis program pemerintah antardesa dan sebagian program pemerintah baru diketahui keberadaannya setelah dilakukan wawancara dengan responden. Meskipun demikian, secara keseluruhan keberadaan program pemerintah nonSAADP relatif sama antaradesa dan rumah tangga kontrol dengan desa dan rumah tangga SAADP. Proporsi rumah tangga responden yang menjadi penerima program pemerintah di luar SAADP pun relatif kecil, yaitu hanya 3,9% pada rumah tangga SAADP dan 5,7% pada rumah tangga kontrol (lihat Tabel 2.1.2). Tabel 2.1.2. Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol yang Menerima Program Pemerintah Non-SAADP (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Rumah tangga SAADP: Penerima program non-SAADP N Rumah tangga kontrol: Penerima program non-SAADP N 2,0 102 7,3 55 5,9 102 3,9 51 3,9 204 5,7 106 Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 7,8 103 7,7 52 0,0 101 3,9 52 3,9 204 5,8 104 Total

3,9 408 5,7 210

2.2.

Karakteristik Responden

Secara total, proporsi responden rumah tangga SAADP dan kontrol berdasarkan pengelompokkan jenis mata pencaharian menunjukkan pola yang sama. Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama rumah tangga SAADP (84,8%) maupun rumah tangga kontrol (85,2%), seperti tampak dalam Tabel 2.2.1. Usaha pertanian yang paling banyak digeluti adalah usaha perkebunan dan tanaman pangan, serta usaha peternakan dan nelayan dalam jumlah yang lebih kecil. Baik pada rumah tangga SAADP maupun kontrol, sebagian besar responden petani juga memiliki usaha lain di luar pertanian. 23
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 2.2.1. Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Utama (%)
Jenis Mata Pencaharian Utama Rumah tangga SAADP: Pertanian Pertanian dan nonpertanian Nonpertanian saja N Rumah tangga kontrol: 18,2 64,7 40,6 (38,9) (48,3) (49,3) 47,3 27,5 37,7 Pertanian dan nonpertanian (50,4) (45,1) (48,7) 34,6 7,8 21,7 Nonpertanian saja (48,0) (27,1) (41,4) N 55 51 106 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Pertanian 51,9 (50,4) 42,3 (49,9) 5,8 (23,5) 52 34,6 (48,0) 57,7 (49,9) 7,7 (26,9) 52 43,3 (49,8) 50,0 (50,2) 6,7 (25,2) 104 41,4 (49,4) 43,8 (49,7) 14,3 (35,1) 210 20,6 (40,6) 50,0 (50,2) 29,4 (45,8) 102 44,1 (49,9) 43,1 (49,8) 12,8 (33,5) 102 32,4 (46,9) 46,6 (50,0) 21,1 (40,9) 204 37,4 (48,7) 51,5 (50,2) 10,7 (31,0) 103 30,7 (46,3) 61,4 (48,9) 7,9 (27,1) 101 34,3 (47,6) 56,4 (49,7) 9,3 (29,1) 204 33,3 (47,2) 51,5 (50,0) 15,2 (35,9) 408 Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

Rata-rata jumlah anggota rumah tangga sampel di masing masing kabupaten berkisar antara 4,5 hingga 5,4 orang. Secara keseluruhan, rata-rata jumlah anggota rumah tangga pada rumah tangga SAADP dan kontrol adalah relatif sama (lihat Tabel 2.2.2). Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah anggota rumah tangga SAADP dengan kontrol. Dilihat dari rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang berusaha, terlihat tidak adanya perbedaan yang berarti antara rumah tangga SAADP dan kontrol, yaitu masing-masing 1,4 dan 1,3 orang. Hal ini berlaku secara total maupun berdasarkan kabupaten. Kondisi ini diperkuat juga oleh hasil uji statistik. Tabel 2.2.2. Rata-rata Jumlah Anggota Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga yang Berusaha pada Rumah Tangga SAADP dan Kontrol (Orang)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Rata-rata jumlah anggota rumah tangga: 4,8 Rumah tangga SAADP (2,2) 4,5 Rumah tangga kontrol (1,7) 4,9 (1,7) 4,8 (1,9) 4,9 (1,9) 4,6 (1,8) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 5,4 (2,0) 5,4 (2,1) 1,3 (0,5) 1,2 (0,4) 103 52 5,0 (1,5) 4,5 (1,5) 1,4 (0,5) 1,3 (0,6) 101 52 5,2 (1,8) 4,9 (1,9) 1,4 (0,5) 1,2 (0,5) 204 104 Total

5,0 (1,9) 4,8 (1,8) 1,4 (0,5) 1,3 (0,6) 408 210

Rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang berusaha: 1,6 1,3 1,5 Rumah tangga SAADP (0,5) (0,5) (0,5) 1,7 1,1 1,4 Rumah tangga kontrol (0,7) (0,3) (0,6) SAADP 102 102 204 Kontrol 55 51 106 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. N

24

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Berdasarkan data-data tersebut di atas, secara garis besar dapat dikatakan bahwa pemilihan desa dan rumah tangga kontrol yang dilakukan sudah berhasil memperoleh kesamaan karakteristik antara desa dan rumah tangga kontrol dengan desa dan rumah tangga peserta SAADP. Di samping itu, untuk lebih memastikan adanya kesamaan, dilakukan pula uji statistik terhadap aspek pendapatan dan pengeluaran rumah tangga (Lihat Bab VIII). Hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam status sosial-ekonomi mereka. Dengan demikian, desa dan rumah tangga kontrol dapat disimpulkan layak dijadikan sebagai pembanding desa dan rumah tangga SAADP guna mengestimasi dampak bersih dari keberadaan SAADP. 2.3. Pengalaman Responden Memperoleh Kredit

Kredit SAADP Dari total 408 responden rumah tangga SAADP, terdapat 436 anggota rumah tangga yang menjadi peminjam kredit SAADP. Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang memperoleh kredit SAADP hanya satu orang per rumah tangga. Tabel 2.3.1 menunjukkan bahwa pada 93,6% rumah tangga SAADP hanya terdapat satu orang peminjam. Jumlah peminjam SAADP per rumah tangga terbanyak adalah 3 orang, dan hanya terjadi di Kabupaten Muna, yaitu pada 1,9% rumah tangga. Tabel 2.3.1. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Jumlah Peserta SAADP (%)
Jumlah peserta per Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara rumah tangga Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 94,1 92,2 93,1 91,3 97,0 94,1 1 orang (23,6) (27,0) (25,3) (28,4) (17,1) (23,6) 5,9 7,8 6,9 6,8 3,0 4,9 2 orang (23,6) (27,0) (25,3) (25,3) (17,1) (21,6) 0,0 0,0 0,0 1,9 0,0 1,0 3 orang (0,0) (0,0) (0,0) (13,9) (0,0) (9,9) N 102 102 204 103 101 204 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Total 93,6 (24,5) 5,9 (23,6) 0,5 (7,0) 408

Selama 2000 hingga awal 2003, ke-434 peminjam tersebut telah melakukan 557 pinjaman SAADP atau rata-rata 1,3 kali pinjaman. Sedangkan rata-rata pinjaman per rumah tangga adalah 1,4 kali. Sebagian besar rumah tangga (71,8%) melakukan satu kali pinjaman dan hanya sekitar 7,1% rumah tangga yang sudah melakukan 3-4 kali pinjaman. Proporsi rumah tangga yang melakukan peminjaman hingga 3 kali, paling banyak terjadi di Kabupaten Tolitoli (19,6%) kemudian disusul Kabupaten Muna (13,6%), seperti tampak pada Tabel 2.3.2. Berdasarkan tingkat pendidikan, secara keseluruhan kredit SAADP banyak diakses oleh mereka yang berpendidikan rendah, tamat SD ke bawah, yaitu mencapai 57,6%. Jika dilihat per jenjang pendidikan seperti tampak pada Tabel 2.3.3, peminjam SAADP tersebar di setiap tingkatan pendidikan dan terbanyak adalah tamatan SD/sederajat. Demikian pula jika dilihat di setiap kabupaten, peminjam didominasi oleh tamatan SD/sederajat, kecuali di Kabupaten Konsel. Lebih dari separo peminjam di Kabupaten Konsel adalah mereka yang telah tamat SMP/sederajat ke atas, dan yang

25

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

paling dominan adalah peminjam yang telah tamat SMU/sederajat ke atas, yaitu sebanyak 36,5%. Peminjam SAADP yang tidak tamat SD, paling banyak terdapat di Kabupaten Muna, yaitu mencapai 15,8%, sementara di tiga kabupaten lainnya kurang dari 3%. Tabel 2.3.2. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Frekuensi Memperoleh Kredit SAADP (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 68,6 76,5 72,5 1 kali (46,6) (42,6) (44,7) 22,6 20,6 21,6 2 kali (42,0) (40,6) (41,2) 7,8 19,6 4,9 3 kali (27,0) (13,9) (21,6) 1,0 1,0 1,0 4 kali (9,9) (9,9) (9,9) 1,4 1,3 1,3 Rata-rata (kali) (0,7) (0,5) (0,6) N 102 102 204 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Frekuensi kredit SAADP Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 58,3 84,2 71,1 (49,6) (36,7) (45,4) 26,2 14,9 20,1 (44,2) (35,7) (40,5) 13,6 1,0 7,3 (34,4) (10,0) (26,2) 1,9 0,0 1,0 (13,9) (0,0) (9,9) 1,6 1,2 1,4 (0,8) (0,4) (0,7) 103 101 204 Total 71,8 (45,0) 21,1 (40,8) 6,1 (24,0) 1,0 (9,9) 1,4 (0,6) 408

Tabel 2.3.3. Proporsi Penerima SAADP Berdasarkan Tingkat Pendidikan (%)


Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 0,9 2,8 1,9 15,8 2,9 9,6 Tidak sekolah (9,6) (16,5) (13,5) (36,6) (16,8) (29,6) 25,9 29,6 27,8 22,8 9,6 16,5 Tidak tamat SD/sederajat (44,0) (45,9) (44,9) (42,1) (29,6) (37,2) 37,0 31,5 34,3 24,6 26,0 25,2 Tamat SD/sederajat (48,5) (46,7) (47,6) (43,2) (44,1) (43,5) 19,4 23,2 21,3 13,2 25,0 18,8 SMP/sederajat (39,8) (42,4) (41,0) (33,9) (43,5) (39,2) 16,7 13,0 14,8 23,7 36,5 29,2 SMU ke atas (37,4) (33,7) (35,6) (42,7) (48,4) (45,8) N 108 108 216 114 104 218 Catatan: - Terdapat 2 penerima SAADP yang tidak menjawab. - Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Tingkat Pendidikan Total 5,8 (23,3) 22,1 (41,5) 29,7 (45,7) 20,1 (40,1) 22,3 (41,7) 434

Kredit Non-SAADP Selama periode 19992004, jumlah rumah tangga SAADP dan kontrol yang pernah memperoleh kredit non-SAADP masing-masing sebanyak 16,2% dan 19,5%. Proporsi rumah tangga yang memperoleh kredit non-SAADP paling banyak adalah rumah tangga kontrol di Kabupaten Muna (32,7%), sedangkan yang paling sedikit adalah rumah tangga kontrol di Kabupaten Tolitoli (3,9%). Berdasarkan provinsi, di Sultra cenderung lebih banyak rumah tangga yang memperoleh kredit non-SAADP dibandingkan di Sulteng. Secara keseluruhan, proporsi yang memperoleh kredit nonSAADP pada rumah tangga SAADP dan kontrol relatif seimbang (lihat Tabel 2.3.4).

26

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 2.3.4. Jumlah Rumah Tangga yang Memperoleh Kredit Non-SAADP


Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 9 19 28 21 17 38 66 Rumah tangga SAADP (8,8%) (18,6%) (13,7%) (20,4%) (16,8%) (18,6%) (16,2%) N 102 102 204 103 101 204 408 13 2 15 17 9 26 41 Rumah tangga kontrol (23,6%) (3,9%) (14,2%) (32,7%) (17,3%) (25%) (19,5%) N 55 51 106 52 52 104 210 Catatan: Angka dalam kurung adalah proporsi terhadap N.

Pada 66 rumah tangga SAADP yang memperoleh kredit non-SAADP, terdapat 68 orang peminjam. Sementara pada 41 rumah tangga kontrol yang memperoleh kredit non-SAADP terdapat 41 peminjam. Jadi, baik pada rumah tangga SAADP maupun kontrol yang memperoleh pinjaman non-SAADP umumnya hanya terdapat satu anggota rumah tangga peminjam. Frekuensi pinjaman yang dilakukan oleh seluruh peminjam tersebut adalah 90 pinjaman di rumah tangga SAADP dan 55 pinjaman di rumah tangga kontrol. Sebagian besar rumah tangga (78,8% rumah tangga SAADP dan 78,1% rumah tangga kontrol) hanya memperoleh satu kali pinjaman. Tidak ada perbedaan mencolok dari frekuensi memperoleh kredit non-SAADP antara rumah tangga SAADP dan kontrol seperti tampak pada Tabel 2.3.5. Tabel 2.3.5. Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Frekuensi Memperoleh Kredit Non-SAADP (%)
Frekuensi Kredit Non-SAADP Rumah tangga SAADP: 1 kali 2 kali 3 5 kali Rata-rata (kali) N Rumah tangga kontrol: 92,3 100 93,3 64,7 77,8 69,2 78,1 (27,7) (0,0) (25,8) (49,3) (44,1) (47,1) (41,9) 0 0 0 29,4 11,1 23,1 14,6 2 kali (0,0) (0,0) (0,0) (47,0) (33,3) (43,0) (35,8) 7,7 0 6,7 5,9 11,1 7,7 7,3 3 5 kali (27,7) (0,0) (25,8) (24,3) (33,3) (27,2) (26,4) 1,2 1,0 1,1 1,4 1,3 1,4 1,3 Rata-rata (kali) (0,6) (0,0) (0,5) (0,6) (0,7) (0,6) (0,6) N 13 2 15 17 9 26 41 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. 1 kali 88,9 (33,3) 11,1 (33,3) 0 (0,0) 1,1 (0,3) 9 78,9 (41,9) 10,6 (31,5) 10,6 (31,5) 1,3 (0,7) 19 82,1 76,2 (39,0) (43,6) 10,7 9,5 (31,5) (30,1) 7,1 14,3 (26,2) (35,9) 1,2 1,4 (0,6) (0,7) 28 21 76,5 (43,7) 11,8 (33,2) 11,8 (33,2) 1,3 (0,7) 17 76,3 78,8 (43,1) (41,2) 10,5 10,6 (31,1) (31,0) 13,2 10,6 (34,3) (31,0) 1,4 1,3 (0,7) (0,7) 38 66 Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total

27

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Sumber kredit non-SAADP yang bisa diakses oleh rumah tangga SAADP dan kontrol dibedakan atas: bank, koperasi, program pemerintah, kredit informal, dan lainnya. Bank yang menjadi sumber kredit responden meliputi BRI (Bank Rakyat Indonesia), BPD (Bank Pembangunan Daerah), BTN (Bank Tabungan Negara), dan Bank Mandiri. Seperti dapat dilihat dalam Tabel 2.3.6, bagi rumah tangga SAADP di seluruh kabupaten (38,9% dari jumlah pinjaman kredit non-SAADP) dan bagi rumah tangga kontrol di Kabupaten Donggala (46,6%), bank merupakan sumber kredit yang relatif paling banyak diakses. Sedangkan bagi rumah tangga SAADP di Kabupaten Tolitoli, sumber kredit yang banyak diakses selain bank adalah kredit dari program pemerintah. Khusus di Kabupaten Tolitoli dan Konsel, tidak ada seorang pun anggota rumah tangga kontrol yang meminjam kredit dari bank. Koperasi menjadi sumber utama kredit bagi rumah tangga kontrol di Kabupaten Muna dan Konsel, namun tidak ada seorang pun anggota rumah tangga kontrol di Kabupaten Donggala dan Tolitoli yang mengambil kredit dari koperasi. Menurut informasi kualitatif, secara umum peran koperasi di kedua kabupaten di Sulteng tersebut saat ini tidak lagi menonjol. Sebenarnya di Kabupaten Donggala terdapat koperasi simpan pinjam yang sebelum adanya UPKD menjadi satu-satunya sumber kredit pilihan masyarakat, walaupun tingkat bunga yang diberlakukan sangat tinggi, yaitu sebesar 30 persen per bulan. Tampaknya, selain bank dan program pemerintah, responden rumah tangga di Kabupaten Donggala lebih memilih meminjam uang melalui kredit informal seperti ke tengkulak, tetangga, atau keluarga daripada ke koperasi. Tabel 2.3.6. Proporsi Pinjaman Kredit Non-SAADP Berdasarkan Sumbernya (%)
Sumber Kredit Non-SAADP Rumah tangga SAADP: Bank Koperasi Program Pemerintah Informal Lainnya N Rumah tangga kontrol: 46,7 0,0 (51,6) (0,0) 0,0 0,0 Koperasi (0,0) (0,0) 26,7 100,0 Program Pemerintah (45,8) (0,0) 26,7 0,0 Informal (45,8) (0,0) 0,0 0,0 Lainnya (0,0) (0,0) N 15 2 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Bank 41,2 (50,7) 0,0 (0,0) 35,3 (49,3) 23,5 (43,7) 0,0 (0,0) 17 19,2 (40,2) 34,6 (48,5) 19,2 (40,2) 26,9 (45,2) 0,0 (0,0) 26 0,0 (0,0) 50,0 (52,2) 16,7 (38,9) 16,7 (38,9) 16,7 (38,9) 12 13,2 (34,3) 39,5 (49,5) 18,4 (39,3) 23,7 (43,1) 5,3 (22,6) 38 21,8 (41,7) 27,3 (44,9) 23,6 (42,9) 23,6 (42,9) 3,6 (18,9) 55 50,0 (52,7) 0,0 (0,0) 20,0 (42,2) 30,0 (48,3) 0,0 (0,0) 10 42,9 (50,7) 14,3 (35,9) 33,3 (48,3) 9,5 (30,1) 0,0 (0,0) 21 45,2 (50,6) 9,7 (30,0) 29,0 (46,1) 16,1 (37,4) 0,0 (0,0) 31 34,4 (48,3) 31,3 (47,1) 25,0 (44,0) 9,4 (29,6) 0,0 (0,0) 32 37,0 (49,2) 29,6 (46,5) 0,0 (0,0) 7,4 (26,7) 25,9 (44,7) 27 35,6 (48,3) 30,5 (46,4) 13,6 (34,5) 8,5 (28,1) 11,9 (32,6) 59 38,9 (49,0) 23,3 (42,5) 18,9 (39,4) 11,1 (31,6) 7,8 (26,9) 90 Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total

28

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Sementara itu, bagi rumah tangga SAADP dan kontrol di Kabupaten Tolitoli, program pemerintah khususnya berupa kredit bergulir Program Pengembangan Kecamatan (PPK) menjadi sumber kredit yang utama. PPK juga menjadi sumber kredit program pemerintah di semua lokasi penelitian. Khususnya di Kabupaten Donggala, selain PPK terdapat program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pinggir Pantai (PEMPP) yang diselenggarakan oleh Dinas Perikanan setempat berupa penyediaan mesin ketinting9 untuk para nelayan. Kemudian para nelayan membeli mesin tersebut dengan cara dicicil. Di Kabupaten Muna terdapat juga proyek bantuan sapi bergulir yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian setempat. Ada sekitar 90 ekor sapi yang dipinjamkan kepada masyarakat, setiap kepala keluarga paling banyak mendapatkan 4 ekor sapi. Sumber kredit lainnya yang menjadi alternatif bagi rumah tangga SAADP dan kontrol di Kabupaten Muna dan Konsel khususnya adalah perusahaan yang menyediakan kredit kepemilikan sepeda motor, baik yang dikelola langsung oleh penjual sepeda motor atau melalui perusahaan kredit yang bekerja sama dengan penjual sepeda motor. Besarnya pinjaman melalui bank berkisar antara 1 hingga 26 juta rupiah. Pinjaman melalui koperasi, program pemerintah dan informal kisarannya tidak jauh berbeda yaitu berturut-turut 50 ribu hingga 5 juta rupiah, 75 ribu hingga 5 juta rupiah, dan 60 ribu hingga 6,75 juta rupiah. Sedangkan kisaran harga sepeda motor yang pembayarannya dilakukan melalui kredit adalah 10,7 juta hingga 20,2 juta rupiah. Dibandingkan tingkat bunga kredit SAADP, tingkat bunga yang dibebankan oleh sumber kredit non-SAADP cenderung lebih tinggi, bahkan beberapa sumber kredit informal membebankan bunga hingga lebih dari 30% per bulan. Penggunaan pinjaman uang yang diperoleh baik melalui bank, koperasi atau pun kredit informal tidak banyak berbeda, biasanya digunakan untuk biaya perbaikan rumah, modal usaha tani dan dagang.

Motor tempel perahu berkekuatan 2 PK.

29

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

III. GAMBARAN RINGKAS SAADP


3.1. Tujuan, Desain, dan Karakteristik Program

Sulawesi Agricultural Area Development Project (SAADP) yang dilaksanakan di provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara adalah proyek yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan bantuan pinjaman dana dari Bank Dunia (Loan Agreement 4007-IND). Proyek ini dimulai pada 1996 dengan tujuan: 10 i. Meningkatkan pendapatan petani melalui usaha-usaha perbaikan dan pengembangan sistem usaha tani tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan usaha ekonomi produktif lainnya; Mengurangi kesenjangan pendapatan dan kesenjangan tingkat kesejahteraan melalui bantuan pembangunan kawasan pedesaan yang kurang berkembang; dan Meningkatkan daya dukung pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan usaha ekonomi di antara sesama penduduk miskin.

ii.

iii.

Pada tahap awal, program ini dirancang untuk mengembangkan wilayah berbasis pertanian. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain meliputi distribusi ternak, pemberian bantuan sarana pertanian seperti bibit tanaman, sapi atau babi, replikasi teknologi lahan kering, intensifikasi lahan pekarangan, pembangunan/perbaikan sarana dan prasarana pertanian dengan didukung penguatan kelembagaan dan komponen pengembangan sistem usaha tani terpadu yang dikelola oleh Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Jenis bantuan yang diberikan tergantung pada kebutuhan dan pertimbangan instansi terkait. Hasil tinjauan Tim MTR (Midterm Review) Bank Dunia pada pertengahan masa pelaksanaan proyek, yaitu pada Januari-Februari 1999, menunjukkan bahwa pelaksanaan program kurang efektif sehingga manfaatnya kurang dirasakan oleh kelompok sasaran. Selain itu, di antara kegiatan yang ada, pemberian kredit mikro adalah kegiatan yang paling diminati masyarakat. Oleh karena itu, sesuai dengan kesepakatan Ditjen Bangda dengan Bank Dunia, sejak 1999 fokus kegiatan program ini diubah dengan menggabungkan beberapa komponen kegiatan proyek yang sebelumnya berdiri sendiri ke dalam Program Inisiatif Masyarakat Setempat (IMS). Komponen kegiatan proyek terdiri dari empat bagian utama, yaitu: Replikasi sistem usaha tani (SUTA); Penggaduhan ternak; Usaha ekonomi produktif (UEP); dan Pembangunan prasarana pendukung program IMS (P4 IMS).

10

Petunjuk Pelaksanaan dan Panduan Teknis Operasional IMS-SAADP, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri, 2000.

30

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Sejak itu, SAADP lebih dikenal paling tidak oleh pemerintah daerah sebagai IMSSAADP. Pendekatan baru ini menekankan pada kegiatan kredit bergulir dengan pendekatan partisipatif dan melibatkan masyarakat secara intensif dengan didampingi oleh fasilitator dan tenaga lapangan. Kredit bergulir dikelola oleh masyarakat melalui Unit Pengelola Kegiatan/Keuangan Desa (UPKD) yang dibentuk oleh masyarakat desa dengan difasilitasi oleh proyek. Beberapa karakteristik IMS-SAADP sebagaimana tertulis dalam juklak adalah sebagai berikut: Usulan (proposal) jenis kegiatan dan jumlah dana ditentukan oleh masyarakat sendiri dengan dukungan dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dan fasilitator setempat; Pagu dana IMS disediakan dalam bentuk lumpsum pada tingkat kabupaten. Jumlah dana yang disalurkan kepada setiap kelompok atau lembaga masyarakat ditetapkan atas dasar pengajuan kelompok/desa; Dana IMS disalurkan secara langsung ke tingkat desa melalui transfer ke rekening UPKD. Selanjutnya, UPKD menyalurkan dana tersebut ke kelompok tani/masyarakat; Jadwal pemrosesan dan penyaluran dana ke tingkat desa harus dijamin tepat waktu dan sesuai dengan prosedur dan format standar; Seluruh pengadaan dilakukan oleh kelompok masyarakat dan tidak melalui tender (pelelangan); Usulan kegiatan dari masyarakat yang memanfaatkan kredit harus mengarah kepada kemandirian usaha; Pengelolaan kredit yang ketat (pengawasan pengembalian) dan bersifat komersial (dipungut bunga yang besarnya ditetapkan berdasarkan musyawarah, dengan ketentuan minimal 15% per tahun dan pengurus UPKD memperoleh honorarium11). 3.2. Sasaran Penerima Bantuan

Sasaran penerima bantuan Program IMS adalah keluarga atau kelompok masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan (janda atau wanita yang ditinggal sendiri atau berusaha sendiri) di desa lokasi proyek. Kelompok yang diprioritaskan untuk mendapatkan bantuan program adalah: Kelompok penduduk atau petani miskin yang tidak mempunyai sumber penghasilan bagi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya untuk pengadaan pangan, pembiayaan pendidikan dan kesehatan serta kebutuhan sosial-ekonomi lainnya; Kelompok wanita dan pemuda yang sedang menganggur dan tidak memiliki pekerjaan tetap; Kelompok yang tidak sedang menjadi peserta atau penerima bantuan proyek lain yang sedang berjalan.

11

Honor UPKD pada awal penyaluran dana, diambil dari bagian dana proyek. Kemudian setelah kegiatan kredit dilaksanakan diambil dari bagian bunga pinjaman yang dibayar peserta.

31

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Namun demikian, menurut staf Bank Dunia pada forum diskusi dengan tim peneliti SMERU pada saat persiapan penelitian dan penyampaian temuan awal di Jakarta, kriteria tersebut tidak berlaku karena penekanannya adalah pada mereka yang telah memiliki usaha. Hal ini dikaitkan dengan sifat program yang bukan merupakan kegiatan sosial tetapi bersifat ekonomi dan komersial karena dana kredit yang dipinjamkan kepada masyarakat harus dikembalikan dan bukan merupakan hibah. Konsekuensi dari hal ini adalah penerima program diperkirakan bukan merupakan kelompok masyarakat termiskin12. 3.3. Kriteria Desa dan Alokasi Dana Per Desa

Desa yang dipilih sebagai peserta program adalah desa-desa yang termasuk kategori miskin. Desa-desa tersebut ditentukan oleh Tim Koordinasi Pengelolaan Program (TKPP) provinsi dan kabupaten berdasarkan kriteria: Jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi; Terdapat potensi lahan kering/basah yang dapat dikembangkan; Berada dalam satu kawasan; dan Infrastruktur ekonomi desa terbatas. Pagu dana IMS per desa minimal 50 juta rupiah dan maksimal 100 juta rupiah. Bagi desa-desa yang telah menyerap dana maksimum dimungkinkan untuk kembali menerima dana IMS sepanjang UPKD mempunyai kinerja yang baik dan mempunyai usulan kegiatan yang layak didanai.13 Dana IMS diberikan kepada desa, yang selanjutnya akan menjadi aset desa dan dimanfaatkan untuk kegiatan IMS replikasi SUTA, IMS penggaduhan ternak, IMS-UEP dan P4-IMS. Dana tersebut dipinjamkan kepada masyarakat desa yang bergabung dalam kelompok-kelompok.14 3.4. Pengelolaan Proyek

Organisasi Proyek IMS-SAADP terdapat di tingkat pusat (dengan sekretariat berada di Ditjen Bangda, provinsi (Bappeda), dan kabupaten (Bappeda). Di tingkat pusat, organisasi proyek dititikberatkan pada pembinaan yang sifatnya melaksanakan pengendalian secara menyeluruh. Di tingkat provinsi, lebih ditekankan pada unsur koordinasi pengelolaan proyek, sedangkan di tingkat kabupaten ditekankan pada unsur koordinasi dan pelaksana proyek IMS. Instansi yang terkait di tingkat kabupaten antara lain Bappeda, PMD, dan dinas-dinas (pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan kelautan, dan kimpraswil atau pekerjaan umum). Organisasi di tingkat desa merupakan inti dari pelaksanaan proyek IMS karena organisasi yang dibangun oleh masyarakat melalui musyawarah desa dan disahkan oleh kepala desa ini merupakan pelaksana proyek IMS. Musyawarah desa merupakan
12

Bank Dunia dan Ditjen Bangda telah mengkonfirmasikan bahwa sasaran penerima manfaat bukan masyarakat termiskin, meskipun tujuan SAADP adalah dalam rangka mengurangi kemiskinan. Tabel Lampiran 1.1 menyajikan alokasi dana SAADP di desa sampel.

13

14

Bank Dunia dalam diskusi dengan tim peneliti SMERU menyatakan bahwa kredit SAADP bukan merupakan pinjaman kelompok. Kelompok masyarakat hanya diperlukan saat pengajuan pinjaman untuk mempermudah proses. Pinjaman adalah tanggung jawab individu dan pengembalian dapat dilakukan secara individu.

32

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

forum pertemuan seluruh masyarakat desa dalam merumuskan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, dan monitoring serta evaluasi kegiatan. Organisasi yang dibentuk adalah UPKD yang berfungsi untuk mengelola manajemen keuangan program serta mengembangkan lebih lanjut melalui pengkoordinasian berbagai sumber keuangan di tingkat desa. Unit ini diharapkan akan menjadi embrio lembaga keuangan. Guna memaksimalkan pelaksanaan proyek di lapangan, terdapat unsur pendampingan yang terdiri dari konsultan di tingkat provinsi dan kabupaten, serta fasilitator yang direkrut dari organisasi non-pemerintah (ornop/LSM) setempat. Koordinator fasilitator ditempatkan di tingkat provinsi dan kabupaten, sedangkan fasilitator dan PPL berada di tingkat desa. Peran konsultan antara lain memberikan bantuan teknis, saran dan rekomendasi yang berhubungan dengan berbagai aspek kebijakan teknis maupun umum, melakukan pemantauan dan evaluasi proyek, mengadakan kunjungan ke desa-desa secara rutin untuk memeriksa laporan keuangan UPKD serta memberikan saran perbaikan, dan membantu Bappeda kabupaten dalam mengkoordinasi kegiatan, menyusun laporan proyek, serta menyeleksi proposal yang masuk. Adapun peran fasilitator antara lain membantu proses sosialisasi, membentuk kelompok sasaran, memberikan bantuan ketrampilan, manajemen keuangan maupun manajemen teknik kepada kelompok masyarakat, membantu anggota masyarakat dalam melaksanakan musyawarah untuk identifikasi kegiatan yang akan diusulkan, dan bersama dengan PPL membantu pembuatan proposal. 3.5. Mekanisme Pelaksanaan

Pada tahap awal sosialisasi program SAADP dilaksanakan secara berjenjang dari pusat, provinsi, kabupaten, dan desa. Setelah UPKD terbentuk melalui musyawarah, masyarakat lalu membentuk pokmas,15 dan kemudian UPKD bersama-sama dengan pengurus pokmas, fasilitator dan aparat desa lainnya menyebarkan informasi tentang program SAADP kepada masyarakat melalui berbagai cara. Di antaranya dengan memasang papan pengumuman, poster atau brosur di beberapa tempat seperti balai desa, pasar, atau halaman rumah ibadah. Setelah pokmas terbentuk, dilakukan penyusunan proposal oleh pokmas dengan dibantu oleh fasilitator. Proposal yang sudah disusun diserahkan kepada UPKD untuk dinilai oleh tim verifikasi desa yang beranggotakan ketua UPKD, fasilitator dan PPL. Proposal yang memenuhi kelayakan dilaporkan kepada kepala desa agar musyawarah desa dapat segera diselenggarakan guna membahas, menilai dan menentukan ranking prioritas proposal. Selanjutnya, UPKD menyusun rekapitulasi seluruh proposal yang telah diluluskan forum musyawarah desa berdasarkan ranking.

15

Pokmas adalah kelompok masyarakat yang dibentuk berdasarkan inisiatif anggota masyarakat yang hendak melakukan usaha dengan mendapat bantuan modal usaha dari UPKD. Idealnya pokmas dibentuk berdasarkan kesamaan jenis usaha atau kesamaan tempat tinggal. Tujuan pembentukan pokmas adalah sebagai sarana pembinaan dan upaya membangun kerja sama antaranggota masyarakat dalam berusaha. Pokmas biasanya diorganisasi dan digerakkan oleh ketua dan sekretaris kelompok.

33

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Rekapitulasi proposal disampaikan kepada tim verifikasi di tingkat kabupaten untuk dievaluasi. Hasil evaluasi segera diinformasikan kepada pengurus UPKD agar segera dibuat Surat Perjanjian Pemberian Dana (SP2D) yang ditandatangani oleh ketua UPKD dan manajer klaster yang bertanggung jawab atas kecamatan yang bersangkutan, serta disahkan oleh kepala bidang ekonomi Bappeda kabupaten. Dalam SP2D tercantum jenis kegiatan, jumlah dana, waktu pelaksanaan dan sifat kredit. Atas dasar SP2D tersebut, manajer klaster dapat menarik dana dari KPKN untuk disalurkan ke rekening UPKD. Selanjutnya, UPKD menyalurkan dana tersebut kepada pokmas dalam bentuk dana bergulir dengan aturan main yang ditetapkan berdasarkan musyawarah masyarakat, tetapi tetap mengacu pada aturan baku tertentu, misalnya minimal bunga adalah 15% per tahun.

34

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

IV. PROSES PELAKSANAAN PROYEK


4.1. Tim Pelaksana

Sebagaimana diatur dalam juklak, untuk mengkoordinasikan instansi terkait dalam pelaksanaan SAADP dibentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Program (TKPP-Provinsi) di tingkat provinsi. Demikian pula di tingkat kabupaten, termasuk di empat kabupaten sampel, dibentuk pula TKPP-Kabupaten. Sekretariat TKPP-Provinsi dan TKPPKabupaten berkedudukan di masing-masing Bappeda provinsi dan kabupaten. Unsur dalam TKPP antara lain terdiri dari: Bappeda, dinas-dinas terkait seperti Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), Dinas Tanaman Pangan, Dinas Perkebunan, dan dinas terkait lainnya. Selain itu, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, direkrut pula konsultan dan koordinator fasilitator yang bertugas untuk mendampingi TKPP agar SAADP dapat dilaksanakan secara optimal di lapangan. Sedangkan di tingkat kabupaten dibentuk pula koordinator klaster yang membawahi beberapa manajer klaster. Seorang manajer klaster biasanya membawahi beberapa kecamatan, khususnya di Kabupaten Donggala, setiap manajer klaster bertugas di dua kecamatan.16 4.2. Sosialisasi

Menurut penjelasan pengelola proyek di tingkat provinsi dan kabupaten, sosialisasi SAADP dilaksanakan secara berjenjang, dari tingkat provinsi hingga tingkat desa. Sosialisasi di tingkat provinsi diselenggarakan di Kendari dan Palu, dihadiri oleh wakil dari instansi terkait tingkat provinsi, instansi terkait tingkat kabupaten, organisasi nonpemerintah, dan wakil dari universitas. Sosialisasi di tingkat kabupaten diselenggarakan oleh masing-masing kabupaten dengan peserta terdiri dari wakil dinasdinas terkait, camat, Kasi PMD, dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Sosialisasi selanjutnya diadakan di tingkat desa yang umumnya dilakukan lebih dari satu kali. Sosialisasi pertama dihadiri oleh fasilitator, kepala desa beserta staf, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat. Selain itu, hadir pula anggota TKPPKabupaten, manajer klaster, dan konsultan. Materi yang sebagian besar disampaikan oleh fasilitator berupa penjelasan umum tentang proyek, meliputi maksud dan tujuan proyek, keberadaan dana yang dapat dipinjam masyarakat untuk mengembangkan usaha, serta persyaratan dan kriteria peserta. Sosialisasi berikutnya yang biasanya hanya dihadiri berbagai pihak terkait di tingkat desa, termasuk masyarakat dan fasilitator, pada dasarnya merupakan musyawarah desa untuk membentuk pengurus UPKD. Di beberapa desa, sosialisasi juga dilakukan melalui pengumuman di masjid pada waktu sholat Jumat, atau dengan pemasangan poster tentang SAADP di tempat-tempat yang strategis seperti di pasar dan kantor UPKD. Di samping itu, fasilitator dan UPKD pun tetap melakukan sosialisasi meskipun tidak secara khusus, antara lain melalui forum pembentukan dan diskusi kelompok masyarakat. Materi yang disampaikan lebih terkait dengan rincian pelaksanaan kredit SAADP, seperti mekanisme pinjaman, suku bunga, dan pengembaliannya.

16

Lihat Bab III: Gambaran Ringkas SAADP

35

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Meskipun menurut penjelasan pengelola proyek, sosialisasi dilakukan melalui pertemuan langsung dengan masyarakat, namun hanya sekitar 59,6% responden saja yang menyatakan bahwa mereka mendapat penjelasan tentang SAADP pertama kali melalui pertemuan/rapat. Sekitar 28,4% responden mengaku mendapat informasi SAADP dari dialog informal dengan teman atau tetangga dan 10,8% responden mengaku mengetahui SAADP melalui pengumuman lisan (lihat Tabel 4.2.1). Pada umumnya masyarakat yang hadir dalam sosialisasi SAADP mengaku diundang atau diberitahu oleh kepala dusun (kadus), ketua RT, tetangga, atau diberitahu langsung oleh fasilitator. Pada sosialisasi yang diadakan setelah pemilihan pengurus UPKD, sebagian masyarakat diberitahu langsung oleh pengurus UPKD terpilih. Kendala yang sering dihadapi pengelola proyek dan aparat desa pada saat sosialisasi dilaksanakan adalah tidak semua anggota masyarakat mau hadir ketika diundang rapat desa. Masyarakat yang tidak mengikuti sosialisasi biasanya hanya mendapatkan penjelasan dari teman atau tetangga yang hadir saat sosialisasi. Hal ini menyebabkan informasi yang sampai kepada masyarakat lebih terbatas pada hal-hal umum seperti ketersediaan kredit dan keharusan membentuk kelompok. Proses pemahaman masyarakat tentang mekanisme pinjaman dan skema kredit harus dilakukan lagi oleh pengurus UPKD ketika pinjaman disalurkan. Tabel 4.2.1. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Cara Memperoleh Informasi Tentang SAADP (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 1,9 1,0 1,5 Pengumuman tertulis (13,9) (9,9) (12,1) 11,8 27,4 19,6 Pengumuman lisan (32,4) (44,8) (39,8) 68,6 49,0 58,8 Pertemuan/rapat (46,6) (50,2) (49,3) Dialog informal 17,7 21,6 19,6 (tetangga/teman) (38,3) (41,3) (39,8) 0,0 1,0 0,5 Lainnya (0,0) (9,9) (7,0) N 102 102 204 Catatan: Angka di dalam kurung adalah standar deviasi. Bentuk informasi Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 1,0 0,0 0,5 (9,9) (0,0) (7,0) 0,0 4,0 2,0 (0,0) (19,6) (13,9) 47,6 73,2 60,3 (50,2) (44,5) (49,0) 51,4 22,8 37,2 (50,2) (42,1) (48,5) 0,0 0,0 0,0 (0,0) (0,0) (0,0) 103 101 204 Total 1,0 (9,9) 10,8 (31,1) 59,6 (49,1) 28,4 (45,2) 0,2 (4,9) 408

Pelaksanaan sosialisasi diyakini dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan proyek secara keseluruhan. Pemahaman tentang tujuan dan target proyek oleh para pelaksana, khususnya di tingkat akar rumput, dapat mempengaruhi kinerja masing-masing. Kasus yang terjadi di salah satu kecamatan di Kabupaten Konsel dapat dijadikan sebagai contoh. Penjelasan fasilitator di kecamatan tersebut bahwa dana SAADP adalah hibah telah menyebabkan timbulnya persepsi yang keliru di masyarakat bahwa dana SAADP tidak perlu dikembalikan.

36

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

4.3.

Peserta SAADP: Kriteria dan Proses Seleksi

Berdasarkan juklak, peserta SAADP adalah kelompok masyarakat miskin dengan prioritas penduduk atau petani miskin, wanita dan pemuda yang sedang menganggur dan tidak memiliki pekerjaan tetap, dan tidak sedang menjadi penerima proyek lain yang sedang berjalan17. Pada tahap awal pelaksanaan kriteria kelompok masyarakat miskin diterapkan dalam penetapan peserta SAADP di semua desa sampel meskipun tidak secara ketat. Umumnya masyarakat yang menjadi peserta adalah keluarga yang relatif miskin yang antara lain bekerja sebagai petani palawija atau perkebunan, nelayan, pemilik sekaligus pengelola industri rumah tangga, tukang bangunan, sopir, dan pedagang. Banyak di antara mereka tergolong keluarga prasejahtera menurut kriteria BKKBN. Dalam perjalanan pelaksanaan proyek, banyak peserta terutama yang bermata pencaharian sebagai petani tidak dapat mengembalikan pinjaman secara tepat waktu. Hal ini antara lain karena hasil pertanian hanya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga dan terjadinya penurunan hasil panen. Jangka angsuran pinjaman yang biasanya disesuaikan dengan masa tanam (4-6 bulan) pun diperkirakan turut menjadi penyebab. Lamanya jangka angsuran menyebabkan peserta harus membayar sekaligus atau dua kali cicilan dalam jumlah yang cukup besar sehingga mempengaruhi kemauan membayar. Karena alasan tersebut, pada pelaksanaan berikutnya atau tahap perguliran pemberian pinjaman lebih difokuskan pada mereka yang dinilai mampu mengembalikan pinjaman. Pedagang akhirnya menjadi sasaran utama pemberian kredit karena dengan penghasilan hariannya relatif mampu mengembalikan pinjaman secara teratur setiap bulan. Selain itu di beberapa desa, pegawai negeri sipil (PNS) yang pada awal pelaksanaan tidak boleh menjadi peserta, pada tahap berikutnya mulai diperbolehkan. Alasannya PNS mempunyai penghasilan tetap dan lancar membayar angsuran. Pada kenyataannya, pada tahap awal pun ada juga PNS yang menikmati pinjaman, baik secara diam-diam dengan menggunakan nama anggota keluarga maupun secara terbuka dengan tujuan dapat menjadi contoh yang baik bagi peserta lain dalam hal pengembalian. Tabel 4.3.1. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Alasan Menjadi Peserta SAADP (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 81,4 88,2 84,8 94,2 70,3 82,4 Memiliki usaha (39,1) (32,4) (36,0) (23,5) (45,9) (38,2) Dikatagorikan orang 19,6 6,9 13,2 4,9 35,6 20,1 miskin (39,9) (25,4) (34,0) (21,6) (48,1) (40,2) 7,8 28,4 18,1 13,6 8,9 11,3 Lainnya (27,0) (45,3) (38,6) (34,4) (28,6) (31,7) N 102 102 204 103 101 204 Catatan : - Responden dapat menjawab lebih dari satu pilihan alasan. - Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Kriteria Peserta Total 83,6 (37,1) 16,7 (37,3) 14,7 (35,5) 408

17

Ibid.

37

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Secara keseluruhan, Tabel 4.3.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden rumah tangga (83,6%) mengaku menjadi peserta SAADP karena mempunyai usaha. Sedangkan responden yang menjawab menjadi peserta SAADP karena alasan miskin hanya 16,7% rumah tangga. Menurut Bank Dunia dalam diskusi dengan SMERU, fokus pada mereka yang memiliki usaha adalah benar karena SAADP bukan merupakan program yang bersifat sosial tetapi bersifat ekonomi - komersial.18 Tabel 4.3.2 menyajikan penilaian responden terhadap kelompok masyarakat desa peminjam SAADP berdasarkan penggolongan status kesejahteraan. Sebagian besar rumah tangga SAADP (85,1%) berpendapat bahwa kebanyakan penerima SAADP adalah rumah tangga menengah ke bawah, dan hanya 5,4% rumah tangga SAADP yang menyatakan bahwa penerima SAADP adalah kelompok kaya di desa tersebut. Kecenderungan yang sama juga diakui oleh rumah tangga kontrol yang tinggal di desa SAADP, tetapi tidak memperoleh pinjaman dari SAADP. Sekitar 68,5% rumah tangga kontrol di desa SAADP menyatakan bahwa sebagian besar penerima SAADP adalah rumah tangga menengah ke bawah, dan hanya 11,2% yang menyatakan bahwa penerima SAADP adalah kelompok kaya. Tabel 4.3.2. Proporsi Rumah Tangga Responden Berdasarkan Penilaian Kelompok Peminjam SAADP (%)
Sulawesi Tengah Donggala Rumah tangga SAADP: Sebagian besar peserta SAADP RT miskin Sebagian besar peserta SAADP RT menengah Sebagian besar peserta SAADP RT kaya Tolitoli Total

Sulawesi Tenggara
Muna 18,4 (39,0) 45,6 (50,1) 8,7 (28,4) 27,2 (44,7) 0,0 (0,0) 103 9,1 (29,4) 45,5 (51,0) 9,1 (29,4) 31,8 (47,7) 4,5 (21,3) 22 Konsel 51,5 (50,2) 42,6 (49,7) 2,0 (14,0) 4,0 (19,6) 0,0 (0,0) 101 19,0 (40,2) 52,4 (51,2) 19,0 (40,2) 9,5 (30,1) 0,0 (0,0) 21 Total 34,8 (47,8) 44,1 (49,8) 5,4 (22,6) 15,7 (36,5) 0,0 (0,0) 204 14,0 (35,1) 48,8 (50,6) 14,0 (35,1) 20,9 (41,2) 2,3 (15,2) 43

Total

52,0 38,2 45,1 (50,2) (48,8) (49,9) 40,2 52,0 46,1 (49,3) (50,2) (50,0) 6,8 3,9 5,4 (25,4) (19,5) (22,6) 0,0 2,0 1,0 Peserta SAADP merata (0,0) (13,9) (9,9) 1,0 3,9 2,5 Tidak tahu (9,9) (19,5) (15,5) 102 102 204 N Rumah tangga kontrol di desa SAADP: Sebagian besar peserta 56,0 23,8 41,3 SAADP RT miskin (50,7) (43,6) (49,8) Sebagian besar peserta 28,0 38,1 32,6 SAADP RT menengah (45,8) (49,8) (47,4) Sebagian besar peserta 4,0 14,3 8,7 SAADP RT kaya (20,0) (35,9) (28,5) 0,0 0,0 0,0 Peserta SAADP merata (0,0) (0,0) (0,0) 12,0 23,8 17,4 Tidak tahu (33,2) (43,6) (38,3) 25 21 46 N Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi.

40,0 (49,0) 45,1 (49,8) 5,4 (22,6) 8,3 (27,7) 1,2 (11,0) 408 28,1 (45,2) 40,4 (49,4) 11,2 (31,8) 10,1 (30,3) 10,1 (30,3) 89

18

Ibid.

38

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Sementara itu, penilaian masyarakat terhadap transparansi dan keadilan dalam penentuan peserta dapat dilihat pada Tabel 4.3.3. Sekitar 67,7% responden SAADP menyatakan bahwa pemilihan peserta SAADP telah dilakukan secara transparan dan adil. Apabila variabel transparan dan adil dipisahkan, dapat diketahui bahwa 79,5% rumah tangga SAADP menyatakan bahwa seleksi peserta dilakukan secara transparan dan 86,1 % menyatakan dilakukan secara adil. Mereka menilai demikian karena pemilihan dilakukan secara terbuka, khususnya pada awal pelaksanaan, dan masyarakat yang memenuhi persyaratan serta berminat mengajukan pinjaman mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi peserta. Jika dana yang tersedia terbatas, yang lebih dahulu mengajukan akan lebih diutamakan. Sementara itu, rumah tangga yang tidak menjadi peserta tetapi tinggal di desa SAADP, hanya 26,7% responden yang menyatakan bahwa pemilihan peserta SAADP telah dilakukan secara transparan dan adil. Namun demikian, yang menyatakan seleksi peserta SAADP dilakukan secara transparan adalah 58,9% responden dan yang menyatakan adil 63,4% responden. Tabel 4.3.3. Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol tentang Transparansi Seleksi Peserta SAADP (%)
Seleksi Peserta SAADP Rumah tangga SAADP: 70,6 56,9 63,7 (45,8) (49,8) (48,2) 9,8 23,5 16,7 Tidak transparan, adil (29,9) (42,6) (37,4) 12,8 18,6 15,7 Transparan, tidak adil (33,5) (39,1) (36,5) 5,9 0,0 2,9 Tidak transparan, tidak adil (23,6) (0,0) (16,9) 1,0 1,0 1,0 Tidak tahu (9,9) (9,9) (9,9) N 102 102 204 Rumah tangga kontrol di Desa SAADP: 44,0 14,3 30,4 Transparan dan adil (50,7) (35,9) (46,5) 16,0 47,6 30,4 Tidak transparan, adil (37,4) (51,2) (46,5) 32,0 38,1 34,8 Transparan, tidak adil (47,6) (49,8) (48,2) 0,0 0,0 0,0 Tidak transparan, tidak adil (0,0) (0,0) (0,0) 8,0 0,0 4,3 Tidak tahu (27,7) (0,0) (20,6) N 25 21 46 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Transparan dan adil 69,9 (46,1) 23,3 (42,5) 6,8 (25,3) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 103 31,8 (47,7) 31,8 (47,7) 31,8 (47,7) 0,0 (0,0) 4,6 (21,3) 22 73,3 (44,5) 16,8 (37,6) 8,9 (28,6) 1,0 (10,0) 0,0 (0,0) 101 13,6 (35,1) 54,6 (51,0) 27,3 (45,6) 4,6 (21,3) 0,0 (0,0) 22 71,6 (45,2) 20,1 (40,2) 7,8 (27,0) 0,5 (7,0) 0,0 (0,0) 204 22,7 (42,4) 43,2 (50,1) 29,6 (46,2) 2,3 (15,1) 2,3 (15,1) 44 67,7 (46,8) 18,4 (38,8) 11,8 (32,3) 1,7 (13,0) 0,5 (7,0) 408 26,7 (44,5) 36,7 (48,5) 32,2 (47,0) 1,1 (10,5) 3,3 (18,1) 90 Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

Berdasarkan aturan, peserta SAADP adalah masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah desa penerima SAADP yang bersangkutan. Ketentuan ini umumnya diikuti secara ketat. Bahkan, terdapat beberapa peserta yang diminta membawa surat keterangan kepala desa bahwa mereka benar-benar tinggal di wilayah desa tersebut. Meskipun

39

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

demikian, pengurus UPKD di salah satu desa sampel di Kabupaten Muna mengakui bahwa ada juga peminjam yang berasal dari desa tetangga yang tidak menerima SAADP karena mampu mengembalikan pinjaman dengan lancar. Mereka tinggal hanya berseberangan jalan dengan desa sampel dan jumlahnya pun terbatas. Proses seleksi peserta pada tahap awal pelaksanaan berbeda dengan tahap berikutnya atau perguliran. Pada tahap awal, seleksi peserta didasarkan pada seleksi proposal pinjaman yang diajukan melalui kelompok. Jadi proses seleksi peserta pada dasarnya tidak ditetapkan berdasarkan individu. Sesuai dengan penjelasan dalam sosialisasi, peserta yang mengajukan pinjaman umumnya bukan merupakan orang kaya di desa bersangkutan dan bukan pula pegawai. Tidak semua pengajuan dari kelompok masyarakat dapat dipenuhi mengingat keterbatasan dana. Di samping itu, karena pencairan dana dari pemerintah bertahap, maka tidak semua kelompok memperoleh pinjaman secara sekaligus. Penentuan kelompok yang memperoleh pinjaman lebih dahulu biasanya didasarkan pada skala prioritas yang sudah ditentukan saat pengajuan dana dari UPKD ke tingkat kabupaten. Akan tetapi, di satu desa di Kabupaten Muna penentuan kelompok yang didahulukan ditentukan berdasarkan sistem undi. Proses seleksi peserta pada tahap perguliran bervariasi antarwilayah dan pada umumnya sangat bergantung pada pertimbangan subjektif pengurus UPKD. Umumnya UPKD lebih mempertimbangkan kelancaran pengembalian sehingga pinjaman diberikan kepada masyarakat yang dinilai mampu mengembalikan. 4.4. Mekanisme Pelaksanaan

Proses Pengajuan Pinjaman Menurut aturan, pengajuan pinjaman SAADP harus dilakukan melalui kelompok masyarakat. Pada awal pelaksanaan proyek, umumnya aturan dilaksanakan dengan cukup konsisten. Pada tahap ini masyarakat membentuk kelompok atau dikelompokkan oleh UPKD, kemudian mengajukan pinjaman melalui kelompok tersebut. Menurut informasi responden yang dibenarkan oleh UPKD, pada tahap perguliran atau penyaluran dana tahun anggaran berikutnya (apabila desa tersebut memperoleh jatah SAADP tambahan), kelompok hanya dibentuk secara formalitas untuk memenuhi persyaratan proyek saat pengajuan saja. Biasanya masyarakat mengajukan pinjaman secara langsung kepada pengurus UPKD, kemudian dikelompokkan oleh UPKD untuk keperluan pelaporan atau pencatatan.19 Pada Tabel 4.4.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar pinjaman SAADP (76,0%) diajukan melalui kelompok. Sedangkan pinjaman yang diajukan sendiri atau langsung kepada UPKD hanya 23,6%. Namun demikian, informasi tersebut tidak menunjukkan kondisi pengajuan pinjaman saat ini karena data tersebut mencakup semua pinjaman yang pernah dilakukan responden. Sebagian besar pinjaman melalui kelompok merupakan pinjaman pertama yang diajukan pada saat awal pelaksanaan proyek.

19

Uraian lebih rinci dapat dilihat pada sub bab 4.5 tentang sistem kelompok.

40

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 4.4.1. Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Proses Pengajuan Kredit (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total Melalui 88,9 74,6 82,1 50,9 97,4 70,1 kelompok (31,5) (43,7) (38,4) (50,1) (15,9) (45,9) 11,1 25,4 17,9 49,1 0,9 29,2 Sendiri (31,5) (43,7) (38,4) (50,1) (9,3) (45,5) 0,0 0,0 0,0 0,0 1,7 0,7 Tidak tahu (0,0) (0,0) (0,0) (0,0) (13,1) (8,4) N 144 130 274 165 116 281 Catatan: - Terdapat 2 pinjaman yang datanya tidak terisi - Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Pengajuan Total 76,0 (42,7) 23,6 (42,5) 0,4 (6,0) 555

Pengajuan pinjaman SAADP seharusnya dilakukan melalui proposal tertulis. Akan tetapi seperti persyaratan kelompok, proposal tertulis hanya dilakukan pada awal pelaksanaan proyek. Pada tahap berikutnya, umumnya pengajuan hanya disampaikan secara lisan kepada pengurus UPKD. Kemudian, sebagian kecil pengurus UPKD menuangkan pengajuan tersebut ke dalam proposal tertulis, tetapi sebagian besar cukup menuliskan namanya pada daftar orang yang mengajukan pinjaman. Tabel 4.4.2 memperlihatkan bahwa dari 557 pinjaman SAADP yang pernah diterima responden, hanya 383 pinjaman (68,8%) yang diajukan melalui proposal tertulis, yang sebagian besar merupakan pinjaman yang diajukan pada awal pelaksanaan. Berdasarkan pembuat proposal, tampak bahwa dari 383 proposal sekitar 34,7% dibuat oleh pengurus UPKD, 27,4% oleh ketua kelompok, dan hanya 22,5% oleh anggota kelompok. Cukup tingginya proporsi proposal yang dibuat oleh pengurus UPKD, antara lain karena beberapa UPKD menilai bahwa masyarakat setempat sulit untuk diharapkan membuat proposal sendiri karena umumnya berpendidikan rendah. Karenanya, UPKD lebih memilih membuatkan proposal bagi peminjam (biasanya dibantu oleh fasilitator) daripada harus mengajari mereka. Tabel 4.4.2. Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Pembuat Proposal (%)
Yang Membuat Proposal Ketua kelompok Anggota kelompok Peserta/anggota RT Fasilitator Pengurus UPKD Lainnya Tidak tahu Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli 15,8 23,7 (36,6) (42,8) 4,5 21,2 (20,8) (41,2) 21,1 7,5 (40,9) (26,5) 0,0 0,0 (0,0) (0,0) 58,6 41,3 (49,4) (49,5) 0,0 3,8 (0,0) (19,1) 0,0 2,5 (0,0) (15,7) Total 18,8 (39,1) 10,8 (31,1) 16,0 (36,7) 0,0 (0,0) 52,1 (50,1) 1,4 (11,8) 0,9 (9,7) 213 Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 61,2 23,3 38,2 (49,1) (42,5) (48,7) 7,4 56,3 37,1 (26,5) (49,8) (48,4) 9,0 5,8 7,0 (28,8) (23,5) (25,7) 1,5 2,9 2,4 (12,2) (16,9) (15,2) 20,9 7,8 12,9 (41,0) (26,9) (33,7) 0,0 0,0 0,0 (0,0) (0,0) (0,0) 0,0 3,9 2,4 (0,0) (19,4) (15,2) 67 103 170 Total 27,4 (44,7) 22,5 (41,8) 12,0 (32,6) 1,0 (10,2) 34,7 (47,7) 0,8 (8,8) 1,6 (12,4) 383

N=pinjaman yang diajukan 133 80 dengan proposal Catatan: angka dalam kurung adalah standar deviasi.

41

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Proposal yang dibuat secara perorangan diserahkan kepada ketua kelompok untuk direkapitulasi dan kemudian diserahkan kepada pengurus UPKD. Sedangkan proposal yang dibuat oleh ketua kelompok berdasarkan pengajuan anggotanya akan ditandatangani anggota terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada pengurus UPKD.20 Di beberapa desa, proses pembuatan proposal di tingkat anggota dan kelompok serta pembuatan rekapitulasinya turut dibantu oleh fasilitator dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Proposal yang diajukan kepada pengurus UPKD kemudian diverifikasi oleh tim verifikasi desa yang beranggotakan ketua UPKD, fasilitator, dan PPL. Di beberapa desa, ada juga yang melibatkan kepala desa beserta stafnya. Bahkan, di salah satu desa di Kabupaten Tolitoli kepala desa memegang peranan sentral. Di desa ini, pengurus UPKD biasanya menunggu persetujuan kepala desa terlebih dahulu sebelum memberikan kredit kepada seseorang. Persyaratan Tambahan Proyek SAADP tidak menetapkan adanya persyaratan lain karena pinjaman didesain untuk menjadi pinjaman yang mudah diakses masyarakat desa. Oleh karena itu, pada awal pelaksanaan proyek umumnya UPKD tidak menetapkan persyaratan pinjaman tambahan. Namun, setelah proyek berjalan dan banyak terjadi kemacetan pengembalian pinjaman, disadari perlunya perumusan dan kesepakatan tentang hal tersebut sebagai salah satu cara untuk memecahkan masalah kredit macet atau tunggakan. Mengingat tidak ada aturan baku yang dapat dijadikan acuan, maka persyaratan tambahan yang ditetapkan tidak sama antardesa sampel. Biasanya persyaratan tambahan ditetapkan sendiri oleh pengurus UPKD, tetapi ada juga yang merupakan hasil kesepakatan dengan masyarakat atau dengan aparat desa dan tokoh masyarakat. Persyaratan tambahan yang ditetapkan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di masing-masing daerah, antara lain berupa pernyataan menjaminkan aset tertentu (seperti lahan, hasil pertanian, perahu, mesin perahu, ternak, atau barang elektronik), surat keterangan kepala desa, surat tanah, tanda lunas PBB, fotokopi KTP, dan fotokopi KK. Sebagian besar persyaratan tambahan tidak diberlakukan secara umum kepada seluruh masyarakat desa yang akan meminjam, melainkan hanya kepada mereka yang dinilai kurang meyakinkan dalam mengembalikan pinjaman. Pada Tabel 4.4.3 dapat dilihat bahwa sebagian besar pinjaman SAADP (61,3%) tidak disertai surat keterangan/dokumen apapun saat pengajuannya. Sekitar 27,6% pinjaman disertai surat pernyataan menjaminkan aset tertentu, dan 10,1% pinjaman melampirkan fotokopi KTP. Terdapat juga pinjaman SAADP yang disertai jaminan surat berharga seperti layaknya pinjam ke lembaga perbankan, yaitu berupa surat tanah (3,6%) dan Bukti Pemilikan Kendaraan BermotorBPKB (0,2%). Jika dibandingkan antarprovinsi, pinjaman yang memerlukan persyaratan tambahan adalah lebih banyak di Provinsi Sulteng dibanding Sultra.

20

Lihat juga Sub Bab 4.5. tentang Sistem Kelompok.

42

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 4.4.3. Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Jenis Dokumen yang Menjadi Persyaratan Kredit Tambahan (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 0,0 15,4 7,3 0,0 0,0 0,0 Surat tanah (0,0) (36,2) (26,1) (0,0) (0,0) (0,0) 0,7 0,0 0,4 0,0 4,31 1,8 Tanda lunas PBB (8,3) (0,0) (6,0) (0,0) (30,4) (13,2) 0,0 20,8 9,9 15,2 3,4 10,3 Fotokopi KTP (0,0) (40,7) (29,9) (36,0) (18,3) (30,5) 0,0 0,0 0,0 1,8 0,9 1,4 Fotokopi KK (0,0) (0,0) (0,0) (13,4) (9,3) (11,9) 0,7 0,0 0,4 0,0 0,0 0,0 STNK/BPKB (8,3) (0,0) (6,0) (0,0) (0,0) (0,0) Surat Keterangan 3,5 8,5 5,8 0,6 0,0 0,4 Kades/lurah (18,4) (27,9) (23,5) (7,8) (0,0) (6,0) 47,2 30,0 39,1 4,8 32,8 16,4 Pernyataan jaminan (50,1) (46,0) (48,9) (21,5) (47,1) (37,1) Tidak memerlukan 47,2 52,3 49,6 80,6 61,2 72,6 surat/dokumen (50,1) (50,1) (50,1) (39,7) (48,9) (44,7) N 144 130 274 165 116 281 Catatan : -Responden dapat menjawab lebih dari satu pilihan jenis dokumen. -Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Jenis Dokumen Total 3,6 (18,7) 1,1 (10,4) 10,1 (30,1) 0,7 (8,5) 0,2 (4,2) 3,1 (17,2) 27,6 (44,7) 61,3 (48,8) 555

Apabila dihubungkan dengan tujuan penetapan persyaratan tambahan terutama yang berbentuk jaminan harta kekayaan, selayaknya dikaitkan dengan sanksi bila terjadi tunggakan pinjaman, misalnya dengan menyita aset/harta yang dijaminkan. Namun, menurut informasi dari para pengurus UPKD, penetapan jaminan tersebut hanya untuk mengikat secara psikologis atau menakut-nakuti peminjam supaya lancar membayar. Apabila tetap terjadi penunggakan, UPKD tidak melakukan penyitaan jaminan dan lebih memilih menyelesaikannya secara kekeluargaan. Penyitaan aset berupa tanah hanya ditemui di satu desa sampel di Kabupaten Donggala, namun bukan untuk masalah tunggakan melainkan untuk kasus penggelapan uang oleh ketua UPKD. Penyaluran Pinjaman Setelah proposal disetujui, UPKD menyalurkan dana pinjaman kepada peserta peminjam. Pada tahap awal pelaksanaan, dana pinjaman ada yang disalurkan secara langsung kepada peserta, ada pula yang melalui kelompok. ;Pada tahap perguliran hampir semua pinjaman disalurkan secara langsung kepada peserta. Transaksi pinjaman dilakukan dengan penandatanganan pernyataan memiliki pinjaman SAADP oleh masing-masing peminjam. Waktu yang dibutuhkan sejak peserta mengajukan pinjaman hingga menerima dana kredit dari UPKD bervariasi, tergantung kepada keadaan keuangan UPKD. Keadaan keuangan UPKD pada awal pelaksanaan dipengaruhi oleh lamanya proses penyaluran dana dari pemerintah, sedangkan pada tahap perguliran dipengaruhi oleh kelancaran pembayaran angsuran dari masyarakat peminjam.

43

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 4.4.4. Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Lamanya Waktu Pengajuan hingga Pencairan Kredit (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 16,0 36,9 25,9 Satu minggu (36,8) (48,4) (43,9) 14,6 10,0 12,4 Dua minggu (35,4) (30,1) (33,0) 4,8 4,6 4,7 Tiga minggu (21,6) (21,1) (21,3) 14,6 14,6 14,6 Satu bulan (35,4) (35,5) (35,4) Lebih dari satu 50,0 32,3 41,6 bulan (50,0) (46,9) (49,4) 0,0 1,5 0,7 Tidak tahu/lupa (0,0) (12,4) (8,5) N 144 130 274 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Waktu Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 46,7 11,2 32,0 (50,0) (31,7) (46,7) 12,1 14,7 13,2 (32,7) (35,5) (33,9) 1,2 6,9 3,6 (41,0) (25,4) (18,6) 21,2 19,8 20,6 (41,0) (40,0) (40,5) 18,8 42,2 28,5 (39,2) (49,6) (45,2) 0,0 5,2 2,1 (0,0) (22,2) (14,5) 165 116 281 Total 29,0 (45,4) 12,8 (33,4) 4,1 (19,9) 17,7 (38,2) 35,0 (47,7) 1,4 (11,9) 555

Secara umum waktu pencairan relatif cepat, seperti terlihat pada Tabel 4.4.4. Sekitar 63,6% pinjaman hanya memakan waktu satu bulan atau kurang. Sedangkan pinjaman yang harus menunggu hingga lebih dari satu bulan hanya 35,0%. Penyaluran pinjaman pada awal pelaksanaan umumnya harus menunggu lebih lama, karena harus menunggu turunnya dana proyek yang disalurkan melalui tiga termin selama sekitar 3 bulan. Sedangkan pinjaman pada tahap perguliran, waktu pencairannya relatif lebih cepat, bahkan apabila dana di UPKD tersedia, ada peminjam yang mengajukan dan menerima dana pada hari itu juga, terutama bagi peminjam yang sebelumnya dinilai mempunyai kinerja baik. Skema Kredit Besarnya pinjaman antarpeserta bervariasi, baik di dalam satu desa yang sama maupun antaradesa yang satu dengan desa lainnya, dengan kisaran antara 200 ribu hingga 5 juta rupiah. Pada awal pelaksanaan proyek, besarnya pinjaman ditentukan oleh tim verifikasi desa yang terdiri dari ketua UPKD, fasilitator, dan PPL, yang biasanya melibatkan kepala desa. Namun, pada tahap perguliran umumnya cukup ditentukan oleh pengurus UPKD. Pertimbangan yang digunakan dalam menentukan besarnya pinjaman adalah pengajuan peserta, kemampuan peserta dalam mengembalikan pinjaman dan ketersediaan dana pada UPKD. Tabel 4.4.5 menunjukkan bahwa secara umum, besar pinjaman terbanyak adalah berkisar antara lebih dari 500 ribu sampai dengan 1 juta rupiah(39% pinjaman). Umumnya peserta yang bermata pencaharian usaha tani cenderung mendapat pinjaman lebih kecil dibandingkan dengan peserta yang mempunyai usaha lainnya, khususnya usaha dagang. Hal ini ditunjukkan dengan semakin kecilnya proporsi pinjaman untuk usaha tani pada kisaran jumlah pinjaman yang semakin besar. Sebaliknya, untuk usaha dagang dan peternakan, semakin besar pinjaman semakin besar pula proporsinya. Kisaran pinjaman 200 ribu hingga 500 ribu rupiah dan 500 ribu hingga 1 juta rupiah, paling banyak diakses oleh pinjaman untuk usaha tani, yaitu masing-masing 49,2% dan 35,3% pinjaman. Sedangkan pada kisaran pinjaman lebih dari 1 juta hingga 2 juta rupiah dan lebih dari 2

44

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

juta hingga 5 juta rupiah, banyak diterima oleh pinjaman untuk usaha dagang, yaitu masing-masing sebanyak 39,4% dan 47,8% pinjaman. Diakui oleh para petani bahwa besarnya pinjaman yang diterima jumlahnya relatif kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan usaha mereka. Informasi kualitatif mengindikasikan bahwa pinjaman yang lebih besar juga diberikan kepada PNS, aparat desa dan peserta yang mempunyai hubungan dekat dengan pengurus UPKD. Tabel 4.4.5. Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Penggunaan dan Besarnya Pinjaman (%)
Penggunaan Pinjaman Modal usaha tani Modal usaha nelayan Modal usaha peternakan Modal usaha industri Modal usaha dagang Modal usaha lain Perbaikan/pembangunan rumah dan konsumsi lainnya Membuka lahan tidur N (% terhadap N total) Rp200.000 s/d <Rp500.000 49,2 6,4 3,2 5,6 30,2 0,8 4,0 0,8 126 (22,6%) >Rp500.000 s/d Rp1 juta 35,3 3,2 8,3 11,5 28,0 6,0 5,1 2,8 218 (39,1%) >Rp1 juta s/d Rp2 juta 32,9 1,4 6,9 6,9 39,4 5,5 6,9 0,7 146 (26,2%) > Rp2 juta s/d Rp5 juta 10,5 11,9 14,9 3,0 47,8 3,0 9,0 0,0 67 (12,0%) Total 34,8 4,5 7,5 7,9 33,8 4,3 5,8 1,4 557 (100%)

Tabel 4.4.6 menunjukkan bahwa realisasi sebagian besar pinjaman SAADP (66,3%) adalah sama dengan pengajuan. Sekitar 32,3% pinjaman lainnya lebih kecil dari pengajuan dan hanya 1.4% pinjaman yang lebih besar dari pengajuan. Jika dibandingkan antarprovinsi, realisasi pinjaman yang lebih kecil dari pengajuan lebih banyak terjadi di Sultra (46,6% pinjaman), bahkan di Kabupaten Konsel mencapai 68,6% pinjaman. Sementara, jika dilihat dari jenis kegiatan yang diajukan menunjukkan bahwa pinjaman untuk modal usaha tani yang realisasinya lebih rendah dari pengajuan adalah lebih tinggi dibanding pinjaman untuk usaha dagang. Sementara, jika dilihat dari jenis kegiatan yang diajukan menunjukkan bahwa pinjaman yang realisasinya kurang dari pengajuan adalah lebih banyak terjadi pada pinjaman untuk usaha tani (45,4%) dibanding pinjaman untuk usaha dagang (19,7%) (lihat Tabel Lampiran 4.1). Tabel 4.4.6. Proporsi Pinjaman Berdasarkan Perbandingan Realisasi terhadap Pengajuan Besarnya Pinjaman (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 86,8 76,9 82,1 Sama (34,0) (42,3) (38,4) 12,5 23,1 17,5 Lebih kecil (33,2) (42,3) (38,1) 0,7 0,0 0,4 Lebih besar (8,3) (0,0) (6,0) N 144 130 274 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Perbandingan Realisasi dan Pengajuan Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 67,9 27,1 50,9 (46,8) (44,6) (50,1) 30,9 68,6 46,6 (46,3) (46,6) (50,0) 1,2 4,2 2,5 (11,0) (20,0) (15,6) 165 118 283 Total 66,2 (47,3) 32,3 (46,8) 1,4 (11,9) 557

45

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Berkaitan dengan bunga pinjaman, kredit SAADP dirancang sebagai kredit komersial sehingga harus mengenakan bunga pinjaman. Bunga pinjaman yang ditentukan juklak adalah minimal 15% per tahun dan diputuskan berdasarkan musyawarah masyarakat. Dalam pelaksanaannya, besarnya bunga pinjaman ditetapkan berdasarkan hasil pertemuan antara pengurus UPKD, manajer klaster, pimpro, dan fasilitator di tingkat kabupaten. Setelah pertemuan tersebut, biasanya dilakukan musyawarah warga di masing-masing desa. Musyawarah tersebut umumnya hanya bertujuan menyampaikan hasil keputusan dari pertemuan di tingkat kabupaten karena warga masyarakat biasanya hanya tinggal menyetujui. Pada tahun pertama pelaksanaan proyek setelah redesain, yaitu tahun 1999/2000, umumnya desa menetapkan besarnya bunga sesuai dengan batas minimal juklak, yaitu sebesar 15% per tahun. Namun, dalam perkembangan selanjutnya besarnya bunga mengalami peningkatan menjadi 18% hingga 24% per tahun. Informasi kualitatif menyebutkan bahwa peningkatan bunga tersebut dilakukan karena adanya masukan dari pengurus UPKD berkaitan dengan rendahnya honorarium yang diperoleh UPKD dari bunga pinjaman. Rendahnya honorarium tersebut menjadi penyebab banyaknya pengurus yang mengundurkan diri. Oleh karena itu, ditempuh jalan keluar dengan meningkatkan bunga pinjaman. Di beberapa kasus, penetapan bunga tersebut tidak dilaksanakan secara kaku. Misalnya, di salah satu desa sampel di Kabupaten Donggala, besarnya bunga yang telah ditetapkan sebesar 18% per tahun, kemudian diturunkan menjadi 15% per tahun khususnya bagi peminjam yang merasa kesulitan dalam membayar angsuran karena alasan teknis. Tabel 4.4.7 menunjukkan bahwa umumnya pinjaman SAADP (91,9%) dikenai bunga pinjaman antara 15 24% per tahun, yang merupakan kisaran bunga pinjaman di semua desa sampel sejak awal pelaksanaan hingga saat ini. Pinjaman yang dikenai bunga di bawah 15% per tahun hanya 1,4%, dan yang dikenai bunga di atas 24% per tahun hanya 4,3%. Adanya pinjaman yang dikenakan bunga lebih kecil dari 15% atau lebih tinggi dari 24% per tahun diperkirakan karena terdapat pinjaman yang dibayar lunas lebih cepat atau lebih lambat dari jangka waktu pinjaman yang ditetapkan. Cukup banyak responden yang tidak mengetahui persentase bunga yang dikenakan kepada mereka. Mereka hanya mengetahui jumlah bunga yang harus dibayar dalam bentuk nilai nominal yang besarnya tetap, baik jika membayar lunas lebih lambat maupun lebih cepat dari kesepakatan. Sehingga jika dipersentasekan, peminjam yang melunasi pinjaman lebih cepat akan membayar bunga per tahun lebih tinggi. Sebaliknya, bagi yang lebih lambat melunasi akan membayar bunga per tahun lebih rendah. Umumnya, jangka pinjaman ditentukan paling lama satu tahun. Sedangkan periode dan frekuensi angsuran bervariasi, biasanya tergantung pada jenis usaha yang diajukan peserta pada proposal pinjaman. Pinjaman untuk usaha/kegiatan di luar usaha tani biasanya diangsur setiap bulan, sedangkan pinjaman untuk usaha tani diangsur sesuai dengan periode tanam, biasanya berkisar tiga sampai enam bulan sekali.

46

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 4.4.7. Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Tingkat Bunga per Tahun (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 1,4 3,8 2,6 Tidak tahu (11,7) (19,3) (15,8) 0 2,3 1,1 <15% (0,0) (15,1) (10,4) 98,6 93,1 96,0 15-24% (11,7) (25,5) (19,7) 1,4 4,6 2,9 >24% (11,7) (21,1) (16,9) N 144 130 274 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Tingkat bunga per tahun Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 0,6 0 0,4 (7,8) (0,0) (5,9) 7,9 4,2 6,4 (27,0) (20,2) (24,5) 82,4 95,8 88,0 (38,2) (20,2) (32,6) 9,7 0 5,7 (29,7) (0,0) (23,1) 165 118 283 Total 1,4 (11,9) 3,8 (19,1) 91,9 (27,3) 4,3 (20,3) 557

Pada awal pelaksanaan, peserta membayar angsuran pinjaman melalui dua cara, yaitu langsung kepada pengurus UPKD atau melalui ketua kelompok. Pada tahap selanjutnya, yaitu tahun kedua atau perguliran dana, sebagian besar peserta mengembalikan langsung kepada pengurus UPKD. Beberapa alasan peminjam mengembalikan langsung kepada pengurus UPKD secara perorangan, antara lain: i) adanya pemotongan dana oleh ketua kelompok; ii) ketua kelompok menuntut insentif kepada pengurus UPKD; iii) peserta khawatir pembayaran angsurannya tidak disampaikan ketua kelompok kepada UPKD; dan iii) ketua kelompok keberatan dibebani tugas menyampaikan pembayaran angsuran dari peserta. Meskipun demikian, dalam jumlah terbatas masih ada beberapa peminjam yang mengembalikan pinjaman melalui kelompok hingga saat ini. Pemberian Insentif oleh Responden Dalam juklak program tidak ada peraturan tentang insentif yang harus dibayar oleh peminjam kepada pihak mana pun, kecuali pembayaran bunga pinjaman. Semua biaya administrasi dan biaya operasional pelaksanaan proyek diambil dari dana proyek pada tahun pertama dan berikutnya dari perolehan bunga pinjaman. Dalam pelaksanaan, hal ini sesuai dengan pengakuan 90,7% responden di seluruh desa sampel yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah memberikan insentif (uang balas jasa/upah) kepada pihak mana pun, baik pengurus UPKD maupun aparat desa (lihat Tabel 4.4.8). Tabel 4.4.8. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pengakuan Pemberian Insentif kepada Pengurus UPKD (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 5,9 10,8 8,3 1,9 0,0 1,0 Ya, selalu (23,6) (31,2) (27,7) (13,9) (0,0) (9,9) 2,9 10,8 6,9 1,0 3,0 2,0 Ya, kadang-kadang (17,0) (31,2) (25,3) (9,9) (17,1) (13,9) 91,2 78,4 84,8 97,1 96,0 96,6 Tidak pernah (28,5) (41,3) (36,0) (16,9) (19,6) (18,2) 0,0 0,0 0,0 0,0 1,0 0,5 Tidak tahu (0,0) (0,0) (0,0) (0,0) (10,0) (7,0) N 102 102 204 103 101 204 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Memberi Insentif Total 4,7 (21,1) 4,4 (20,6) 90,7 (29,1) 0,3 (5,0) 408

47

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Responden yang menyatakan bahwa mereka pernah memberikan insentif (selalu dan kadang-kadang) hanya 9,1%. Sekitar 4,7% responden mengaku bahwa mereka memberi insentif atas dasar sukarela, sementara 2,9% responden mengaku memberi insentif karena diminta oleh pengurus UPKD. Selain itu, satu desa di Kabupaten Tolitoli, ditemui beberapa responden yang dikenai kutipan dana oleh kepala desa antara Rp17.500 - Rp37.500 untuk setiap pinjaman dan mereka tidak memperoleh penjelasan tentang peruntukkan biaya tersebut. Di salah satu desa di Kabupaten Konsel, juga ditemui responden yang dikenai biaya Rp3.000 oleh pengurus UPKD untuk biaya pembuatan proposal. 4.5. Sistem Kelompok

Pada umumnya kelompok dibentuk pada tahap awal pelaksanaan SAADP guna memenuhi persyaratan proyek bahwa dana pinjaman harus disalurkan melalui sistem kelompok. Masyarakat umumnya juga mengetahui bahwa bantuan SAADP diberikan kepada mereka dalam bentuk kelompok. Namun, inisiatif dan dasar pembentukan kelompok ternyata bervariasi antarwilayah. Kelompok jenis pertama adalah kelompok dibuat atas inisiatif masyarakat. Kelompok ini biasanya mencari anggota berdasarkan kedekatan rumah dan kesamaan usaha, seperti petani dan nelayan. Ketua kelompok dipilih berdasarkan musyawarah anggota. Kelompok jenis kedua, pengurus UPKD memilih ketua kelompok, selanjutnya ketua kelompok mencari anggota. Kelompok jenis ketiga, adalah kelompok yang dibentuk langsung oleh pengurus UPKD. Pada awal pelaksanaan, pembentukan kelompok oleh UPKD biasanya banyak dibantu oleh fasilitator dan umumnya dibentuk saat pengajuan pinjaman berdasarkan kesamaan jenis usaha. Pada tahap perguliran, pembentukan kelompok lebih banyak ditentukan sendiri oleh UPKD atas dasar kesamaan waktu pencairan dana pinjaman. Pembentukan kelompok dilakukan saat peserta menerima kredit dari pengurus UPKD dan hanya berupa kelompok di atas kertas saja. Ada peserta yang menyadari bahwa mereka dikelompokkan, tetapi ada juga yang tidak. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.4.1 pada bagian 4.4 di atas, terdapat 76% atau 422 pinjaman yang diajukan melalui kelompok. Apabila dilihat berdasarkan inisiator pembentukan kelompok, ternyata cukup bervariasi, seperti tampak pada Tabel 4.5.1. Sebagian besar pinjaman (48,8%) diajukan melalui kelompok yang dibentuk atas inisiatif pengurus UPKD. Sekitar 32,7% pinjaman diajukan oleh kelompok yang dibentuk atas inisiatif masyarakat/peserta sendiri, dan hanya 6,2% yang diajukan oleh kelompok lama yang sudah terbentuk sebelumnya.

48

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 4.5.1. Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan yang Berinisiatif Membentuk Kelompok (%)
Inisiator Fasilitator/LSM Pengurus UPKD Kepala desa Kepala dusun/RT/ RW Tokoh masyarakat Kelompok lama Masyarakat biasa Lainnya Tidak tahu Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 0,8 1,0 0,9 (8,8) (10,2) (9,4) 67,9 38,1 55,1 (16,8) (48,8) (49,8) 0,8 6,2 3,1 (8,8) (24,2) (17,4) 0,0 3,1 1,3 (0,0) (17,4) (11,5) 0,8 2,1 1,3 (8,8) (14,3) (11,5) 3,9 12,4 7,6 (19,5) (33,1) (26,5) 25,8 29,9 27,6 (43,9) (46,0) (44,8) 0,0 1,0 0,4 (0,0) (10,2) (6,7) 0,0 6,2 2,7 (0,0) (24,2) (16,1) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 1,2 16,8 10,2 (10,9) (37,6) (30,3) 33,3 47,8 41,6 (47,4) (50,2) (49,4) 1,2 3,5 2,5 (10,9) (18,6) (15,8) 0,0 0,9 0,5 (0,0) (9,4) (7,1) 0,0 2,7 1,5 (0,0) (16,1) (12,3) 1,2 7,0 4,6 (10,9) (25,8) (20,9) 63,1 20,4 38,6 (48,5) (40,4) (48,8) 0,0 0,0 0,0 (0,0) (0,0) (0,0) 0,0 0,9 0,5 (0,0) (9,4) (7,1) 84 113 197 Total 5,2 (22,3) 48,8 (50,0) 2,8 (16,6) 0,9 (9,7) 1,4 (11,9) 6,2 (24,1) 32,7 (47,0) 0,2 (4,9) 1,7 (12,8) 422

N=pinjaman melalui 128 97 225 kelompok Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi.

Pembentukan kelompok umumnya didasarkan pada kesamaan jenis usaha (86,6% pinjaman) seperti terlihat dalam Tabel 4.5.2. Hal ini berlaku di seluruh kabupaten sampel. Selain itu, dalam jumlah kecil, dasar pembentukan kelompok yang lain adalah kedekatan lokasi rumah, kedekatan lokasi usaha, dan hubungan keluarga. Tabel 4.5.2. Proporsi Pinjaman SAADP Berdasarkan Dasar Pembentukan Kelompok (%)
Dasar Pembentukan Kelompok Kesamaan jenis usaha Kedekatan lokasi rumah Kedekatan lokasi usaha Hubungan keluarga Lainnya Tidak tahu Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli 85,9 83,5 (34,9) (37,3) 6,3 4,1 (24,3) (20,0) 0,0 1,0 (0,0) (10,2) 4,7 0,0 (21,2) (0,0) 0,8 5,2 (8,83) (22,2) 2,3 6,2 (15,2) (24,2) Total 84,9 (35,9) 5,3 (22,5) 0,4 (6,7) 2,7 (16,1) 2,7 (16,1) 4,0 (19,6) 225 Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 94,0 81,4 86,8 (23,8) (39,1) (33,9) 6,0 5,3 5,6 (23,8) (22,5) (23,0) 0,0 6,1 3,6 (0,0) (24,2) (18,6) 0,0 2,7 1,5 (0,0) (16,1) (12,3) 0,0 2,7 1,5 (0,0) (16,1) (12,3) 0,0 1,8 1,0 (0,0) (13,2) (10,0) 84 113 197 Total 85,8 (35,0) 5,5 (22,7) 1,9 (13,7) 2,1 (14,5) 2,1 (14,5) 2,6 (16,0) 422

N=pinjaman melalui 128 97 kelompok Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi.

49

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Dalam praktiknya, kelompok hanya berfungsi pada tahap awal pelaksanaan SAADP, terutama pada saat pengajuan proposal/pinjaman. Pada saat penyaluran pinjaman, biasanya pengurus UPKD meminta ketua kelompok dan anggotanya datang secara bersama-sama untuk menerima dana atau menyerahkan pinjaman kepada ketua kelompok untuk selanjutnya dibagikan kepada anggotanya. Pada awal pelaksanaan, sebagian peserta yang menerima dana melalui ketua kelompok, membayar angsuran melalui kelompok juga. Sebagaimana diuraikan pada subbab 4.3, pada tahap berikutnya atau tahap perguliran, sebagian besar peminjam lebih memilih membayar angsuran pinjaman langsung kepada pengurus UPKD. Hal ini menyebabkan keberadaan kelompok relatif tidak berfungsi pada saat ini. Sebetulnya filosofi pembentukan kelompok pada sebagian besar proyek pemerintah adalah agar peserta dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mengembangkan usaha masing-masing.21 Dengan bantuan fasilitator diharapkan kelompok lebih memahami tentang proyek dan mampu menyusun prioritas kegiatan yang dituangkan dalam proposal. PPL diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah teknis pertanian yang dihadapi peserta. Tapi kenyataan di lapangan, hal ini masih jauh dari yang diharapkan. Pembentukan kelompok umumnya hanya untuk memenuhi persyaratan proyek, fasilitator lebih banyak berperan dalam mendampingi UPKD, sedangkan PPL hanya menjalankan fungsi tim verifikasi tanpa dibarengi dengan pelaksanaan tugas institusinya sebagai penyuluh pertanian lapangan. Karenanya, kelompok yang relatif bagus hanya ditemui di desa tertentu dan dalam jumlah yang sangat terbatas.

21

Bank Dunia menyatakan bahwa pembentukan kelompok masyarakat pada SAADP ditujukan untuk mengurangi biaya penyaluran dan pengumpulan angsuran dana kepada dan dari masyarakat.

50

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

V.
5.1. Proses Pembentukan UPKD

SISTEM UPKD

Keterlibatan Responden Tidak semua responden mengetahui dan terlibat dalam proses pembentukan UPKD, bahkan ada responden yang tidak mengetahui secara pasti pengelola dan sumber uang pinjaman yang diterimanya. Hanya sekitar 58,8% dari total 408 responden rumah tangga SAADP yang mengaku mengetahui proses pembentukan UPKD (lihat Tabel 5.1.1). Proporsi responden yang mengetahui pembentukan UPKD di Provinsi Sultra (70,6%) lebih banyak dibanding di Provinsi Sulteng (47,1%). Sementara di Kabupaten Donggala, responden yang mengetahui proses pembetukan UPKD paling sedikit (43%) dibandingkan di tiga kabupaten lainnya, yaitu di Tolitoli 51%, Muna 71%, dan Konsel 70%. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses sosialisasi di seluruh kabupaten sampel tidak sepenuhnya berjalan dengan baik dan tidak mencakup seluruh lapisan masyarakat yang menjadi sasaran proyek. Keterlibatan responden dalam pembentukan UPKD pada umumnya ditandai dengan kehadiran pada forum musyawarah dan sekaligus ikut memilih. Hal ini diakui oleh sekitar 46,1% responden. Tabel 5.1.1. Proporsi Rumah Tangga SAADP yang Mengetahui dan Terlibat dalam Proses Pembentukan UPKD (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Ya, mengetahui 43,1 51,0 47,1 pembentukan UPKD (49,8) (50,2) (50,0) 43,1 39,2 41,2 Hadir dan ikut memilih (49,8) (49,1) (49,3) N 102 102 204 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 70,9 70,3 70,6 (45,7) (45,9) (45,7) 37,9 64,4 51,0 (48,7) (48,1) (50,1) 103 101 204 Total 58,8 (49,3) 46,1 (49,9) 408

Penentuan Pengurus UPKD Walaupun tidak semua responden mengetahui dan terlibat langsung dalam proses pembentukan UPKD, namun pada dasarnya proses tersebut berjalan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan program. Diakui oleh sekitar 92,9% dari 240 responden rumah tangga SAADP yang mengaku mengetahui proses pembentukan UPKD bahwa penentuan pengurus UPKD dilakukan dalam forum musyawarah desa yang melibatkan masyarakat (musyawarah masyarakat). Hanya sekitar 7,1% responden saja yang menyatakan bahwa UPKD terbentuk melalui musyawarah aparat desa dan penunjukan langsung oleh aparat desa (lihat Tabel 5.1.2). Hasil wawancara dengan aparat desa dan pengurus UPKD di tiap desa sampel juga mendukung data di atas. Umumnya UPKD sebagai lembaga pengelola dana bergulir SAADP di tingkat desa terbentuk pada 1999 melalui forum musyawarah desa. Forum tersebut dihadiri oleh masyarakat desa, aparat, tokoh masyarakat, fasilitator, wakil kecamatan serta pemimpin proyek di tingkat kabupaten. Pada kesempatan itu, pihak-pihak yang hadir, terutama warga masyarakat, memilih pengurus UPKD di antara calon pengurus yang diusulkan oleh masyarakat sendiri. Mereka menilai proses pembentukan serta pemilihan pengurus tersebut berjalan baik dan transparan.

51

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 5.1.2. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Cara Penentuan Pengurus UPKD (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 2,3 5,8 4,2 Musyawarah aparat desa (15,1) (23,5) (20,1) 93,2 88,5 90,6 Musyawarah masyarakat (25,5) (32,3) (29,3) 4,6 5,8 5,2 Ditunjuk aparat desa (21,1) (23,5) (22,3) N=Yang mengetahui 44 52 96 pembentukan UPKD Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Cara Penentuan Pengurus UPKD Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 0,0 9,9 4,9 (0,0) (30,0) (21,5) 98,6 90,1 94,4 (11,7) (30,0) (22,9) 1,4 0,0 0,7 (11,7) (0,0) (8,3) 73 71 144 Total 4,6 (21,0) 92,9 (25,7) 2,5 (15,6) 240

5.2.

Pengurus UPKD

Kriteria Pengurus UPKD Berdasarkan penjelasan aparat desa dan pengurus UPKD di semua desa sampel, kriteria yang harus dipenuhi oleh calon pengurus UPKD pada umumnya adalah penduduk desa setempat dan minimal tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada tingkat pendidikan tersebut, calon pengurus diharapkan mudah menyerap materi pelatihan tentang pembukuan, mampu mengelola keuangan, berwawasan luas, serta berani tampil di depan umum. Selain itu, terdapat kriteria lain yang relatif berbeda antardesa. Misalnya di salah satu desa di Kabupaten Tolitoli, pengurus UPKD harus berpengalaman dalam bidang perkebunan atau peternakan, serta mempunyai kendaraan pribadi untuk memperlancar kerja UPKD. Sementara di sebuah desa di Kabupaten Muna, para pengurus UPKD harus mewakili dusun dan suku yang ada. Dalam praktiknya, ketua dipilih dari suku Muna, bendahara dari suku Jawa, dan sekretaris dari suku Bali. Hal ini dilakukan untuk mempermudah koordinasi dan komunikasi antarwarga masyarakat. Menurut informasi kualitatif, latar belakang status pengurus UPKD secara individu adalah bervariasi, baik antardesa maupun pada satu desa yang sama. Sebagian besar pengurus adalah warga biasa, tetapi ada juga yang sebelumnya sudah menjadi tokoh masyarakat. Hal ini sesuai dengan data responden yang disajikan pada Tabel 5.2.1 yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden SAADP (68,1%) menyatakan bahwa pengurus UPKD adalah warga biasa, dan sekitar 31,1% responden menyatakan bahwa pengurus UPKD adalah tokoh masyarakat. Meskipun di beberapa desa diperoleh informasi bahwa aparat desa dilarang menjadi pengurus UPKD dan desain proyek SAADP sendiri pada dasarnya meminimalkan campur tangan aparat desa, namun pada pelaksanaannya ditemui aparat desa yang menjadi pengurus UPKD meskipun tidak menjadi ketua. Data responden menunjukkan bahwa 11% responden SAADP menjawab bahwa pengurus UPKD di desa mereka adalah aparat desa.

52

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 5.2.1. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Latar Belakang Pengurus UPKD (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 5,9 17,7 11,8 0,0 20,8 10,3 Aparat desa (23,6) (38,3) (32,3) (0,0) (40,8) (30,5) Tokoh 27,5 39,2 33,3 41,8 15,8 28,9 masyarakat (44,84) (49,1) (47,3) (49,6) (36,7) (45,5) 58,8 42,2 50,5 79,6 92,1 85,8 Warga biasa (49,5) (49,6) (50,1) (40,5) (27,1) (35,0) 0,0 0,0 0,0 1,0 0,0 0,5 Lainnya (0,0) (0,0) (0,0) (9,9) (0,0) (7,0) 20,6 33,3 27,0 8,7 3,0 5,9 Tidak tahu (40,6) (47,4) (44,5) (28,4) (17,1) (23,6) N 102 102 204 103 101 204 Catatan:-Responden boleh menjawab lebih dari satu pilihan jawaban. -Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Latar belakang pengurus UPKD Total 11,0 (31,4) 31,1 (46,4) 68,1 (46,7) 0,3 (5,0) 16,4 (37,1) 408

Jika mengacu pada juklak program, pengurus UPKD adalah sebuah kelompok kecil yang terdiri dari 3-5 orang. Pada awal pelaksanaan proyek, jumlah pengurus UPKD di beberapa desa berkisar antara 4-5 orang, terdiri dari ketua, sekretaris/juru tagih, bendahara, seksi kegiatan ekonomi dan seksi kegiatan fisik. Namun, beberapa saat setelah UPKD beroperasi, biasanya jumlah pengurus berkurang menjadi tiga orang, terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara. Susunan kepengurusan seperti ini masih ditemui di hampir seluruh kabupaten sampel, kecuali di Kabupaten Muna. Pengurus UPKD di kabupaten tersebut umumnya hanya dijabat oleh satu orang, yaitu ketuanya saja. Sedangkan pengurus lainnya mengundurkan diri atau tidak aktif dengan sendirinya karena merasa honor yang diterima terlalu kecil. Hingga saat ini belum ada upaya dari pihak terkait, seperti ketua UPKD dan aparat desa, untuk mengganti pengurus yang mengundurkan diri tersebut. Menurut juklak program, pengurus UPKD dipilih kembali setelah tiga tahun masa kepengurusan. Dalam pelaksanaannya, aturan ini umumnya tidak diterapkan meskipun beberapa desa sampel sudah melalui periode tiga tahun. Hal ini antara lain karena masyarakat dan pengurus UPKD kurang memperhatikan, tidak tahu tentang aturan tersebut, atau kesulitan mencari orang yang mampu dan bersedia menggantikan pengurus. Meskipun demikian, ditemui beberapa UPKD yang mengalami pergantian pengurus, baik untuk jabatan ketua, sekretaris maupun bendahara. Pergantian tersebut bukan untuk memenuhi aturan melainkan karena alasan lain, antara lain karena pengurus sibuk mengurusi kegiatan lain, dianggap tidak mampu mengelola keuangan, tidak cukup berwibawa terutama dalam menagih pinjaman kepada warga, atau kurang aktif serta kondisi kesehatan yang tidak mendukung. Ada juga pergantian pengurus (beberapa di antaranya adalah ketua UPKD) karena alasan penyelewengan dana, yaitu tidak menyetorkan angsuran atau membawa lari dana SAADP. Kasus seperti ini ditemui di Kabupaten Tolitoli, Donggala dan Konsel.22 Kemampuan kerja sama antarpengurus UPKD merupakan bagian penting dari keberhasilan program. Beberapa kasus menunjukkan bahwa ketidakharmonisan pengurus UPKD berdampak negatif pada kelancaran perguliran dana. Di satu desa di Kabupaten Konsel
22

Sebagian dari kasus tersebut sudah dapat diselesaikan, antara lain dengan melibatkan aparat keamanan, BPD (Badan Perwakilan Desa), atau menyita hak milik pengurus (tanah/kebun) untuk mengganti uang yang diselewengkan.

53

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

misalnya, sejak awal pencairan dana beberapa anggota pengurus UPKD mengundurkan diri karena merasa perannya didominasi oleh ketua UPKD. Setelah hanya dipegang oleh satu orang, penyaluran dana menjadi tidak terkontrol dan terjadi penyimpangan. Hal yang sama terjadi di salah satu desa di Kabupaten Tolitoli, ketika ketua tidak melibatkan pengurus lain dalam urusan pencairan dana, kecuali masalah administrasi. Karena tidak ada kontrol, ketua melarikan uang pengembalian pinjaman dari masyarakat. Penilaian terhadap Kinerja Pengurus UPKD Pada tabel 5.2.2 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden rumah tangga SAADP (71,3%) menilai bahwa pengurus UPKD mampu mengelola UPKD. Kecenderungan yang sama terjadi di empat kabupaten sampel, terbanyak di Kabupaten Donggala (85,3% responden), dan paling sedikit di Kabupaten Konsel (50,5% responden). Sedangkan responden yang menilai pengurus UPKD tidak atau kurang mampu mengelola UPKD adalah sekitar 23,8%, paling banyak di Kabupaten Konsel (44,6% responden) dan paling sedikit di Kabupaten Donggala (9,8% responden). Tabel 5.2.2. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Penilaian terhadap Kemampuan Pengurus UPKD (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 85,3 73,5 79,4 Mampu (35,6) (44,3) (40,5) 6,9 16,7 11,8 Kurang mampu (25,4) (37,5) (32,3) 2,9 2,0 2,5 Tidak mampu (17,0) (13,9) (15,5) 4,9 7,8 6,4 Tidak tahu (21,7) (27,0) (24,5) N 102 102 204 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Kemampuan Pengurus UPKD Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 75,7 50,5 63,2 (43,1) (50,2) (48,3) 17,5 32,7 25,0 (38,2) (47,1) (43,4) 4,9 11,9 8,3 (21,6) (32,5) (27,7) 1,9 5,0 3,4 (13,9) (21,8) (18,2) 103 101 204 Total 71,3 (45,3) 18,4 (38,8) 5,4 (22,6) 4,9 (21,6) 408

Penilaian responden terhadap kemampuan pengurus UPKD tersebut sejalan dengan informasi kualitatif tentang perkembangan UPKD. UPKD sampel di Kabupten Donggala lebih berhasil dalam penyaluran dan pengembalian pinjaman SAADP dibandingkan dengan UPKD yang ada di kabupaten sampel lainnya. Sebaliknya, UPKD sampel di Kabupaten Konsel memiliki tingkat kemacetan pengembalian pinjaman yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Ketika ditanyakan tentang penyebab pengurus tidak/kurang mampu mengelola UPKD, sekitar 34% responden menjawab karena kurangnya pendampingan dan pelatihan, seperti terlihat dalam Tabel 5.2.3. Kurangnya pendampingan dan pelatihan merupakan penyebab yang paling banyak dikemukakan responden di Kabupaten Tolitoli (42,1%). Responden di Kabupaten Muna paling banyak (39,1%) mengemukakan bahwa pengurus tidak punya keahlian. Sedangkan responden di Kabupaten Donggala dan Konsel paling banyak (masingmasing 40%) mengemukakan penyebab lainnya, seperti ketidakadilan, ketidakjujuran, dan kesibukan pengurus, serta kekurang mampuan pengurus dalam berkomunikasi dengan warga.

54

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 5.2.3. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Penyebab Pengurus UPKD Kurang/Tidak Mampu Mengelola UPKD (%)
Alasan Kurang/ Tidak Mampu Kurang pendampingan dan pelatihan Tidak punya keahlian Tingkat pendidikan rendah Lainnya Tidak tahu Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 20,0 42,1 34,5 (42,2) (50,7) (48,4) 30,0 26,3 27,6 (48,3) (45,2) (45,5) 0,0 15,8 10,3 (0,0) (37,5) (31,0) 40,0 26,3 31,0 (51,6) (45,2) (47,1) 10,0 5,3 6,9 (31,6) (22,9) (25,8) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 39,1 31,1 33,8 (49,9) (46,8) (47,7) 47,8 15,6 26,5 (51,1) (36,7) (45,5) 8,7 6,7 7,4 (28,8) (25,2) (31,0) 8,7 40,0 29,4 (28,8) (49,5) (47,1) 8,7 17,8 14,7 (28,8) (38,7) (25,8) 23 45 68 Total 34,0 (47,6) 26,8 (44,5) 8,3 (27,7) 29,9 (46,0) 12,4 (33,1) 97

N= Yang menjawab UPKD kurang/tidak 10 19 29 mampu Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi.

Tabel 5.2.4. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Penilaian terhadap Pelayanan yang Diberikan Pengurus UPKD (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 80,4 71,6 76,0 60,2 53,5 56,9 (39,9) (45,3) (42,8) (49,2) (50,1) (49,6) Baik 12,8 8,8 10,8 29,1 31,7 30,4 (33,5) (28,5) (31,1) (45,7) (46,8) (46,1) Cukup 2,9 11,8 7,4 9,7 12,9 11,3 (17,0) (32,4) (26,2) (29,8) (33,7) (31,7) Kurang 3,9 7,8 5,9 1,0 2,0 1,5 (19,5) (27,0) (23,6) (9,8) (14,0) (12,1) Tidak tahu N 102 102 204 103 101 204 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Pelayanan UPKD Total 66,4 (47,3) 20,6 (40,5) 9,3 (29,1) 3,7 (18,8) 408

Sementara itu, pelayanan yang diberikan oleh pengurus UPKD kepada peserta dinilai oleh sebagian besar responden rumah tangga SAADP (66,4%) sudah baik, 20,6% responden menilai pelayanan UPKD sudah cukup, dan hanya 9,3% responden yang menilai kurang baik (lihat Tabel 5.2.4). Jika diperhatikan lebih lanjut, data tabel ini memperkuat informasi dari Tabel 5.2.3, yaitu bahwa UPKD sampel di Kabupaten Donggala memang mempunyai kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan kinerja UPKD sampel di kabupaten lainnya, terutama jika dibandingkan dengan UPKD sampel di Kabupaten Konsel. Sebagian besar responden (80,4%) di Kabupaten Donggala yang merupakan proporsi terbanyak dibanding kabupaten lain, menilai pelayanan yang diberikan pengurus UPKD sudah baik. Proporsi responden paling sedikit yang menjawab pelayanan sudah baik adalah di Kabupaten Konsel (53,5%). 5.3. Keputusan tentang Aturan Internal UPKD

Menurut informasi kualitatif, aturan internal UPKD dan mekanisme kredit ditentukan melalui pertemuan antara berbagai pihak terkait di tingkat kabupaten, meliputi pengurus UPKD, manajer klaster, pimpro kabupaten, dan fasilitator, dengan berpatokan pada juklak program. Keputusan tersebut kemudian dibahas atau disampaikan pada musyawarah warga di tingkat desa untuk dijadikan kesepakatan. 55
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Meskipun umumnya masyarakat hanya tinggal menyetujui aturan yang disampaikan dari tingkat kabupaten, namun mereka merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan di tingkat desa. Tabel 5.3.1 memperlihatkan bahwa 42,7% responden SAADP menyatakan bahwa masyarakat desa berperan dalam pengambilan keputusan tentang aturan internal UPKD dan mekanisme kredit. Sementara, 51,5% responden lainnya menyatakan bahwa pengurus UPKD yang berperan dalam mengambil keputusan. Responden di Kabupaten Tolitoli merupakan responden terbanyak (70,6%) yang mengatakan bahwa pengurus UPKD yang berperan dalam mengambil keputusan. Sedangkan responden di Kabupaten Konsel merupakan responden terbanyak (65,4%) yang menyatakan bahwa masyarakat desa berperan dalam mengambil keputusan. Responden yang mengaku tidak mengetahui pihak yang berperan dalam menentukan keputusan juga cukup banyak, yaitu secara total 25,7%. Tabel 5.3.1. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Pihak yang Berperan dalam Mengambil Keputusan tentang Aturan Internal UPKD (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 35,3 70,6 52,9 56,3 43,6 50,0 Pengurus UPKD (48,0) (45,8) (50,0) (49,8) (49,8) (50,1) 4,9 22,6 13,7 2,9 5,0 3,9 Kepala desa dan staf (21,7) (42,0) (34,5) (16,9) (21,8) (19,5) 0,0 2,0 1,0 0,0 0,0 0,0 Ketua RT/RW (0,0) (13,9) (9,9) (0,0) (0,0) (0,0) 1,0 6,9 3,9 1,0 3,0 2,0 Tokoh masyarakat (9,9) (25,4) (19,5) (9,90 (17,1) (13,9) 46,1 18,6 32,4 40,8 65,4 52,9 Masyarakat desa (50,1) (39,1) (46,9) (49,4) (47,8) (50,0) 38,2 22,6 30,4 22,3 19,8 21,1 Tidak tahu (48,8) (42,0) (46,1) (41,8) (40,0) (40,9) 2,9 0,0 1,5 6,8 4,0 5,4 Lainnya (17,0) (0,0) (12,1) (25,3) (19,6) (22,6) N 102 102 204 103 101 204 Catatan: - Responden dapat menjawab lebih dari satu pilihan jawaban - Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Pihak yang Berperan Total 51,5 (50,0) 8,8 (28,4) 0,5 (7,0) 2,9 (16,9) 42,7 (49,5) 25,7 (43,8) 3,4 (22,6) 408

Jenis aturan yang keputusannya melibatkan masyarakat desa sebagaimana dinyatakan oleh 42,7% responden SAADP tersebut bervariasi, seperti dapat dilihat pada Tabel 5.3.2. Dari responden yang menyatakan bahwa masyarakat berperan dalam mengambil keputusan, sebanyak 69,5% menyatakan bahwa masyarakat terlibat dalam kesepakatan tentang jangka waktu pinjaman, dan 64,4% responden juga menyatakan masyarakat terlibat dalam memutuskan tingkat bunga kredit. Keputusan lainnya yang juga melibatkan masyarakat adalah mengenai sanksi seperti yang dinyatakan oleh 49,4% responden. Sementara itu, peran masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang aturan internal UPKD seperti biaya operasional dan honor pengurus UPKD relatif kecil, masing-masing hanya 9.2% dan 12,6%. Hal ini karena aturan internal tersebut umumnya diputuskan langsung di tingkat kabupaten dengan mengacu pada aturan proyek.

56

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 5.3.2. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Jenis Aturan yang Kesepakatannya Melibatkan Masyarakat (%)
Jenis Aturan Biaya administrasi pinjaman Biaya operasional UPKD Honor pengurus UPKD Tingkat bunga kredit Sangsi Jangka waktu peminjaman Lainnya Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 2,1 15,8 6,1 (14,6) (37,5) (24,0) 2,1 10,5 4,6 (14,6) (31,5) (21,0) 4,3 15,8 7,6 (20,4) (37,5) (26,7) 42,6 94,7 57,6 (50,0) (22,9) (49,8) 55,3 42,1 51,5 (50,3) (50,7) (50,4) 44,7 84,2 56,1 (50,3) (37,5) (50,0) 10,6 5,3 9,1 (31,2) (22,9) (28,9) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 4,8 10,6 8,3 (21,6) (31,0) (27,8) 16,7 9,1 12,0 (37,7) (29,0) (32,7) 23,8 10,6 15,7 (43,1) (31,0) (36,6) 95,2 51,5 68,5 (21,6) (50,4) (46,7) 26,2 62,1 48,1 (44,5) (48,9) (50,2) 85,7 72,7 77,8 (35,4) (44,9) (41,8) 0,0 1,5 0,9 (0,0) (12,3) (9,6) 66 108 Total 7,5 (26,4) 9,2 (29,0) 12,6 (33,3) 64,4 (48,0) 49,4 (50,1) 69,5 (46,2) 4,0 (19,7) 174

N=yang menyatakan masyarakat berperan dalam 47 19 66 42 mengambil keputusan Catatan: - Responden dapat menjawab lebih dari satu pilihan jawaban - Angka dalam kurung adalah standar deviasi.

Pada setiap penyaluran dana proyek, honor UPKD adalah 5% dari dana SAADP yang diterima masing-masing desa. Setelah perguliran berjalan, honor UPKD diperoleh dari bagian bunga yang dibayarkan peminjam, yaitu 20%. Pada realisasinya, persentase bunga yang akhirnya menjadi honor pengurus UPKD adalah bervariasi antardesa. Hal ini karena pos pemanfaatan bunga selain untuk menambah modal (40%) dan dana cadangan (10%), dikelola oleh UPKD secara penuh, yaitu bagian bunga untuk biaya operasional UPKD (10%), dana pembangunan (10%), dan dana sosial (10%). Sehingga besar kecilnya bagian bunga yang menjadi penghasilan pengurus UPKD sangat tergantung pada kepandaian pengurus UPKD mengatur pengeluaran, termasuk di dalamnya memenuhi permintaan dana dari kantor desa dan masyarakat. Di beberapa desa yang UPKD-nya masih berjalan, permintaan dana dari kantor desa dan masyarakat lebih bersifat sekedarnya, tidak berpatokan pada besarnya penerimaan bunga. Mekanisme kerja UPKD bervariasi antardesa. Di Kabupaten Donggala, UPKD di semua desa sampel menetapkan jadwal kerja tertentu. UPKD desa pertama melayani peminjam setiap hari Rabu dan Sabtu, UPKD desa kedua melayani setiap hari Jumat dan Sabtu, sedangkan UPKD desa ketiga menyediakan waktu setiap hari Selasa dan Jumat untuk nasabah lama dan khusus untuk nasabah baru hanya sebulan sekali pada tiap tanggal dua. Sementara di Kabupaten Muna, UPKD tidak menyiapkan waktu khusus sehingga peminjam dan calon peminjam bisa datang kapan saja ke rumah ketua UPKD. 5.4. Sistem Pelaporan dan Pengawasan

Sistem Pelaporan Sesuai petunjuk pelaksanaan SAADP, sistem pelaporan SAADP dilakukan berjenjang. UPKD dibantu fasilitator membuat laporan bulanan tentang perkembangan kegiatan IMS termasuk pembukuan dan pengembalian dana kepada pimpro dan manajer klaster. Fasilitator membuat laporan bulanan dan triwulanan kepada pimpro dan TKPP kabupaten. Laporan 57
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

TKPP kabupaten disampaikan ke TKPP provinsi setiap bulan, yang kemudian setelah dikonsolidasi dilaporkan setiap triwulan ke pusat (Ditjen Bangda) untuk selanjutnya dikirim ke Bank Dunia dan instansi terkait. Selama proyek berlangsung, diakui oleh pihak pemda dan pengurus UPKD bahwa sistem pelaporan tersebut berjalan cukup baik dan lancar. Laporan juga disampaikan pada pertemuan di desa yang dihadiri pengurus UPKD, fasilitator/manajer klaster, ketua kelompok, dan aparat desa. Terkadang UPKD mengirim tembusan laporan ke kantor desa dan kecamatan. Sekitar enam bulan menjelang proyek berakhir, yaitu sejak fasilitator tidak bertugas lagi mulai Juni 2003, kegiatan pelaporan khususnya di Kabupaten Konsel dan Muna tidak lagi berjalan. Sementara di Kabupaten Tolitoli dan Donggala masih berjalan, meskipun tidak rutin. Menurut keterangan pengurus UPKD, hal ini terjadi antara lain karena pengurus UPKD tidak mengetahui apakah UPKD tetap harus melaporkan, bagaimana cara membuat laporan, dan kepada siapa laporan harus diserahkan. Menurut pengurus UPKD di desa sampel di Kabupaten Konsel, masalah terbesar yang ditemui dalam sistem pelaporan SAADP selama ini adalah sering adanya perbedaan pendapat di antara konsultan, pimpro/manajer klaster dan fasilitator tentang aturan yang berlaku dan cara pengelolaan keuangan. Akibatnya pengurus UPKD harus membuat laporan yang berbeda-beda. Laporan UPKD kepada Masyarakat Salah satu prinsip yang dianut dalam IMS adalah transparansi, yakni bahwa pengelolaan kegiatan sejak dari perencanaan, pelaksanaan dan kesinambungan perguliran dana harus diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Upaya transparansi antara lain dilakukan dengan melakukan sosialisasi dalam musyawarah desa yang dihadiri oleh segenap lapisan masyarakat, serta mengadakan pertemuan secara berkala untuk melaporkan hasil perkembangan UPKD. Dengan demikian, UPKD harus dikelola secara terbuka sehingga masyarakat bisa mengetahui secara pasti perkembangan dan posisi keuangan UPKD setiap saat. Salah satu upaya agar masyarakat bisa mengetahui perkembangan pengelolaan keuangan yang dilakukan pengurus UPKD adalah tersedianya laporan tentang perkembangan kegiatan, termasuk tentang pembukuan dan pengembalian dana untuk dan dari peserta. Tabel 5.4.1. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pengetahuan tentang Keberadaan Informasi/Laporan Keuangan UPKD untuk Masyarakat (%)
Sulawesi Tengah Keberadaan Informasi/Laporan Donggala Tolitoli Total 50,0 23,5 36,8 Ada (50,2) (42,6) (48,3) 1,0 7,8 4,4 Pernah ada (9,9) (27,0) (20,6) 18,6 36,3 27,5 Tidak ada (39,1) (48,3) (44,7) 30,4 32,4 31,4 (46,2) (47,0) (46,5) Tidak tahu N 102 102 204 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 3,9 19,8 11,8 (19,4) (40,0) (32,3) 4,9 26,7 15,7 (21,6) (44,5) (36,5) 69,9 29,7 50,0 (46,1) (45,9) (50,1) 21,4 23,8 22,6 (41,2) (42,8) (41,9) 103 101 204 Total 24,3 (42,9) 10,1 (30,1) 38,7 (48,8) 27,0 (44,4) 408

58

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Berdasarkan pengakuan sebagian besar responden seperti disajikan dalam Tabel 5.4.1, tampaknya pengelolaan UPKD belum berlangsung secara transparan, karena hanya sekitar 34,4% responden saja yang menyatakan ada dan pernah ada informasi tentang kondisi keuangan UPKD yang dapat diakses masyarakat. Sedangkan 38,7% responden mengaku tidak pernah ada laporan dan 27% responden lainnya tidak tahu ada laporan atau tidak. Hampir seluruh responden di Kabupaten Muna (91,3%) menyatakan tidak pernah ada laporan dan tidak mengetahui keberadan laporan keuangan UPKD, sebaliknya responden di Kabupaten Donggala hanya 18,6% saja yang menyatakan demikian. Menurut responden yang menyatakan ada atau pernah ada laporan yang dapat diakses masyarakat, laporan UPKD disampaikan dalam bentuk buku laporan, selebaran, pengumuman lisan pada pertemuan, atau papan pengumuman UPKD. Seperti terlihat pada Tabel 5.4.2, sekitar 40% dari responden yang mengetahui keberadaan laporan, menyatakan laporan yang dapat diakses berbentuk buku laporan dan 37,9% responden lainnya menyatakan dalam bentuk pengumuman lisan. Pengumuman lisan merupakan bentuk laporan keuangan yang diketahui oleh sebagian besar responden (72,3%) di Kabupaten Konsel, sementara sebagian besar responden (48,1%) di Kabupaten Donggala mengetahui laporan keuangan UPKD melalui papan pengumuman UPKD. Responden di kedua kabupaten sampel di Provinsi Sultra tidak ada yang menyatakan dapat memperoleh informasi melalui papan pengumuman. Padahal berdasarkan kunjungan lapangan tim peneliti SMERU, ditemui UPKD yang memasang papan pengumuman di rumahnya yang sekaligus berfungsi sebagai kantor. Hal ini mungkin terjadi karena laporan yang disampaikan di papan pengumuman tersebut hanya terbatas tentang kelompok mana saja yang meminjam dan jumlah pinjamannya. Padahal masyarakat tidak mengetahui secara pasti siapa anggota kelompok yang dibentuk secara formalitas tersebut. Tabel 5.4.2. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pengetahuan tentang Bentuk Laporan Keuangan UPKD untuk Masyarakat (%)
Bentuk Laporan Keuangan UPKD Buku laporan Selebaran Pengumuman lisan Papan pengumuman UPKD Tidak tahu Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 25,0 75,0 44,1 (43,7) (44,0) (49,9) 1,9 6,3 3,6 (13,9) (24,6) (18,7) 25,0 15,6 21,4 (43,7) (36,9) (41,3) 48,1 3,1 31,0 (50,5) (17,7) (46,5) 0,0 0,0 0,0 (0,0) (0,0) (0,0) 84 Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 88,9 23,4 33,9 (33,3) (42,8) (47,8) 0,0 2,1 1,8 (0,0) (14,6) (13,4) 11,1 72,3 62,5 (33,3) (45,2) (48,9) 0,0 0,0 0,0 (0,0) (0,0) (0,0) 0,0 2,1 1,8 (0,0) (14,6) (13,4) 9 47 56 Total 40,0 (49,2) 2,9 (16,7) 37,9 (48,7) 18,6 (39,0) 0,7 (8,5) 140

N=Yang menjawab 52 32 ada/pernah ada laporan keuangan UPKD Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi.

Pengawasan dan Evaluasi terhadap UPKD Berdasarkan juklak, kegiatan pengawasan dan evaluasi juga dilakukan secara berjenjang dengan melibatkan pimpro, konsultan, manajer klaster, fasilitator, forum musyawarah desa, dan juga kelompok masyarakat (pokmas). Pimpro melakukan pemantauan dan pengawasan tentang perkembangan pelaksanaan proyek. Konsultan memberikan saran secara umum, 59
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

termasuk pembukuan, laporan keuangan dan pengawasan, serta melakukan pemantauan dan evaluasi semua kegiatan proyek. Fasilitator dan PPL memantau dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk dilaporkan ke pokja dan TKPP kabupaten. Sedangkan Pokmas melaksanakan pemantauan dan evaluasi penggunaan dana serta pelaksanaan kegiatan program IMS yang dilakukan di tingkat kelompok, yang biasanya dilakukan bersama-sama dengan dinas/instansi terkait. Berdasarkan ketentuan, kegiatan pemantauan dan supervisi dari tingkat pusat dilakukan 2-3 kali dalam satu tahun, dari provinsi 3-4 kali dalam satu tahun, sedang dari tingkat kabupaten tergantung pada kebutuhan. Pimpro operasional/manajer klaster melakukan pemantauan dan supervisi minimal setiap ada penyaluran dana. Pemantauan dan supervisi juga dilakukan jika terdapat masalah mendesak di lapangan yang harus segera diselesaikan. Dalam pelaksanaannya, fungsi pengawasan rutin yang dirasakan pengurus UPKD hanya diperoleh dari fasilitator yang biasanya datang sebulan sekali sambil melakukan pendampingan. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh pihak yang tingkatannya lebih tinggi dari fasilitator dinilai sangat kurang atau tidak memadai. Seperti yang dialami oleh salah satu UPKD sampel di Kabupaten Muna dan juga di Konsel, pengawasan yang dilakukan oleh pihak selain fasilitator hanya sekali dalam setahun, itu pun hanya pada awal pelaksanaan proyek sehingga tidak dirasakan sebagai pengawasan tetapi hanya dianggap sebagai kunjungan biasa. Kegiatan pengawasan dari masyarakat pun tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena fungsi pengawasan oleh masyarakat tidak ditekankan saat sosialisasi proyek, selain itu rasa memiliki masyarakat terhadap keberadaan proyek rendah, dan diperburuk oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Di samping itu, forum musyawarah desa yang seharusnya bisa dijadikan sarana pengawasan masyarakat juga tidak berlanjut sebagaimana ketentuan. Setelah berakhirnya masa proyek dan proyek selanjutnya diserahkan kepada masyarakat, tidak ada pembagian wewenang yang jelas antara unsur pengambil keputusan, pelaksana dan pengawasan. Tidak jelas siapa yang harus mengambil inisiatif dalam menyelenggarakan musyawarah di desa kalau ada masalah di UPKD, karena selama ini peran kepala desa telah dieliminasi sekecil mungkin. Siapa yang harus melakukan fungsi pengawasan dan pembuatan laporan, serta kepada siapa laporan harus diserahkan, menjadi tidak jelas. Sementara itu, keberadaan kader desa yang diamanatkan dalam juklak dalam rangka menggantikan fungsi fasilitator tidak pernah dilakukan. Selama fungsi-fungsi tersebut tidak dilembagakan secara tepat, maka sulit bagi UPKD untuk dapat berkembang dan berkelanjutan (sustainable). UPKD seakan menjadi kehilangan arah, sementara pemda dinilai kurang mempunyai rasa memiliki sehingga banyak UPKD yang menurun bahkan mati atau kolaps. Secara keseluruhan, kondisi UPKD desa sampel di Sulteng umumnya lebih baik dibandingkan di Sultra. Di Sulteng, sebelum berakhirnya proyek telah dibentuk badan pengawas yang disebut BP (Badan Pengawas) UPKD di tingkat desa yang terdiri dari tokoh masyarakat atau unsur BPD (Badan Perwakilan Desa). Badan ini bertugas melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap administrasi dan keuangan UPKD, memastikan terselenggaranya administrasi dan pembukuan yang tertib, melaporkan hasil kegiatan secara periodik minimal tiga bulan sekali dalam musyawarah desa, dan memantau kerja pokmas dalam pengelolaan dan pengembalian kredit. Secara umum, peran BP-UPKD nampaknya cukup efektif sehingga UPKD desa sampel di Sulteng umumnya masih berjalan hingga saat ini. 60
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Di salah satu desa di Kabupaten Tolitoli, BP UPKD juga memberikan pendampingan kepada pengurus UPKD dalam membuat laporan keuangan dan diharapkan dapat melakukan pengawasan terhadap kelompok masyarakat dengan pendekatan persuasif. Pengurus UPKD mengakui bahwa mereka mempunyai keterbatasan kemampuan dalam membuat laporan keuangan sehingga bantuan BP UPKD dirasakan sangat bermanfaat. Pemeriksaan laporan keuangan UPKD dilakukan setiap bulan, dan hasilnya disampaikan kepada pimpro/manajer klaster. Di satu desa di Kabupaten Donggala, BP UPKD juga melakukan peninjauan kepada para pengusaha tambak yang mengalami kegagalan karena tambaknya rusak dihempas ombak. Kemudian BP UPKD mengadakan musyawarah desa untuk membicarakan bencana tersebut dan mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tunggakan. Di Kabupaten Konsel, pengawasan masyarakat hanya dilakukan oleh lembaga yang sudah ada yaitu Badan Perwakilan Desa (BPD). Namun, perannya hampir tidak ada karena secara struktural keterlibatannya tidak tercantum dalam program. Kecuali satu kasus di salah satu desa sampel, di tempat BPD pernah mengambil inisiatif penyelenggaraan musyawarah desa ketika terjadi penyelewengan dana oleh pengurus UPKD. Sedangkan di Kabupaten Muna, seluruh UPKD desa sampel menyatakan bahwa sejak tidak ada fasilitator, tidak ada lembaga yang melakukan fungsi pengawasan terhadap UPKD. Sementara itu, pihak-pihak terkait di seluruh desa sampel juga menyatakan bahwa sejak awal proyek tidak terlihat keterlibatan kelompok masyarakat (pokmas) dalam melakukan pemantauan terhadap kinerja dan penggunaan uang UPKD. Selain itu memang tidak ada acuan yang jelas mengenai mekanisme kontrol yang harus dilakukan oleh pokmas terhadap keuangan UPKD. Warga desa sendiri khususnya peserta/peminjam mengatakan bahwa sangat diperlukan adanya lembaga yang mengawasi kinerja UPKD. Menurut mereka fungsi pengawasan tersebut antara lain dapat dilakukan oleh kepala/aparat desa atau lembaga lainnya. Dalam desain SAADP sendiri, keterlibatan aparat desa dan kecamatan dalam pelaksanaan proyek tidak dicantumkan, kecuali kepala desa dalam kegiatan musyawarah desa dan pembuatan surat keputusan pengangkatan UPKD. Namun demikian, banyak pengurus UPKD mengharapkan keterlibatan pemerintahan desa dan kecamatan, khususnya dalam kegiatan pengawasan terhadap pengembalian pinjaman dari masyarakat. Hal ini terkait dengan masalah wibawa dan wewenang pemerintah setempat terhadap masyarakat yang justru tidak dimiliki oleh pengurus UPKD. Di Kabupaten Muna, berdasarkan pertemuan di tingkat kabupaten diputuskan bahwa pemerintah desa dan kecamatan dilibatkan dalam pendampingan dan pengawasan pelaksanaan SAADP sejak September 2003. Namun, hingga studi SMERU dilakukan, UPKD tidak merasakan keterlibatan mereka kecuali kepala desa di satu desa sampel yang secara kebetulan merupakan anak ketua UPKD. Di satu sisi, adanya keterlibatan aparat desa dalam pengawasan menguntungkan, namun di sisi lain justru sebaliknya. Tidak dilibatkannya kepala/aparat desa di beberapa desa sampel antara lain telah menyebabkan UPKD menjadi sewenang-wenang dalam memberikan pinjaman dan masyarakat lebih berani melakukan penunggakan. Sementara di satu desa sampel lain, keterlibatan kepala desa menjadi dominan dan melemahkan peran Pengurus UPKD. Kepala desa dapat meminjam hingga 10 juta rupiah dan mengutip uang dari sebagian peserta.

61

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh lembaga independen seperti LSM lain di luar LSM fasilitator, sejauh ini tidak ada. Di Kabupaten Konsel pernah ada upaya dari LSM yang mengajukan proposal kepada pemda setempat untuk melakukan pemantauan, tetapi karena tidak tersedia dana maka upaya pemantauan tersebut tidak dilakukan. Penyimpangan Dana oleh Pengurus UPKD Sistem pengelolaan UPKD yang kurang transparan, minimnya pendampingan, dan lemahnya pengawasan terhadap kinerja UPKD mengakibatkan terjadinya beberapa kasus penyimpangan dana yang disetor oleh para peserta. Penyimpangan penggunaan dana SAADP yang dilakukan oleh ketua UPKD dilaporkan terjadi di beberapa desa sampel di Kabupaten Konsel, Tolitoli, dan Donggala. Selain itu, penyimpangan dana juga dilakukan oleh ketua kelompok, seperti kasus yang terjadi di Kabupaten Muna, yaitu beberapa ketua kelompok tidak membayarkan seluruh dana pengembalian dari anggota kepada pengurus UPKD. Kasus tersebut dapat diselesaikan dengan bantuan aparat kemanan desa. Bentuk penyimpangan lainnya adalah berupa pemberian pinjaman kepada pihak yang tidak berhak seperti kepada fasilitator. Selama ini tidak ada tindakan yang tegas terhadap mereka yang melakukan penyelewengan atau penggelapan dana SAADP. Musyawarah desa yang sebenarnya sangat penting dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi umumnya tidak berlanjut. Pembinaan yang dilakukan instansi terkait seringkali dirasakan tidak efektif karena tidak ada tindakan atau proses penyelesaian lebih lanjut terhadap kasus-kasus penyimpangan yang terjadi. Keadaan ini telah mempengaruhi anggota masyarakat untuk juga tidak mau membayar pinjamannya karena enggan atau khawatir dana akan diselewengkan lagi oleh pengurus UPKD atau ketua kelompok. Pada akhirnya, hal ini juga sangat berpengaruh pada keberlangsungan proyek maupun keberadaan dan keberlanjutan UPKD itu sendiri. 5.5. Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Keuangan UPKD

Pelatihan Pengurus UPKD Pada awal pelaksanaan proyek, para pengurus UPKD, khususnya ketua dan bendahara, mendapat pelatihan paling tidak sebanyak dua kali. Pelatihan diselenggarakan di tingkat kabupaten yang diberikan oleh konsultan atau pegawai Bappeda. Materi pelatihan adalah menyangkut tata cara pengajuan pinjaman, kriteria seleksi proposal, serta cara mengelola keuangan, perguliran dana dan pembukuan. Pengurus UPKD juga mendapatkan bimbingan dari fasilitator yang berkunjung ke desa secara berkala. Dalam kenyatannya, tidak semua pengurus UPKD, khususnya yang dibentuk belakangan, mendapatkan pelatihan. Hal ini antara lain dialami oleh pengurus UPKD di satu desa sampel di Kabupaten Konsel. Satu program pelatihan untuk pengurus UPKD di kecamatan yang bersangkutan pada 2000 dibatalkan oleh Leppsek (Lembaga Pengkajian dan Pembinaan Sosial Ekonomi), dengan alasan pelatihan tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan Leppsek yang merupakan tim fasilitator SAADP di Provinsi Sultra. Beberapa pengurus UPKD menilai bahwa frekuensi penyelenggaraan pelatihan dirasakan masih kurang sehingga mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengelola keuangan dan pembukuannya. Pengurus UPKD di satu desa sampel di Kabupaten Tolitoli juga menilai bahwa pelatihan yang diberikan belum menyentuh kebutuhan. Sering terjadi perubahan 62
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

format, misalnya format pembukuan sehingga menyulitkan pengurus dalam penerapan seharihari. Menghadapi masalah ini, biasanya pengurus UPKD memanfaatkan keberadaan fasilitator sebagai tempat konsultasi di samping bertanya kepada masyarakat desa yang relatif berpendidikan atau mengerti pembukuan. Mengelola Risiko: Sanksi dan Jaminan Seperti telah diulas sebelumnya, juklak tidak mengatur tentang jaminan pinjaman.23 Pemberlakuan jaminan sebagai salah satu persyaratan diberlakukan kemudian setelah terjadi kemacetan pengembalian pinjaman dan peningkatan jumlah penunggak. Namun, upaya tersebut tidak efektif dilakukan dan hanya sekedar untuk menakut-nakuti peminjam. Agar para penunggak mengembalikan pinjaman secepatnya, pengurus UPKD melakukan berbagai pendekatan. Pengurus UPKD di satu desa sampel di Kabupaten Tolitoli misalnya, melakukan penagihan dengan didampingi aparat keamanan agar penunggak merasa takut dan segera membayar pinjamannya. Namun ternyata, sebagian masyarakat menilai cara penagihan seperti itu sebagai bentuk intimidasi bahkan ada yang menyebut UPKD sebagai rentenir yang melakukan penagihan dengan menggunakan ancaman. UPKD ini juga pernah melakukan upaya mengumumkan daftar nama penunggak dan jumlah tunggakannya melalui papan pengumuman dan selebaran. Upaya yang dimaksudkan sebagai bentuk laporan dan agar para penunggak malu sehingga segera membayar pinjamannya tersebut tidak berjalan mulus, bahkan menimbulkan protes masyarakat yang menganggapnya sebagai bentuk penghinaan. Salah satu UPKD di Kabupaten Donggala juga pernah mengumumkan nama-nama penunggak besar secara tertulis di balai desa. Hasilnya ternyata bukan membuat para penunggak menjadi malu dan segera mengembalikan pinjaman, melainkan berpengaruh jelek terhadap anggota masyarakat lain. Mereka yang sebelumnya lancar membayar menjadi ikutikutan menunggak karena melihat penunggak besar tidak dikenakan sanksi apa pun. Upaya lain yang dilakukan UPKD dalam menghadapi para penunggak antara lain adalah memberikan surat peringatan dan menjadwal ulang pengembalian pinjaman. Namun demikian, banyak upaya UPKD yang tidak berhasil mencapai tujuan dan UPKD pun tidak bisa menerapkan sanksi formal yang sifatnya mengikat para penunggak karena UPKD belum berbadan hukum. Akhirnya, beberapa UPKD menyerahkan masalah tersebut kepada aparat desa. Aparat desa biasanya memilih untuk menyelesaikan tunggakan dengan cara kekeluargaan dengan memberi pengertian tentang mekanisme pinjaman, sekaligus mengarahkan penunggak untuk membayar tunggakan. 5.6. Hubungan UPKD dengan Bank Formal

UPKD tidak mempunyai hubungan khusus dengan bank formal. Hubungan antara keduanya hanya sebatas pada pembukaan rekening pada awal program di BRI terdekat untuk keperluan penerimaan dan penyimpanan dana, sebagaimana disebutkan dalam juklak program. Tabungan UPKD tidak mendapat perhatian khusus tetapi diperlakukan sama seperti nasabah lain. Informasi dari pihak bank (BRI) yang ditemui mengaku tidak mengetahui tentang keberadaan proyek SAADP, demikian pula keberadaan UPKD sebagai nasabah.

23

Lihat Sub bab 4.4. tentang Mekanisme Pelaksanaan: persyaratan tambahan.

63

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Walaupun BRI ditunjuk sebagai bank tempat pencairan dan penyimpanan dana proyek, dalam pelaksanaannya pengurus UPKD bisa menyimpan dana di bank lain yang dirasakan lebih dekat atau lebih mudah. Ditemui juga beberapa UPKD yang hanya memanfaatkan bank untuk keperluan penyaluran dana. Setelah dana tersedia di rekening mereka mengambil semua dana untuk disalurkan kepada masyarakat. Pengembalian dari masyarakat tidak pernah disimpan di bank tetapi langsung digulirkan lagi kepada peminjam lainnya. Khusus di Kabupaten Donggala, terdapat UPKD yang mulai merintis kerja sama dengan salah satu bank pemerintah (Bank Mandiri) untuk mendapatkan dukungan dana. Proposal rencana kerja sama tersebut telah dibicarakan dan mendapat sambutan positif dari pihak bank, serta didukung oleh pemda kebupaten. 5.7. UPKD dan Pengembangan Pasar Uang Lokal

Saat ini di beberapa desa sampel, UPKD masih menjadi satu-satunya lembaga keuangan formal yang ada. Berdasarkan hasil pengamatan, sistem UPKD tampaknya tidak berpengaruh terhadap pengembangan pasar uang di desa. Belum ada lembaga keuangan lain di tingkat desa yang muncul setelah UPKD terbentuk. Lembaga keuangan terdekat yang selama ini sudah ada adalah koperasi yang berlokasi di kota kecamatan. Pengurus koperasi biasanya datang ke desa untuk meminjamkan uang atau pun pada saat menagih pinjaman. Jumlah uang yang bisa dipinjam dari koperasi berkisar antara 100 ribu hingga 200 ribu rupiah. Hal ini berlangsung seperti layaknya rentenir, karena pembayaran pinjaman dilakukan setiap hari dengan bunga 20% per bulan. Namun, warga masyarakat yang meminjam uang dari koperasi ini jumlahnya tidak banyak dan terbatas pada mereka yang memiliki penghasilan harian. Alternatif sumber pinjaman lainnya adalah bank. Pinjaman dari bank biasanya untuk memenuhi kebutuhan memperbaiki rumah atau untuk membeli kendaraan bermotor. Besarnya pinjaman bervariasi, begitu pula dengan jangka waktu pengembaliannya. Sedangkan untuk tingkat suku bunga, perbankan memberlakukan tingkat bunga yang hampir sama atau lebih besar daripada yang ditetapkan UPKD. Keberadaan UPKD sendiri hanya terbatas pada kegiatan pengguliran uang proyek yang jumlah dananya cenderung menurun karena terjadinya penunggakan. Sementara itu, kegiatan UPKD pada penghimpunan atau penyimpanan dana masyarakat belum terlihat sama sekali. Meskipun demikian, keberadaan UPKD, khususnya di desa yang UPKD-nya berjalan relatif baik, telah menyebabkan relatif berkembangnya usaha masyarakat peminjam yang berimbas pada usaha lain. Di satu desa di Kabupaten Muna misalnya, keberadaan UPKD telah menciptakan usaha pengadaan jasa tontonan TV dan VCD, yang selanjutnya menumbuhkan usaha dagang di sekitarnya. Secara kualitatif dapat dikatakan bahwa keberadaan UPKD yang baik mampu meningkatkan perputaran dana di tingkat desa. 5.8 Status dan Kondisi Proyek SAADP Saat Ini

Lima tahun pascaperubahan desain atau setelah UPKD terbentuk sebagai lembaga kredit desa, kondisi proyek SAADP di desa sampel dilihat dari kondisi UPKD saat ini sangat beragam. Terdapat beberapa UPKD yang dapat berjalan relatif lancar, ada juga yang masih berjalan tetapi dengan tunggakan yang cukup besar sehingga sisa dana yang dapat bergulir sangat terbatas, dan sisanya sudah tidak berjalan sama sekali. Masalah utama yang dihadapi sebagian besar desa SAADP saat ini adalah kurang lancarnya atau macetnya pengembalian pinjaman.

64

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Di Kabupaten Muna, dari tiga UPKD yang dikunjungi hanya satu yang relatif lancar. Meskipun di UPKD ini juga terdapat tunggakan tetapi jumlahnya relatif tidak banyak. Satu UPKD lain mulai mengalami kemandegan karena banyak peserta yang tidak mengembalikan pinjaman sama sekali. Di desa ini satu-satunya jenis pinjaman yang masih berjalan lancar adalah pinjaman yang diberikan kepada usaha dagang. Sementara itu, pengembalian di desa ketiga sudah macet sama sekali. Setelah pada 2002 mampu menggulirkan sekitar 30% dari 52,9 juta rupiah dana awal yang dikembalikan masyarakat, hingga saat ini baru menerima pengembalian 2,2 juta rupiah yang masih dipegang oleh ketua UPKD. Responden yang ditemui mengakui bahwa sebenarnya mereka bersedia membayar tunggakannya apabila penungggak dalam jumlah besar mengembalikan pinjaman, dan terdapat transparansi dari pengurus UPKD tentang kondisi dan penggunaan dana. Menurut pengurus UPKD, tidak adanya sanksi di desa-desa sekitar yang UPKD-nya macet lebih dahulu turut mendorong peserta SAADP desa tetangga untuk tidak mengembalikan pinjaman. Di Kabupaten Konsel, ketiga UPKD yang ditemui sudah tidak beroperasi lagi sejak akhir 2003 karena tidak ada pengembalian pinjaman dari para peserta. Menurut informasi kualitatif, saat ini dari 20 UPKD yang ada di kecamatan sampel yang masih berjalan relatif baik hanya tinggal 3 UPKD. Alasan para peserta tidak mengembalikan pinjaman antara lain karena tidak adanya sanksi atas penyelewengan dana oleh pengurus UPKD. Informasi lain juga memperkirakan bahwa adanya salah persepsi masyarakat akibat sosialisasi fasilitator bahwa dana SAADP adalah dana hibah turut menjadi penyebab kemacetan. Sementara itu, di Kabupaten Donggala dan Tolitoli pengembalian relatif lebih lancar karena para pengurus UPKD di kedua kabupaten ini melakukan hal-hal yang nyata dan operasional untuk meningkatkan pengembalianseperti membentuk tim penagih dan penjadwalan ulang skema pengembalian pinjamandan para pengurusnya sendiri memberikan contoh dengan mengembalikan pinjaman mereka dengan tepat waktu. Sementara itu, tentang skema kredit juga telah dilakukan beberapa perubahan di beberapa desa sampel seperti tingkat bunga, jangka waktu pinjaman, dan jumlah kredit yang dapat diakses oleh seseorang. Perubahan juga terjadi dengan meniadakan syarat pembentukan kelompok agar masyarakat mendapatkan kemudahan akses ke pinjaman. Para pengurus UPKD mengungkapkan keinginan agar UPKD ditetapkan menjadi badan hukum sehingga mempunyai kekuatan hukum untuk bertindak lebih tegas kepada para penunggak. Mengingat hingga saat ini belum ada perundang-undangan yang mengatur tentang lembaga keuangan mikro, seperti UPKD. Pemerintah kabupaten telah melakukan upaya untuk mengukuhkan keberadaan UPKD melalui SK Bupati. Selain itu, Pemerintah Provinsi Sultra pun sedang mencari bentuk badan hukum yang sesuai untuk UPKD. Diharapkan badan hukum tersebut dapat mengelola semua proyek dan program pemerintah dalam bentuk dana bergulir yang ada di desa. Perkembangan lain adalah dibentuknya Forum Komunikasi UPKD Kecamatan Banawa di Kabupaten Donggala yang diharapkan akan berfungsi sebagai tempat berdiskusi. Guna menjamin keberlangsungan UPKD pascaproyek, beberapa kabupaten berencana mengalokasikan dana dari APBD untuk insentif fasilitator yang akan ditugaskan di setiap kecamatan. Pemda Propinsi Sultra telah menyediakan dana untuk setiap kabupaten yang akan digunakan untuk pembinaan dan pengawasan UPKD. Sementara itu, Pemda Kabupaten Donggala telah mengalokasikan sejumlah dana yang akan dimasukkan ke dalam rekening UPKD sebagai dana segar. 65
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

VI. KETERLIBATAN PEREMPUAN DAN ORNOP DALAM SAADP


6.1. Keterlibatan Perempuan

Pada dasarnya perempuan dan laki-laki tidak diperlakukan berbeda dalam kegiatan proyek SAADP. Keduanya dilibatkan langsung baik sebagai penerima kredit, fasilitator, maupun pengurus UPKD, walaupun jumlahnya belum berimbang. Secara keseluruhan, jumlah peminjam perempuan relatif lebih sedikit dibanding laki-laki. Dari 436 orang peminjam kredit SAADP, peminjam perempuan hanya 117 orang atau 26,8%. Jumlah peminjam perempuan terbesar terdapat di Kabupaten Donggala, yaitu 42,6% dan yang terendah di Kabupaten Konsel sebanyak 14,4%, seperti dapat dilihat dalam Tabel 6.1.1. Apabila dibandingkan antarprovinsi, peminjam SAADP perempuan di Sulteng (33,6%) lebih banyak dibandingkan dengan di Sultra (20,1%). Proporsi frekuensi pinjaman SAADP oleh perempuan menunjukkan angka yang relatif sama dengan proporsi jumlah peminjam. Dari total 557 pinjaman hanya 28,7% di antaranya diajukan oleh perempuan, paling banyak di Kabupaten Donggala (57,6%) dan paling sedikit di Kabupaten Konsel (13,6%). Tingginya proporsi peminjam dan pinjaman SAADP oleh kaum perempuan di Kabupaten Donggala dipengaruhi oleh cukup banyaknya perempuan yang berdagang dan bertenun kain di daerah tersebut. Tingginya proporsi tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa perempuan yang memiliki dan bertanggung jawab atas jalannya suatu usaha memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam memperoleh kredit SAADP. Tabel 6.1.1. Proporsi Peminjam dan Pinjaman SAADP Berdasarkan Jenis Kelamin (%)
Jenis Kelamin Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 57,4 (49,7) 42,6 (49,7) 108 Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

Peminjam SAADP: Laki-laki Perempuan N Pinjaman SAADP: 57,6 73,1 65,0 71,5 86,4 77,7 71,5 (49,6) (44,5) (47,8) (45,3) (34,4) (41,7) (45,2) 42,4 26,9 35,0 28,5 13,6 22,3 28,5 Perempuan (49,6) (44,5) (47,8) (45,3) (34,4) (41,7) (45,2) 144 130 274 165 118 283 557 N Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Laki-laki 75,2 66,4 74,8 85,6 79,9 73,2 (43,4) (47,4) (43,6) (35,3) (40,2) (44,4) 24,8 33,6 25,2 14,4 20,1 26,8 (43,4) (47,4) (43,6) (35,3) (40,2) (44,4) 109 217 115 104 219 436

Sedikitnya jumlah perempuan yang menjadi peserta SAADP bukan disebabkan adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi pada saat pengajuan kredit, namun lebih karena sedikitnya jumlah perempuan yang mengajukan pinjaman. Kondisi ini terutama karena adanya aturan dalam sistem kredit SAADP bahwa setiap keluarga hanya diperbolehkan

66

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

mengajukan satu pinjaman untuk satu tahun anggaran. Setelah tahap perguliran, anggota keluarga lain diperbolehkan mengajukan kredit selama memenuhi kriteria. Pada dasarnya, di tingkat rumah tangga pinjaman, tidak dibedakan secara kaku apakah atas nama suami atau istri karena pinjaman tersebut dianggap sebagai pinjaman keluarga yang umumnya diwakili oleh suami sebagai kepala keluarga. Selain itu, secara total sebagian besar pengajuan dan penggunaan kredit SAADP adalah untuk usaha tani dan nelayan. Pengelola jenis pekerjaan ini umumnya adalah laki-laki, sementara perempuan biasanya hanya membantu suami, walaupun dalam praktik keduanya memiliki tanggung jawab yang hampir sama. Tidak adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam mengajukan kredit diperkuat oleh jawaban sebagian besar (84,6%) responden rumah tangga SAADP. Hanya sekitar 1,5% rumah tangga saja yang menyatakan ada perbedaan perlakuan terhadap perempuan, seperti terlihat pada Tabel 6.1.2. Tabel 6.1.2. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Perbedaan Perlakuan terhadap Perempuan dalam Pengajuan Kredit (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 2,0 2,9 2,5 1,0 0,0 0,5 1,5 Ada (13,9) (17,0) (15,5) (9,9) (0,0) (7,0) (15,5) 79,4 77,5 78,4 94,2 87,1 90,7 84,6 Tidak ada (40,6) (42,0) (41,23) (23,5) (33,7) (29,1) (41,2) 18,6 19,6 19,1 4,9 12,9 8,8 14,0 Tidak tahu (39,1) (39,9) (39,4) (21,6) (33,7) (28,4) (28,4) N 102 102 204 103 101 204 408 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Perbedaan Perlakuan

Jenis perbedaan perlakuan menurut 1,5% rumah tangga yang menyatakan adanya perbedaan perlakuan terhadap perempuan adalah dalam hal besarnya kredit, persyaratan agunan, dan adanya perempuan nelayan yang pinjamannya tidak disetujui. Satu jenis perbedaan yang dikemukakan responden justru menguntungkan pihak perempuan, yaitu pengajuan pinjaman perempuan lebih didahulukan karena dinilai lebih disiplin dalam pengembalian. Tabel 6.1.3. menunjukkan bahwa 62,5% pinjaman SAADP oleh perempuan diajukan untuk modal usaha dagang, 15,1% untuk modal usaha tani, dan 11,9% untuk modal usaha industri rumah tangga. Jika dicermati berdasarkan kabupaten, usaha dagang dan usaha tani merupakan kegiatan yang banyak diusulkan perempuan untuk memperoleh pinjaman SAADP. Khusus di Kabupaten Donggala dan Kabupaten Konsel, proporsi pengajuan pinjaman untuk usaha industri juga cukup banyak. Jenis usaha industri yang digeluti oleh mayoritas responden perempuan di Kabupaten Konsel adalah industri pembuatan kue dan pemecah batu sedangkan di Kabupaten Donggala adalah industri pertenunan. Menurut informasi kualitatif dari UPKD, kelancaran pengembalian pinjaman dari peserta perempuan dan laki-laki relatif tidak berbeda. Pengembalian dari perempuan yang memiliki kios cenderung lebih baik karena usaha yang dikelola relatif lebih stabil dan tidak bergantung pada kondisi alam, tidak seperti usaha pertanian, perkebunan atau nelayan.

67

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 6.1.3. Proporsi Pinjaman Perempuan Berdasarkan Jenis Pengajuan Kredit SAADP (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 6,6 17,1 10,4 Modal usaha tani (25,0) (38,2) (30,7) 1,6 0,0 1,0 Modal usaha nelayan (12,8) (0,0) (10,2) Modal usaha 1,6 2,9 2,1 (12,8) (16,9) (14,4) peternakan/perikanan Modal usaha industri 27,9 0,0 17,7 (45,2) (0,0) (38,4) rumah tangga 60,7 77,1 66,7 Modal usaha dagang (49,3) (42,6) (47,4) 0,0 0,0 0,0 Modal usaha lainnya (0,0) (0,0) (0,0) 0,0 0,0 0,0 Biaya sekolah (0,0) (0,0) (0,0) 1,6 0,0 1,0 Perbaikan rumah (12,8) (0,0) (10,2) 0,0 2,9 1,0 Konsumsi (0,0) (16,9) (10,2) N 61 35 96 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Peruntukkan Pengajuan Kredit Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 12,8 50,0 22,2 (33,8) (51,6) (41,9) 0,0 0,0 0,0 (0,0) (0,0) (0,0) 4,3 0,0 3,2 (20,4) (0,0) (17,7) 0,0 12,5 3,2 (0,0) (34,2) (17,7) 63,8 31,3 55,6 (48,6) (47,9) (50,1) 4,3 6,3 4,8 (20,4) (25,0) (21,5) 14,9 0,0 11,1 (36,0) (0,0) (31,7) 0,0 0,0 0,0 (0,0) (0,0) (0,0) 0,0 0,0 0,0 (0,0) (0,0) (0,0) 47 16 63 Total 15,1 (35,9) 0,6 (7,9) 2,5 (15,7) 11,9 (32,5) 62,5 (48,6) 1,9 (13,6) 4,4 (20,6) 0,6 (7,9) 0,6 (7,9) 159

Umumnya pinjaman SAADP perempuan digunakan sesuai dengan pengajuan, yaitu sebagian besar untuk modal usaha dagang, baik usaha dagang di kios maupun usaha dagang keliling. Dengan adanya SAADP, usaha dagang perempuan banyak yang mengalami kemajuan dan terdapat pula penambahan jumlah perempuan yang terjun dalam usaha dagang. Sebagai contoh, di salah satu desa SAADP di Kabupaten Donggala, adanya SAADP menyebabkan bertambahnya jumlah pedagang ikan perempuan. Selain itu, posisi tawar pedagang menjadi meningkat karena dengan tersedianya uang tunai, para pedagang ini dapat lebih bebas memilih jenis ikan yang akan dibeli ataupun nelayan yang menjual ikan. Sebelumnya, mereka hanya dapat mengambil ikan dari nelayan tertentu yang bersedia dibayar belakangan (biasanya satu sampai dua hari) setelah ikan habis terjual. Terdapat tiga indikator yang digunakan untuk mengukur perubahan positif peran perempuan setelah adanya proyek SAADP, yaitu: kegiatan ekonomi produktif, pengambilan keputusan dalam rumah tangga, dan keterlibatan perempuan dalam kegiatan di tingkat desa (Tabel 6.1.4). Secara total, proporsi rumah tangga yang berpendapat bahwa peran perempuan pada ketiga indikator tersebut mengalami peningkatan lebih besar pada rumah tangga SAADP dibandingkan pada rumah tangga kontrol. Dengan demikian, selisih antara proporsi rumah tangga SAADP dan kontrol bernilai positif, artinya hal ini menunjukkan bahwa SAADP berdampak positif pada peningkatan peran perempuan untuk ketiga indikator tersebut. Dampak SAADP terhadap peran perempuan dalam kegiatan ekonomi produktif adalah 11,9%, yang signifikan secara statistik pada tingkat nyata 5%. Sedangkan dampak SAADP terhadap peran perempuan dalam pengambilan keputusan di rumah tangga adalah 4,8%, dan dalam kegiatan RT/RW/desa 5,7%, tetapi keduanya tidak signifikan secara statistik. Jika dilihat per kabupaten, dampak yang signifikan hanya terjadi pada indikator keterlibatan dalam kegiatan RT/RW/desa di Kabupaten Tolitoli. Perubahan yang relatif tidak signifikan pada perempuan tersebut kemungkinan terjadi karena sebagian besar peserta SAADP adalah laki-laki.

68

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 6.1.4. Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Persepsi terhadap Peningkatan Peran Perempuan (%)
Jenis Peningkatan Peran Sulawesi Tengah Perempuan Donggala Tolitoli Total Rumah tangga SAADP: Kegiatan ekonomi 58,8 53,9 56,4 produktif (49,5) (50,1) (49,7) Pengambilan keputusan 8,8 37,3 23,0 dalam rumah tangga (28,5) (48,6) (42,2) Keterlibatan dalam kegi16,7 36,3 26,5 atan RT/RW/desa (37,5) (48,3) (44,2) N 102 102 204 Rumah tangga kontrol di desa kontrol: Kegiatan ekonomi 53,3 36,7 produktif (50,7) (49,0) Pengambilan keputusan 6,7 26,7 dalam RT (25,4) (45,0) Keterlibatan dalam kegi16,7 16,7 atan RT/RW/desa (37,9) (37,9) N 30 30 45,0 (50,2) 16,7 (37,6) 16,7 (37,6) 60 Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 57,3 (49,7) 42,7 (49,7) 18,5 (39,0) 103 50,0 (50,9) 50,0 (50,9) 13,3 (34,6) 30 50,5 (50,2) 33,7 (47,5) 34,7 (47,8) 101 33,3 (47,9) 20,0 (40,7) 36,7 (49,0) 30 Total

53,9 55,2 (50,0) (49,8) 38,2 30,6 (48,7) (46,2) 26,5 26,5 (44,2) (44,2) 204 408 41,7 43,3 (49,7) (49,8) 35,0 25,8 (48,1) (44,0) 25,0 20,8 (43,7) (40,8) 60 120

Selisih rumah tangga SAADP dan rumah tangga kontrol: Kegiatan ekonomi 5,5 17,2 11,4 7,3 17,2 12,2 11,9* produktif (10,5) (10,2) (7,4) (10,5) (10,1) (7,3) (5,2) Pengambilan keputusan 2,1 10,6 6,3 -7,3 13,7 3,2 4,8 dalam RT (5,4) (9,5) (5,7) (10,5) (8,8) (7,1) (4,6) Keterlibatan dalam kegi0,0 19,6* 9,8 5,2 -2,0 1,5 5,7 atan RT/RW/desa (7,8) (8,4) (5,8) (7,4) (10,1) (6,4) (4,3) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. -* Signifikan pada tingkat 5 persen.

Di seluruh kabupaten sampel ditemui perempuan yang terlibat dalam kepengurusan UPKD, kecuali di desa sampel di Kabupaten Konsel. Biasanya, perempuan terlibat sebagai bendahara. Di Kabupaten Muna keterlibatan perempuan dalam kepengurusan UPKD ditemui di dua desa sampel, yaitu sebagai bendahara. Namun, di desa pertama hanya aktif pada awal pelaksanaan dan setelah itu fungsinya diambil alih oleh ketua UPKD. Sedangkan di desa kedua, tidak diangkat secara formal (tanpa melalui musyawarah atau persetujuan masyarakat) tetapi diminta oleh bapaknya yang kebetulan menjabat sebagai ketua UPKD. Anak ketua UPKD desa ini berperan sebagai bendahara yang mengurus pembukuan UPKD, menggantikan bendahara terpilih yang pindah ke kabupaten lain. Di satu desa di Kabupaten Donggala, seorang perempuan menjabat sebagai ketua UPKD yang juga merangkap sebagai bendahara. Sedangkan di desa lain, seorang perempuan yang menjadi bendahara sangat aktif melakukan penagihan kredit SAADP. Di desa sampel di Kabupaten Tolitoli juga terdapat dua desa yang memiliki bendahara perempuan, salah satunya sangat aktif bahkan melebihi ketua UPKD. Menyangkut peran perempuan dalam kepengurusan UPKD, sebenarnya ada himbauan dari pemda kabupaten dan propinsi di Sulteng agar bendahara UPKD dijabat oleh seorang perempuan, dengan pertimbangan bahwa perempuan dinilai lebih rajin dan telaten dalam pencatatan keuangan. Ternyata himbauan ini tidak dilaksanakan di setiap desa.

69

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Fasilitator yang dijabat perempuan dapat ditemui di hampir seluruh daerah sampel kecuali di desa sampel Kabupaten Muna. Namun demikian, pada tingkat kabupaten di Kabupaten Muna terdapat 7 orang perempuan dari total 35 fasilitator yang kebetulan tidak bertugas di desa sampel. Walaupun jumlahnya sedikit, kinerja fasilitator perempuan dinilai cukup baik bahkan ada yang terbilang sangat aktif, seperti yang bertugas di satu desa di Kabupaten Donggala. Menurut pengurus UPKD setempat, fasilitator tersebut tidak segan-segan memberikan penjelasan langsung ke masyarakat walaupun harus bekerja hingga malam hari. Bahkan, menjelang masa akhir tugasnya fasilitator perempuan ini masih mengusahakan kerja sama antara UPKD dengan salah satu bank pemerintah, terlibat langsung dalam pembuatan proposal, dan turut melakukan pertemuan dengan unsur terkait di tingkat kabupaten dan kepala cabang bank tersebut. 6.2. Keterlibatan Ornop

Guna memaksimalkan pelaksanaan di lapangan, proyek SAADP melibatkan tenaga fasilitator untuk membantu masyarakat. Mereka direkrut dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) setempat, yang dikenal juga dengan sebutan ornop (organisasi nonpemerintah). Fasilitator untuk wilayah Sulteng adalah LSM Rosontapura, dan untuk wilayah Sultra adalah LSM Leppsek. Di tingkat kabupaten ornop menempatkan koordinator fasilitator, sementara di tingkat desa menempatkan fasilitator. Pada umumnya seorang fasilitator bertugas di 3-4 desa. Di Sultra diberlakukan pergantian atau rotasi lokasi tugas fasilitator untuk menghindari kejenuhan dan untuk menambah pengetahuan. Karenanya, desa sampel yang memperoleh SAADP pada tahun anggaran 1999/2000 hingga 2003 biasanya sudah difasilitasi oleh 2 hingga 3 orang fasilitator. Pergantian fasilitator juga terjadi di wilayah Sulteng, namun karena alasan berbeda. Di provinsi ini setiap tahun dilakukan tender ulang pemilihan ornop. Ornop terpilih berganti-ganti, tetapi untuk dua tahun terakhir ini dimenangkan LSM Rosontapura. Berdasarkan juklak, tugas dan fungsi fasilitator pada intinya membantu pelaksanaan kegiatan proyek dan pembinaan di lapangan sejak tahap persiapan, tahap perencanaan, hingga tahap pengawasan pelaksanaan dan pemantauan, serta pekerjaan administrasi. Sesuai dengan tugasnya, fasilitator selayaknya banyak berhubungan dengan masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang menjadi peserta SAADP. Namun, berdasarkan informasi responden, cukup banyak responden yang tidak mengetahui keberadaan fasilitator selama proyek ini berlangsung. Dari total 408 rumah tangga peserta SAADP di empat kabupaten sampel, hanya 66,9% yang mengetahui keberadaan fasilitator, sementara sekitar 33,1% responden lainnya mengaku tidak mengetahui keberadaan fasilitator (lihat Tabel 6.2.1). Cukup banyaknya rumah tangga responden yang tidak mengetahui keberadaan fasilitator menunjukkan kurangnya intensitas hubungan fasilitator dengan masyarakat. Pada umumnya masyarakat mengetahui fasilitator sebagai orang yang memberi penjelasan tentang program saat sosialisasi dan orang yang beberapa kali mendatangi UPKD. Berakhirnya masa jabatan fasilitator pada Juni 2003 juga tidak banyak diketahui oleh peserta SAADP. Hal ini terlihat dari jawaban 37,7% rumah tangga responden yang mengetahui keberadaan fasilitator menyatakan bahwa fasilitator masih ada dan 4,8% rumah tangga yang menjawab tidak tahu mengenai hal tersebut (Tabel 6.2.2).
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

70

Tabel 6.2.1. Proporsi Rumah Tangga SAADP yang Mengetahui Keberadaan Fasilitator SAADP (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 66,7 57,8 62,3 Mengetahui (47,4) (49,6) (48,6) 33,3 42,2 37,8 Tidak (47,4) (49,6) (48,6) N 102 102 204 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Pengetahuan tentang Keberadaan Fasilitator Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 62,1 81,2 71,6 (48,7) (39,3) (45,2) 37,9 18,8 28,4 (48,7) (39,3) (45,2) 103 101 204 Total 66,9 (47,1) 33,1 (47,1) 408

Tabel 6.2.2. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Keberadaan Fasilitator SAADP Saat Ini (%)
Pengetahuan Keberadaan Fasilitator Saat ini Ya, masih ada Tidak ada Tidak tahu Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 83,8 49,2 67,7 3,1 18,3 11,6 37,7 (37,1) (50,4) (46,9) (17,5) (38,9) (32,2) (48,6) 13,2 40,7 26,0 90,6 80,5 84,9 57,5 (34,1) (49,5) (44,0) (29,4) (39,9) (35,9) (49,5) 2,9 10,2 6,3 6,3 1,2 3,4 4,8 (17,0) (30,5) (24,4) (24,4) (11,0) (18,2) (21,3) 64 82 146 273

N=yang mengetahui 68 59 127 keberadaan fasilitator Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi.

Secara umum fasilitator hanya berperan pada awal pelaksanaan proyek atau pada tahap persiapan dan perencanaan. Fasilitator berperan pada proses sosialisasi program, fasilitasi pembentukan UPKD dan membantu UPKD dalam menyeleksi proposal pinjaman awal dari masyarakat. Hal ini sejalan dengan pengetahuan responden mengenai kegiatan yang dilakukan fasilitator yang berkaitan dengan proyek SAADP, seperti terlihat dalam Tabel 6.2.3. Dari 273 rumah tangga yang mengetahui keberadaan fasilitator, 82,4% di antaranya menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan fasilitator adalah melakukan sosialisasi, dan 56,5% rumah tangga juga menyatakan bahwa fasilitator memberi pendampingan kepada pengurus UPKD. Setelah proyek berjalan, yaitu setelah dana cair dan disalurkan UPKD kepada masyarakat, peran pendampingan fasilitator terhadap masyarakat menjadi semakin berkurang. Peran fasilitator lebih terfokus pada UPKD, yaitu pembuatan laporan berkala kegiatan UPKD yang disampaikan kepada manajer klaster dan pemimpin proyek di tingkat kabupaten. Biasanya fasilitator hanya berkunjung ke UPKD 12 kali per bulan.24

24

Pada workshop penyampaian hasil penelitian SMERU di Palu, diperoleh konfirmasi dari mantan fasilitator dan instansi terkait bahwa ornop/fasilitator kurang berperan dalam pendampingan kepada masyarakat. Hal ini antara lain karena seorang fasilitator menangani lebih dari satu desa (biasanya 4 desa), kadang-kadang harus menghadiri pertemuan koordinasi di tingkat provinsi, dan insentif fasilitator dinilai terlalu rendah. Di samping itu, pernah didiskusikan di tingkat provinsi bahwa UPKD merupakan ujung tombak proyek sehingga harus menjadi titik berat pendampingan, yaitu sekitar 70% dari waktu fasilitator.

71

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 6.2.3. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Kegiatan yang Dilakukan Fasilitator (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 80,9 72,9 77,2 Melakukan sosialisasi (39,6) (44,8) (42,1) 67,7 50,9 59,8 Membantu membuat proposal (47,1) (50,4) (49,2) Melakukan pendampingan/ 67,7 55,9 62,2 pelatihan kepada peserta (47,1) (50,0) (48,7) Memberi pendampingan kepada 69,1 67,8 68,5 pengurus UPKD (46,5) (47,1) (46,6) Menampung persoalan dan mena54,4 44,1 49,6 ngani permasalahan peserta (50,2) (50,1) (50,2) N=yang mengetahui keberadaan 68 59 127 fasilitator Catatan: -Responden dapat memilih lebih dari satu pilihan jawaban. -Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Kegiatan Fasilitator Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 85,9 87,8 87,0 (35,0) (32,9) (33,8) 20,3 30,5 26,0 (40,6) (46,3) (44,0) 6,3 19,5 13,7 (24,4) (39,9) (34,5) 26,6 61,3 45,8 (44,5) (49,0) (50,0) 4,7 50,0 30,1 (21,3) (50,3) (46,0) 64 82 146 Total 82,4 (38,1) 41,8 (49,4) 36,3 (48,2) 56,5 (49,7) 39,2 (48,9) 273

Dalam beberapa kasus di desa sampel, tim peneliti SMERU menemui sejumlah fasilitator yang cukup baik. Bahkan, di satu desa sampel di Donggala, ditemui fasilitator yang masih aktif membantu UPKD meskipun proyek sudah berakhir. Fasilitator tersebut menjalankan tugas dengan cukup intensif, baik dalam memberi bimbingan manajemen keuangan kepada pengurus UPKD maupun melakukan kunjungan ke rumah penduduk bersama pengurus UPKD untuk memberi penjelasan tentang program. Ditemui juga fasilitator yang ikut terlibat menagih angsuran pinjaman ke rumah penduduk. Relatif lebih baiknya peran fasilitator di Kabupaten Donggala juga terlihat dari cukup tingginya (67.7%) responden rumah tangga SAADP yang menyatakan bahwa fasilitator juga membantu melakukan pendampingan/pelatihan kepada peserta. Sebagai catatan, frekuensi dari masing-masing kegiatan yang dilakukan oleh fasilitator tidak diketahui secara pasti, mengingat kegiatan tersebut umumnya hanya dilakukan pada tahap awal dan tidak menyeluruh terhadap semua peserta. Tabel 6.2.4. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Tingkat Keterlibatan Fasilitator dalam Pelaksanaan Proyek (%)
Peran Fasilitator Berperan Cukup berperan Kurang berperan Tidak ada Tidak tahu Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 69,1 28,8 50,4 (46,5) (45,7) (50,2) 16,2 27,1 21,3 (37,1) (44,8) (41,1) 5,9 22,0 13,4 (23,7) (41,8) (34,2) 4,4 11,9 7,9 (20,7) (32,6) (27,0) 4,4 10,2 7,1 (20,7) (30,5) (25,8) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 7,8 32,9 21,9 (27,0) (47,3) (41,5) 32,8 29,3 30,8 (47,3) (45,8) (46,3) 35,9 24,4 29,5 (48,4) (43,2) (45,7) 12,5 9,8 11,0 (33,3) (29,9) (31,3) 10,9 3,7 6,9 (31,5) (18,9) (25,3) 64 82 146 Total 35,2 (47,8) 26,4 (44,1) 22,0 (41,5) 9,5 (29,4) 7,0 (25,4) 273

N=yang mengetahui 68 59 127 keberadaan fasilitator Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi.

72

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Kegiatan dan keterlibatan fasilitator di Kabupaten Donggala tampaknya memang relatif lebih baik dibandingkan di tiga kabupaten sampel lainnya. Dari 68 responden peserta SAADP di Kabupaten Donggala yang mengetahui keberadaan fasilitator, sekitar 85,3% di antaranya menyatakan bahwa fasilitator berperan/cukup berperan. Proporsi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi di ketiga kabupaten lainnya. Secara keseluruhan, dari sampel responden yang mengetahui keberadaan fasilitator, jumlah responden yang menyatakan bahwa fasilitator kurang berperan, tidak berperan dan tidak tahu masih cukup tinggi, yaitu mencapai 38,5% (lihat Tabel 6.2.4). Sementara itu, Tabel 6.2.5 menunjukkan bahwa manfaat fasilitator yang dirasakan sekitar 45,5% rumah tangga responden terutama adalah bahwa responden merasa dapat lebih memahami proyek. Hal ini sejalan dengan pengakuan responden bahwa kegiatan sosialisasi merupakan kegiatan yang memiliki persentase terbesar dari seluruh kegiatan yang dilakukan oleh fasilitator dalam proyek. Rumah tangga responden yang mengaku bahwa manfaat keberadaan fasilitator adalah dalam memperoleh pendampingan dan tempat konsultasi, masing-masing sebesar 29%. Persentase tersebut hampir sama dengan responden yang menyatakan bahwa mereka tidak merasakan manfaat dari keberadaan fasilitator (27,5%). Tabel 6.2.5. Proporsi Rumah Tangga SAADP yang Mengetahui Fasilitator Berdasarkan Pendapat tentang Manfaat Fasilitator (%)
Manfaat Fasilitator Lebih memahami proyek Memperoleh pendampingan Tempat konsultasi Tidak bermanfaat Lainnya N=yang mengetahui keberadaan fasilitator Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 47,1 40,7 44,1 (50,3) (49,5) (49,8) 41,2 54,2 4,7 (49,6) (50,2) (50,1) 37,8 38,2 37,3 (49,0) (48,8) (48,7) 16,5 16,2 17,0 (37,1) (37,8) (37,3) 0,8 0,0 1,7 (8,9) (0,0) (13,0) 68 59 127 Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 40,6 51,2 46,6 (49,5) (50,3) (50,1) 20,7 47,2 13,7 (21,3) (40,8) (34,5) 15,6 25,6 21,2 (36,6) (43,9) (41,0) 45,3 30,5 37,0 (50,2) (46,3) (48,4) 1,6 0,0 0,7 (12,5) (0,0) (8,3) 64 82 146 Total 45,4 (49,9) 29,3 (45,6) 28,9 (45,4) 27,5 (44,7) 0,7 (8,5) 273

Catatan: - Responden dapat memilih lebih dari satu pilihan jawaban. Angka dalam kurung adalah standar deviasi.

Tim peneliti memperoleh informasi tentang adanya kasus kekeliruan fasilitator pada awal pelaksanaan proyek SAADP. Di satu kecamatan di Kabupaten Konsel, fasilitator menginformasikan kepada masyarakat bahwa dana SAADP adalah dana hibah, bukan dana pinjaman. Walaupun fasilitator yang bersangkutan telah diganti dan telah dilakukan sosialisasi ulang, akan tetapi masih ada masyarakat yang beranggapan dana SAADP tidak perlu dikembalikan. Kesalahan persepsi tersebut diperkirakan menjadi penyebab utama kemacetan dana kredit di seluruh desa sampel, selain penyelewengan dana yang dilakukan pengurus. Selain itu, di Kabupaten Muna fasilitator di dua desa sampel menyampaikan informasi bahwa sebagian bunga dipotong di muka, saat pencairan pinjaman kepada masyarakat. Kekeliruan ini segera disadari saat perguliran dana atau saat terjadi pergantian fasilitator.

73

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Kasus lainnya adalah adanya fasilitator di satu desa sampel yang meminjam dana SAADP sebesar 7 juta rupiah yang tidak dapat ditolak oleh UPKD karena beranggapan bahwa fasilitatorlah yang berjasa sehingga desa tersebut memperoleh bantuan SAADP. Sebagian dari dana tersebut sudah dikembalikan, namun akibatnya kasus tersebut dijadikan alasan bagi masyarakat peminjam untuk tidak segera melunasi pinjamannya yang sudah jatuh tempo. Beberapa kasus tersebut menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem fasilitasi yang dilakukan. Meskipun demikian, secara umum UPKD menilai bahwa keberadaan fasilitator cukup bermanfaat dalam pelaksanaan proyek dan masih dibutuhkan. Fasilitator dapat menjadi tempat konsultasi pelaksanaan pengelolaan dana SAADP, menjadi sumber kekuatan moril bagi UPKD dalam menghadapi tuntutan masyarakat, dan dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa pelaksanaan SAADP terus diawasi sehingga dana pinjaman mereka harus dikembalikan. Diakui pengurus UPKD di beberapa desa di seluruh kabupaten sampel bahwa setelah tidak ada fasilitator, UPKD tidak mampu lagi menolak permintaan pinjaman dari aparat seperti staf kantor kecamatan, desa atau manajer klaster. Selain UPKD, sebagian besar rumah tangga responden SAADP (52,0%) juga menyatakan bahwa keberadaan fasilitator masih dibutuhkan, dan sebanyak 18,3% rumah tangga juga menyatakan bahwa fasilitator masih dibutuhkan tetapi perlu perbaikan (lihat Tabel 6.2.6). Tampaknya ini bertolak belakang dengan kecilnya peran dan kinerja fasilitator yang dirasakan oleh para peserta selama ini, namun dapat dimaklumi karena pada kenyataanya para peserta tidak mengetahui secara pasti apa tugas fasilitator yang sebenarnya dan mereka juga merasa masih membutuhkan bimbingan.25 Tabel 6.2.6. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Pendapat tentang Kebutuhan terhadap Fasilitator (%)
Kebutuhan terhadap Keberadaan Fasilitator Masih dibutuhkan Dibutuhkan tapi dengan perbaikan Tidak dibutuhkan Tidak tahu Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 77,9 64,4 71,7 (41,8) (48,3) (45,2) 2,9 8,5 5,5 (17,0) (28,1) (22,9) 8,8 15,3 11,8 (28,6) (36,3) (32,4) 10,3 11,9 11,0 (30,6) (32,6) (31,4) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 29,7 39,0 34,9 (46,0) (49,1) (47,8) 31,3 28,1 29,5 (46,7) (45,2) (45,7) 31,3 23,2 26,7 (46,7) (42,5) (44,4) 7,8 9,8 8,9 (27,0) (29,9) (28,6) 64 82 146 Total 52,0 (50,1) 18,3 (38,8) 19,8 (39,9) 9,9 (29,9) 273

N=yang mengetahui 68 59 127 keberadaan fasilitator Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi.

25

Khusus di Kabupaten Donggala dan Kabupaten Muna, terdapat rencana untuk menggunakan fasilitator kembali dengan menggunakan dana APBD, namun dengan jumlah yang lebih sedikit.

74

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

VII. PERENCANAAN DAERAH, KELEMBAGAAN, DAN TRANSPARANSI LOKAL


7.1. Partisipasi Peserta dalam Perencanaan Desa dan Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat

Pengaruh SAADP terhadap partisipasi peserta dalam perencanaan desa dan pelaksanaan kegiatan masyarakat dilihat dari tiga indikator, yaitu: keterlibatan dalam perencanaan atau pelaksanaan kegiatan di tingkat lokal (RT, RW atau desa), keterlibatan dalam upacara adat, dan keterlibatan dalam kegiatan berorganisasi di tingkat lokal. Perubahan keterlibatan responden setelah ada proyek SAADP pada masing-masing indikator akan dilihat apakah semakin bertambah, tetap atau justru berkurang. Dengan membandingkan perubahan pada responden rumah tangga SAADP dan kontrol, pengaruh SAADP diukur sebagai selisih antara keduanya. Tabel 7.1.1. Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol yang Mengaku Mengalami Peningkatan Keterlibatan dalam Perencanaan/Pelaksanaan Kegiatan di Tingkat RT/RW/Desa (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 17,7 49,0 33,3 5,8 28,7 17,2 25,3 Rumah tangga SAADP (38,3) (50,2) (47,3) (23,5) (45,5) (37,8) (43,5) N 102 102 204 103 101 204 408 14,5 31,4 22,6 7,7 23,1 15,4 19,1 Rumah tangga kontrol (35,6) (46,9) (42,0) (26,9) (42,5) (36,3) (39,3) N 55 51 106 52 52 104 210 3,2 17,6* 10,7* -1,9 5,6 1,8 6,2 Selisih (6,1) (8,2) (5,3) (4,4) (7,4) (4,4) (3,5) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. - * signifikan pada tingkat 5 persen. Mona, italics Peningkatan Keterlibatan

Sebagian besar responden rumah tangga SAADP (72,6%) dan kontrol (71,9%) menyatakan tetap atau tidak mengalami perubahan, 71,9% yang menyatakan bahwa keterlibatannya dalam perencanaan atau pelaksanaan kegiatan di tingkat lokal tidak mengalami perubahan. Data pada Tabel 7.1.1 menunjukkan bahwa hanya sekitar 25,3% responden rumah tangga SAADP yang menyatakan bahwa keterlibatannya semakin bertambah. Hal ini tidak begitu berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh responden kontrol, yaitu hanya sekitar 19,1% yang menyatakan ada peningkatan. Ini berarti dampak bersih SAADP terhadap peningkatan keterlibatan dalam perencanaan atau pelaksanaan kegiatan di tingkat lokal secara total adalah 6,2%, namun berdasarkan uji statistik pengaruhnya tidak signifikan. Dampak yang signifikan secara statistik terjadi di Kabupaten Tolitoli (17,6%) juga pada tingkat Provinsi Sulteng (10,7%), yaitu pada tingkat nyata 5%. Sementara itu, responden yang mengalami peningkatan keterlibatan dalam upacara adat masing-masing adalah sebanyak 47,8% pada rumah tangga SAADP dan 36,2% pada rumah tangga kontrol. Ini menunjukkan bahwa dampak SAADP terhadap peningkatan keterlibatan dalam kegiatan upacara adat adalah sebesar 11,6% dan secara statistik signifikan pada tingkat nyata 1%. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Tolitoli,

75

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

kabupaten Konsel dan Provinsi Sultra, pengaruhnya signifikan dengan tingkat nyata 5% (lihat Tabel 7.1.2). Tabel 7.1.2. Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Peningkatan Keterlibatan dalam Upacara Adat (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 44,1 56,9 50,5 50,5 39,6 45,1 47,8 (49,8) (49,8) (50,1) (50,2) (49,2) (49,9) (50,0) 102 102 204 103 101 204 408 43,6 39,2 41,5 38,5 23,1 30,8 36,2 (50,1) (49,3) (49,5) (49,1) (42,5) (46,4) (48,2) 55 51 106 52 52 104 210 0,5 17,7* 9,0 12,0 16,5* 14,3* 11,6** Selisih (8,4) (8,5) (6,0) (8,4) (7,7) (5,7) (4,2) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. -**signifikan pada tingkat 1 persen. - *signifikan pada tingkat 5 persen. MONA, italics.. Peningkatan Keterlibatan Rumah tangga SAADP N Rumah tangga kontrol N

Berdasarkan perubahan keterlibatan responden dalam kegiatan berorganisasi di tingkat lokal, terdapat pola yang sama antara rumah tangga SAADP dan kontrol, yaitu sebagian besar (masing-masing 75,7% dan 72,9%) responden menyatakan tidak mengalami perubahan keterlibatan. Responden yang menyatakan keterlibatannya meningkat hanya 19,9% pada rumah tangga SAADP dan 16,7% pada rumah tangga kontrol. Secara total, dampak SAADP terhadap peningkatan keterlibatan responden dalam kegiatan berorganisasi di tingkat lokal adalah positif (3,2%), namun tidak signifikan secara statistik (lihat Tabel 7.1.3). Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan proyek SAADP cenderung meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan berorganisasi di tingkat lokal. Tabel 7.1.3. Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Keterlibatan dalam Kegiatan Berorganisasi di Tingkat RT/RW/Desa (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 10,8 40,2 25,5 7,8 20,8 14,2 19,9 (31,2) (49,3) (43,7) (26,9) (40,8) (35,0) (39,9) 102 102 204 103 101 204 408 14,6 25,5 19,8 11,5 15,4 13,5 16,7 (35,6) (44,0) (40,0) (32,3) (36,4) (34,3) (37,4) 55 51 106 52 52 104 210 -3,8 14,7 5,7 -3,7 5,4 0,7 3,2 Selisih (5,7) (7,9) (4,9) (5,2) (6,5) (4,2) (3,3) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. Perubahan Keterlibatan Rumah tangga SAADP N Rumah tangga kontrol N

Meskipun kinerja kelompok, fasilitator, dan PPL dinilai tidak memuaskan, akan tetapi ada sebagian peserta yang lebih aktif dan lebih mampu menyerap informasi dari pelatihan yang diberikan dibandingkan peserta lainnya. Tingkat keaktifan mereka berpengaruh pada keterlibatannya dalam kegiatan masyarakat setempat. Informasi kualitatif menunjukkan adanya indikasi bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan desa dan pelaksanaan kegiatan masyarakat memang lebih tampak pada peserta yang mengalami

76

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

peningkatan kemampuan ekonomi setelah mengikuti proyek SAADP. Hal ini memungkinkan status sosial mereka menjadi lebih meningkat, lebih berani berpartisipasi dalam perencanaan desa atau kegiatan masyarakat lainnya, dan lebih sering berinteraksi dengan fasilitator. Karenanya, wawasannya menjadi lebih meningkat dan lebih mampu memberikan sumbangan dana maupun pemikiran. Meningkatnya status sosial juga membuat mereka lebih dihargai oleh anggota masyarakat lainnya. Dengan demikian, keberhasilan upaya mengangkat derajat individu dari lingkungan sosialnya dapat membantu meningkatkan peran mereka dalam kehidupan bermasyarakat secara lebih luas. 7.2. Penguatan Kelembagaan di Tingkat Lokal

Keberadaan sistem UPKD yang diperkenalkan dan dibentuk melalui IMS-SAADP diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap penguatan kelembagaan yang lebih luas di tingkat lokal di luar UPKD itu sendiri. Melalui sistem ini diselenggarakan wadah pertemuan masyarakat untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut pelaksanaan SAADP, pembentukan kelompok masyarakat, kegiatan pendampingan oleh fasilitator, dan pengelolaan UPKD yang transparan. Keberadaan kegiatan tersebut seharusnya dapat memperbaiki pola pikir dan perilaku, serta meningkatkan pengetahuan masyarakat, tidak hanya tentang keuangan mikro tetapi berimbas pada penguatan kelembagaan lainnya, khususnya di tingkat desa. Namun, yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa harapan masih jauh dari kenyataan yang dicapai. Desain proyek yang tidak selalu dilaksanakan secara optimal, sebagaimana dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, memperkecil kemungkinan adanya pengaruh positif dari proyek terhadap penguatan kelembagaan lokal yang ada. Informasi kualitatif di lapangan mengindikasikan hal-hal berikut ini: 1. Forum musyawarah desa yang merupakan forum pertemuan untuk memutuskan berbagai masalah di desa pada umumnya tidak lebih meningkat dibanding sebelum ada proyek, kecuali pada awal pelaksanaan; Sistem kelompok yang bertujuan untuk penguatan kerja sama kelompok di bidang ekonomi juga tidak berjalan baik, karena pembentukan kelompok selama ini pada umumnya hanya bersifat formalitas untuk memenuhi persyaratan proyek, terutama saat mengajukan kredit.26 Pada akhirnya kelompok masyarakat yang diharapkan dapat mengaktifkan kegiatan kelembagaan masyarakat tidak pernah terwujud. Kegiatan di tingkat RT/RW atau dusun umumnya tidak mengalami banyak perubahan, dalam arti yang dulunya aktif tetap aktif dan yang dulunya kurang aktif tetap kurang aktif; Sistem SAADP kurang memberikan penguatan terhadap lembaga-lembaga lain yang ada di desa seperti arisan dan kegiatan simpan pinjam.

2.

3.

4.

Uraian dalam Bab V tentang sistem UPKD juga menunjukkan bahwa selama ini tidak ada hubungan khusus antara UPKD dengan lembaga keuangan formal dan informal di dalam dan di luar desa. Di samping itu, tidak tampak adanya penguatan ataupun peningkatan dalam kegiatan kelembagaan keuangan lokal. Meskipun demikian, terdapat hal-hal dalam sistem UPKD yang berpotensi menguatkan kelembagaan lokal.
26

Lihat Sub Bab 4.5: Sistem Kelompok.

77

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Pemerintah daerah sendiri pada umumnya menilai pendekatan UPKD lebih baik dibandingkan dengan pendekatan secara sektoral. Hal ini mendorong Pemda Provinsi Sultra untuk mengembangkan wacana pembentukan Bank Sultra yang menggunakan UPKD sebagai salah satu model. Dalam mengembangkan program-program pembangunan lainnya, pemerintah daerah Sultra juga mulai memperkenalkan program 'padu serasi', agar program yang masuk ke daerah Sultra tidak tumpang tindih satu sama lain. Program baru jangan sampai merugikan program-program yang telah ada, melainkan harus saling memperkuat. Misalnya, di Kabupaten Kolaka (bukan wilayah sampel), pelaksanaan perguliran dana program PPK (Program Pengembangan Kecamatan) di beberapa desa diserahkan pada UPKD. 7.3. Transparansi Tata Kelola Pemerintah Daerah

Penelitian lapangan tidak menemukan adanya indikasi yang menunjukkan bahwa pelaksanaan proyek SAADP mendorong transparansi di tingkat pemerintahan lokal. Hal ini karena prinsip transparansi pada pengelolaan UPKD itu sendiri pada umumnya tidak dilakukan secara penuh. Sebagian besar kepengurusan UPKD dinilai kurang terbuka, dan hanya 34,4% rumah tangga responden yang menyatakan bahwa informasi/laporan mengenai keuangan UPKD yang dapat mereka akses tersedia atau pernah tersedia (lihat uraian Sub bab 5.4. Sistem Pelaporan dan Pengawasan). Transparansi pengelolaan UPKD pada umumnya hanya dilakukan pada tahap awal penyaluran dana. Pada tahap ini masih banyak pihak turut serta dalam pelaksanaan proyek sehingga menjadi pendorong transparansi. Fasilitator dan PPL aktif menjadi anggota tim verifikasi, serta kepala desa yang menurut aturan tidak banyak dilibatkan tetapi dalam praktiknya di beberapa desa turut menjadi anggota tim verifikasi. Selain itu, musyawarah masyarakat pun masih sering dilaksanakan sehingga dapat menjadi forum penyampaian perkembangan pelaksanaan proyek. Dalam perkembangannya, pelaksanaan proyek lebih terkonsentrasi pada pengurus UPKD, bahkan di beberapa desa hanya dikelola oleh ketuanya. Keputusan pemberian pinjaman juga hanya diputuskan oleh UPKD, sementara musyawarah warga yang seharusnya dilaksanakan tiga bulan sekali bisa dikatakan tidak ada lagi, atau kalaupun ada frekuensi pertemuannya sangat jarang.

78

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

VIII. DAMPAK SOSIAL EKONOMI


Dampak sosial ekonomi pelaksanaan proyek SAADP antara lain akan dilihat dari perubahan beberapa indikator output dan outcome yang berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, seperti: perubahan dalam mengelola usaha, yang meliputi wawasan dan praktiknya, perubahan pendapatan keluarga, perubahan perilaku menabung, kondisi fasilitas tempat tinggal, dan kepemilikan aset. Seperti dijelaskan dalam metode penelitian pada Bab I, pengukuran dampak akan dilakukan dengan membandingkan perubahan sebelum dan sesudah proyek berlangsung antara rumah tangga penerima SAADP dengan rumah tangga kontrol. 8.1. Pemanfaatan Kredit SAADP Sebagian besar (90,4%) responden berpendapat bahwa keberadaan proyek SAADP berupa pemberian kredit mikro bermanfaat. Bentuk manfaat yang dirasakan responden adalah tersedianya modal sehingga bisa digunakan untuk menambah modal usaha yang telah ada, membuka usaha baru, atau membiayai keperluan lain. Jika berdasarkan provinsi, jumlah responden yang menjawab keberadaan proyek SAADP bermanfaat, di dua kabupaten di Sultra lebih banyak, yaitu mencapai 96,6% dibanding jumlah responden di dua kabupaten di Sulteng yang hanya 84,3% (Tabel 8.1.1). Tabel 8.1.1. Proporsi Rumah Tangga yang Berpendapat SAADP Bermanfaat dan Kesesuaian Pengajuan dengan Penggunaan Kredit (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 81,4 87,3 84,3 (39,1) (33,5) (36,5) 102 102 204 Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 99,0 94,1 96,6 (9,8) (23,8) (18,3) 103 89,1 (31,3) 165 101 89,8 (30,4) 118 204 89,4 (30,8) 283 Total 90,4 (29,4) 408 93,4 (24,9) 557

SAADP bermanfaat N Rumah tangga SAADP

Penggunaan pinjaman 97,9 96,9 97,4 sesuai pengajuan (14,3) (17,3) (15,8) N Pinjaman SAADP 144 130 274 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi.

Sebagian besar responden (93,4%) juga mengakui bahwa kredit yang diperolehnya digunakan sesuai dengan proposal yang diajukan. Jika persentase jumlah responden yang menyatakan SAADP bermanfaat dibandingkan dengan kesesuaian penggunaan dan pengajuan, tampak bahwa kedua hal tersebut tidak selalu sejalan. Hal ini karena manfaat kredit akan lebih dirasakan jika digunakan sesuai kebutuhan responden saat itu atau usaha yang dibiayai dapat berkembang. Menurut aturan, kredit SAADP ditujukan untuk kegiatan usaha produktif. Data menunjukkan bahwa sebagian besar peserta SAADP di seluruh kabupaten sampel juga mengajukan (98,3%) dan menggunakan (99,7%) kredit untuk modal usaha, baik usaha tani (tanaman pangan dan perkebunan), usaha dagang, nelayan, industri rumah tangga, maupun usaha lainnya. Walaupun jumlahnya relatif kecil, ada pula peserta yang mengajukan (6,6%) dan menggunakan (16,7%) kredit SAADP untuk tujuan lain seperti biaya sekolah, kesehatan, perbaikan rumah, konsumsi sehari-hari,

79

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

dan biaya untuk menjadi TKI (tenaga kerja Indonesia). Dari angka tersebut, terlihat adanya sedikit pergeseran penggunaan, yaitu kredit yang diajukan untuk usaha produktif dalam praktiknya digunakan untuk kegiatan lain yang cenderung konsumtif. Hal tersebut terutama terjadi di dua kabupaten di Sultra (lihat Tabel Lampiran 8.1). Adanya pengajuan dan penggunaan kredit di luar usaha produktif menunjukkan bahwa UPKD tidak melakukan kontrol yang ketat dalam menentukan kegiatan yang akan dibiayai kredit tersebut. Bagi responden yang berusaha di sektor pertanian, umumnya kredit SAADP digunakan untuk mengembangkan usaha yang telah ada seperti untuk pengolahan lahan, membeli input produksi (pupuk, obat-obatan, dan benih), memperluas lahan usaha tani, serta menambah atau mengganti jenis tanaman yang diusahakannya. Bagi nelayan, umumnya kredit digunakan untuk membeli perlengkapan menangkap ikan seperti jaring/pukat dan motor perahu. Sedangkan di sektor lainnya seperti industri rumah tangga dan perdagangan, kredit digunakan untuk meningkatkan volume usaha atau penambahan input industri dan barang dagangan. Hal ini sesuai dengan penjelasan kualitatif dari beberapa narasumber di keempat kabupaten sampel. Persoalan yang mengemuka dan banyak dikeluhkan responden maupun narasumber adalah tidak adanya jaminan keberlanjutan pemberian kredit sehingga dikhawatirkan dapat menghambat berkembangnya usaha. Umumnya kredit pertama yang diterima hanya cukup untuk memulai suatu usaha sebagai modal investasi, padahal untuk menjalankan usaha diperlukan suntikan modal kerja yang kontinu. 8.2. Wawasan dan Praktik Berusaha

Berdasarkan Tabel 8.2.1, terlihat bahwa di semua lokasi terdapat rumah tangga yang merasakan peningkatan wawasan berusaha setelah adanya proyek SAADP, jumlahnya berkisar antara 27,3% hingga 62,8% dari total jumlah rumah tangga sampel. Rata-rata proporsi rumah tangga peserta SAADP yang merasakan adanya peningkatan wawasan berusaha adalah 53,2%. Pada periode yang sama, ternyata ada juga rumah tangga kontrol yang merasakan adanya peningkatan wawasan berusaha, yaitu sebesar 38,1%. Dengan demikian, pengaruh proyek SAADP terhadap peningkatan wawasan berusaha diperkirakan mencapai 15,1%, yang signifikan secara statistik pada tingkat nyata 1%. Di semua wilayah sampel, SAADP juga berdampak positif terhadap peningkatan wawasan berusaha dengan nilai yang signifikan secara statistik pada tingkat nyata 1% (di Kabupaten Donggala dan Tolitoli) dan tingkat nyata 5% (di Kabupaten Konsel), kecuali di Kabupaten Muna. Di Kabupaten Muna, peningkatan wawasan justru lebih banyak dirasakan oleh rumah tangga kontrol walaupun selisihnya tidak nyata secara statistik. Berdasarkan informasi kualitatif, hal ini diperkirakan karena kurang atau bahkan tidak ada transfer pengetahuan berusaha dari proyek SAADP sehingga penambahan pengetahuan dari sumber lain pada rumah tangga SAADP sebanding atau bahkan lebih rendah dari rumah tangga kontrol.

80

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 8.2.1. Proporsi Rumah Tangga yang Merasakan Penambahan Wawasan Berusaha (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 52,0 62,8 57,4 45,6 52,5 49,0 53,2 Rumah tangga SAADP (50,2) (48,6) (49,6) (50,1) (50,2) (50,1) (50,0) N 102 102 204 103 101 204 408 27,3 39,2 33,0 53,9 32,7 43,3 38,1 Rumah tangga kontrol (45,0) (49,3) (47,30 (50,3) (47,4) (50,0) (48,7) N 55 51 106 52 52 104 210 Selisih rumah tangga SAADP 24,7** 23,5** 24,3** -8,2 19,8* 5,8 15,1** dan rumah tangga kontrol (7,8) (8,4) (5,8) 8,5 (8,3) (6,0) (4,1) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. -** signifikan pada tingkat 1 persen. - * signifikan pada tingkat 5 persen.

Berdasarkan pengakuan responden dan penjelasan narasumber lain, tambahan pengetahuan responden umumnya diperoleh dari tetangga, teman, atau pengalaman sendiri. PPL yang secara institusional bertugas memberikan penyuluhan, hanya berperan sesuai dengan juklak, yaitu sebagai anggota tim verifikasi dan hanya aktif pada awal pelaksanaan proyek. Bahkan, banyak responden yang tidak mengetahui keberadaan PPL. Sementara fasilitator, seperti diuraikan pada Bab IV, lebih banyak berperan mendampingi UPKD. Responden yang memperoleh tambahan pengetahuan dari PPL atau instansi terkait jumlahnya sangat terbatas. Pada beberapa kasus, tambahan pengetahuan dari jalur resmi ini dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi masyarakat lain yang disampaikan dari mulut ke mulut. Jenis wawasan usaha responden yang bertambah dikelompokkan ke dalam 4 jenis pengetahuan, yaitu pemasaran, diversifikasi usaha, administrasi/keuangan, dan teknik produksi, seperti terlihat dalam Tabel 8.2.2. Baik pada rumah tangga SAADP maupun kontrol, pengetahuan yang paling banyak meningkat adalah diversifikasi usaha, disusul oleh pengetahuan tentang teknik produksi, pemasaran, dan administrasi/keuangan. Secara total, proporsi rumah tangga SAADP yang mengalami peningkatan wawasan berusaha adalah lebih banyak dibandingkan rumah tangga kontrol, dan hal ini terjadi pada semua jenis wawasan berusaha. Dilihat dari selisih proporsi rumah tangga SAADP dan kontrol, jenis pengetahuan berusaha yang paling besar memperoleh dampak SAADP berturut-turut adalah tentang teknik produksi (11,4%), pemasaran (8,4%), dan administrasi/keuangan (7,4%). Dampak terhadap ketiga jenis pengetahuan tersebut secara statistik signifikan pada tingkat nyata 1%. Sedangkan dampak terhadap peningkatan pengetahuan tentang diversifikasi usaha (6,4%), tidak signifikan secara statistik. Dampak SAADP dengan kecenderungan yang hampir serupa terjadi pada rumah tangga di Kabupaten Tolitoli. Di Kabupaten Donggala, SAADP hanya berdampak signifikan pada peningkatan pengetahuan tentang administrasi/keuangan, dan di Kabupaten Konsel signifikan pada peningkatan pengetahuan tentang teknik produksi. Sementara di Kabupaten Muna, dampak SAADP tidak signifikan pada peningkatan semua jenis wawasan berusaha.

81

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 8.2.2. Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Penambahan Wawasan Berusaha (%)
Jenis Wawasan Berusaha Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 19,6 (40,0) 20,6 (40,6) 12,8 (33,5) 10,8 (31,2) 102 9,1 (29,0) 20,0 (40,4) 0,0 (0,0) 7,3 (26,2) 55 31,4 (46,6) 37,3 (48,6) 20,6 (40,6) 53,9 (50,1) 102 11,8 (32,5) 21,6 (41,5) 5,9 (23,8) 29,4 (46,0) 51 25,5 (43,7) 28,9 (45,5) 16,7 (37,4) 32,4 (46,9) 204 10,4 (30,6) 20,8 (40,7) 2,8 (16,6) 17,9 (38,5) 106 Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 7,8 (27,0) 40,8 (49,4) 1,0 (9,9) 3,9 (19,4) 103 3,9 (19,4) 38,5 (49,1) 1,9 (13,9) 9,6 (29,8) 52 10,9 (31,3) 27,7 (45,0) 6,9 (25,5) 30,7 (46,4) 101 11,5 (32,3) 21,2 (41,2) 3,9 (19,4) 7,7 (16,7) 52 9,3 (29,1) 34,3 (47,6) 3,9 (19,5) 17,2 (37,8) 204 7,7 (26,8) 29,8 (46,0) 2,9 (16,8) 8,7 (28,3) 104 Total

Rumah tangga SAADP: Pemasaran Diversifikasi usaha Administrasi Teknik produksi N Rumah tangga kontrol: Pemasaran Diversifikasi usaha Administrasi Teknik produksi N 9,1 (28,8) 25,2 (43,5) 2,9 (16,7) 13,3 (34,1) 210 17,4 (38,0) 31,6 (46,6) 10,3 (30,4) 24,8 (43,2) 408

Selisih rumah tangga SAADP dan rumah tangga kontrol: 10,5 19,6** 15,1** 3,9 -0,7 1,6 8,4** Pemasaran (5,6) (6,5) (4,3) (3,8) (5,5) (3,3) (2,7) 0,6 15,7 8,2 2,3 6,6 4,5 6,4 Diversifikasi usaha (6,8) (7,5) (5,1) (8,4) (7,3) (5,6) (3,8) 12,8** 14,7* 13,8** -1,0 3,1 1,0 7,4** Administrasi (3,3) (5,2) (3,1) (2,1) (3,7) (2,1) (1,9) 3,5 24,5** 14,4** -5,7 23,0** 8,5* 11,4** Teknik produksi (4,7) (8,1) (5,0) (4,6) (5,1) (3,8) (3,2) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. -** signifikan pada tingkat 1 persen. - * signifikan pada tingkat 5 persen.

Sedangkan jika melihat dampak SAADP terhadap perubahan praktik berusaha, secara keseluruhan menunjukkan nilai positif, yaitu 5,4%, namun tidak signifikan secara statistik. Pada tingkat wilayah sampel, di Kabupaten Konsel (20,9%) dan Provinsi Sultra (12,7%), dampak SAADP signifikan pada tingkat nyata 5%. Sedangkan di Kabupaten Donggala dan Sulteng dampak SAADP menunjukkan nilai yang cenderung negatif dan tidak signifikan secara statistik (lihat Tabel 8.2.3). Diakui oleh sejumlah responden bahwa ketersediaan dana pinjaman dari SAADP turut mendorong mereka untuk merubah praktik berusaha. Sebagian perubahan yang dipraktikkan bukan didasarkan pada pengetahuan baru, melainkan pengetahuan yang sudah lama mereka kuasai tetapi sebelumnya belum dapat diterapkan karena keterbatasan modal. Hal ini menjelaskan mengapa proporsi rumah tangga yang melakukan perubahan praktik usaha lebih besar dibanding yang mengalami peningkatan wawasan berusaha.

82

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 8.2.3. Proporsi Rumah Tangga yang Merubah Praktik Berusaha (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 43,1 62,8 52,9 58,3 55,5 56,9 54,9 Rumah tangga SAADP (49,8) (48,6) (50,0) (49,6) (50,0) (49,6) (49,8) N 102 102 204 103 101 204 408 43,1 62,8 52,9 58,3 55,5 56,9 54,9 Rumah tangga kontrol (49,8) (48,6) (50,0) (49,6) (50,0) (49,6) (49,8) N 55 51 106 52 52 104 210 Selisih rumah tangga SAADP -4,1 0,0 -1,8 4,4 20,9* 12,7* 5,4 dan rumah tangga kontrol (8,4) (8,4) (6,0) (8,5) (8,3) (6,0) (4,2) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. - * signifikan pada tingkat 5 persen.

Sejalan dengan jenis wawasan berusaha, jenis praktik usaha yang paling banyak berubah, baik di rumah tangga SAADP maupun kontrol, adalah diversifikasi usaha dan teknik produksi. Secara total pengaruh SAADP terhadap perubahan setiap jenis praktik usaha relatif kecil, seperti dapat dilihat dalam Tabel 8.2.4. Pengaruh positif terjadi pada praktik pemasaran (1,8%), administrasi/keuangan (0,8%) dan teknik produksi (8,5%). Sedangkan pada diversifikasi usaha berdampak negatif, yaitu -3,5%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hanya terhadap praktik teknik produksi, dampak SAADP signifikan pada tingkat nyata 1%. Di Kabupaten Donggala dan Tolitoli, dampak SAADP terhadap kegiatan diversifikasi usaha menunjukkan nilai negatif karena proporsi rumah tangga kontrol yang menambah jenis usaha lebih besar dibanding rumah tangga SAADP, bahkan di tingkat Provinsi Sulteng, nilai negatif sebesar 12,5% yang secara statistik signifikan pada tingkat nyata 5%. Di Kabupaten Muna, SAADP berdampak positif dan signifikan terhadap praktik pemasaran (3,9%) pada tingkat nyata 5%. Sedangkan di Kabupaten Konsel dan di tingkat Provinsi Sultra, SAADP berdampak positif dan signifikan pada tingkat nyata 1% terhadap praktik teknik produksi, masing-masing sebesar 23,1% dan 10,4%. Di Kabupaten Tolitoli, banyaknya rumah tangga kontrol yang menambah jenis usaha terutama disebabkan oleh menurunnya produksi perkebunan cengkeh dan coklat akibat faktor ketuaan sehingga mereka berusaha mencari pekerjaan tambahan seperti menjadi sopir angkot atau tukang ojek. Sementara di Kabupaten Donggala, peningkatan jenis usaha baru antara lain dipacu oleh keberadaan lapangan sepak bola yang mendorong sejumlah responden untuk berjualan makanan kecil dan minuman. Selain itu, meningkatnya permintaan terhadap atap rumah dari daun sagu yang bahan bakunya tersedia di desa kontrol di kabupaten ini juga mendorong beberapa rumah tangga kontrol untuk mulai turut memproduksinya. Jenis usaha baru yang digeluti responden bervariasi, antara lain usaha perdagangan, industri kecil dan kerajinan, jasa, pertanian dan peternakan. Umumnya diversifikasi usaha pertanian dilakukan oleh petani yang mencoba menanam jenis tanaman tambahan yang sebelumnya tidak diusahakan. Sedangkan jenis teknik produksi yang mengalami peningkatan antara lain berupa penggunaan jaring/pukat dan sampan bermotor oleh nelayan yang sebelumnya hanya menggunakan pancing dan sampan biasa, penggunaan mesin sensor kayu pada pemotongan kayu yang sebelumnya hanya

83

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

menggunakan gergaji manual, penggunaan traktor pertanian, dan peningkatan teknik produksi pertanian lainnya seperti cara menjemur komoditas pertanian, penggunaan pupuk dan bibit tanaman baru. Tabel 8.2.4. Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Perubahan Praktik Berusaha (%)
Jenis Praktik Berusaha Rumah tangga SAADP: Pemasaran Diversifikasi usaha Administrasi Teknik produksi Lainnya N Rumah tangga kontrol: Pemasaran Diversifikasi usaha Administrasi Teknik produksi Lainnya N 1,8 (13,5) 34,6 (48,0) 1,8 (13,5) 9,1 (29,0) 1,8 (13,5) 55 2,0 (14,0) 27,5 (45,1) 3,9 (19,6) 27,5 (45,1) 2,0 (14,0) 51 1,9 (13,7) 31,1 (46,5) 2,8 (16,6) 17,9 (38,5) 1,9 (13,7) 106 0,0 (0,0) 38,5 (49,1) 0,0 (0,0) 7,7 (26,9) 7,7 (26,9) 52 7,7 (26,9) 17,3 (38,2) 1,9 (13,9) 9,6 (29,8) 1,9 (13,9) 52 3,9 (19,3) 27,9 (45,1) 1,0 (9,8) 8,7 (28,3) 4,8 (21,5) 104 2,9 (16,7) 29,5 (45,7) 1,9 (13,7) 13,3 (34,1) 3,3 (18,0) 210 7,8 (27,0) 21,6 (41,3) 2,9 (17,0) 10,8 (31,2) 2,9 (17,0) 102 3,9 (19,5) 15,7 (36,5) 4,9 (21,7) 38,2 (48,8) 1,0 (9,9) 102 5,9 (23,6) 18,6 (39,0) 3,9 (19,5) 24,5 (43,1) 2,0 (13,9) 204 3,9 (19,4) 47,6 (50,2) 1,9 (13,9) 5,8 (23,5) 1,0 (9,8) 103 3,0 (17,1) 18,8 (39,3) 1,0 (10,0) 32,7 (47,1) 2,0 (14,0) 101 3,4 (18,2) 33,3 (47,2) 1,5 (12,1) 19,1 (39,4) 1,5 (12,1) 204 4,7 (21,1) 26,0 (44,0) 2,7 (16,2) 21,8 (41,4) 1,7 (13,0) 408 Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

Selisih rumah tangga SAADP dan kontrol: 6,0 1,9 4,0 3,9* -4,7 -0,5 1,8 Pemasaran (3,2) (2,8) (2,1) (1,9) (4,1) (2,3) (1,6) -13,0 -11,8 -12,5* 9,1 1,5 5,4 -3,5 Diversifikasi usaha (7,7) (7,3) (5,3) (8,4) (6,6) (5,5) (3,8) 1,1 1,0 1,1 1,9 -0,9 0,5 0,8 Administrasi (2,5) (3,5) (2,1) (1,4) (2,1) (1,3) (1,2) 1,7 10,7 6,6 -1,9 23,1** 10,4** 8,5** Teknik produksi (5,0) (8,0) (4,8) (4,4) (6,2) (3,9) (3,1) 1,1 -1,0 0,1 -6,7 0,1 -3,3 -1,6 Lainnya (2,5) (2,2) (1,6) (3,8) (2,4) (2,3) (1,4) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. -** signifikan pada tingkat 1 persen. - * signifikan pada tingkat 5 persen.

Berbagai informasi kualitatif juga menyatakan bahwa adanya SAADP telah menyebabkan munculnya usaha baru di semua lokasi sampel dengan jenis dan jumlah usaha yang bervariasi, tergantung pada kreativitas masyarakat dan kelancaran pelaksanaan SAADP. Di desa sampel SAADP, antara lain terjadi peningkatan jumlah kios dan jumlah pedagang, tersedianya jasa penyewaan alat pertanian, seperti traktor dan penyemprot hama, serta munculnya penyediaan jasa tontonan tv dan vcd.

84

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Selain terdapat responden yang meningkatkan jumlah usaha atau melakukan diversifikasi, terdapat juga responden yang jumlah usahanya tetap atau berkurang. Proporsi rumah tangga yang jumlah dan jenis usahanya tetap menduduki posisi tertinggi di semua wilayah sampel, dengan rata-rata 59,3% pada rumah tangga SAADP dan 52,4% pada rumah tangga kontrol. Sedangkan, responden yang berkurang jumlah usahanya relatif kecil, yaitu 6,4% pada rumah tangga SAADP dan 5,7% pada rumah tangga kontrol (lihat Tabel Lampiran 8.2). Dampak SAADP terhadap perubahan jenis usaha responden negatif dan signifikan terutama di Kabupaten Tolitoli (-20,6%) dan di tingkat Provinsi Sulteng (-12,0%), serta secara total (-10,3%) pada tingkat nyata 1%. Sementara dampak SAADP terhadap perubahan jenis usaha di Kabupaten Konsel (-11,4%) dan tingkat Provinsi Sultra (8,6%) signifikan pada tingkat nyata 5%. Diversifikasi usaha dalam suatu rumah tangga diharapkan menjadi penahan atas berbagai risiko akibat guncangan ekonomi, seperti kegagalan panen, penurunan harga ataupun sebab lainnya. Rumah tangga yang memiliki alternatif sumber penghasilan atau tidak tergantung pada satu jenis usaha saja akan memiliki ketahanan yang lebih baik daripada hanya mengandalkan satu sumber penghasilan saja. Namun demikian, Tabel 8.2.4 tentang variabel diversifikasi usaha dan Tabel 8.2.5 menunjukkan bahwa tidak ada pola yang senada antara diversifikasi usaha dengan peningkatan kemampuan responden dalam menghadapi guncangan ekonomi. Secara total, meskipun dampak SAADP terhadap diversifikasi cenderung negatif, namun dampak terhadap peningkatan kemampuan menghadapi guncangan ekonomi bernilai positif (7,6%) meskipun tidak signifikan secara statistik. Secara umum, proporsi responden yang merasakan adanya peningkatan kemampuan dalam menghadapi guncangan ekonomi lebih tinggi dibanding proporsi responden yang melakukan diversifikasi usaha. Hal ini berarti diversifikasi usaha bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan masyarakat dalam menghadapi guncangan ekonomi. Adanya peningkatan produksi pertanian dan ikan, peningkatan harga, serta perkembangan usaha merupakan faktor-faktor penting lain yang berpengaruh terhadap kemampuan menghadapi guncangan. Di Kabupaten Tolitoli dan Konsel, dampak SAADP terhadap peningkatan kemampuan menghadapi guncangan ekonomi bernilai positif yaitu masing-masing 32,4% dan 24,4%, keduanya signifikan pada tingkat nyata 1%, sedangkan di Kabupaten Muna bernilai negatif 19,8% dan signifikan pada tingkat nyata 5%. Di tingkat Provinsi Sulteng, dampak SAADP terhadap peningkatan kemampuan responden dalam menghadapi guncangan ekonomi adalah 12,9% dan signifikan pada tingkat nyata 5%. Sementara di tingkat Provinsi Sultra tidak menunjukkan dampak yang signifikan. Di Kabupaten Muna dan Donggala, selisih peningkatan kemampuan menghadapi guncangan ekonomi bernilai negatif yang berarti peningkatan di rumah tangga kontrol lebih tinggi dibanding di rumah tangga SAADP. Hal ini terjadi karena rumah tangga kontrol di kedua kabupaten ini secara umum merasa mengalami peningkatan penghasilan yang cukup tinggi, baik dari usaha yang sudah dilakukan sebelumnya maupun dari usaha tambahan (diversifikasi). Sebagai contoh, di Kabupaten Muna, beberapa rumah tangga kontrol mendapat tambahan penghasilan karena memperoleh kiriman uang dari anggota keluarganya di Malaysia. Sementara

85

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

itu, di Kabupaten Donggala, rumah tangga penenun telah mampu meningkatkan produksinya karena anaknya yang sudah cukup dewasa turut membantunya. Tabel 8.2.5. Proporsi Rumah Tangga yang Merasa Mengalami Peningkatan Kemampuan dalam Menghadapi Guncangan Ekonomi (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 67,7 65,7 66,7 41,7 45,5 43,8 55,2 Rumah tangga SAADP (47,0) (47,7) (47,3) (49,6) (50,1) (49,7) (49,8) N 102 102 204 103 101 204 408 72,7 33,3 53,8 61,5 21,2 41,4 47,6 Rumah tangga kontrol (44,9) (47,6) (50,1) (49,1) (41,2) (49,5) (50,1) N 55 51 106 52 52 104 210 Selisih rumah tangga -5,1 32,4** 12,9* -19,8* 24,4** 2,5 7,6 SAADP dan kontrol (7,6) (8,2) (5,9) (8,4) (7,6) (6,0) (4,2) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. -** signifikan pada tingkat 1 persen. - * signifikan pada tingkat 5 persen.

8.3. Wawasan dan Praktik Usaha tani Indikator wawasan dan praktik usaha tani yang dianalisis meliputi pengolahan lahan, penggunaan pupuk dan pestisida, pemasaran hasil dan penanganan pascapanen. Kelima indikator ini hanya ditanyakan kepada responden yang bermata pencaharian di sektor pertanian. Secara total, SAADP berdampak positif terhadap penambahan semua jenis wawasan berusaha tani, seperti tampak pada Tabel 8.3.1. Dampak tertinggi terjadi pada pengetahuan tentang cara mengelola lahan (13,4%) dan penggunaan pupuk (12,0%), keduanya signifikan pada tingkat nyata 1%. Dampak terhadap pengetahuan tentang pemasaran hasil adalah 7,8% dan signifikan pada tingkat nyata 5%. Sedangkan dampak terhadap dua jenis pengetahuan berusaha tani lainnya, yaitu penggunaan pestisida (7,4%) dan penanganan pascapanen (3,8%), tidak signifikan secara statistik. Dampak dengan kecenderungan signifikansi yang hampir sama terjadi di tingkat Provinsi Sulteng, yaitu terhadap penambahan wawasan tentang pengelolaan lahan (15,3%), penggunaan pupuk (16%) dan pemasaran hasil (14,9%), yang ketiganya signifikan secara statistik pada tingkat nyata 5%. Sedangkan di Provinsi Sultra, dampak SAADP terhadap peningkatan pengetahuan tentang pengolahan lahan (13,3%) dan penggunaan pupuk (10,7%), signifikan secara statistik pada tingkat nyata 1%. Dilihat per kabupaten, keberadaan SAADP berdampak positif terhadap semua jenis penambahan pengetahuan berusaha tani di semua wilayah sampel, kecuali terhadap pengetahuan tentang pemasaran dan penanganan hasil di Kabupaten Muna. Dampak SAADP terhadap peningkatan pengetahuan tentang penggunaan pestisida dan penanganan pascapanen juga tidak ada yang signifikan, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Di Kabupaten Muna, proporsi responden yang merasakan penambahan pengetahuan berusaha tani untuk semua jenis pengetahuan adalah paling rendah dibanding di kabupaten lain. Kondisi ini seperti juga dijelaskan di atas, disebabkan kurang atau tidak adanya peran PPL dalam memberikan penyuluhan

86

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

pertanian. Bahkan, cukup tingginya peningkatan wawasan tentang penggunaan pupuk dan pestisida pada rumah tangga SAADP banyak dipengaruhi oleh keberadaan komunitas Jawa dan Bali di satu desa sampel yang secara informal turut menyebarkan ilmu pertanian yang mereka dapatkan dari Jawa. Tabel 8.3.1. Proporsi Rumah Tangga Pertanian yang Merasakan Penambahan Pengetahuan Berusaha tani (%)
Pengetahuan BerusahaTani Rumah tangga SAADP: Pengelolaan lahan Penggunaan pupuk Penggunaan pestisida Pemasaran hasil Penanganan pascapanen N Rumah tangga petani Rumah tangga kontrol: Pengelolaan lahan Penggunaan pupuk Penggunaan pestisida Pemasaran hasil Penanganan pascapanen N Rumah tangga petani 19,2 (40,1) 15,4 (36,8) 7,7 (27,2) 7,7 (27,2) 3,9 (19,6) 26 50,0 (50,5) 52,1 (50,5) 52,1 (50,5) 39,6 (49,4) 37,5 (49,0) 48 39,2 (49,2) 39,2 (49,2) 36,5 (48,5) 28,4 (45,4) 25,7 (44,0) 74 6,8 (25,5) 2,3 (15,1) 4,6 (21,1) 9,1 (29,1) 9,1 (29,1) 44 23,4 (42,8) 12,8 (33,7) 25,5 (44,1) 10,6 (31,2) 17,0 (38,0) 47 15,4 (36,3) 7,7 (26,8) 15,4 (36,3) 9,9 (30,0) 13,2 (34,0) 91 26,1 (44,0) 21,8 (41,4) 24,9 (43,3) 18,2 (38,7) 18,8 (39,2) 165 31,4 (46,9) 31,4 (46,9) 11,8 (32,5) 27,5 (45,1) 15,7 (36,7) 51 68,7 (46,7) 69,9 (46,2) 67,5 (47,1) 53,0 (50,2) 49,4 (50,3) 83 54,5 (50,0) 55,2 (49,9) 46,3 (50,0) 43,3 (49,7) 36,6 (48,3) 134 8,7 (28,3) 12,0 (32,6) 13,0 (33,9) 5,4 (22,8) 5,4 (22,8) 92 48,4 (50,2) 24,7 (43,4) 31,2 (46,6) 21,5 (41,3) 19,4 (39,7) 93 28,7 (45,3) 18,4 (38,8) 22,2 (41,6) 13,5 (34,3) 12,4 (33,1) 185 39,5 (48,9) 33,9 (47,4) 32,3 (46,8) 26,0 (43,9 22,6 (42,0) 319 Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

Selisih rumah tangga SAADP dan rumah tangga kontrol: 12,1 18,7* 15,3* 1,9 25,0** 13,3** 13,4** Pengelolaan lahan (10,2) (8,9) (7,2) (4,8) (8,1) (5,1) (4,4) 16,0 17,8* 16,0* 9,7* 12,0 10,7** 12,0** Penggunaan pupuk (9,8) (8,9) (7,2) (4,1) (6,7) (4,0) (4,2) 4,1 15,4 9,8 8,5 5,7 6,8 7,4 Penggunaan pestisida (7,0) (8,9) (7,1) (4,8) (8,0) (4,9) (4,3) 19,8* 13,4 14,9* -3,7 10,9 3,6 7,8* Pemasaran hasil (8,3) (9,0) (6,8) (5,0) (6,2) (4,0) (3,9) 11,8 11,9 10,9 -3,7 2,3 -0,8 3,8 Penanganan pascapanen (6,4) (8,9) (6,6) (5,0) (6,9) (4,3) (3,9) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. -** signifikan pada tingkat 1 persen. - * signifikan pada tingkat 5 persen.

Sementara itu, cukup tingginya proporsi responden yang merasakan penambahan pengetahuan pertanian di Kabupaten Tolitoli, antara lain dipengaruhi oleh adanya anggota masyarakat setempat yang mencoba mencari tambahan ilmu dari instansi terkait atas inisiatif sendiri. Di samping itu, peran PPL pada awal projek tidak bisa

87

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

diabaikan meskipun hanya memberikan penyuluhan pada ketua kelompok. Ilmu yang didapatkan tersebut kemudian menyebar secara informal di antara anggota masyarakat meskipun tidak cepat dan tidak serempak. Proporsi rumah tangga SAADP yang mempraktikkan pengetahuan berusaha tani menunjukkan pola yang hampir sama dengan peningkatan pengetahuannya. Sedangkan pada rumah tangga kontrol, polanya kurang beraturan meskipun tetap menunjukkan kecenderungan bahwa perubahan praktik usaha tani dipengaruhi oleh peningkatan pengetahuan berusaha tani. Secara total, dampak SAADP terhadap perubahan praktik usaha tani menunjukkan angka positif (lihat Tabel 8.3.2). Dampak tertinggi terjadi pada praktik mengelola lahan yaitu 14,8% yang signifikan pada tingkat nyata 5%. Dampak pada praktik penggunaan pupuk (10,0%) dan pemasaran hasil (8,3%) signifikan pada tingkat nyata 1%. Sedangkan dampak terhadap praktik penggunaan pestisida dan penanganan pascapanen tidak signifikan secara statistik. Khusus untuk praktik penanganan pascapanen, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan secara statistik. Di tingkat provinsi, baik di Sulteng maupun Sultra, dampak SAADP terhadap peningkatan praktik pengolahan lahan signifikan pada tingkat nyata 1%, yaitu masing-masing sebesar 12,2% dan 19,4%. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Tolitoli dan Konsel, yaitu masing-masing sebesar 28,4% dan 23,9%. Dampak SAADP juga signifikan pada tingkat nyata 1% terhadap peningkatan praktik penggunaan pupuk di Kabupaten Muna (9,8%) dan Provinsi Sultra (9,7%), sedangkan di Kabupaten Tolitoli sebesar 20,1% signifikan pada tingkat nyata 5%. Di Kabupaten Tolitoli dan Muna, SAADP berdampak signifikan (pada tingkat nyata 5%) terhadap penggunaan pestisida, yaitu masing-masing 19,8% dan 8,6%. Sementara itu, di tingkat Provinsi Sulteng dan Kabupaten Tolitoli, SAADP juga berdampak signifikan terhadap peningkatan praktik pemasaran hasil. Hanya di Kabupaten Donggala, SAADP tidak menunjukkan dampak yang signifikan terhadap semua jenis peningkatan praktik berusaha tani, sebaliknya hampir sebagian besar praktik berusaha tani (kecuali penanganan pasca panen) di Kabupaten Tolitoli mengalami peningkatan yang signifikan. Minat masyarakat dalam mempraktikkan pengetahuan yang diperolehnya cukup tinggi, yaitu rata-rata mencapai lebih dari 78% dari rumah tangga yang merasakan peningkatan pengetahuan, baik pada rumah tangga SAADP maupun kontrol. Kondisi ini akan sangat positif bila dibarengi dengan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat. Permasalahannya adalah bahwa upaya penyuluhan pertanian yang dilakukan di hampir semua lokasi studi sangat minim. Minimnya penyuluhan pertanian juga bisa dilihat dari rendahnya proporsi rumah tangga yang menggunakan input pertanian berupa pupuk dan pestisida, kecuali di Kabupaten Tolitoli. Di ketiga kabupaten lain, sebagian besar rumah tangga tidak menggunakan pupuk dan pestisida sama sekali. Di Kabupaten Konsel, input pertanian yang biasa digunakan hanya berupa obat pembasmi rumput. Di Kabupaten Muna, pupuk dan pestisida hanya diberikan pada tanaman padi dan sebagian kecil tanaman hortikultura, sedangkan tanaman perkebunan dan jagung yang banyak diusahakan masyarakat umumnya tidak diberi pupuk maupun pestisida.

88

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 8.3.2. Proporsi Rumah Tangga Pertanian yang Mempraktikkan Peningkatan Pengetahuan Berusaha tani (%)
Pengetahuan Berusaha tani Rumah tangga SAADP: Pengelolaan lahan Penggunaan pupuk Penggunaan pestisida Pemasaran hasil Penanganan pascapanen N Rumah tangga kontrol: 15,4 35,4 28,4 4,6 19,2 12,1 (36,8) (48,3) (45,4) (21,1) (39,8) (32,8) 15,4 43,8 33,8 0,0 10,6 5,5 Penggunaan pupuk (36,8) (50,1) (47,6) (0,0) (31,2) (22,9) 7,7 41,7 29,7 2,3 21,3 12,1 Penggunaan pestisida (27,2) (49,8) (46,0) (15,1) (41,4) (32,8) 7,7 29,2 21,6 6,8 6,4 6,6 Pemasaran hasil (27,2) (46,0) (41,4) (25,5) (24,7) (25,0) 3,9 29,2 20,3 9,1 14,9 12,1 Penanganan pascapanen (19,6) (46,0) (40,5) (29,1) (36,0) (32,8) N 26 48 74 44 47 91 Selisih rumah tangga SAADP dan rumah tangga kontrol: 6,2 28,4** 19,4** 0,9 23,9** 12,2** Pengelolaan lahan (9,3) (28,5) (6,8) (3,9) (7,8) (4,7) 2,3 20,1* 12,5 9,8** 9,8 9,7** Penggunaan pupuk (9,0) (9,0) (7,0) (3,1) (6,2) (3,6) -3,8 19,8* 9,8 8,6* 3,5 5,8 Penggunaan pestisida (6,0) (9,0) (6,8) (4,0) (7,5) (4,4) 13,9 17,8* 15,7* -1,4 8,7 3,7 Pemasaran hasil (7,9) (8,6) (6,3) (4,5) (5,2) (3,4) 7,9 15,4 11,8 -5,8 0,2 -2,9 Penanganan pascapanen (6,0) (8,6) (6,2) (4,8) (6,4) (4,0) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. -** signifikan pada tingkat 1 persen. - * signifikan pada tingkat 5 persen. Pengelolaan lahan 19,4 (40,0) 18,2 (38,7) 20,0 (40,1) 13,3 (34,1) 15,8 (36,5) 165 14,8** (4,1) 10,0* (3,9) 7,0 (4,0) 8,3* (3,5) 3,1 (3,6) 21,6 (41,5) 17,7 (38,5) 3,9 (19,6) 21,6 (41,5) 11,8 (32,5) 51 63,9 (48,3) 63,9 (48,3) 61,5 (49,0) 47,0 (50,2) 44,6 (50,0) 83 47,8 (50,1) 46,3 (50,0) 39,6 (49,1) 37,3 (48,5) 32,1 (46,9) 134 5,4 (22,8) 9,8 (29,9) 10,9 (31,3) 5,4 (22,9) 3,3 (17,8) 92 43,0 (49,8) 20,4 (40,5) 24,7 (43,4) 15,1 (36,0) 15,1 (36,0) 93 24,3 (43,0) 15,1 (36,0) 17,8 (38,4) 10,3 (30,4) 9,2 (29,0) 185 34,2 (47,5) 28,2 (45,1) 27,0 (44,4) 21,6 (41,2) 18,8 (39,1) 319 Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

Meskipun secara umum tingkat penggunaan pupuk dan pestisida relatif kecil, terdapat sejumlah rumah tangga yang meningkatkan penggunaan input pertanian setelah adanya proyek SAADP. Dari Tabel 8.3.3 dapat dilihat bahwa secara total proporsi peningkatan penggunaan pupuk dan pestisida pada rumah tangga SAADP lebih tinggi dibanding pada rumah tangga kontrol. Adanya SAADP berdampak positif terhadap penggunaan pupuk hijau (9,2%) dan pestisida (11,6%) yang signifikan pada tingkat nyata 1%, serta terhadap penggunaan pupuk buatan (8,1%) yang signifikan pada tingkat nyata 5%. Dampak SAADP terhadap penggunaan ketiga jenis input pertanian di Kabupaten Donggala dan Konsel tidak menunjukkan nilai yang signifikan secara statistik, sementara di Kabupaten Tolitoli dan Muna semuanya signifikan. 89
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 8.3.3. Proporsi Rumah Tangga Pertanian yang Meningkatkan Penggunaan Input Pertanian (%)
Input Pertanian Rumah tangga SAADP: Pupuk hijau Pupuk buatan Pestisida N Rumah tangga kontrol: Pupuk hijau Pupuk buatan Pestisida N 0,0 (0,0) 15,4 (36,8) 11,5 (32,6) 26 6,3 (24,5) 39,6 (49,4) 35,4 (48,3) 48 4,1 (19,9) 31,1 (46,6) 27,0 (44,7) 74 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 2,3 (15,1) 44 2,1 (14,6) 6,4 (24,7) 19,2 (39,8) 47 1,1 (10,5) 3,3 (18,0) 11,0 (31,4) 91 2,4 (15,4) 15,8 (36,5) 18,2 (38,7) 165 2,0 (14,0) 11,8 (32,5) 9,8 (30,0) 51 27,7 (45,0) 62,7 (48,7) 62,7 (48,7) 83 17,9 (38,5) 43,3 (49,7) 42,5 (49,6) 134 5,4 (22,8) 6,5 (24,8) 10,9 (31,3) 92 8,6 (28,2) 12,9 (33,7) 30,1 (46,1) 93 7,0 (25,6) 9,7 (29,7) 20,5 (40,5) 185 11,6 (32,1) 23,8 (42,7) 29,8 (45,8) 319 Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

Selisih rumah tangga SAADP dan rumah tangga kontrol: 2,0 21,5** 13,9** 5,4* 6,5 5,9** 9,2** Pupuk hijau (2,0) (6,1) (4,1) (2,4) (3,6) (2,2) (2,2) -3,6 23,1* 12,2 6,5* 6,5 6,4* 8,1* Pupuk buatan (8,5) (8,9) (6,9) (2,6) (5,0) (2,9) (3,7) -1,7 27,2** 15,5* 8,6* 11,0 9,6* 11,6** Pestisida (7,6) (8,8) (6,7) (4,0) (7,5) (4,4) (4,0) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. -** signifikan pada tingkat 1 persen. - * signifikan pada tingkat 5 persen.

Dalam mengelola lahannya, sebagian petani membersihkan lahan dengan membakar pohon dan melakukan pindah lokasi tanam secara rotasi. Pembakaran pohon biasanya dilakukan pada saat membuka lahan, baik dari lahan perkebunan maupun dari lahan tidur yang tidak bertuan. Pindah lokasi tanam secara rotasi biasanya dilakukan pada penanaman palawija dan biasanya dilakukan karena masyarakat tidak menggunakan input pertanian, khususnya pupuk sehingga ketika unsur hara alami mengalami penurunan, biasanya 2 3 tahun sekali, mereka harus membuka lahan lain. Meskipun demikian, di semua lokasi sampel tidak ditemukan rumah tangga yang benar-benar melakukan pindah lokasi atau biasa disebut ladang berpindah. Lahan yang sudah tidak ditanami palawija biasanya dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan atau dibiarkan begitu saja dengan sedikit tanaman buah-buahan dan lainnya. Lahan yang tidak ditanami tanaman perkebunan akan ditanami palawija kembali sekitar 5 tahun kemudian, setelah kandungan unsur haranya dinilai pulih. Karenanya, tingginya proporsi rumah tangga yang melakukan pindah terbatas dapat dijadikan indikasi rendahnya rumah tangga yang melakukan pemupukan.

90

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 8.3.4. Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Sistem Penanganan Lahan Pertanian (%)
Sistem Penanganan Lahan Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Rumah tangga SAADP: Sebelum SAADP: - Pindah terbatas (rotasi) - Melakukan pembakaran Setelah SAADP - Pindah terbatas (rotasi) - Melakukan pembakaran Perubahan: - Pindah terbatas (rotasi) - Melakukan pembakaran N Sebelum SAADP: - Pindah terbatas (rotasi) - Melakukan pembakaran Setelah SAADP - Pindah terbatas (rotasi) - Melakukan pembakaran Perubahan: 0,0 -6,3 -4,1 -7,0 -17,0 -12,2 (0,0) (4,5) (3,0) (10,7) (6,7) (6,6) 0,0 -8,3 -5,5 -4,6 -23,4 -14,8 - Melakukan pembakaran (0,0) (10,1) (8,1) (10,8) (8,0) (7,0) N 25 48 72 44 47 91 Selisih rumah tangga SAADP dan rumah tangga kontrol: -2,0 3,8 1,9 -7,1 14,9* 4,0 - Pindah terbatas (rotasi) (6,7) (5,1) (4,2) (12,6) (6,9) (7,6) -9,8 7,1 1,0 -19,3 15,7 -1,1 - Melakukan pembakaran (10,5) (12,3) (10,1) (12,7) (8,9) (8,1) Catatan: - Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. - * signifikan pada tingkat 5 persen. - Pindah terbatas (rotasi) -8,6 (4,1) -10,6 (5,3) 164 2,9 (4,8) -0,5 (6,4) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 2,1 (14,4) 54,2 (50,4) 1,4 (11,7) 35,6 (48,2) 39,5 (49,4) 47,7 (50,5) 4,3 (20,4) 8,5 (28,2) 21,1 (41,0) 27,5 (44,9) 12,3 (32,9) 31,1 (46,4) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 8,3 (27,9) 62,5 (48,9) 5,5 (22,9) 41,1 (49,5) 46,5 (50,5) 52,3 (50,5) 21,3 (41,4) 31,9 (47,1) 33,3 (47,4) 42,2 (49,6) 20,9 (40,8) 41,7 (49,4) -2,0 (6,7) -9,8 (7,3) 51 -2,4 (2,4) -1,2 (7,1) 83 -2,2 (3,0) -4,5 (6,1) 134 -14,1 (6,7) -23,9 (6,7) 92 -2,2 (1,5) -7,7 (4,0) 93 -8,2 (3,7) -15,8 (4,1) 185 -5,7 (2,5) -11,1 (3,7) 319 11,8 (32,5) 11,8 (32,5) 1,2 (11,0) 69,9 (46,2) 5,2 (22,3) 47,8 (50,1) 22,8 (42,2) 19,6 (39,9) 0,0 (0,0) 4,3 (20,4) 11,4 (31,8) 11,9 (32,4) 8,8 (28,3) 27,0 (44,4) 13,7 (34,8) 21,6 (41,5) 3,6 (18,8) 71,1 (45,6) 7,5 (26,4) 52,2 (50,1) 37,0 (48,5) 43,5 (49,8) 2,2 (14,6) 12,0 (32,5) 19,6 (39,8) 27,7 (44,8) 14,5 (35,2) 38,1 (48,6) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

Rumah tangga Kontrol:

Di semua wilayah sampel, baik pada rumah tangga SAADP maupun kontrol, perubahan pindah lahan terbatas dan pembakaran pohon menunjukkan angka yang cenderung negatif, namun secara statistik tidak signifikan (lihat Tabel 8.3.4). Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan membaiknya sistem pengelolaan lahan dengan semakin sedikitnya rumah tangga yang melakukan pindah lokasi dan pembakaran pohon. Apabila dikaitkan dengan SAADP, secara total SAADP berdampak negatif (-0,5%) terhadap kegiatan pembakaran, tetapi berdampak positif 91
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

(2,4%) terhadap perpindahan lahan. Penurunan perpindahan lahan relatif lebih banyak terjadi pada rumah tangga kontrol sedangkan penurunan pembakaran pohon relatif banyak terjadi pada rumah tangga SAADP. 8.4. Pendapatan Rumah Tangga

Tabel 8.4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar (74%) responden SAADP mengaku pendapatan nominal rumah tangganya mengalami peningkatan dibandingkan sebelum ada proyek SAADP. Bahkan, di Kabupaten Muna pengakuan adanya peningkatan pendapatan rumah tangga dikemukakan oleh lebih dari 90% responden SAADP. Sementara itu, pada rumah tangga kontrol hanya 65,2% yang mengaku mengalami peningkatan pendapatan dan 23,3% lainnya justru mengaku mengalami penurunan pendapatan. Seperti halnya rumah tangga SAADP, jumlah rumah tangga kontrol yang paling banyak mengalami peningkatan pendapatan juga terjadi di Kabupaten Muna, yaitu sebanyak 82,7%. Peningkatan pendapatan di Kabupaten Muna terjadi karena adanya peningkatan produksi dan peningkatan harga komoditas pertanian. Peningkatan produksi pertanian didorong oleh sejumlah responden yang melakukan perluasan lahan pertanian ke area tidak bertuan yang saat ini sudah berproduksi, dan adanya masyarakat yang mencoba mananam buah-buahan seperti jeruk dan rambutan yang sudah mulai berproduksi dengan harga jual yang cukup tinggi Tabel 8.4.1. Proporsi Rumah Tangga yang Mengaku Mengalami Peningkatan Pendapatan Nominal Rumah Tangga (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total Rumah tangga 68,6 70,6 69,6 92,2 64,4 78,4 74,0 SAADP (46,6) (45,8) (46,1) (26,9) (48,1) (41,2) (43,9) N 102 102 204 103 101 204 408 Rumah tangga 70,9 56,9 64,2 82,7 50,0 66,4 65,2 kontrol (45,8) (50,0) (48,2) (38,2) (50,5) (47,5) (47,7) N 55 51 106 52 52 104 210 Selisih rumah tangga -2,3 13,7 5,5 9,5 14,4 12,1* 8,8* SAADP dan kontrol (7,7) (8,1) (5,6) (5,3) (8,4) (5,2) (3,8) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. -* signifikan pada tingkat 5 persen.

Secara total, selisih proporsi rumah tangga SAADP dan kontrol yang mengalami peningkatan pendapatan nominal adalah 8,8% yang secara statistik signifikan pada tingkat 5%. Pengaruh positif yang signifikan juga terjadi di Provinsi Sultra. Hal ini menunjukkan bahwa di propinsi ini rumah tangga SAADP lebih banyak yang mengalami peningkatan pendapatan dibandingkan rumah tangga kontrol. Sebaliknya, di Kabupaten Donggala proyek SAADP cenderung berdampak negatif terhadap peningkatan pendapatan nominal rumah tangga walaupun tidak signifikan secara statistik. Hal ini, antara lain, terkait dengan adanya kondisi yang memungkinkan rumah tangga kontrol melakukan diversifikasi usaha, seperti telah diulas pada subbab 8.2. Di Kabupaten Konsel dan di rumah tangga kontrol di Kabupaten Tolitoli, proporsi rumah tangga yang mengaku mengalami peningkatan pendapatan nominal adalah relatif lebih kecil dibanding di daerah lainnya. Hal tersebut karena pada kelompok 92
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

rumah tangga tersebut cukup banyak rumah tangga yang mengaku mengalami penurunan pendapatan. Baik di Kabupaten Konsel maupun Tolitoli, penyebab utama penurunan pendapatan adalah turunnya produksi tanaman perkebunan akibat tanaman sudah tua atau serangan hama. Kondisi tersebut sejalan dengan data ratarata perubahan pendapatan riil rumah tangga per kapita yang disajikan pada Tabel 8.4.2, yang menunjukkan nilai negatif pada kelompok rumah tangga tersebut. Tabel 8.4.2. Rata-rata Perubahan Pendapatan Riil Rumah Tangga Per Kapita Per Bulan (%)
Sulawesi Tengah Donggala Rumah tangga SAADP Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

13.2 4.2 8.7 18.7 -1.8 8.6 8.6 (94.9) (93.7) (94.2) (40.9) (55.7) (49.7) (75.1) N 100 101 201 103 100 203 404 20.9 -9.0 6.8 30.8 -11.8 9.5 8.1 Rumah tangga kontrol (167.0) (80.9) (133.8) (96.7) (88.4) (94.6) (115.8) N 55 49 104 51 51 102 206 -7.7 13.2 1.9 -12.1 10 -0.9 0.5 Selisih perubahan (21.0) (15.6) (13.2) (11.1) (11.8) (8.3) (7.8) Catatan: Angka dalam kurung adalah standard deviasi, khusus untuk selisih perubahan adalah standard error.

Tabel 8.4.2 juga menunjukkan bahwa selisih rata-rata perubahan pendapatan riil antara rumah tangga SAADP dan kontrol secara total adalah kecil (0,5%) meskipun positif, dan tidak signifikan secara statistik. Hal tersebut berarti proyek SAADP cenderung tidak memberi pengaruh signifikan terhadap pendapatan riil rumah tangga. Di samping itu, di Kabupaten Donggala, Muna dan Provinsi Sultra, rata-rata perubahan pendapatan riil per kapita pada rumah tangga penerima kredit SAADP lebih kecil dibanding pada rumah tangga kontrol, meskipun tidak signifikan secara statistik. Tabel 8.4.3. Rata-rata Perubahan Pengeluaran Riil Rumah Tangga Per Kapita Per Bulan (%)
Total Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total 3.3 -5.4 -1.2 12.9 -5.0 4.5 1.7 Rumah tangga SAADP (66.7) (43.6) (56.0) (64.7) (29.0) (51.7) (53.8) N 84 90 174 96 86 182 356 -1.0 -12.9 -6.9 3.3 -6.1 0.0 -3.7 Rumah tangga kontrol (36.7) (33.1) (35.3) (32.1) (21.3) (29.0) (32.6) N 45 44 89 49 27 76 165 4.3 7.5 5.7 9.6 1.1 4.5 5.4 Selisih perubahan (10.7) (7.5) (6.5) (9.8) (6.0) (6.31) (4.5) Catatan: Angka dalam kurung adalah standard deviasi, khusus untuk selisih perubahan adalah standard error. Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara

93

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Jika didekati dari sisi pengeluaran seperti disajikan dalam Tabel 8.4.3, data menunjukkan bahwa rata-rata perubahan pengeluaran riil per kapita pada sebagian besar kelompok rumah tangga adalah negatif, kecuali di Kabupaten Muna, Provinsi Sultra, dan pada rumah tangga SAADP di Kabupaten Donggala. Seperti halnya pendapatan riil, selisih rata-rata perubahan pengeluaran riil per kapita antara rumah tangga SAADP dan kontrol secara total juga menunjukkan nilai positif (5,4%) namun berdasarkan hasil uji statistik tidak signifikan, sebagaimana terjadi di semua wilayah sampel. Hal ini juga menunjukkan bahwa SAADP tidak berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran riil rumah tangga. Tabel 8.5.1. Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Perilaku Menabung Setelah Ada Proyek SAADP (%)
Perilaku Menabung Rumah tangga SAADP: Mulai menabung Semakin giat menabung Menjadi tidak bisa menabung Tidak menambah tabungan Tetap tidak bisa menabung N Rumah tangga kontrol: Mulai menabung Semakin giat menabung Menjadi tidak bisa menabung Tidak menambah tabungan Tetap tidak bisa menabung N 34,5 (48,0) 7,3 (26,2) 1,8 (13,5) 3,6 (18,9) 52,7 (50,4) 55 9,8 (30,0) 19,6 (40,1) 19,6 (40,1) 9,8 (30,0) 41,2 (49,7) 51 22,6 (42,0) 13,2 (34,0) 10,4 (30,6) 6,6 (25,0) 47,2 (50,2) 106 30,8 (46,6) 11,5 (32,3) 3,8 (19,4) 5,8 (23,5) 48,1 (50,5) 52 5,8 (23,5) 5,8 (23,5) 3,8 (19,4) 17,3 (38,2) 67,3 (47,4) 52 18,3 (38,8) 8,7 (28,3) 3,8 (19,3) 11,5 (32,1) 57,7 (49,6) 104 20,5 (40,4) 11,0 (31,3) 7,1 (25,8) 9,0 (28,8) 52,4 (50,0) 210 29,4 (45,8) 11,8 (32,4) 2,9 (17,0) 5,9 (23,6) 50,0 (50,0) 102 11,8 (32,4) 32,3 (47,0) 9,8 (29,9) 10,8 (31,2) 35,3 (48,0) 102 20,6 (40,5) 22,1 (41,6) 6,4 (24,5) 8,3 (27,7) 42,6 (49,6) 204 40,8 (49,4) 7,8 (26,9) 1,0 (9,9) 1,9 (13,9) 48,5 (50,2) 103 18,8 (39,3) 9,9 (30,0) 3,0 (17,1) 21,8 (41,5) 46,5 (50,1) 101 29,9 (45,9) 8,8 (28,4) 2,0 (13,9) 11,8 (32,3) 47,5 (50,1) 204 25,2 (43,5) 15,4 (36,2) 4,2 (20,0) 10,1 (30,1) 45,1 (49,8) 408 Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

Selisih rumah tangga SAADP dan kontrol: -5,1 2,0 -2,0 10,0 13,0* 11,6* 4,8 Mulai menabung (7,8) (5,4) (4,9) (8,2) (5,9) (5,3) (3,6) 4,5 12,7 8,9 -3,7 4,1 0,2 4,5 Semakin giat menabung (5,1) (7,7) (4,7) (4,9) (4,8) (3,4) (2,9) 1,1 -9,8 -4,0 -2,9 -0,9 -1,9 -3,0 Menjadi tidak bisa menabung (2,6) (5,8) (3,2) (2,4) (3,1) (1,9) (1,9) 2,3 1,0 1,7 -3,8 4,5 0,2 1,0 Tidak menambah tabungan (3,7) (5,3) (3,2) (3,0) (6,9) (3,9) (2,5) -2,7 -5,9 -4,5 0,5 -20,8* -10,1 -7,3* Tetap tidak bisa menabung (8,4) (8,3) (6,0) (8,6) (8,4) (6,0) (3,5) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. -* signifikan pada tingkat 5 persen.

94

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

8.5.

Perilaku Menabung

Perilaku menabung selain merupakan indikator kesejahteraan secara ekonomis juga merupakan indikator perencanaan manajemen keuangan suatu rumah tangga. Selisih positif dari pendapatan dan pengeluaran rumah tangga seyogyanya disimpan dalam bentuk tabungan. Seperti telah diuraikan sebelumnya, pendapatan riil per kapita, baik pada rumah tangga SAADP maupun kontrol, umumnya mengalami peningkatan meskipun relatif kecil sehingga diperkirakan berpengaruh terhadap dorongan untuk menabung. Data dalam Tabel 8.5.1 menunjukkan bahwa terdapat 25,2% rumah tangga SAADP dan 20,5% rumah tangga kontrol yang mulai menabung. Sekitar 50,8% rumah tangga peserta SAADP saat ini menabung (mulai menabung, semakin giat menabung dan tidak menambah tabungan), sementara rumah tangga kontrol hanya sekitar 40,5% yang saat ini menabung. Selisih perubahan antara rumah tangga SAADP dan kontrol menunjukkan adanya pengaruh positif terhadap dorongan untuk menabung. Hal ini juga ditunjukkan dengan nilai negatif pada variabel menjadi tidak bisa menabung dan tetap tidak bisa menabung. Tiga variabel menabung lainnya bernilai positif, namun berdasarkan uji statistik tidak signifikan. Bagi sebagian besar masyarakat, tujuan menabung hanya untuk jangka pendek, yaitu sebagai dana cadangan untuk kebutuhan mendadak, untuk biaya sekolah anak, atau untuk menambah modal usaha. Selain ditabung, di antara mereka juga ada yang meminjamkan uangnya kepada yang memerlukan, seperti yang ditemui di desa sampel di Kabupaten Konsel dan Muna. Tabel 8.5.2. Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Bentuk Tabungan (%)
Bentuk Tabungan Rumah tangga SAADP: Uang saja Uang dan emas Emas saja Tidak menabung N Rumah tangga kontrol: 40,0 33,3 36,8 (49,4) (47,6) (48,5) 5,5 2,0 3,8 Uang dan emas (22,9) (14,0) (19,1) 0,0 0,0 0,0 Emas saja (0,0) (0,0) (0,0) 54,5 64,7 59,4 Tidak menabung (50,3) (49,3) (49,3) N 55 51 106 Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Uang saja 34,6 (48,0) 11,5 (32,3) 5,8 (23,5) 48,1 (50,5) 52 25,0 (43,7) 3,9 (19,4) 0,0 (0,0) 71,2 (45,7) 52 29,8 (46,0) 7,7 (26,8) 2,9 (16,8) 59,6 (49,3) 104 33,3 (47,3) 5,7 (23,3) 1,4 (11,9) 59,5 (49,2) 210 41,2 (49,5) 3,9 (19,5) 2,0 (13,9) 52,9 (50,2) 102 50,0 (50,2) 1,0 (17,0) 0,0 (0,0) 49,0 (50,2) 102 45,6 (49,9) 2,5 (9,9) 1,0 (13,9) 51,0 (50,1) 204 37,9 (48,7) 4,9 (21,6) 7,8 (26,9) 49,5 (50,2) 103 38,6 (48,9) 10,9 (31,3) 1,0 (10,0) 49,5 (50,2) 101 38,2 (48,7) 7,8 (27,0) 4,4 (20,6) 49,5 (50,1) 204 41,9 (49,4) 5,2 (22,1) 2,7 (16,2) 50,3 (50,1) 408 Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

95

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 8.5.2 menunjukkan bahwa pada saat penelitian dilakukan, umumnya responden rumah tangga SAADP dan kontrol menabung dalam bentuk uang, hanya sebagian kecil saja yang menabung dalam bentuk emas (perhiasan). Dibandingkan di kabupaten lainnya, responden di Kabupaten Muna, baik rumah tangga SAADP maupun kontrol, relatif lebih banyak yang menabung dalam bentuk emas (perhiasan). Sebagian besar responden di dua kabupaten di Sulteng menabung uang di bank, sementara itu di dua kabupaten di Sultra sebagian besar responden masih menyimpan uang di rumah. Kebiasaan ini berlaku baik untuk rumah tangga SAADP maupun kontrol (lihat Tabel 8.5.3). Hal ini karena akses masyarakat terhadap keberadaan bank di Sulteng relatif lebih baik dibanding di Sultra. Di samping itu, besar kecilnya jumlah uang yang ditabung juga berpengaruh terhadap keputusan masyarakat apakah akan menyimpan uang di bank atau di rumah. Uang dalam jumlah kecil biasanya ditabung di rumah, sedangkan dalam jumlah relatif besar cenderung ditabung di bank. Selain di bank, tempat menabung responden lainnya adalah koperasi dan ada juga yang menabung dalam bentuk arisan dan asuransi. Tabel 8.5.3. Proporsi Rumah Tangga yang Menabung Uang Berdasarkan Tempat Menabung (%)
Tempat Menabung Rumah tangga SAADP: Di bank Di koperasi Di rumah Lainnya N Rumah tangga kontrol: 56,0 94,4 72,1 (50,7) (23,6) (45,4) 0,0 0,0 0,0 Di koperasi (0,0) (0,0) (0,0) 52,0 0,0 30,2 Di rumah (51,0) (0,0) (46,5) 0,0 0,0 0,0 Lainnya (0,0) (0,0) (0,0) N 25 18 43 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Di bank 47,8 (51,1) 0,0 (0,0) 73,9 (44,9) 4,3 (20,9) 23 26,7 (45,8) 0,0 (0,0) 73,3 (45,8) 0,0 (0,0) 15 39,5 (49,5) 0,0 (0,0) 73,7 (44,6) 2,6 (16,2) 38 56,8 (49,8) 0,0 (0,0) 50,6 (50,3) 1,2 (11,1) 81 60,9 (49,3) 0,0 (0,0) 37,0 (48,8) 4,3 (20,6) 46 75,0 (43,7) 1,9 (13,9) 21,2 (41,2) 7,7 (26,9) 52 68,4 (46,7) 1,0 (10,1) 28,6 (45,4) 6,1 (24,1) 98 27,3 (45,1) 2,3 (15,1) 63,6 (48,7) 4,5 (21,1) 44 28,0 (45,4) 0,0 (0,0) 72,0 (45,4) 0,0 (0,0) 50 27,7 (45,0) 1,1 (10,3) 68,1 (46,9) 2,1 (14,5) 94 48,4 (50,1) 1,0 (10,2) 47,9 (50,1) 4,2 (20,0) 192 Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

8.6.

Fasilitas dan Aset Rumah Tangga

Perbaikan kesejahteraan suatu keluarga antara lain dapat dilihat dari peningkatan kondisi rumah dan fasilitasnya serta kepemilikan aset oleh rumah tangga bersangkutan. Uraian berikut adalah analisis perubahan kondisi beberapa fasilitas dan aset rumah tangga antara sesudah dan sebelum ada proyek SAADP, apakah saat ini

96

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

membaik/bertambah, tetap, atau memburuk/berkurang. Kondisi rumah dan fasilitasnya yang dianalisis meliputi jenis atap, dinding, lantai rumah, sumber penerangan, air bersih, jenis bahan bakar dan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK). Sedangkan aset akan diperinci berdasarkan jenisnya yang meliputi lahan, barang elektronik, kendaraan, dan ternak. Perubahan kondisi rumah dan fasilitasnya serta jumlah aset yang dimiliki antara sebelum dan setelah ada proyek SAADP disajikan dalam Tabel Lampiran 8.3a sampai dengan Tabel Lampiran 8.5c. Definisi kondisi fasilitas tempat tinggal membaik atau memburuk disajikan dalam Tabel Lampiran 8.6. Kondisi Rumah dan Fasilitasnya Sebagian besar kondisi rumah dan fasilitasnya, baik yang dimiliki rumah tangga SAADP maupun kontrol, tidak banyak berubah. Hal ini sesuai dengan penjelasan kualitatif beberapa narasumber yang menyatakan bahwa secara umum kondisi rumah dan fasilitas masyarakat tidak mengalami perubahan yang nyata. Data dalam Tabel Lampiran 8.3a dan 8.3b menunjukkan bahwa pada umumnya perbaikan kondisi rumah dan fasilitasnya hanya dialami oleh kurang dari 10% rumah tangga, kecuali perbaikan sumber penerangan utama yang dialami oleh lebih dari 20% rumah tangga SAADP maupun kontrol. Di Kabupaten Tolitoli, rumah tangga SAADP dan kontrol yang mengalami perbaikan kondisi rumah dan fasilitasnya relatif lebih banyak dibanding di kabupaten lainnya. Bahkan, yang mengalami perbaikan sumber penerangan masing-masing adalah sekitar 44,1% pada rumah tangga SAADP dan 35,3% pada rumah tangga kontrol. Tersedianya jaringan listrik dari PLN mendorong perbaikan sumber penerangan bagi masyarakat di kabupaten tersebut. Di Kabupaten Muna khususnya, akhir-akhir ini juga ada masyarakat yang memiliki generator untuk pembangkit listrik, bahkan ada yang membeli generator dengan menggunakan kredit SAADP. Selisih perubahan kondisi rumah dan fasilitasnya antara rumah tangga SAADP dengan kontrol (lihat Tabel Lampiran 8.3c), secara umum relatif kecil dan nilainya tidak menunjukkan pola yang pasti, baik secara total maupun untuk setiap kabupaten dan provinsi. Misalnya, kondisi membaik dan memburuk dari jenis atap dan bahan bakar utama secara total, sama-sama memiliki nilai positif. Sebaliknya, kondisi membaik dan memburuk dari lantai rumah dan sumber penerangan utama sama-sama bernilai negatif. Berdasarkan hasil uji statistik, secara total dampak SAADP terhadap sebagian besar perubahan kondisi rumah dan fasilitasnya tidak signifikan, kecuali pada beberapa kondisi seperti: memburuknya kualitas lantai rumah (-3,3%), tidak berubah (-6,1%) dan memburuknya (1,2%) jenis bahan bakar utama, dan memburuknya kondisi fasilitas MCK (-2,8%) yang semuanya signifikan pada tingkat nyata 5%. Dampak SAADP terhadap membaik, tetap atau memburuknya kondisi atap rumah di Kabupaten Donggala menunjukkan nilai yang signifikan secara statistik, namun tidak konsisten. Hal yang sama terjadi pada kondisi jenis lantai rumah di Kabupaten Konsel. Sementara itu, di Kabupaten Tolitoli dampak SAADP signifikan pada tingkat nyata 5% terhadap semakin luasnya bangunan rumah (14,7%). Di Kabupaten Konsel dampak SAADP juga signifikan pada tingkat nyata 1% terhadap memburuknya kondisi sumber air untuk MCK (12,0%).

97

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Kepemilikan Aset Perubahan kepemilikan barang berharga berupa barang elektronik, sepeda dan sepeda motor oleh rumah tangga SAADP dan kontrol disajikan dalam Tabel Lampiran 8.4a dan 8.4b. Saat ini, sebagian besar atau lebih dari separo rumah tangga SAADP maupun kontrol tidak memiliki barang berharga tersebut. Bahkan, hampir seluruh rumah tangga (99%) tidak memiliki fasilitas telepon dan 88,5% rumah tangga tidak memiliki kulkas. Barang berharga yang relatif banyak dimiliki rumah tangga adalah berupa radio atau tape recorder. Secara total, dampak SAADP atau selisih perubahan kepemilikan sebagian besar barang berharga tidak menunjukkan pengaruh yang pasti. Demikian pula halnya yang terjadi di masing-masing kabupaten sampel, seperti terlihat pada Tabel Lampiran 8.4c. Hal ini juga didukung oleh penjelasan kualitatif dari berbagai narasumber yang menyatakan bahwa tidak terlihat adanya perubahan nyata pada kondisi rumah serta perlengkapannya. Secara total, dampak SAADP yang signifikan terhadap kepemilikan aset terjadi pada rumah tangga yang menjadi punya (-6,9%) dan tetap punya (9,3%) radio atau tape recorder yang signifikan pada tingkat nyata 5%. Dampak yang sama juga terjadi pada tetap punya (14%) dan tetap tidak punya (-14%) sepeda yang nyata pada tingkat 1%. Sedangkan jika dilihat berdasarkan kabupaten menunjukkan bahwa di Kabupaten Muna dampak SAADP signifikan pada tingkat nyata 1% terhadap bertambahnya rumah tangga yang memiliki televisi (10,7%). Sementara di kabupaten lainnya ada beberapa hasil uji statistik yang juga menunjukkan nilai yang signifikan, namun umumnya terhadap kondisi yang tidak berubah, yaitu tetap punya atau tetap tidak punya suatu aset. Perubahan kepemilikan lahan dan ternak oleh rumah tangga SAADP dan kontrol disajikan dalam Tabel Lampiran 8.5a dan 8.5b. Data menunjukkan bahwa seluruh responden memiliki lahan pekarangan, sebaliknya hanya sebagian kecil responden (rata-rata kurang dari 5%) yang memiliki tambak/kolam/empang. Proporsi responden yang mengalami penambahan luas untuk semua jenis lahan cenderung lebih banyak dibanding yang mengalami pengurangan, baik pada rumah tangga SAADP maupun kontrol. Proporsi rumah tangga yang tidak memiliki lahan (untuk semua jenis lahan) cenderung lebih banyak pada rumah tangga kontrol dibandingkan rumah tangga SAADP, kecuali pada kepemilikan lahan kebun. Pada kepemilikan ternak, lebih banyak responden yang memiliki ternak unggas dibandingkan yang memiliki ternak kambing dan sapi/kerbau. Dilihat dari perubahan kepemilikan, cukup banyak rumah tangga SAADP (21,3%) maupun kontrol (20,5%) yang mengalami penambahan jumlah unggas. Proporsi rumah tangga yang tidak memiliki ternak cenderung lebih banyak pada rumah tangga kontrol, kecuali di Kabupaten Tolitoli untuk ternak sapi/kerbau dan di Kabupaten Donggala untuk ternak kambing. Dampak proyek SAADP secara total menunjukkan pengaruh positif pada pertambahan kepemilikan lahan kebun, sawah, pekarangan, dan tambak, serta pada penambahan ternak sapi/kerbau, kambing dan unggas, namun secara statistik tidak signifikan (lihat Tabel Lampiran 8.5c.). Khususnya di Kabupaten Konsel, selisih 98
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

proporsi rumah tangga SAADP terhadap kontrol yang mengalami penambahan kepemilikan lahan kebun (15,2%) dan lahan sawah (5,9%) adalah signifikan pada tingkat nyata 5%. Hasil uji statistik terhadap selisih proporsi rumah tangga SAADP dan kontrol, menunjukkan nilai yang signifikan hanya pada kondisi yang tidak berubah (tetap) dan semakin berkurangnya proporsi yang tidak punya, khususnya pada kepemilikan lahan sawah dan tambak/kolam/empang, serta ternak unggas. Secara total, selisih proporsi rumah tangga SAADP dan kontrol yang memiliki luas lahan sawah tetap (11%) dan tidak punya (12,5%) adalah signifikan pada tingkat nyata 1%. Demikian pula halnya di Kabupaten Muna serta di tingkat Provinsi Sultra. Sementara di Kabupaten Tolitoli dan Provinsi Sulteng hanya signifikan pada kondisi yang tetap, masing-masing 17,6% dan 8,3%, pada tingkat nyata 5%. Di Kabupaten Konsel, dampak SAADP pada rumah tangga yang tidak memiliki lahan sawah (-17,8%) signifikan pada tingkat nyata 5%. Selisih proporsi rumah tangga SAADP dan kontrol yang memiliki luas lahan tambak tetap dan tidak punya, menunjukkan nilai yang signifikan di Kabupaten Konsel (4,0% dan 5,0%), tingkat Provinsi Sultra (4,4% dan 5,4%) dan secara total (2,8% dan 3,3%). Sedangkan di Kabupaten Muna, selisih proporsi rumah tangga yang memiliki luas lahan tetap (4,8%) signifikan pada tingkat nyata 1%. Sementara itu, pada pemilikan ternak, dampak SAADP hanya signifikan terhadap tetapnya jumlah kepemilikan ternak sapi/kerbau di Kabupaten Donggala (3,9%, pada tingkat nyata 5%). Sedangkan dampak signifikan pada tetapnya kepemilikan ternak unggas terjadi di Kabupaten Konsel (13,2%) pada tingkat nyata 5%. Dampak signifikan juga terjadi pada proporsi rumah tangga yang tidak mempunyai ternak unggas terjadi di Kabupaten Donggala (11,5%) dan secara total (-11,5%), masingmasing pada tingkat nyata 5% dan 1%.

99

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

IX. DAMPAK SAADP TERHADAP PENANGGULANGAN KEMISKINAN


Banyak negara dan lembaga pemberi bantuan menerapkan kredit mikro sebagai upaya penanggulangan kemiskinan, namun berbagai penelitian menunjukkan hasil yang beragam. Hasil penelitian di Bangladesh menunjukkan bahwa kredit mikro mampu mengurangi kemiskinan secara signifikan (Khandker, 1998), namun hasil penelitian lain di negara yang sama menemukan bahwa kredit mikro berdampak kecil terhadap penanggulangan kemiskinan (Murdoch, 1998). Bab ini menganalisis dampak kredit mikro SAADP terhadap penanggulangan kemiskinan yang dilihat dari dua aspek, yaitu pertama kelompok mana yang diuntungkan dan kelompok mana dirugikan, serta kedua, peran kredit SAADP dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangga dan mengurangi tingkat kemiskinan. 9.1. Kelompok yang Diuntungkan dan Dirugikan

Desa yang dipilih sebagai peserta program adalah desa-desa yang termasuk kategori miskin sesuai kriteria program yang dikemukakan dalam Bab III, yang antara lain memiliki jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi, memiliki potensi lahan kering/basah yang dapat dikembangkan, dan mempunyai infrastruktur ekonomi terbatas. Di Kabupaten Konsel dan Muna, misalnya, desa yang terpilih adalah desa yang terkena dampak kekeringan dan krisis ekonomi. Sementara di Kabupaten Tolitoli dan Donggala, desa terpilih adalah desa IDT. Sasaran penerima bantuan program sesuai juklak adalah keluarga atau kelompok masyarakat miskin, terutama kelompok penduduk atau petani miskin yang tidak mempunyai sumber penghasilan, serta kelompok wanita dan pemuda yang sedang menganggur dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Seperti telah disampaikan di Bab III, staf Bank Dunia menegaskan bahwa kriteria tersebut tidak berlaku karena penekanannya adalah pada mereka yang telah memiliki usaha. Hal ini karena program ini bersifat ekonomi dan komersial sehingga dana yang dipinjamkan kepada masyarakat harus dikembalikan. Konsekuensinya, penerima program diperkirakan bukan merupakan kelompok masyarakat termiskin, khususnya pada tahap perguliran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria miskin tidak dijadikan pertimbangan utama dalam menentukan sasaran program. Seperti telah diuraikan pada subbab 4.3 tentang Kriteria dan Proses Seleksi Peserta SAADP (Tabel 4.3.1), hanya 16,7% dari rumah tangga peserta SAADP yang mengaku terpilih karena dianggap miskin, sedangkan 83,6% dari mereka mengaku terpilih karena memiliki usaha. Dilihat dari jenjang pendidikan yang ditamatkan responden, seperti telah diulas pada subbab 2.3 tentang Pengalaman Responden Memperoleh Kredit (Tabel 2.3.3), sebagian besar penerima pinjaman adalah masyarakat yang berpendidikan rendah (tidak sekolah, sekolah dasar/sederajat). Namun, peminjam dari kalangan berpendidikan SLTA juga jumlahnya tidak kecil, yaitu sebanyak 22,3%, yang umumnya merupakan golongan relatif mampu.

100

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Dilihat dari frekuensi peminjaman, Tabel 9.1.1 menunjukkan bahwa rumah tangga yang relatif lebih mampu cenderung lebih sering menerima pinjaman. Proporsi rumah tangga yang menerima satu hingga dua kali pinjaman tersebar cukup merata antarkelompok pendapatan. Namun, proporsi rumah tangga yang menerima tiga kali pinjaman atau lebih ternyata lebih banyak berasal dari kelompok yang relatif mampu (kuintil IV dan V) yaitu sebanyak 58,6%. Tabel 9.1.1. Proporsi Kelompok Kuintil Pendapatan Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Frekuensi Pinjaman (%)
Frekuensi Pinjaman Kuintil pengeluaran per kapita rumah tangga penerima SAADP sebelum SAADP V 19,35 (39,6) 15,0 (35,9) 41,4 (50,1) N

I II III IV 20,2 21,0 20,6 18,95 1 (40,2) (40,8) (40,5) (39,3) 20,0 18,7 22,5 23,7 2 (40,3) (39,3) (42,0) (42,8) 17,2 13,8 10,3 17,2 >3 (38,4) (35,1) (31,0) (38,4) Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi.

248 80 29

Informasi kualitatif yang diperoleh di lapangan semakin mempertegas temuan tersebut. Pada tahap awal, yaitu saat dana kredit program cair, kredit terutama diberikan kepada rumah tangga miskin. Pada saat kredit tersebut harus dikembalikan, muncul masalah yaitu banyak peserta yang tidak mampu mengembalikan pinjaman, terutama peserta yang hanya mengandalkan penghasilan dari pertanian atau nelayan. Mengacu pada pengalaman tersebut maka pada tahap berikutnya (perguliran) kelancaran pengembalian pinjaman dijadikan faktor penentu apakah sebuah rumah tangga berkesempatan menerima kredit atau tidak. Hal ini dilakukan karena keberhasilan proyek, khususnya UPKD sebagai pengelola keuangan, akan dilihat antara lain dari peningkatan dana yang diperoleh UPKD. Akibatnya, penerima manfaat program tidak lagi diutamakan masyarakat miskin, tetapi masyarakat yang memiliki usaha atau diperkirakan mampu mengembalikan pinjaman. Akibat dari pergeseran sasaran, peserta yang berasal dari keluarga prasejahtera makin lama makin berkurang dan pinjaman kepada petani pun dibatasi. Akibatnya masyarakat miskin mengeluh bahwa kredit mikro SAADP lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu. Bahkan, pegawai negeri sipil (PNS), beberapa kepala dan aparat desa yang ditemui juga dapat memperoleh pinjaman dari UPKD. Relatif banyaknya penerima pinjaman yang berlatar belakang pendidikan cukup tinggi juga menjadi indikasi bahwa masyarakat yang kurang berpendidikan yang umumnya berpendapatan rendah memiliki peluang yang semakin kecil untuk memperoleh pinjaman. Berdasarkan uraian di atas dapat dirangkum bahwa pada tahap awal penyaluran pinjaman, masyarakat miskin adalah kelompok masyarakat yang relatif lebih diuntungkan oleh keberadaan proyek karena mereka memperoleh prioritas untuk mendapatkan pinjaman. Sebaliknya, pada tahap perguliran peluang masyarakat miskin untuk memperoleh kredit semakin berkurang karena tahap ini

101

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

memprioritaskan kriteria kemampuan mengembalikan kredit yang umumnya lebih sesuai untuk kelompok masyarakat yang relatif lebih mampu. 9.2. Peran SAADP dalam Mengurangi Kemiskinan

Informasi kualitatif menunjukkan bahwa setelah penyaluran pinjaman tahap awal, kegiatan ekonomi masyarakat di desa SAADP relatif menjadi lebih semarak. Sebagian pemilik warung atau kios dapat menambah jumlah barang dagangannya dan sebagian nelayan dapat melengkapi perahunya dengan motor tempel sehingga bisa melaut lebih jauh. Jumlah bagang penangkap ikan dan jumlah pedagang biji kakao di desa sampel di Kabupaten Donggala juga semakin banyak. Selain itu, sebagian peserta di desa sampel di Kabupaten Muna menjadi mampu membuka lahan baru sehingga lahan kebunnya semakin luas, dan kegiatan penambangan batu di desa sampel di Kabupaten Konsel pun semakin meningkat. Apakah relatif semaraknya kegiatan ekonomi masyarakat di desa SAADP menjadi indikasi bahwa proyek SAADP turut berperan dalam mengurangi kemiskinan? Untuk menjawab hal ini, akan dilihat pengaruh SAADP terhadap beberapa aspek, yaitu terhadap transisi kemiskinan, kesenjangan kesejahteraan, serta terhadap indikator lainnya. Transisi Kemiskinan Tabel 9.2.1 menyajikan data tentang proporsi rumah tangga SAADP dan kontrol berdasarkan perubahan kondisi kemiskinan antara sebelum dan sesudah tersedia SAADP. Perubahan kondisi kemiskinan dibedakan atas: tetap miskin, tetap tidak miskin, berubah dari miskin menjadi tidak miskin, dan berubah dari tidak miskin menjadi miskin. Data menunjukkan bahwa secara keseluruhan SAADP memberikan dampak yang cenderung positif terhadap kesejahteraan rumah tangga. Dibandingkan dengan rumah tangga kontrol, proporsi rumah tangga SAADP yang tetap miskin cenderung lebih rendah, sebaliknya proporsi rumah tangga yang tetap tidak miskin cenderung lebih tinggi, kecuali di Kabupaten Konsel. Proporsi rumah tangga SAADP yang berubah dari miskin menjadi tidak miskin cenderung lebih tinggi dari rumah tangga kontrol, dan sebaliknya dari tidak miskin menjadi miskin cenderung lebih rendah. Selisih proporsi rumah tangga SAADP dan kontrol secara total menunjukkan bahwa rumah tangga yang tetap miskin (-2,9%) dan yang berubah dari tidak miskin menjadi miskin (-1,4%) bernilai negatif. Sedangkan selisih proporsi rumah tangga yang tetap tidak miskin (2,7%) dan miskin menjadi tidak miskin (1,5%) bernilai positif. Ini berarti ada kecenderungan bahwa SAADP memberikan dampak yang positif terhadap pengurangan kemiskinan meskipun angka-angka ini secara statistik tidak signifikan. Berdasarkan provinsi, secara umum dampak SAADP terhadap kemiskinan di Sulteng cenderung lebih baik daripada di Sultra. Di Sultra, tiga dari empat indikator transisi kemiskinan rumah tangga SAADP menunjukkan indikasi yang lebih buruk dibanding rumah tangga kontrol. Akan tetapi, berdasarkan uji statistik dampak terhadap keempat indikator transisi kemiskinan di tingkat provinsi juga tidak signifikan.

102

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel 9.2.1. Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Perubahan Kondisi Kemiskinan antara Sebelum dan Sesudah Tersedia Proyek SAADP (%)
Transisi Kemiskinan Rumah tangga SAADP: Tetap miskin Tetap tidak miskin Miskin menjadi tidak miskin Tidak miskin menjadi miskin N Rumah tangga kontrol: Tetap miskin Tetap tidak miskin Miskin menjadi tidak miskin Tidak miskin menjadi miskin N 43,6 (50,0) 40,0 (49,4) 12,7 (33,6) 3,6 (18,9) 55 47,0 (50,4) 41,2 (49,7) 5,9 (23,8) 5,9 (23,8) 51 45,3 (50,0) 40,6 (49,3) 9,4 (29,4) 4,7 (21,3) 106 40,4 (49,5) 36,5 (48,6) 19,2 (39,8) 3,8 (19,4) 52 40,4 (49,5) 53,8 (50,3) 3,8 (19,4) 1,9 (13,9) 52 40,4 (49,3) 45,2 (50,0) 11,5 (32,1) 2,9 (16,8) 104 42,9 (49,6) 42,9 (49,6) 10,5 (30,7) 3,8 (19,2) 210 39,2 (49,1) 47,1 (50,2) 10,8 (31,2) 2,9 (17,0) 102 29,4 (45,8) 46,1 (50,1) 19,6 (39,9) 4,9 (21,7) 102 34,3 (47,6) 46,6 (50,0) 15,2 (36,0) 3,9 (19,5) 204 38,8 (49,0) 50,5 (50,2) 10,7 (31,0) 0,0 (0,0) 103 52,5 (50,2) 38,6 (48,9) 6,9 (25,5) 2,0 (14,0) 101 45,6 (49,9) 44,6 (49,8) 8,8 (28,4) 1,0 (9,9) 204 40,0 (49,0) 45,6 (49,9) 12,0 (32,5) 2,4 (15,5) 408 Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

Selisih Rumah tangga SAADP dan kontrol: -4,4 -17,6* -11,0 -1,6 12,1 5,2 -2,9 Tetap miskin (8,3) (8,1) (5,8) (8,4) (8,5) (6,0) (4,2) 7,1 4,9 -6,0 14,0 -15,2 -0,6 2,7 Tetap tidak miskin (8,4) (8,6) (6,0) (8,4) (8,4) (6,0) (4,2) Miskin menjadi tidak -1,9 13,7* 5,8 -8,5 3,1 -2,7 1,5 miskin (5,4) (6,1) (4,1) (5,8) (4,0) (3,6) (2,7) Tidak miskin menjadi -0,7 -1,0 -0,8 -3,8* 0,1 -1,9 -1,4 miskin (3,0) (3,8) (2,4) (1,9) (2,4) (1,5) (1,4) Catatan: -Transisi kemiskinan dihitung dengan menggunakan garis kemiskinan konsumsi rumah tangga per kapita per bulan hasil perhitungan SMERU, yaitu di Provinsi Sulteng Rp76.802 (tahun 1999) dan Rp88.141 (tahun 2003) dan di Provinsi Sultra Rp80.279 (tahun 1999) dan Rp93. 511 (tahun 2003). -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. - * Signifikan pada tingkat 5%.

Di Kabupaten Donggala, proporsi rumah tangga SAADP yang miskin menjadi tidak miskin 1,9% lebih rendah daripada rumah tangga kontrol. Dengan kata lain, perubahan kesejahteraan rumah tangga kontrol cenderung lebih baik daripada rumah tangga SAADP. Hal ini bisa dijelaskan dari informasi kualitatif bahwa pada rumah tangga kontrol lebih banyak kaum ibu yang mengusahakan tenun kain. Namun, dampak SAADP terhadap transisi kemiskinan di kabupaten ini juga tidak signifikan secara statistik. Transisi kemiskinan pada rumah tangga SAADP di Kabupaten Tolitoli adalah lebih baik daripada rumah tangga kontrol. Dampak SAADP dilihat dari selisih proporsi rumah tangga antara SAADP dan kontrol yang tetap miskin adalah -17,6% dan yang miskin menjadi tidak miskin adalah 13,7%, merupakan selisih tertinggi

103

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

dibandingkan dengan kabupaten lainnya, dan keduanya signifikan secara statistik pada tingkat nyata 5%. Pengaruh SAADP terhadap transisi kemiskinan di kabupaten ini paling menonjol dibandingkan di kabupaten lainnya. Informasi kualitatif dari Kabupaten Tolitoli menyatakan bahwa pinjaman SAADP telah menyebabkan peningkatan penggunaan pupuk dan pestisida pada tanaman perkebunan coklat sehingga produksinya meningkat. SAADP di daerah ini telah memberikan dampak positif terhadap para petani yang umumnya merupakan rumah tangga miskin. Dampak SAADP terhadap perubahan kemiskinan di Kabupaten Muna terlihat tidak konsisten. Selisih proporsi rumah tangga SAADP dan kontrol yang miskin menjadi tidak miskin adalah -8,5%, namun tidak signifikan, sementara dari yang tidak miskin menjadi miskin adalah -3,8% dan signifikan secara statistik pada tingkat nyata 5%. Terdapat indikasi bahwa kesejahteraan rumah tangga kontrol cenderung lebih baik daripada rumah tangga SAADP. Berdasarkan informasi kualitatif, dalam 23 tahun terakhir, semakin banyak warga di desa kontrol yang menjadi TKI di Malaysia, mereka bekerja sebagai buruh perkebunan atau pekerja lainnya di luar sektor pertanian. Di Kabupaten Konsel, selisih proporsi rumah tangga SAADP dan kontrol menunjukkan bahwa tiga dari empat indikator transisi kemiskinan rumah tangga SAADP lebih buruk daripada rumah tangga kontrol. Proporsi rumah tangga SAADP yang tetap miskin 12,1% lebih tinggi daripada rumah tangga kontrol. Sementara proporsi rumah tangga SAADP yang tetap tidak miskin -15,2% lebih rendah daripada rumah tangga kontrol. Selain itu, walaupun selisihnya tidak besar, Konsel adalah satu-satunya kabupaten di mana proporsi rumah tangga SAADP yang tidak miskin menjadi miskin cenderung lebih tinggi daripada rumah tangga kontrol. Hal ini diduga berkaitan dengan seringnya gagal panen akibat hama yang menyerang kebun rumah tangga SAADP. Di samping itu, di daerah kontrol terdapat usaha penggergajian kayu (sawmill) yang memberikan sumbangan pada perekonomian daerah kontrol. Kesenjangan Kesejahteraan Salah satu tujuan SAADP adalah mengurangi kesenjangan kesejahteraan dalam masyarakat. Hal ini diharapkan dapat dicapai dengan meningkatkan kesejahteraan kelompok miskin sehingga kesenjangan antara mereka dengan kelompok yang lebih kaya akan berkurang. Tabel 9.2.2 menunjukkan perubahan angka Rasio Gini berdasarkan pengeluaran pada rumah tangga SAADP dan kontrol pada waktu sebelum dan sesudah SAADP dilaksanakan.27 Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa dari empat daerah SAADP, hanya Kabupaten Muna di Sultra yang mengalami peningkatan kesenjangan pascapelaksanaan program SAADP. Sedangkan tiga daerah lain mengalami penurunan, walaupun relatif kecil. Ini berarti di Kabupaten Muna tingkat kesenjangan setelah program SAADP dilakukan semakin meningkat, sementara di

27

Rasio Gini adalah indikator kesenjangan dengan kisaran nilai antara 0 dan 1. Rasio Gini 0 menunjukkan tidak adanya kesenjangan, sementara 1 menunjukkan ketimpangan yang sangat tinggi karena hanya ada satu orang yang menguasai seluruh sumber daya.

104

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Kabupaten Donggala, Tolitoli dan Konsel mengalami penurunan. Secara keseluruhan di keempat daerah SAADP angka Rasio Gini mengalami penurunan sebesar 0,0078. Tabel 9.2.2. Perubahan Rasio Gini Sebelum dan Sesudah SAADP
Klasifikasi Rumah tangga SAADP: Sebelum Sesudah Perubahan Rumah tangga kontrol: Sebelum Sesudah Perubahan Selisih perubahan rumah tangga SAADP dan kontrol Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

0,4555 0,3958 0,4265 0,3820 0,3254 0,3620 0,3963 0,4228 0,3552 0,3902 0,4137 0,3091 0,3853 0,3885 -0,0327 -0,0406 -0,0363 0,0317 -0,0163 0,0233 -0,0078 0,3728 0,4553 0,4214 0,3058 0,2658 0,3061 0,3763 0,3490 0,3839 0,3671 0,2940 0,2538 0,2996 0,3380 -0,0238 -0,0714 -0,0543 -0,0118 -0,0120 -0,0065 -0,0383 -0,0089 0,0308 0,0180 0,0435 -0,0043 0,0298 0,0305

Sementara itu, angka Rasio Gini pada rumah tangga kontrol di keempat kabupaten sampel mengalami penurunan. Secara keseluruhan angka Rasio Gini pada rumah tangga kontrol menurun sebesar 0,0383. Jika angka Rasio Gini rumah tangga SAADP dan kontrol di ketiga kabupaten (selain Kabupaten Muna) dibandingkan, maka dapat dilihat bahwa di Kabupaten Donggala dan Konsel penurunan angka Rasio Gini pada rumah tangga SAADP lebih besar daripada rumah tangga kontrolnya. Sebaliknya di Kabupaten Tolitoli, penurunan angka Rasio Gini pada rumah tangga SAADP lebih kecil dibandingkan rumah tangga kontrol. Secara keseluruhan penurunan angka Rasio Gini pada peserta kontrol lebih besar daripada peserta SAADP. Angka selisih penurunan Rasio Gini pada peserta SAADP dan kontrol adalah sebesar 0,0305. Ini mengindikasikan bahwa penurunan tingkat kesenjangan kesejahteraan pada peserta SAADP lebih rendah dibandingkan pada peserta kontrol. Indikator Kesejahteraan Lain Indikator lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan dampak SAADP terhadap penanggulangan kemiskinan adalah dengan melihat perubahan kemampuan penduduk miskin untuk membiayai pendidikan anak, mengakses fasilitas kesehatan, berpartisipasi dalam upacara adat, dan menghadapi goncangan ekonomi, seperti disajikan dalam Tabel 9.2.3 rumah tangga miskin dalam bahasan berikut adalah rumah tangga sampel yang sebelum adanya SAADP berada di bawah garis kemiskinan wilayah setempat. Kemampuan membiayai pendidikan anak. Secara keseluruhan, proporsi rumah tangga miskin peserta SAADP yang mengalami peningkatan kemampuan dalam menyekolahkan anak adalah 11,0% lebih tinggi daripada rumah tangga kontrol yang juga miskin, namun selisih ini tidak signifikan secara statistik. Hanya di Kabupaten Konsel, dampak SAADP terhadap kemampuan membiayai pendidikan (33,0%) menunjukkan pengaruh yang signifikan secara statistik pada tingkat nyata 1%. Di Kabupaten Donggala dan Tolitoli, dampak SAADP terhadap meningkatnya

105

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

kemampuan membiayai pendidikan bernilai positif, sedangkan di Kabupaten Muna justru berdampak negatif, namun secara statistik angka-angkanya tidak signifikan. Tabel 9.2.3. Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Kategori Miskin yang Mengakui Mengalami Peningkatan Kemampuan(%)
Indikator Kemampuan Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 49,5 (50,2) 42,3 (49,6) 44,1 (49,9) 40,5 (49,3) 111 38,9 (49,2) 37,0 (48,7) 29,6 (46,1) 44,4 (50,2) 54 Total

Rumah tangga SAADP yang termasuk kategori miskin sebelum SAADP: 56,9 60,0 58,4 58,8 41,7 Membiayai pendidikan anak (50,0) (49,5) (49,5) (49,7) (49,7) Mendapatkan pelayanan 66,7 72,0 69,3 49,0 36,7 kesehatan (47,6) (45,4) (46,4) (50,5) (48,6) 47,0 60,0 53,5 52,9 36,7 Berpartisipasi dalam upacara adat (50,4) (49,5) (50,1) (50,4) (48,6) 74,5 68,0 71,3 41,2 40,0 Menghadapi guncangan ekonomi (44,0) (47,1) (45,5) (49,7) (49,4) N 51 50 101 51 60 Rumah tangga Kontrol yang termasuk kategiori miskin sebelum SAADP: 48,4 44,4 46,6 61,3 8,7 Membiayai pendidikan anak (50,8) (50,6) (50,3) (49,5) (28,8) Mendapatkan pelayanan 67,7 37,0 53,4 58,1 8,7 kesehatan (47,5) (49,2) (50,3) (50,2) (28,8) 48,4 44,4 46,6 41,9 13,0 Berpartisipasi dalam upacara adat (50,8) (50,6) (50,3) (50,2) (34,4) 77,4 33,3 56,9 67,7 13,0 Menghadapi guncangan ekonomi (42,5) (48,0) (50,0) (47,5) (34,4) N 31 27 58 31 23

53,8 (50,0) 55,2 (49,8) 48,6 (50,1) 55,2 (49,8) 212 42,8 (49,7) 45,5 (50,0) 38,4 (48,9) 50,9 (50,2) 112

Selisih Rumah tangga SAADP dan kontrol: 8,5 15,6 11,8 -2,5 33,0** 10,6 11,0 Membiayai pendidikan anak (11,5) (11,9) (8,2) (11,3) (11,0) (8,3) (5,8) Mendapatkan pelayanan -1,0 35,0* 15,9* -9,1 28,0* 5,3 9,7 kesehatan (10,8) (11,2) (7,9) (11,5) (10,8) (8,2) (5,8) -1,4 15,6 6,9 11,0 23,7* 14,5 10,2 Berpartisipasi dalam upacara adat (11,5) (11,9) (8,3) (11,5) (11,1) (8,1) (5,8) -2,9 34,7** 14,4 -26,5* 27,0* -3,9 4,3 Menghadapi guncangan ekonomi (9,9) (11,3) (7,8) (11,1) 11,2) (8,2) (5,8) Catatan: -Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. - ** Signifikan pada tingkat 1%. - * Signifikan pada tingkat 5%.

Berdasarkan informasi kualitatif di sebagian besar desa sampel, baik di Sulteng maupun Sultra, fasilitas pendidikan yang tersedia hanya untuk tingkat SD. Akan tetapi, semakin banyaknya rumah tangga yang kemampuan ekonominya meningkat dan didukung oleh motivasi orang tua yang kuat, maka semakin banyak pula siswa yang menikmati pendidikan lebih tinggi (SLTP, SLTA, hingga universitas). Hal tersebut juga ditunjang oleh budaya kekeluargaan dan tolong menolong yang cukup kuat di hampir semua desa, termasuk dalam hal pendidikan. Biasanya siswa dari desa yang mengikuti pendidikan tingkat menengah ke atas, dititipkan pada keluarga atau kerabat di ibu kota kabupaten atau provinsi sehingga mengurangi beban biaya akomodasi.

106

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Kemampuan mendapatkan pelayanan kesehatan. Secara keseluruhan, proporsi rumah tangga SAADP yang mengaku kemampuannya mengakses pelayanan kesehatan semakin meningkat adalah 9,7% lebih tinggi daripada rumah tangga kontrol, namun angka ini tidak signifikan secara statistik. Di Kabupaten Tolitoli dan Konsel, dampak SAADP terhadap peningkatan kemampuan mendapatkan pelayanan kesehatan masing-masing adalah 35,0% (signifikan pada tingkat nyata 1%) dan 28,0% (signifikan pada tingkat nyata 5%). Demikian pula di tingkat Provinsi Sulteng, pengaruhnya (15,9%) juga signifikan secara statistik pada tingkat nyata 5%. Sebaliknya, bagi rumah tangga di Kabupaten Donggala dan Muna, dampak SAADP terhadap kemampuan tersebut cenderung negatif, namun angkanya secara statistik tidak signifikan. Kemampuan berpartisipasi dalam upacara adat. Secara keseluruhan, proporsi rumah tangga miskin peserta SAADP yang mengalami peningkatan kemampuan dalam berpartisipasi dalam upacara adat adalah 10,2% lebih tinggi daripada rumah tangga kontrol yang juga miskin, namun tidak signifikan secara statistik. Demikian pula halnya di tingkat propinsi. Hanya di Kabupaten Konsel, indikator tersebut menunjukkan angka signifikan secara statistik pada tingkat nyata 5% (23,7%). Sementara di Kabupaten Donggala, dampak SAADP cenderung menunjukkan pengaruh yang negatif, namun tidak signifikan. Ketahanan menghadapi guncangan ekonomi. Proporsi rumah tangga miskin peserta SAADP yang mengalami peningkatan kemampuan dalam menghadapi guncangan ekonomi 4,3% lebih tinggi daripada rumah tangga kontrol yang juga miskin, namun tidak signifikan secara statistik. Di Kabupaten Donggala dan Muna, proporsi rumah tangga kontrol yang mengalami peningkatan kemampuan menghadapi guncangan ekonomi lebih tinggi daripada rumah tangga SAADP. Di Kabupaten Muna pengaruhnya (-26,5%) signifikan secara statistik pada tingkat nyata 5%, sementara di Kabupaten Donggala (-2,9%) tidak signifikan. Secara umum dapat dikemukakan bahwa dampak SAADP terhadap peralihan kemiskinan, meskipun positif tetapi kecil dan tidak signifikan. Jika dilihat per kabupaten, tampak adanya pengaruh yang tidak konsisten dan pengaruh yang paling baik terjadi di Kabupaten Tolitoli. Dampak SAADP terhadap penurunan kesenjangan kesejahteraan rumah tangga SAADP juga kecil, bahkan lebih kecil daripada di rumah tangga kontrol. Dampak SAADP terhadap indikator kesejahteraan lainnya juga secara umum tidak signifikan meskipun positif. Hanya di Kabupaten Konsel SAADP berdampak signifikan terhadap keempat indikator kesejahteraan lain, sedangkan di Kabupaten Tolitoli hanya berdampak pada peningkatan kemampuan dua indikator lain.

107

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

X.

KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN

10.1. Kesimpulan Keberhasilan proyek SAADP dilihat dari perkembangan UPKD, mekanisme pelaksanaan, dan dampaknya terhadap aspek social-ekonomi masyarakat bervariasi antarwilayah penelitian. Namun demikian, secara keseluruhan dapat dikatakan proyek SAADP kurang berhasil karena terdapat UPKD yang macet dan relatif kecilnya dampak SAADP terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Meskipun proyek SAADP baru berakhir pada Desember 2003, namun hanya dua bulan kemudian, saat penelitian dilakukan pada Februari 2004 beberapa UPKD yang ditemui sudah tidak beroperasi. Pada UPKD yang masih berjalan pun, jumlah dana yang tersedia bervariasi dan cenderung lebih kecil dari dana awal karena banyaknya kasus tunggakan kredit dari masyarakat. Tunggakan kredit antara lain disebabkan adanya anggapan dari masyarakat bahwa dana SAADP adalah dana hibah dari pemerintah, ketidakmampuan peserta karena gagal panen atau tidak ada surplus hasil usaha, ketidakpercayaan peserta terhadap pengurus UPKD, dan adanya contoh peserta yang menunggak atau UPKD yang macet tetapi tidak dikenakan sanksi. Hal ini terjadi karena kurangnya rasa memiliki dari masyarakat terhadap UPKD sebagai aset desa. Sementara UPKD sendiri sulit menerapkan sanksi kepada peminjam karena bukan merupakan lembaga berbadan hukum. Separo responden menyatakan mengetahui proses pembentukan UPKD dan pembentukannya dinilai telah sesuai dengan petunjuk pelaksanaan, yaitu melalui forum musyawarah desa dan sebagian besar pengurus merupakan masyarakat biasa. Namun demikian, dalam perkembangannya kinerja sebagian besar UPKD tidak sejalan dengan ketentuan, antara lain kurang transparan tentang kondisi keuangan sebagaimana diakui oleh sebagian responden yang menyatakan tidak punya akses terhadap laporan kuangan, terdapat pengurus UPKD yang melakukan penyelewengan dana SAADP, dan ada kecenderungan dominasi kepengurusan UPKD oleh ketua. Di samping itu, sistem pelaporan UPKD ke lembaga lebih tinggi hanya berjalan cukup baik ketika proyek masih berjalan, khususnya saat fasilitator masih bertugas. Sementara pelaporan kepada masyarakat desa melalui musyawarah relatif tidak berjalan. Kegiatan pengawasan dan pemantauan sangat minim dilakukan, bahkan pada saat tenaga fasilitator masih bertugas. Pengawasan dari lembaga yang lebih tinggi hanya dilakukan dalam bentuk kunjungan lapangan singkat sekitar satu kali setahun, terutama pada awal pelaksanaan proyek. Fungsi pengawasan bagi UPKD justru dirasakan dari keberadaan tenaga fasilitator. Kegiatan pengawasan oleh masyarakat juga tidak berjalan karena fungsi pengawasan tersebut tidak ditekankan saat sosialisasi proyek. Di Provinsi Sulteng, pengawasan terhadap pelaksanaan proyek relatif lebih baik karena telah dibentuk lembaga pengawasan yang dinamakan Badan Pengawas (BP) UPKD. Sebagaimana aturan, keterlibatan pemerintah desa dalam kegiatan UPKD sangat minim. Namun, sebenarnya banyak pengurus UPKD mengharapkan keterlibatan aktif aparat pemerintah desa dan kecamatan, khususnya dalam kegiatan pengawasan terhadap pengembalian pinjaman dari masyarakat.

108

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Sementara itu, keterlibatan organisasi nonpemerintah (ornop) atau LSM pada SAADP adalah sebagai fasilitator. Perannya cukup menonjol hanya pada awal pelaksanaan proyek. Setelah proyek berjalan, peran pendampingan masyarakat semakin berkurang, dan lebih terfokus pada pendampingan UPKD. Bagi UPKD, fasilitator dapat menjadi tempat konsultasi pengelolaan dana SAADP, menjadi sumber kekuatan moril dalam menghadapi tuntutan masyarakat, dan keberadaannya menunjukkan bahwa SAADP terus diawasi sehingga dapat mendorong masyarakat untuk mengembalikan pinjaman. Pelaksanaan proyek diawali dengan kegiatan sosialisasi. Sosialisasi di tingkat masyarakat dinilai kurang memadai karena tidak menjangkau seluruh masyarakat desa. Hanya separo responden mendapat penjelasan tentang SAADP melalui pertemuan di desa, selebihnya memperoleh penjelasan dari teman, tetangga, atau pengumuman lisan. Informasi yang sampai ke masyarakat sangat terbatas pada hal-hal yang umum, khususnya tentang mekanisme peminjaman. Skema pinjaman yang diberlakukan bervariasi antarwilayah sampel. Besarnya pinjaman berkisar antara 200 ribu hingga 5 juta rupiah dan terbanyak antara 500 ribu hingga 1 juta rupiah per peminjam. Umumnya, tergantung pada besarnya pengajuan, pertimbangan kemampuan peserta dalam mengembalikan pinjaman, dan ketersediaan dana pada kas UPKD. Besarnya bunga pinjaman pada tahap awal berkisar antara 15%-18% per tahun dan pada tahap berikutnya antara 18%-24% per tahun. Lamanya peminjaman paling lama 12 bulan. Pada awal pelaksanaan, mengembalikan pinjaman melalui ketua kelompok atau langsung kepada pengurus UPKD, namun pada tahap selanjutnya umumnya peserta mengembalikan langsung kepada pengurus UPKD. Umumnya pinjaman melalui kelompok masyarakat hanya dilakukan pada tahap awal. Kelompok dibentuk hanya untuk memenuhi persyaratan proyek bahwa dana pinjaman disalurkan melalui sistem kelompok. Masyarakat tidak memahami konsep, peran, dan fungsi pembentukan kelompok. Kelompok yang berfungsi sesuai dengan tujuan proyek jumlahnya sangat sedikit, karena kurangnya pendampingan. Dalam mengakses pinjaman SAADP, perempuan diperlakukan sama dengan laki-laki. Sedikitnya jumlah perempuan yang mengajukan dan menerima pinjaman dibanding lakilaki karena adanya pembatasan bahwa satu keluarga hanya boleh mengajukan satu kredit yang umumnya diwakili oleh suami sebagai kepala keluarga, dan karena sebagian besar pengajuan dan penggunaan kredit SAADP adalah untuk usaha tani dan nelayan yang umumnya dikerjakan oleh laki-laki. Perempuan yang memiliki dan bertanggung jawab atas jalannya suatu usaha memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam memperoleh kredit SAADP. Dampak SAADP terhadap pengambilan keputusan oleh perempuan dalam rumah tangga dan keterlibatannya dalam kegiatan di tingkat desa positif, namun tidak signifikan secara statistik. Dampak SAADP terhadap perencanaan lokal, penguatan kelembagaan lokal, dan transparansi di tingkat desa minim. UPKD juga belum merangsang pertumbuhan lembaga keuangan lain di tingkat desa, bahkan beberapa UPKD tidak beroperasi lagi. Peran UPKD terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat peminjam dalam mengelola keuangan juga sangat minim. Dampak sosial ekonomi SAADP bervariasi tergantung pada wilayah penelitian. Secara total, dampak sosial ekonomi SAADP adalah sebagai berikut: (i) pengaruh terhadap 109
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

peningkatan wawasan berusaha adalah positif (15,1%) dan signifikan secara statistik; (ii) pengaruh terhadap perubahan praktik berusaha adalah positif (5,4%), khusus untuk diversifikasi usaha berdampak negatif (-3,5%), namun keduanya tidak signifikan; (iii) dampak terhadap penambahan semua jenis wawasan berusaha tani dan praktiknya adalah positif namun signifikansinya bervariasi; (iv) berdampak kecil terhadap perpindahan lahan garapan tetapi tidak berdampak terhadap praktik pembakaran pohon; (v) terhadap peningkatan pendapatan nominal berdampak positif (8.8%) dan signifikan; (vi) terhadap pendapatan riil berdampak kecil (0,5%) meskipun positif, dan tidak signifikan; (vii) terhadap dorongan untuk menabung berpengaruh positif meskipun tidak signifikan; dan (viii) terhadap kepemilikan aset dampaknya bervariasi dan tidak konsisten. Secara umum sejak tahap perguliran, masyarakat yang memiliki usaha dan yang dinilai mampu mengembalikan pinjaman merupakan kelompok yang memperoleh keuntungan dari SAADP karena menjadi target penerima pinjaman. Meskipun mereka bukan masyarakat termiskin di desa tersebut, tetapi secara umum mereka masih dapat digolongkan sebagai kelompok miskin. Hal ini dapat dimengerti mengingat desa yang terpilih untuk memperoleh SAADP merupakan desa miskin, antara lain seperti desa yang terkena dampak krisis ekonomi dan kekeringan atau dikategorikan sebagai desa IDT, sehingga hampir seluruh masyarakatnya merupakan masyarakat miskin. Dari segi pemanfaatan dana, sebagian besar peserta SAADP mengajukan dan menggunakan kredit untuk modal usaha Data lapangan menunjukkan bahwa SAADP cenderung memberikan dampak positif terhadap pengurangan kemiskinan, meskipun kecil dan secara statistik tidak signifikan. Dampak SAADP ini cenderung lebih baik di Sulawesi Tengah dibandingkan di Sulawesi Tenggara. Di samping itu, terdapat indikasi bahwa penurunan tingkat kesenjangan kesejahteraan pada rumah tangga SAADP lebih rendah dibandingkan pada rumah tangga kontrol. Dampak SAADP terhadap indikator kesejahteraan lainnya juga secara umum tidak signifikan meskipun positif, dan antarkabupaten menunjukkan pengaruh yang tidak konsisten. 10.2. Saran Kebijakan Berdasarkan temuan penelitian ini terdapat beberapa implikasi kebijakan yang dapat diterapkan. 1. Mengingat keberadaan UPKD yang macet dapat mempengaruhi kinerja UPKD lain, sementara sumber daya dan dana yang sudah dikeluarkan cukup besar dan keberadaan UPKD juga masih dirasakan penting bagi masyarakat, maka jika proyek SAADP akan dilanjutkan sebaiknya difokuskan untuk menghidupkan, memperbaiki dan mengembangkan UPKD yang sudah ada supaya dapat menjadi contoh bagi pelaksanaan proyek selanjutnya. UPKD yang kinerjanya baik perlu dikembangkan sambil memperbaiki beberapa aspek pada poin saran berikutnya. Sedangkan pada UPKD bermasalah perlu diadakan penyelesaian melalui musyawarah desa yang difasilitasi pemda setempat. Dalam hal ini, pemda dapat membentuk tim khusus yang menangani tunggakan dengan biaya pemda.

2.

110

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

3.

Selama menunggu disahkan RUU keuangan mikro, kelembagaan UPKD perlu ditingkatkan status hukumnya, misalnya melalui Peraturan Daerah agar mempunyai kekuatan dan kewenangan bertindak secara hukum. Perlu penyempurnaan kelembagaan UPKD dalam hal aturan main, struktur kepengurusan, pengawasan dan pelaporan sehingga UPKD tidak hanya berhasil sebagai lembaga penyaluran dana (chanelling agent), tetapi juga bisa tumbuh sebagai lembaga keuangan yang mandiri di tingkat desa. UPKD disarankan beroperasi sebagai badan usaha dan bukan sebagai agen pembangunan agar lebih menjamin keberlangsungan usaha dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki dan memberikan insentif yang memadai bagi pengurus. Peningkatan kualitas pengurus UPKD harus dilakukan secara terus menerus (berkesinambungan) untuk menjaga dan meningkatkan kinerja, misalnya dengan memberi pelatihan manajemen keuangan mikro secara berkala. Ruang lingkup kegiatan UPKD sebaiknya dipertahankan pada kegiatan produktif untuk menjamin pengembalian dan perputaran uang. Persyaratan jaminan secara ketat harus dihindari supaya UPKD dapat tetap menjadi lembaga dana yang mudah diakses masyarakat. Namun, untuk menghindari kemacetan tunggakan perlu dipertimbangkan penetapan jaminan yang mudah dipenuhi tetapi dapat mengikat masyarakat, misalnya pernyataan menjaminkan barang berharga, jaminan asuransi, atau program penjaminan yang melekat pada program (misalnya, peserta diwajibkan menabung untuk menutupi kemungkinan tunggakan). Penyaluran kredit dapat dilakukan secara berkelompok atau individu. Jika menggunakan pendekatan kelompok, maka upaya mengembangan kelompok harus dijalankan secara konsisten dengan menetapkan standar baku tertentu. Misalnya, jadwal pertemuan rutin, sistem pembagian tanggung jawab yang jelas (tanggung renteng atau individu), dan kegiatan pembinaan atau pendampingan. Kelompok tidak hanya sebatas formalitas, tetapi berfungsi sebagai sarana mengembangkan usaha dan menjamin kelancaran pengembalian.

4.

5.

6.

7. 8.

9.

10. Diperlukan komitmen pemda untuk mendukung secara serius perkembangan UPKD. Komitmen tersebut dapat ditunjukkan dalam bentuk mensosialisasikan kembali status UPKD dan dananya, memfasilitasi pelaksanaan musyawarah desa sebagai lembaga kontrol tertinggi, atau memberikan dana segar, baik untuk menambah dana UPKD, menyediakan fasilitator, maupun untuk pelatihan UPKD dan unsur terkait. 11. Pengawasan, pembinaan dan pelatihan sangat penting dan harus terintegrasi dalam setiap tahapan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Aparat desa perlu dilibatkan dalam pembinaan dan pelatihan supaya tercipta sinergi yang mendukung keberhasilan program. 12. Peran fasilitator perlu lebih ditingkatkan untuk mengarahkan dan membimbing peserta dalam mengembangkan usaha dan mengelola pinjaman. Fasilitator juga perlu diberikan insentif serta pelatihan yang memadai untuk menunjang kinerja mereka.

111

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

13. Pelaksanaan program sejenis di masa mendatang disarankan tidak membentuk lembaga baru melainkan menggunakan lembaga keuangan mikro yang sudah ada seperti UPKD, apabila lembaga tersebut sudah tersedia. Hal ini dimaksudkan supaya tidak kontraproduktif, dapat memperkuat kinerja lembaga yang ada, dan menghindari persaingan yang tidak sehat.

112

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. Data Potensi Desa Tahun 2000. Jakarta: 2000. Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Kecamatan Banawa dalam Angka. Donggala: 2000-2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Kabupaten Donggala dalam Angka. Donggala: 2000-2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. Kecamatan Moramo dalam Angka. Kendari: 2000-2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. Kabupaten Kendari dalam Angka. Kendari: 2000-2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Kecamatan Parigi dalam Angka. Raha: 2000-2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Kabupaten Muna dalam Angka. Raha: 2000-2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Kecamatan Baolan dalam Angka. Tolitoli: 2000-2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Kabupaten Tolitoli dalam Angka. Tolitoli: 2000-2002. Bina Swadaya. Executive Summary: Due Diligence and Performance Audit of Village Financial Management Unit (UPKD), the Sulawesi Agricultural Area Development Project (SAADP) and Nusa Tenggara Agricultural Area Development Project (NTADP). Jakarta: September 2002. ---. Laporan Audit Keuangan dan Manajemen UPKD Sulawesi Agricultural Area Development Project (SAADP). Jakarta: Agustus 2002. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah (Ditjen Bangda), Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Petunjuk Pelaksanaan dan Panduan Teknis Operasional IMSSAADP. Jakarta: 2000. Direktorat Pembinaan Pengembangan Wilayah, Ditjen Bangda, Depdagri. Laporan Konsultan SAADP Bulan Juni-Juli 1997. Khandker, S. Fighting Poverty with Microcredit: Experience of the Grameen Bank and Other Programs in Bangladesh. Poverty and Social Policy Department, The World Bank, Washington D.C.: 1996. Lembaga Penelitian SMERU. Beberapa Laporan tentang Kredit Kecil di Kupang, Minahasa, Tanggamus, Cirebon, dan Yogyakarta. Jakarta: 2002.

113

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Morduch, J. Does Microfinance Really Help the Poor: New Evidence from Flagship Programs in Bangladesh. Department of Economics and HIID, Harvard University and Hoover Institution, Stanford University: 1998. PPA Consultants. Draft Laporan Akhir Technical Assistance for Implementation of the Sulawesi Agricultural Area Development Project (SAADP) IBRD Loan No. 4007 IND. Ditjen Bangda, Depdagri, Jakarta: Desember 2003. PPA Consultants. Lampiran Draft Laporan Akhir Technical Assistance for Implementation of the Sulawesi Agricultural Area Development Project (SAADP) IBRD Loan No. 4007 IND. Ditjen Bangda, Depdagri, Jakarta: Desember 2003. PT Laras Respati Utama. Final Report Studi Dampak NTAADP. Ditjen Bangda, Depdagri, Jakarta. PT Sumaplan Adicipta Persada. Laporan Akhir Studi Dampak Proyek the Sulawesi Agricultural Area Development Project (SAADP)-IBRD Loan No. 4007 IND. Ditjen Bangda, Depdagri, Jakarta: 2003. World Bank. Loan 4007-IND: Sulawesi Agricultural Area Development Project (MidTerm Review Mission, January/February, 1999). Washington, D.C: March 15, 1999.

114

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

LAMPIRAN

115

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

LAMPIRAN 1. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN


1. Kabupaten Donggala, Provinsi Sulteng Keempat desa sampel yang terdiri dari tiga desa SAADP (Surumana, Tosale, dan Salubomba) dan satu desa kontrol (Towale) berada di wilayah Kecamatan Banawa, semuanya pernah dikategorikan sebagai desa IDT. Secara geografis, wilayah keempat desa sampel berbatasan langsung dengan laut, tepatnya di sepanjang pantai Selat Makassar. Jalan propinsi yang merupakan jalur trans Sulawesi (menghubungkan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan) membelah wilayah keempat desa tersebut sehingga sarana jalan dan alat transportasi menuju keempat desa sampel cukup baik dan mudah1. Di bagian yang berbatasan langsung dengan laut ditempati oleh para nelayan, sedangkan di bagian lainnya adalah dataran berbukit yang merupakan lahan perkebunan. Akhir-akhir ini banyak rumah dan tambak milik penduduk di sepanjang pantai tersebut terancam banjir pada saat laut pasang karena rusaknya hutan bakau. Desa Surumana merupakan desa sampel terjauh dari pusat kota kabupaten (77 km), letaknya berbatasan dengan wilayah Kabupaten Mamuju, Propinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan Desa Towale adalah desa sampel terdekat, berjarak sekitar 11 km dari pusat kota kabupaten (lihat Tabel 2.1.1). Berdasarkan data Podes 2003, wilayah Desa Tosale (23,5 km2) paling luas dibandingkan dengan tiga desa sampel lainnya, yaitu: Desa Surumana (14,0 km2), Desa Towale (3,5 km2) dan Desa Salubomba (2,6 km2). Sedangkan dilihat dari jumlah penduduknya, Desa Towale merupakan desa yang berpenduduk paling banyak (2.005 orang) dan paling padat (576 orang/km2), sedangkan Desa Tosale berpenduduk paling jarang, yaitu 76 orang/km2. Kepadatan penduduk di Desa Surumana dan Salubomba masing-masing adalah 94 orang/km2 dan 423 orang/km2. Sebagian besar masyarakat di desa sampel mengandalkan hidupnya pada usaha tani tanaman perkebunan, namun demikian keempat desa tersebut dikenal pula sebagai desa nelayan. Selain itu, ada juga yang bermata pencaharian sebagai petambak ikan bandeng dan udang, atau bekerja di sektor jasa/buruh, seperti menjadi tukang bangunan, pemanjat kelapa, buruh kebun, reparasi kapal nelayan, dan lain-lain. Pengrajin anyaman atap rumah dari daun sagu juga cukup banyak di keempat desa sampel. Anyaman ini digunakan sebagai atap rumah atau atap kandang ternak, yang dijual hingga Kota Donggala dan Kota Palu. Sebagian penduduk yang berdomisili di pinggir jalan membuka warung kebutuhan sehari-hari. Selain itu ada juga yang berjualan ikan keliling yang disebut pagandeng dengan berjalan kaki, menggunakan sepeda atau sepeda motor. Tanaman perkebunan yang banyak diusahakan masyarakat adalah coklat, kelapa, sagu, cengkeh, dan mete dan sebagian kecil warga mengolah lahan sawah. Hampir semua penduduk desa sampel juga menanam palawija seperti pisang, ubi, jagung, sagu, dan sayur-mayur yang sebagian besar untuk dikonsumsi sendiri. Sebagian lahan masih berupa hutan dan semak belukar. Di setiap desa juga ditemui banyak ternak terutama sapi yang berkeliaran di lahan kebun dan pekarangan.
1

Sarana angkutan umum antar desa dan antar kota yang tersedia adalah mobil angkot, taksi, dan bis antar kota/propinsi yang beroperasi selama 24 jam sehari.

116

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Para nelayan umumnya masih menggunakan peralatan sederhana seperti perahu kecil dengan alat pancing, perahu dengan motor tempel atau katinting yang berkekuatan 2 pk atau perahu dengan pukat ukuran sedang. Ada juga nelayan yang memiliki bagang yang terbuat dari bambu, drum atau perahu. Di saat nelayan tidak melaut, banyak dari mereka yang beralih ke pekerjaan jasa seperti tersebut di atas. Sebagian besar (sekitar 60%) lahan Desa Surumana merupakan perkebunan coklat. Pada awalnya, sebagian besar masyarakat desa ini bermata pencaharian sebagai nelayan, namun pada tahun 1980-an terjadi badai besar yang menghancurkan rumah dan harta mereka. Kemudian domisili mereka dipindahkan ke wilayah daratan berbukit sehingga mendorong perubahan mata pencaharian sebagian besar penduduknya menjadi pekebun coklat. Demikian pula di Desa Salubomba, di salah satu dusun sebagian besar masyarakatnya adalah juga pekebun atau bertani palawija, dan di dusun lainnya menjadi nelayan yang sekaligus juga sebagai petani kebun, pedagang, buruh, atau tukang (bangunan, reparasi perahu). Sebagian besar masyarakat Desa Tosale bekerja sebagai pekebun dan nelayan. Tanaman perkebunan yang banyak diusahakan terutama kelapa dan coklat. Kaum wanita di beberapa dusun di desa ini juga bekerja sebagai penenun. Pemasaran hasil tenun cukup lancar, namun produksinya masih terbatas. Sehelai sarung sutera Donggala biasanya diselesaikan dalam waktu 2-3 bulan, karena dikerjakan secara manual. Harga jual sarung tersebut mencapai 250-350 ribu rupiah per lembar. Di Desa Towale, mata pencaharian sebagian besar (75%) masyarakatnya juga adalah sebagai nelayan serta sebagai pekebun kelapa, coklat, dan sagu. Salah satu dusun yang letaknya terpencil dan menjorok ke arah laut merupakan daerah wisata pusat laut. Seperti halnya di Desa Tosale, di Desa Towale juga berkembang usaha tenun kain Donggala yang banyak diusahakan kaum wanita dengan pengerjaan yang lebih cepat karena mereka lebih berpengalaman, walaupun sama-sama dikerjakan secara manual. Rumah penduduk di keempat desa sampel, terutama yang berada di pinggiran pantai dan dekat bukit berbentuk panggung, sedangkan yang berada di sisi jalan umumnya bukan panggung. Sebagian besar atap rumah berupa seng dan rumbia (anyaman daun sagu), sedangkan dinding rumah terbuat dari tembok dan papan atau pelepah daun sagu. Lantai rumah rata-rata sudah diplester semen, kecuali untuk rumah panggung terbuat dari papan. Di Desa Salubomba dan Towale pernah ada bantuan berupa bahan bangunan (seng dan semen) dari pemerintah untuk perbaikan kondisi rumah penduduk. Sebagian besar masyarakat menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Khusus di Desa Salubomba, sumber air bersih yang digunakan sebagian masyarakat relatif lebih baik, yaitu berasal dari mata air pegunungan yang dialirkan ke desa melalui pipa.. Untuk keperluan MCK (mandi cuci kakus), sebagian besar masih dilakukan di sungai atau di sumur bersama. Hanya sebagian kecil penduduk yang telah memiliki kamar mandi sendiri dengan sumur tertutup. Saat ini, fasilitas listrik telah tersedia di semua desa sampel. Keberadaan proyek Kredit Listrik Perdesaan (KLP) sangat besar manfaatnya bagi masyarakat karena biayanya ringan. Sebagian masyarakat yang belum memiliki sambungan listrik, biasanya mendapatkannya melalui tetangga. Masyarakat yang berdomisili di dusun pelosok masih menggunakan lampu minyak tanah berupa lampu templok dan petromak untuk penerangan.

117

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Selain di warung-warung kecil, masyarakat membeli kebutuhan hidup sehari-hari di pasar desa yang beroperasi pada hari tertentu khususnya di Desa Towale dan Tosale atau di pasar desa tetangga. Selain itu, ada pula pedagang sayur keliling yang datang dari Donggala dan Palu yang menjajakan barang dagangannya dengan menggunakan sepeda motor, yang dikenal masyarakat sebagai si mas, karena mereka kebanyakan orang Jawa yang sudah cukup lama menetap di wilayah Sulawesi Tengah. Sebelum adanya proyek SAADP, koperasi keliling Sangkakala menjadi satu-satunya lembaga sumber pinjaman bagi masyarakat dengan sistem bunga harian. Mereka mendatangi rumah-rumah penduduk untuk menawarkan kredit dan sekaligus mengumpulkan cicilannya setiap hari. Walaupun bunganya sangat tinggi, yaitu sekitar 30%/bulan (360%/tahun), banyak masyarakat yang meminjam. Setelah ada proyek SAADP, masyarakat cenderung hanya meminjam dari UPKD. Sarana pendidikan yang tersedia di desa sampel adalah SDN yang jumlahnya 1-2 SD di masing-masing desa. Di Desa Tosale dan Towale terdapat juga Madrasah Tsanawiyah (setara SLTP). Khusus di Desa Towale terdapat juga Madrasah Ibtidaiyah (setara SD). Sebagian masyarakat mampu menyekolahkan anaknya hingga tingkat lanjutan pertama dan lanjutan atas, walaupun harus ke ibu kota kecamatan. Sementara sarana kesehatan yang tersedia di tingkat desa adalah puskesmas pembantu (pustu) di Desa Towale dan poliklinik desa (polindes) di tiga desa sampel lainnya. Puskesmas yang terletak di desa tetangga yaitu Desa Tolongano dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat di keempat desa sampel karena sarana transportasi tersedia dengan mudah dan lancar. 2. Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulteng Seperti halnya di Kabupaten Donggala, tiga desa SAADP (Oyom, Salugan, dan Dadakitan) dan satu desa kontrol (Tambun) di Kabupaten Tolitoli juga terletak di satu kecamatan, yaitu Kecamatan Baolan. Akses dari kota kabupaten/kecamatan ke Desa Dadakitan dan Desa Tambun relatif mudah. Sementara akses ke desa Salugan dan Oyom relatif lebih sulit karena berada di atas bukit dan jalannya sedang dalam perbaikan. Desa Oyom adalah desa sampel terjauh dari ibu kota kabupaten (32 km), sedangkan Desa Tambun merupakan desa sampel terdekat hanya berjarak sekitar 6 km. Perjalanan dari ibu kota kabupaten ke setiap desa sampel jika menggunakan kendaraan umum tidak lebih dari satu jam. Sarana angkutan umum antardesa, dan dari desa ke kecamatan/kabupaten adalah mobil penumpang (angkot) yang menjadi sarana transportasi penting bagi mereka yang ingin berbelanja atau berjualan, terutama ke Kota Tolitoli. Selain itu, sarana tranportasi lainnya adalah ojek, terutama untuk menghubungkan tempat-tempat yang sulit dilalui oleh kendaraan roda empat. Kondisi jalan desa umumnya berupa tanah berbatu. Sarana listrik juga telah masuk ke seluruh desa sampel sejak 2000. Sedangkan sarana air bersih untuk kebutuhan sehari-hari penduduk adalah mata air, sumur, dan sungai. Di keempat desa, air dari mata air sudah dialirkan ke pemukiman penduduk melalui pipa, khususnya di Desa Tambun tersedia pula sarana PDAM. Desa Dadakitan memiliki wilayah paling luas (157 km2) dibandingkan tiga desa sampel lainnya, yaitu: Desa Oyom (146 km2), Desa Salugan (68 km2) dan Desa Tambun (33 km2). Selain memiliki luas wilayah yang relatif paling sempit, Desa 118
Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tambun juga merupakan desa berpenduduk paling banyak (6.306 orang) dan terpadat (191 orang/km2). Sedangkan kepadatan penduduk di desa lainnya hanya kurang dari 16 orang/km2. Mata pencaharian utama penduduk desa adalah sebagai petani coklat, cengkeh maupun petani padi sawah. Dalam bertani, mereka tidak mengandalkan pada satu jenis tanaman, misalnya, selain memiliki kebun coklat, mereka juga bertanam tanaman perkebunan lainnya, sayur-mayur, kacang, jagung dan lain-lain. Selain sebagai petani, mata pencaharian lain yang banyak digeluti berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Di Desa Salugan, mata pencaharian alternatif penduduknya adalah sebagai tukang ojek, pencari batu, dan membuka kios. Sementara di Desa Oyom, sebagian penduduknya terutama para pendatang, bergerak di bidang industri meubel yang membuat lemari, tempat tidur, dan lain-lain. Khususnya di Desa Dadakitan, ojek menjadi mata pencaharian alternatif bagi para petani coklat/cengkeh sejak sekitar satu tahun terakhir. Bahkan, pada beberapa kasus, penghasilan dari mengojek lebih besar dari hasil pertanian. Selain itu, mereka yang tidak mempunyai lahan sendiri atau penghasilan dari lahan kebun tidak mencukupi biasanya bekerja sebagai buruh kebun coklat/cengkeh dan padi sawah dengan penghasilan yang sangat rendah. Banyak dari mereka yang kemudian mencari sumber pinjaman, salah satunya dari SAADP untuk membiayai pembukaan hutan/lahan untuk kemudian ditanami coklat, dengan harapan pendapatan mereka akan lebih meningkat. Kondisi alam/musim yang tidak menentu menjadi kendala utama dalam berusaha tani. Selama tahun 2003 dan awal tahun 2004, curah hujan di Kabupaten Tolitoli cukup tinggi dan merata yang menyebabkan terjadinya banjir dan merusak perkampungan dan perkebunan/persawahan. Pohon cengkeh/coklat terendam sehingga tidak bisa berbunga dan berbuah dengan baik dan kurangnya sinar matahari membuat mereka tidak bisa menjemur hasil kebun secara optimal. Sisa-sisa bencana banjir masih dapat terlihat ketika tim peneliti SMERU berkunjung ke daerah yang bersangkutan. Selain kendala musim dan bencana alam, kendala lain adalah masalah fluktuasi harga hasil pertanian terutama coklat dan cengkeh yang tidak menentu. Harga kedua jenis hasil kebun tersebut, di satu waktu bisa tinggi sekali, di lain waktu bisa rendah sekali dan hal ini membawa dampak tidak pastinya jumlah pendapatan keluarga. Jenis usaha yang berkembang cukup stabil adalah kios/warung. Kestabilan usaha ini menyebabkan kondisi rumah tangga pengelola kios jauh lebih baik dibandingkan dengan rumah tangga petani. Permasalahan kemudian muncul ketika jumlah orang yang berminat untuk mendirikan kios semakin banyak. Hal ini meningkatkan persaingan di antara mereka, sementara jumlah pembeli relatif tidak bertambah. Di antara empat desa sampel, jumlah usaha kios paling banyak ditemukan di Desa Salugan. Berbeda dengan skala kios di desa lain, kios di Desa Salugan lebih besar dan barang kebutuhan sehari-hari yang disediakan relatif lebih banyak. Hanya sebagian penduduk Desa Oyom mempunyai pengalaman memperoleh pinjaman//kredit dari lembaga formal, yaitu ke BRI unit desa. Padahal, di antara empat desa sampel, Desa Oyom berlokasi paling jauh dari ibu kota kabupaten.

119

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tampaknya jarak tidak menjadi masalah/penghambat dalam berhubungan dengan jasa perbankan. 3. Kabupaten Muna, Provinsi Sultra Desa yang terpilih sebagai lokasi penelitian di Kabupaten Muna adalah Kelurahan Wasolangka dan Desa Labulu-bulu, keduanya merupakan desa SAADP yang berada di wilayah Kecamatan Parigi, serta Desa Marobo (desa SAADP) dan Desa Wadolao (kontrol) yang letaknya bersebelahan berada di wilayah Kecamatan Bone. Sebelum dilakukan pemekaran wilayah pada awal tahun 2002, keempat desa sampel berada dalam satu wilayah Kecamatan Parigi, yang merupakan bagian dari Pulau Muna. Keempat desa sampel bercirikan daerah pantai, letaknya berbatasan dengan laut. Kelurahan Wasolangka berpenduduk sekitar 1.513 orang dengan luas wilayah 14,5 km2, merupakan daerah sampel paling luas dan paling banyak penduduknya dibanding tiga desa sampel lainnya. Kelurahan ini terletak di pusat Kecamatan Parigi, berjarak sekitar 55 km dari kota kabupaten, relatif paling dekat dibanding tiga desa sampel lainnya. Meskipun demikian, kesan sebagai daerah pedesaan masih melekat pada Kelurahan Wasolangka, sebagian besar penduduk masih menggunakan lampu tembok sebagai sumber penerangan, sedangkan penggunaan listrik masih terbatas. Jalan beraspal yang membelah kelurahan ini pun tampak lengang karena hanya dilalui mobil angkutan penumpang setiap 0.5 1 jam sekali, yang hanya beroperasi hingga sore hari, bahkan di luar hari pasar biasanya lebih sepi. Desa Labulu-bulu yang berjarak sekitar 7 km dari kota kecamatan atau 62 km dari kota kabupaten, merupakan desa yang baru dibentuk tahun 1993. Dibandingkan tiga desa/kelurahan sampel lainnya, desa ini memiliki luas dan jumlah penduduk yang relatif paling sedikit. Desa ini mulai berkembang tahun 2001 setelah semakin banyak berdatangan orang Jawa dan Bali2. Saat ini, Desa Labulu-bulu dibagi menjadi 3 dusun, 2 dusun ditempati oleh penduduk setempat (Muna) dan orang Jawa, serta satu dusun ditempati orang Bali. Penduduknya berjumlah 670 orang yang menempati wilayah seluas 5,5 km2 atau dengan kepadatan penduduk sekitar 122 orang/km2. Sarana transportasi yang tersedia berupa jalan tanah yang dikeraskan dengan batu yang pada saat hujan sulit untuk dilalui kendaraan kecil. Angkutan yang ada berupa angkutan umum roda 4 yang hanya tersedia pada saat hari pasar di desa tetangga (2 kali seminggu). Apabila mau ke kota, penduduk setempat biasanya menggunakan sarana transportasi berupa sepeda hingga ke pusat kecamatan untuk kemudian dilanjutkan dengan mobil angkutan umum. Desa Marobo terletak sekitar 26 km dari ibu kota kecamatan sebelumnya (Parigi) tetapi setelah pemecahan kecamatan, desa ini menjadi pusat kota Kecamatan Bone. Dari kota kabupaten ia berjarak sekitar 81 km yang dihubungkan dengan jalan beraspal yang kondisinya banyak yang rusak. Desa ini dapat dicapai dengan menggunakan mobil umum yang ketersediaannya sangat terbatas. Desa seluas 12,3
2

Pembentukan desa ini dirintis oleh 10 orang sarjana yang masih muda untuk dijadikan daerah pemukiman karena pertimbangan kesuburan lahannya. Wilayah ini sebelumnya merupakan daerah kosong di pinggir pantai. Karena dirintis oleh anak-anak muda, desa ini dikenal dengan nama Karang Taruna Labulu-bulu. Desa ini diresmikan oleh Hayono Isman yang saat itu menjabat sebagai Menpora. Kunjungan tersebut sekaligus dimanfaatkan sebagai promosi kepada masyarakat untuk membuka dan menempati wilayah tersebut.

120

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

km2 ini berpenduduk sekitar 930 orang atau dengan kepadatan 75 orang/km2. Sedangkan luas wilayah Desa Wadolao 8,79 km2, berpenduduk sekitar 948 orang atau dengan kepadatan 108 orang/km2. Prasarana transportasi yang tersedia di desa ini berupa jalan batu dari kota Kecamatan Bone yang berjarak 7 km. Kendaraan umum roda empat biasanya hanya tersedia pada hari pasar saja. Di keempat desa sampel, mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah sebagai petani dan sebagian kecil nelayan. Sebagian penduduk juga mempunyai mata pencaharian tambahan sebagai pedagang, tukang/buruh, ojek, pembuat terasi, pembuat atap rumbia, atau penebang kayu di hutan. Sebagian besar penduduk Kelurahan Wasolangka, Desa Marobo dan Wadolao merupakan petani tanaman pangan, terutama jagung, dan tanaman perkebunan, khususnya jambu mete. Dalam mengelola usaha taninya, sebagian besar penduduk ketiga desa ini belum mengenal penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan obat-obatan, tetapi hanya mengandalkan keramahan alam. Khusus untuk usaha tani tanaman pangan, mereka melakukan kegiatan rotasi lahan3 supaya dapat mempertahankan tingkat produksi. Sementara penduduk Desa Labulu-bulu umumnya bermata pencaharian sebagai petani padi ladang dan tanaman semusim. Karena pengaruh orang Jawa dan Bali, sistem pertanian di desa ini sudah mengenal penggunaan pupuk dan pestisida, serta bertani secara menetap. Mereka juga menanam tanaman buah-buahan seperti jeruk dan rambutan di lahan pekarangannya. Menurut kepala desa, penduduk desa ini umumnya mempunyai lahan garapan 1 2 ha4. Sementara itu, penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan umumnya hanya menggunakan perlengkapan melaut yang sederhana dengan daya jangkau yang tidak begitu jauh. Selain kesamaan dalam mata pencaharian penduduk, berdasarkan hasil pengamatan visual dan wawancara dengan berbagai responden, keempat desa sampel memiliki kesamaan karakteristik sosial ekonomi lainnya. Kondisi rumah penduduk relatif sama, umumnya berupa rumah panggung berlantai dan berdinding papan dengan atap dari daun/rumbia atau seng. Sumber air untuk keperluan sehari-hari berasal dari sumur timba, baik milik sendiri maupun tetangga. Fasilitas MCK yang tersedia sangat sederhana dan terletak di luar rumah. Sumber penerangan umumnya berupa lampu tembok, dan menggunakan kayu sebagai bahan bakar memasak. Hasil usaha tani palawija umumnya digunakan untuk kebutuhan konsumsi langsung, sedangkan hasil perkebunan biasanya dijual ke pedagang perantara setempat. Selain hasil perkebunan,
3

Gambaran proses siklus rotasi lahan: setelah lahan (lahan baru/tidur atau lahan perkebunan yang tidak/kurang produktif) dibuka, biasanya ditanami tanaman palawija dan atau tumpang sari dengan jambu mete. Setelah lahan dirasakan kurang subur (biasanya setelah 2 3 kali musim/tahun tanam) penggarap meninggalkan lahan tersebut untuk kemudian membuka lahan baru lagi. Apabila lahan tersebut tidak ditanami tanaman perkebunan, minimal 5 tahun kemudian akan dibersihkan dan ditanami kembali dengan tanaman palawija. Namun jika lahan ditanami tanaman perkebunan, akan dibiarkan sebagai lahan perkebunan hingga tanamannya tidak produktif lagi. Dengan sistem rotasi tersebut, sebuah keluarga paling tidak harus memiliki 3 bidang lahan untuk tanaman pangan. Apabila tidak atau karena lahan ditanami tanaman perkebunan, biasanya mereka merambah ke lahan tidur. Luas lahan garapan tanaman pangan untuk satu keluarga biasanya berkisar antara 0,5 hingga 1 ha, meskipun kemungkinan meningkatkan luas lahan cukup terbuka karena masih tersedianya lahan tidur yang cukup luas, namun mereka dibatasi oleh ketersediaan tenaga kerja yang umumnya hanya menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Masyarakat dapat meminta tambahan lahan garapan kepada kepala desa apabila lahan yang mereka kuasai sudah digarap dengan baik. Kepala desa akan memberikan prioritas kepada penduduk yang hanya mempunyai lahan garapan 1 ha dan akan membatasi hingga 3 ha saja.

121

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

mereka juga menjual hasil kebun lainnya seperti pisang, buah sirsak, dan ubi jalar, serta ternak ayam ke pasar terdekat pada saat hari pasar. Pola konsumsi masyarakat umumnya adalah: nasi/jagung, sayuran dan ikan seadanya. Apabila tersedia cukup uang, mereka makan nasi sebagai makanan pokok tetapi bila tidak, diganti dengan jagung atau ubi kayu. Sayuran untuk konsumsi sehari-hari diperoleh dari kebun sendiri atau meminta dari tetangga. Ketiga desa SAADP juga memperoleh dana Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Apabila SAADP dapat dipinjam oleh berbagai bidang usaha, termasuk pertanian, khususnya pada awal pelaksanaan proyek, PPK umumnya hanya dipinjamkan kepada mereka yang mempunyai penghasilan harian atau tetap, seperti pedagang dan pegawai. PPK juga diprioritaskan bagi mereka yang bukan peserta SAADP. Khusus di Kelurahan Wasolangka, terdapat koperasi keliling dari luar kelurahan yang memberikan pinjaman kepada pedagang, pembuat terasi dan nelayan. Besarnya pinjaman relatif kecil, biasanya berkisar Rp100.000 Rp200.000, dengan tingkat bunga 20% per bulan yang pengembaliannya dicicil setiap hari selama satu bulan. Sementara di Desa Labulu-bulu terdapat proyek bantuan sapi bergulir dari Dinas Pertanian sebanyak 90 ekor yang dipinjamkan kepada masyarakat paling banyak 4 ekor per KK. Masyarakat di keempat desa sampel, dapat mengakses pinjaman dari lembaga perbankan (biasanya BRI), koperasi tertentu (misal, koperasi pegawai) dan dealer motor, yang terdapat di kota kecamatan lain atau di kota kabupaten. Biasanya pinjaman seperti ini hanya dapat diakses oleh mereka yang mempunyai penghasilan tetap, seperti pegawai negeri dan pensiunan. Pinjaman lain yang tersedia di semua desa adalah pinjaman informal dari saudara, teman, atau tetangga. 4. Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) 5, Provinsi Sultra Mengingat sulitnya mendapatkan desa kontrol dalam satu wilayah kecamatan, lokasi desa kontrol berbeda kecamatan dengan desa SAADP. Desa SAADP yang terdiri dari Desa Amohola, Desa Tambosupa, dan Desa Lamokula berada di wilayah Kecamatan Moramo6, sementara Desa Lamotau (kontrol) berada di Kecamatan Kolono. Kecamatan Moramo terletak di bagian tenggara Kota Kendari, jarak dari ibu kota kabupaten ke ibu kota kecamatan kurang lebih 50 km. Semua desa sampel SAADP terletak di jalur jalan kabupaten beraspal yang menghubungkan Kota Kendari dengan
5

Sejak tahun 2003 Kabupaten Kendari dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan, dan nama 'Kendari' sekarang hanya digunakan untuk nama Kota Kendari, ibu kota Propinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Konawe beribu kota Unaaha yang sebelumnya merupakan ibu kota Kabupaten Kendari, jaraknya sekitar 70 km dari Kota Kendari ke arah barat daya. Sedang Kabupaten Konawe Selatan beribu kota Andoolo, yang jaraknya sekitar 60 km ke arah selatan Kota Kendari. Kecamatan Moramo dan Kolono yang menjadi daerah sampel termasuk dalam wilayah Kabupaten Konawe Selatan. Kecamatan Moramo juga telah dimekarkan menjadi dua kecamatan yaitu Moramo dan Laonti. Kecamatan Moramo terdiri dari 22 desa, 18 desa di antaranya telah mendapat SAADP. Wilayah kecamatan ini berada di daratan yang sebagian merupakan wilayah pantai. Sementara Kecamatan Laonti terdiri dari 18 desa dan hanya 2 desa yang telah mendapat program SAADP. Semua desa di wilayah ini berbatasan langsung dengan pantai.

122

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

ibu kota Kecamatan Moramo dan Kolono. Kondisi jalan ke arah Kolono sebagian belum beraspal, berbatu dan berbukit terjal. Jarak Moramo-Kolono kurang lebih 40 km ke arah selatan. Perjalanan dari Kendari ke Moramo dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 1 jam 30 menit, sedang Moramo-Kolono sekitar satu jam perjalanan yang dapat ditempuh dengan kendaraan angkot atau bus Damri. Desa Tambosupa memiliki luas wilayah 41 km2, terdiri dari 3 dusun dengan jumlah penduduk sekitar 689 orang. Desa Amohola luasnya 65 km2, terdiri dari 3 dusun dengan jumlah penduduk sekitar 728 orang. Sedangkan Desa Lamokula memiliki luas wilayah 55 km2, terdiri dari 4 dusun dengan jumlah penduduk sekitar 784 orang. Desa Lamokula merupakan desa pemekaran dari Desa Amohola, dan Desa Amohola kemudian dimekarkan lagi menjadi desa Wawodengi sehingga ketiga desa sampel tersebut terletak berdekatan. Jarak ketiga desa sampel ke ibu kota kecamatan hanya sekitar 3 km, dapat ditempuh dengan kendaraan angkot atau bus. Desa kontrol Lamotau di Kecamatan Kolono berjarak sekitar 2 km dari ibu kota kecamatan. Jarak ke ibu kota kabupaten apabila ditempuh dengan kendaraan umum sekitar 100 km, meskipun sebenarnya ada jalan pintas yang jaraknya hanya sekitar 10 km, namun kondisi jalan dalam keadaan rusak berat. Desa ini terdiri dari 3 dusun dengan luas wilayah sekitar 48 km2 dan jumlah penduduk hanya sekitar 378 orang. Keempat desa sampel memiliki kesamaan dan sekaligus juga perbedaan dalam hal mata pencaharian penduduknya. Kesamaannya adalah bahwa sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian di bidang perkebunan rakyat, seperti tanaman coklat, jambu mete dan kelapa, sebagian beternak sapi potong, membuat tepung sagu, atau membuka warung sembako. Perbedaannya adalah penduduk di Desa Tambosupa memiliki areal sawah tadah hujan yang ditanami padi di musim hujan atau kedelai/kacang hijau di musim kemarau. Areal sawahnya berada di sekitar perkampungan desa sehingga penduduknya banyak berada di tempat. Penduduk Desa Amohola tidak memiliki sawah, tetapi memiliki lahan ladang yang jaraknya kurang lebih 3-5 km dari desa. Mereka biasanya tinggal di ladang bersama isterinya dan pulang ke desa hanya seminggu sekali untuk melakukan sholat Jum'at. Ladang umumnya ditanami padi ladang dan kedelai. Sedang penduduk desa Lamokula memiliki usaha memecah batu gunung yang ada di sekitarnya, dan hanya sebagian kecil yang berladang. Sebagian penduduk mencari kayu di hutan untuk bahan bangunan yang dilakukan berdasarkan izin tebang yang diperoleh dari pemda ataupun melakukan penebangan liar. Wilayah Desa Lamotau terletak di pinggir gunung yang sebagian penduduknya masih berladang. Mereka membuka hutan dengan izin Kepala Desa yang kemudian ditanami coklat. Sebagian penduduk mencari rotan atau kayu di hutan untuk bahan bangunan. Sekitar Juli 2003, di desa telah dibangun perusahaan penggergajian kayu (sawmill) oleh pengusaha dari Kota Kendari. Sebagian anggota masyarakat bekerja di perusahaan tersebut, sebagai penggergaji, penebang, dan pengangkut kayu dari hutan. Perusahaan tersebut memiliki izin tebang dari pemda yang juga membeli kayu (hasil curian) dari masyarakat. Menurut informasi, kayu yang ditebang tersebut sebagian merupakan tanaman kayu jati hasil reboisasi hutan puluhan tahun yang lalu, dan sebagian lagi merupakan kayu (curian) yang berasal dari Kabupaten Muna.

123

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Selama 5 tahun terakhir ini, produksi usaha perkebunan rakyat (coklat dan jambu mete) di Kecamatan Moramo mengalami penurunan. Bagi masyarakat setempat, periode 1998 - 1999 dinilai sebagai masa keemasan perkebunan coklat dan jambu mete, baik dari segi harga maupun hasil produksi. Sedangkan pada periode setelahnya dinilai sebagai kemunduran. Beberapa informasi menyebutkan bahwa turunnya produksi jambu mete disebabkan tanaman sudah tua yang seharusnya sudah diremajakan. Sebagian lain menyebutkan karena kurangnya perawatan sebagai akibat dari harga komoditas yang rendah. Tanaman umumnya tidak pernah dipupuk karena tanahnya dianggap masih subur, serta jarang dibersihkan karena biayanya cukup besar. Sedang penurunan hasil tanaman coklat terutama disebabkan oleh adanya hama yang merusak buah. Saat ini sebagian petani mulai enggan beternak sapi karena ada peraturan bahwa apabila ternaknya merusak tanaman orang lain, maka peternak akan dikenai hukuman denda, mengingat sistem pemeliharaan ternak umumnya dilepas, tidak dikandangkan. Kasus di satu desa Tambosupa, besarnya denda Rp 25.000 ditambah dengan ganti rugi sesuai besarnya kerusakan yang terjadi. Selain ternak, babi hutan adalah pengganggu dan perusak kebun atau ladang petani sehingga mereka harus memagarnya. Seorang pekebun di Desa Amohola menanam 200 pohon kelapa, namun yang hidup hanya sekitar 50 pohon karena sebagian besar dirusak sapi atau babi hutan. Responden yang ditemui tidak banyak yang memperoleh kredit di luar SAADP. Beberapa responden meminjam uang kepada koperasi (rentenir) di Kecamatan Moramo dalam jumlah kecil berjangka waktu 1 bulan, dan dengan sistem pembayaran secara harian (bunga 20% per bulan). Sebagian kecil, umumnya pegawai, meminjam uang ke bank untuk biaya pembangunan rumah (KPR), atau kredit motor. Sebagian kecil lainnya meminjam uang dari warung atau keluarga dengan bunga sebesar 5-10% per bulan.

124

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 1.1. Alokasi Dana SAADP di Desa Sampel


Kabupaten/ Kecamatan 1 Konsel / Moramo Desa Sampel Amohola Tahun Anggaran Jumlah 1999/2000 2000 Jumlah 2000 2001 Jumlah 2001 Jumlah 1999/2000 2002 Jumlah 2000 2001 Jumlah 2000 Jumlah 2000 2002 Jumlah 2000 2002 Jumlah 2000 2003 Jumlah 2000 2001 Jumlah 2000 2001 Jumlah 2000 2001 Sumber data: Pimpro klaster Pengurus UPKD 3 Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah.
2 1

Tambosupa

Lamokula Muna / Parigi


2

Wasolangka

Labulu-bulu

Dana Pinjaman 143.699.70 0 87.300.000 56.399.700 137.500.00 0 78.000.000 59.500.000 68.000.000 68.000.000 150.000.00 0 70.000.000 80.000.000 83.800.000 7.800.000 76.000.000 52.900.000 52.900.000 192.000.00 0 97.000.000 95.000.000 192.000.00 0 97.000.000 95.000.000 96.000.000 48.500.000 47.500.000 tad tad tad tad tad tad tad tad tad

Dana P4-IMS 20.142.750 0 20.142.750 28.750.000 7.500.000 21.250.000 22.250.000 22.250.000 35.850.000 18.850.000 17.000.000 58.700.000 58.700.000 0 13.600.000 13.600.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 tad tad tad tad tad tad tad tad tad

Dana BOP 6.728.550 2.700.000 4.028.550 8.750.000 4.500.000 4.250.000 4.750.000 4.750.000 6.500.000 2.500.000 4.000.000 7.500.000 3.500.000 4.000.000 3.500.000 3.500.000 8.000.000 3.000.000 5.000.000 8.000.000 3.000.000 5.000.000 4.000.000 1.500.000 2.500.000 tad tad tad tad tad tad tad tad tad

Total 170.571.00 0 90.000.000 80.571.000 175.000.00 0 90.000.000 85.000.000 95.000.000 95.000.000 192.350.00 0 91.350.000 101.000.000 150.000.00 0 70.000.000 80.000.000 70.000.000 70.000.000 200.000.00 0 100.000.000 100.000.000 200.000.00 0 100.000.000 100.000.000 100.000.00 0 50.000.000 50.000.000 159.566.90 0 67.066.900 92.500.000 173.859.10 0 78.859.100 95.000.000 172.688.55 0 77.688.550 95.000.000

Marobo Donggala / Banawa


2

Salubomba

Surumana

Tosale

Tolitoli / Baolan

Oyom

Salugan

Dadakitan

125

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 4.1. Pinjaman SAADP yang Realisasinya Lebih Kecil dari Pengajuan (%)
Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Proporsi N Proporsi N 5,0 20 27,2 70 Modal Usaha Tani (22,4) (44,8) 15,8 19 0 Modal Usaha Nelayan (37,5) Modal Usaha 12,5 8 20 10 Peternakan (35,4) (42,2) 26,1 23 25,0 4 Modal Usaha Industri (44,9) (50,0) 10,4 67 16,2 37 Modal Usaha dagang (30,8) (37,4) 0,0 6 0,0 1 Modal Usaha Lain (0,0) (0,0) Perbaikan/pembangun 0,0 1 40 7 an rumah (0,0) (54,8) Membuka Lahan 0 0,0 1 Tidur (0,0) 144 130 N Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Jenis Usaha/Kegiatan Total Proporsi N 22,2 90 (41,8) 15,8 19 (37,5) 16,7 18 (38,4) 25,9 27 (44,7) 12,5 104 (33,2) 0,0 7 (0,0) 25,0 8 (46,3) 0,0 1 (0,0) 274 Muna Proporsi 63,3 (48,7) 40,0 (54,8) 38,5 (50,6) 0,0 (0,0) 13,1 (34,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 71,4 (48,8) Sulawesi Tenggara Konsel Total Proporsi N Proporsi 67,3 55 65,4 (47,4) (47,8) 100,0 1 50,0 (0,0) (54,8) 90,9 11 62,5 (30,2) (49,4) 53,3 15 47,1 (51,6) (51,4) 69,6 23 28,6 (47,0) (45,4) 69,2 13 52,9 (48,0) (51,4) 0 0 0,0 (0,0) 0 0 71,4 (48,8) 118 Total N 104 6 24 17 84 17 24 7 283 Proporsi 45,4 (49,9) 24,0 (43,6) 42,9 (50,1) 34,1 (48,0) 19,7 (39,9) 37,5 (49,4) 6,3 (24,6) 62,5 (51,8) N 194 25 42 44 188 24 32 8 557

N 49 5 13 2 61 4 24 7 165

126

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.1. Proporsi Frekuensi Pinjaman SAADP Berdasarkan Jenis Kegiatan yang Dibiayai (%)
Jenis Kegiatan/Usaha Pengajuan:
- Modal usaha tani - Modal usaha nelayan - Modal usaha peternakan/perikanan - Modal usaha industri - Modal usaha dagang - Modal usaha lain - Membuka lahan tidur - Membeli/memperbaiki peralatan - Biaya sekolah - Biaya kesehatan - Perbaikan/pembangunan rumah - Konsumsi - Biaya TKI 13,9 (34,7) 13,2 (34,0) 5,6 (23,0) 16,0 (36,8) 46,5 (50,0) 4,2 (20,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 2,1 (14,3) 0,0 (0,0) 0,7 (8,3) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 16,0 (36,8) 13,2 (34,0) 5,6 (23,0) 16,7 (37,4) 46,5 (50,0) 3,5 (18,4) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 4,9 (21,6) 2,8 (16,5) 4,9 (21,6) 2,8 (16,5) 0,0 (0,0) 55,4 (49,9) 0,0 (0,0) 7,7 (26,8) 4,6 (21,1) 33,1 (47,2) 1,5 (12,4) 0,8 (8,8) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,8 (8,8) 3,8 (19,3) 0,8 (8,8) 0,0 (0,0) 60,0 (49,2) 0,0 (0,0) 6,9 (25,5) 5,4 (22,7) 33,8 (47,5) 1,5 (12,4) 1,5 (12,4) 0,8 (8,8) 0,0 (0,0) 2,3 (15,1) 4,6 (21,1) 3,8 (19,3) 0,0 (0,0) 33,6 (47,3) 6,9 (25,5) 6,6 (24,8) 10,6 (30,8) 40,1 (49,1) 2,9 (16,9) 0,4 (6,0) 0,0 (0,0) 1,1 (10,4) 0,4 (6,0) 2,2 (14,7) 0,4 (6,0) 0,0 (0,0) 36,9 (48,3) 6,96 (25,5) 6,2 (24,2) 11,3 (31,7) 40,5 (49,2) 2,6 (15,8) 0,7 (8,5) 0,4 (6,0) 2,6 (15,8) 2,6 (15,8) 4,7 (21,3) 3,3 (17,9) 0,0 (0,0) 29,7 (45,8) 3,0 (17,2) 9,7 (29,7) 1,8 (13,4) 37,6 (48,6) 3,6 (18,8) 7,3 (26,0) 0,6 (7,8) 10,3 (30,5) 1,2 (11,0) 2,4 (15,4) 1,2 (11,0) 0,6 (7,8) 28,5 (45,3) 3,0 (17,2) 10,3 (30,5) 1,8 (13,4) 33,9 (47,5) 4,8 (21,5) 7,9 (27,0) 0,6 (7,8) 10,9 (31,3) 1,2 (11,0) 7,9 (27,0) 3,6 (18,8) 0,6 (7,8) 45,8 (50,0) 0,8 (9,2) 9,3 (29,2) 12,7 (33,5) 19,5 (39,8) 11,0 (31,4) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 53,4 (50,1) 0,0 (0,0) 5,9 (23,7) 12,7 (33,5) 16,1 (36,9) 10,2 (30,4) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 6,8 (25,2) 1,7 (13,0) 1,7 (13,0) 4,2 (20,2) 0,0 (0,0) 36,4 (48,2) 2,1 (14,4) 9,5 (29,4) 6,4 (24,4) 30,0 (45,9) 6,7 (25,1) 4,2 (20,2) 0,4 (5,9) 6,0 (23,8) 0,7 (8,4) 1,4 (11,8) 0,7 (8,4) 0,4 (20,2) 38,9 (48,8) 1,8 (13,2) 8,5 (27,9) 6,4 (24,4) 26,5 (44,2) 7,1 (25,7) 4,6 (21,0) 0,4 (5,9) 9,2 (28,9) 1,4 (11,8) 5,3 (22,4) 3,9 (19,4) 0,4 (5,9) 35,0 (47,7) 4,5 (20,7) 8,1 (27,3) 8,4 (27,8) 35,0 (47,7) 4,8 (21,5) 2,3 (15,1) 0,2 (0,2) 3,6 (18,6) 0,5 (7,3) 1,8 (13,3) 0,5 (7,3) 0,2 (4,2) 37,9 (48,6) 4,3 (20,3) 7,4 (26,1) 8,8 (28,4) 33,4 47,2) 4,8 (21,5) 2,7 (16,2) 0,4 (6,0) 5,9 (23,6) 2,0 (13,9) 5,0 (21,9) 3,6 (18,6) 0,2 (4,2)

Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total

Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total

Total

Penggunaan:
- Modal usaha tani - Modal usaha nelayan - Modal usaha peternakan/perikanan - Modal usaha industri - Modal usaha dagang - Modal usaha lain - Membuka lahan tidur - Membeli/memperbaiki peralatan - Biaya sekolah - Biaya kesehatan - Perbaikan/pembangunan rumah - Konsumsi - Biaya TKI

N Pinjaman kredit SAADP 144 130 274 165 Catatan:-Angka dalam kurung adalah standar deviasi. -Responden dapat menjawab lebih dari satu pilihan jawaban.

118

283

557

127

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel lampiran 8.2. Proporsi Rumah Tangga Berdasarkan Perubahan Jumlah/Jenis Usaha (%)
Perubahan Jumlah/Jenis Usaha Rumah tangga SAADP: Bertambah Tetap Berkurang Berubah jenisnya N Rumah tangga kontrol: Bertambah Tetap Berkurang Berubah jenisnya N Selisih SAADP dan kontrol: -8,7 1,0 -3,9 9,1 9,3 9,3 2,7 (7,2) (7,6) (5,2) (8,4) (6,4) (5,5) (3,8) 9,1 16,7 12,7* 2,4 0,0 1,1 6,9 Tetap (3,9) (8,5) (6,0) (8,6) (8,1) (6,0) (4,2) 3,3 2,9 3,1 -5,8 2,1 -1,9 0,7 Berkurang (4,1) (4,3) (3,0) (4,0) (3,6) (2,7) (2,0) -3,7 -20,6** -12,0** -5,8 -11,4* -8,6* -10,3** Berubah jenisnya (5,7) (6,5) (4,3) (4,0) (5,4) (3,4) (2,8) Catatan:-Angka dalam kurung adalah standar deviasi, khusus pada selisih adalah standar error. -** signifikan pada tingkat 1 persen. - * signifikan pada tingkat 5 persen. Bertambah 27,3 (44,9) 52,7 (50,4) 5,5 (22,9) 14,5 (35,6) 55 25,5 (44,0) 43,1 (50,0) 5,9 (23,8) 25,5 (44,0) 51 26,4 (44,3) 48,1 (50,2) 5,7 (23,2) 19,8 (40,0) 106 38,5 (49,1) 46,1 (50,3) 7,7 (26,9) 7,7 (26,9) 52 13,5 (34,5) 67,3 (47,4) 3,8 (19,4) 15,4 (36,4) 52 26,0 (44,1) 56,7 (49,8) 5,8 (23,4) 11,5 (32,1) 104 26,2 (44,1) 52,4 (50,1) 5,7 (23,3) 15,7 (36,5) 210 18,6 (39,1) 61,8 (48,8) 8,8 (28,4) 10,8 (31,2) 102 26,5 (44,3) 59,8 (49,3) 8,8 (28,4) 4,9 (21,7) 102 22,5 (41,9) 60,8 (48,9) 8,8 (28,4) 7,8 (27,0) 204 47,6 (50,2) 48,5 (50,2) 1,9 (13,9) 1,9 (13,9) 103 22,8 (42,1) 67,3 (47,1) 5,9 (23,8) 4,0 (19,6) 101 35,3 (47,9) 57,8 (49,5) 3,9 (19,5) 2,9 (16,9) 204 28,9 (45,4) 59,3 (49,2) 6,4 (24,5) 5,4 (22,6) 408 Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total Total

128

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.3a. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Perubahan Kondisi Fasilitas Tempat Tinggal (%)
Kondisi Fasilitas Tempat Tinggal Kondisi atap rumah: Membaik Tetap Memburuk Jenis dinding terluas: Membaik Tetap Memburuk Jenis lantai terluas: Membaik Tetap Memburuk Luas bangunan: 22,5 (42,0) 75,5 Tetap (43,2) 2,0 Berkurang (13,9) Sumber penerangan utama: 16,7 Membaik (37,5) 82,3 Tetap (38,3) 1,0 Memburuk (9,9) Jenis bahan bakar utama: 13,7 Membaik (34,6) 84,3 Tetap (36,5) 2,0 Memburuk (13,9) Sumber air minum dan memasak: 5,9 Membaik (23,6) 94,1 Tetap (23,6) 0,0 Memburuk (0,0) Bertambah 26,5 (44,3) 73,5 (44,3) 0,0 (0,0) 44,1 (49,9) 54,9 (50,0) 1,0 (9,9) 22,5 (42,0) 75,5 (43,2) 2,0 (13,9) 11,8 (32,4) 84,3 (36,5) 3,9 (19,5) 24,5 (43,1) 74,5 (43,7) 1,0 (9,9) 30,4 (46,1) 68,6 (46,5) 1,0 (9,9) 18,1 (38,6) 79,9 (40,2) 2,0 (13,9) 8,8 (28,4) 89,2 (31,1) 2,0 (13,9) 9,7 (29,8) 88,3 (32,2) 1,9 (13,9) 7,8 (26,9) 92,2 (26,9) 0,0 (0,0) 9,7 (29,8) 89,3 (31,0) 1,0 (9,9) 1,9 (13,9) 98,1 (13,9) 0,0 (0,0) 10,9 (31,3) 88,1 (32,5) 1,0 (10,0) 15,8 (36,7) 84,2 (36,7) 0,0 (0,0) 7,9 (27,1) 92,1 (27,1) 0,0 (0,0) 3,0 (17,1_ 78,2 (41,5) 18,8 (39,3) 10,3 (30,5) 88,2 (32,3) 1,5 (12,1) 11,8 (32,3) 88,2 (32,3) 0,0 (0,0) 8,8 (28,4) 90,7 (29,1) 0,5 (7,0) 2,5 (15,5) 88,2 (32,3) 9,3 (29,1) 17,4 (38,0) 81,4 (39,0) 1,2 (11,0) 21,1 (40,8) 78,4 (41,2) 0,5 (7,0) 13,5 (34,2) 85,3 (35,5) 1,2 (11,0) 5,6 (23,1) 88,7 (31,7) 5,6 (23,1) 6,9 (25,4) 91,1 (28,5) 2,0 (13,9) 11,8 (32,4) 88,2 (32,4) 0,0 (0,0) 9,3 (29,1) 89,7 (30,5) 1,0 (9,9) 5,8 (23,5) 94,2 (23,5) 0,0 (0,0) 5,0 (21,8) 95,0 (21,8) 0,0 (0,0) 5,4 (22,6) 94,6 (22,6) 0,0 (0,0) 7,3 (26,1) 92,2 (26,9) 0,5 (7,0) 14,7 (35,6) 83,3 (37,5) 2,0 (13,9) 3,9 (19,5) 96,1 (19,5) 0,0 (0,0) 9,3 (29,1) 89,7 (30,5) 1,0 (9,9) 1,0 (9,9) 99,0 (9,9) 0,0 (0,0) 7,9 (27,1) 92,1 (27,1) 0,0 (0,0) 4,4 (20,6) 95,6 (20,6) 0,0 (0,0) 6,9 (25,3) 92,6 (26,1) 0,5 (7,0) Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 11,8 (32,4) 83,3 (37,5) 4,9 (21,7) 3,9 (19,5) 88,2 (32,4) 7,8 (27,0) 7,8 (27,0) 85,8 (35,0) 6,4 (24,5) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 17,5 (38,2) 81,5 (39,0) 1,0 (9,9) 5,9 (23,8) 94,1 (23,8) 0,0 (0,0) 11,8 (32,3) 87,7 (32,9) 0,5 (7,0) Total

9,8 (29,8) 86,8 (33,9) 3,4 (18,2)

129

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.3a. (lanjutan)


Kondisi Fasilitas Sulawesi Tengah Tempat Tinggal Donggala Tolitoli Total Sumber air untuk mandi, cuci dan kakus (MCK): 5,9 10,8 8,3 Membaik (23,6) (31,2) (27,7) 94,1 88,2 91,2 Tetap (23,6) (32,4) (28,4) 0,0 1,0 0,5 Memburuk (0,0) (9,9) (7,0) Jenis fasilitas MCK: 3,9 8,8 6,4 Membaik (19,5) (28,5) (24,5) 95,1 91,2 93,1 Tetap (21,7) (28,5) (25,3) 1,0 0,0 0,5 Memburuk (9,9) (0,0) (7,0) 102 102 204 N Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 2,9 (16,9) 97,1 (16,9) 0,0 (0,0) 3,9 (19,4) 96,1 (19,4) 0,0 (0,0) 103 3,0 (17,1) 81,2 (39,3) 15,8 (36,7) 1,0 (10,0) 98,0 (14,0) 1,0 (10,0) 101 2,9 (16,9) 89,2 (31,1) 7,8 (27,0) 2,4 (15,5) 97,1 (16,9) 0,5 (7,0) 204 Total 5,6 (23,1) 90,2 (30,0) 4,2 (20,0) 4,4 (20,6) 95,1 (21,6) 0,5 (7,0) 408

130

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.3b. Proporsi Rumah Tangga Kontrol Berdasarkan Perubahan Kondisi Fasilitas Tempat Tinggal (%)
Kondisi Fasilitas Tempat Tinggal Kondisi atap rumah: Membaik Tetap Memburuk Jenis dinding terluas: Membaik Tetap Memburuk Jenis lantai terluas: Membaik Tetap Memburuk Luas bangunan: 16,4 (37,3) 81,8 Tetap (38,9) 1,8 Berkurang (13,5) Sumber penerangan utama: 10,9 Membaik (31,5) 89,1 Tetap (31,5) 0,0 Memburuk (0,0) Jenis bahan bakar utama: 12,7 Membaik (33,6) 87,3 Tetap (33,6) 0,0 Memburuk (0,0) Sumber air minum dan memasak: 0,0 Membaik (0,0) 96,4 Tetap (18,9) 3,6 Memburuk (18,9) Bertambah 11,8 (32,5) 80,4 (40,1) 7,8 (27,2) 35,3 (48,3) 64,7 (48,3) 0,0 (0,0) 15,7 (36,7) 84,3 (36,7) 0,0 (0,0) 17,6 (38,5) 76,5 (42,8) 5,9 (23,8) 14,2 (35,0) 81,1 (39,3) 4,7 (21,3) 22,6 (42,0) 77,4 (42,0) 0,0 (0,0) 14,2 (35,0) 85,8 (35,0) 0,0 (0,0) 8,5 (28,0) 86,8 (34,0) 4,7 (21,3) 5,8 (23,5) 92,3 (26,9) 1,9 (13,9) 15,4 (36,4) 84,6 (36,4) 0,0 (0,0) 3,8 (19,4) 96,2 (19,4) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 100,0 (0,0) 0,0 (0,0) 19,2 (39,8) 76,9 (42,5) 3,9 (19,4) 25,0 (43,7) 69,2 (46,6) 5,8 (23,5) 1,9 (13,9) 98,1 (13,9) 0,0 (0,0) 3,8 (19,4) 90,4 (29,8) 5,8 (23,5) 12,5 (33,2) 84,6 (36,3) 2,9 (16,8) 20,2 (40,3) 76,9 (42,3) 2,9 (16,8) 2,9 (16,8) 97,1 (16,8) 0,0 (0,0) 1,9 (13,8) 95,2 (21,5) 2,9 (16,8) 13,3 (34,1) 82,9 (37,8) 3,8 (19,2) 21,4 (41,1) 77,2 (42,1) 1,4 (11,9) 8,6 (28,1) 91,4 (28,6) 0,0 (0,0) 5,2 (22,3) 91,0 (28,8) 3,8 (19,2) 5,5 (22,9) 94,5 (94,5) 0,0 (0,0) 5,9 (23,8) 88,2 (32,5) 5,9 (23,8) 5,7 (23,2) 91,5 (28,0) 2,8 (16,7) 1,9 (13,9) 98,1 (13,9) 0,0 (0,0) 19,2 (39,8) 71,2 (45,7) 9,6 (29,8) 10,6 (30,9) 84,6 (36,3) 4,8 (21,5) 8,1 (27,3) 88,1 (32,5) 3,8 (19,2) 10,9 (31,5) 89,1 (31,5) 0,0 (0,0) 2,0 (14,0) 98,0 (14,0) 0,0 (0,0) 6,6 (25,0) 93,4 (25,0) 0,0 (0,0) 1,9 (13,9) 98,1 (13,9) 0,0 (0,0) 11,5 (32,3) 82,7 (38,2) 5,8 (23,5) 6,7 (25,2) 90,4 (29,6) 2,9 (16,8) 6,7 (25,0) 91,9 (27,3) 1,4 (11,9) Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 3,6 (18,9) 96,4 (18,9) 0,0 (0,0) 9,8 (30,0) 78,4 (41,5) 11,8 (32,5) 6,6 (25,0) 87,7 (33,0) 5,7 (23,2) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 19,2 (39,8) 80,8 (39,8) 0,0 (0,0) 5,8 (23,5) 94,2 (23,5) 0,0 (0,0) 12,5 (33,2) 87,5 (33,2) 0,0 (0,0) Total

9,5 (29,4) 87,6 (33,0) 2,9 (16,7)

131

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.3b. (lanjutan)


Kondisi Fasilitas Sulawesi Tengah Tempat Tinggal Donggala Tolitoli Total Sumber air untuk mandi, cuci dan kakus (MCK): 1,8 17,6 9,4 Membaik (13,5) (38,5) (29,4) 94,6 76,5 85,8 Tetap (22,9) (42,8) (35,0) 3,6 5,9 4,7 Memburuk (18,9) (23,8) (21,3) Jenis fasilitas MCK: 3,6 9,8 6,6 Membaik (18,9) (30,0) (25,0) 90,9 86,3 88,7 Tetap (29,0) (34,8) (31,8) 5,5 3,9 4,7 Memburuk (22,9) (19,6) (21,3) 55 51 106 N Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 0,0 (0,0) 100,0 (0,0) 0,0 (0,0) 1,9 (13,9) 96,2 (19,4) 1,9 (13,9) 52 3,8 (19,4) 92,3 (26,9) 3,8 (19,4) 3,9 (19,4) 94,2 (23,5) 1,9 (13,9) 52 1,9 (13,8) 96,2 (19,3) 1,9 (13,8) 2,9 (16,8) 95,2 (21,5) 1,9 (13,8) 104 Total 5,7 (23,3) 91,0 (28,8) 3,3 (18,0) 4,8 (21,3) 91,9 (27,3) 3,3 (18,0) 210

132

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.3c. Selisih Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Perubahan Kondisi Fasilitas Tempat Tinggal (%)
Kondisi Fasilitas Tempat Tinggal Kondisi atap rumah: Membaik Tetap Memburuk Jenis dinding terluas: Membaik Tetap Memburuk Jenis lantai terluas: Membaik Tetap Memburuk Luas bangunan: 6,1 14,7* (6,5) (6,32) -6,3 -6,9 Tetap (6,8) (7,1) 0,2 -7,8* Berkurang (2,3) (3,8) Sumber penerangan utama: 5,8 8,8 Membaik (5,6 ) (8,4) -6,8 -9,8 Tetap (5,7) (8,4) 1,0 1,0 Memburuk (1,0) (1,0) Jenis bahan bakar utama: 1,0 6,8 Membaik (5,7) (6,6) -3,0 -8,8 Tetap (5,8) (6,7) 2,0 2,0 Memburuk (1,4) (1,4) Sumber air minum dan memasak: 5,9* -5,8 Membaik (2,3) (6,3) -2,3 7,8 Tetap (3,5) (7,0) -3,6 -2,0 Memburuk (2,5) (3,8) Bertambah 10,3* (4,5) -6,6 (4,9 -3,7 (2,2) 7,8 (5,2) -8,8 (5,2) 1,0 (0,7) 3,9 (4,3) -5,9 (4,4) 2,0* (1,0) 0,3 (3,4) 2,4 (4,0) -2,7 (2,3) 3,9 (4,4) -4,0 (4,9) 0,0 (2,4) -7,6 (5,7) 7,6 (5,7) 0,0 (0,0) 5,9 (4,0) -6,9 (4,1) 1,0 (1,0) 1,9 (1,4) -1,9 (1,4) 0,0 (0,0) -8,3 (6,3) 11,2 (6,7) -2,9 (2,9) -9,2 (7,1) 15,0* (7,4) -5,8 (3,3) 6,0 (3,3) -6,0 (3,3) 0,0 (0,0) -0,8 (3,2) -12,2* (5,8) 13,0 (5,0) -2,2 (3,9) 3,6 (4,2) -1,4 (1,9) -8,4 (4,6) 11,3* (4,7) -2,9 (1,6) 5,9* (2,6) -6,4* (2,6) 0,5 (0,5) 0,6 (1,7) -7,0 (3,1) 6,4* (2,6) 4,1 (3,0) -1,5 (3,2) -2,6 (1,4) -0,3 (3,5) 1,2 (3,5) -0,9 (0,9) 4,9 (2,6) -6,1* (2,6) 1,2* (0,5) 0,4 (1,9) -2,3 (2,5) 1,8 (1,8) 1,4 (4,0) -3,4 (13,0) 2,0 (1,4) 5,9 (4,6) 0,0 (5,6) -5,9 (3,3) 3,6 (3,0) -1,8 (3,5) -1,8 (1,8) 3,9 (3,0) -3,9 (3,0) 0,0 (0,0) -14,2* (5,9) 23,8** (6,7) -9,6* (4,1) -5,2 (3,4) 10,0* (3,9) -4,8* (2,1) -0,8 (2,3) 4,1 (2,6) -3,3* (1,4) 3,8 (5,5) -5,8 (5,6) 2,0 (1,4) 1,9 (2,8) -1,9 (2,8) 0,0 (0,0) 2,7 (3,2) -3,7 (3,2) 1,0 (0,7) -0,9 (2,2) 0,9 (2,2) 0,0 (0,0) -3,6 (5,2) 9,4 (5,9) -5,8 (3,3) -2,3 (2,9) 5,2 (3,2) -2,9 (1,6) 0,2 (2,1) 0,7 (2,3) -0,9 (0,9) Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total 8,2* (4,1) -13,1** (4,5) 4,9* (2,1) -5,9 (4,6) 9,8 (6,6) -4,0 (5,3) 1,2 (3,1) -1,9 (4,0) 0,7 (2,8) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total -1,7 (6,7) 0,7 (6,7) 1,0 (1,0) 0,1 (4,0) -0,1 (4,0) 0,0 (0,0) -0,7 (4,0) 0,2 (4,0) 0,5 (0,5) Total

0,3 (2,5) -0,8 (2,8) 0,5 (1,5)

133

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.3c. (lampiran)


Kondisi Fasilitas Sulawesi Tengah Tempat Tinggal Donggala Tolitoli Total Sumber air untuk mandi, cuci dan kakus (MCK): 4,1 -6,8 -1,1 Membaik (3,0) (6,2) (3,5) -0,5 11,7 5,4 Tetap (3,9) (6,8) (3,9) -3,6 -4,9 -4,2 Memburuk (6,2) (3,5) (2,1) Jenis fasilitas MCK: 0,3 -1,0 -0,2 Membaik (3,2) (5,1) (2,9) 4,2 4,9 4,4 Tetap (4,5) (5,6) (3,6) -4,5 -3,9 -4,2 Memburuk (3,2) (2,7) (2,1) Catatan:-Angka dalam kurung adalah error. -** signifikan pada tingkat 1 persen. - * signifikan pada tingkat 5 persen. Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 2,9 (1,7) -2,9 (1,7) 0,0 (0,0) 2,0 (2,7) -0,1 (3,3) -1,9 91,9) -0,8 (3,2) -11,1* (5,4) 12,0** (4,5) -2,9 (2,8) 3,8 (3,5) -0,9 (2,1) 1,0 (1,7) -7,0* (2,9) 5,9 (2,3) -0,5 (1,9) 1,9 (2,4) -1,4 (1,4) Total -0,1 (2,0) -0,8 (2,5) 0,9 (1,6) -0,4 (1,8) 3,2 (2,2) -2,8* (1,3)

134

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.4a. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Perubahan Kepemilikan Barang Berharga (%)
Jenis Barang & PeruSulawesi Tengah bahan Kepemilikannya Donggala Tolitoli Total Radio/tape recorder: 7,8 11,8 9,8 Tidak punya punya (27,0) (32,4) (29,8) 25,5 36,3 30,9 Tetap (punya) (43,8) (48,3) (46,3) 63,7 36,3 50,0 Tetap (tidak punya) 48,3) (48,3) (50,1) 2,9 15,7 9,3 Punya tidak punya (17,0) (36,5) (29,1) Televisi: 8,8 27,4 18,1 Tidak punya punya (28,5) (44,8) (38,6) 17,7 15,7 16,7 Tetap (punya) (38,3) (36,5) (37,4) 73,5 52,0 62,7 Tetap (tidak punya) (44,3) (50,2) (48,5) 0,0 4,9 2,5 Punya tidak punya (0,0) (21,7) (15,5) Video/cd/vcd/ld player: 8,8 19,6 14,2 Tidak punya punya (28,5) (39,9) (35,0) 2,9 8,8 5,9 Tetap (punya) (17,0) (28,5) (23,6) 88,2 69,6 78,9 Tetap (tidak punya) (32,4) (46,2) (40,9) 0,0 2,0 1,0 Punya tidak punya (0,0) (13,9) (9,9) Telepon/hand phone: 0,0 2,0 1,0 Tidak punya punya (0,0) (13,9) (9,9) 0,0 1,0 0,5 Tetap (punya) (0,0) (9,9) (7,0) 100,0 97,0 98,5 Tetap (tidak punya) (0,0) (17,0) (12,1) 0,0 0,0 0,0 Punya tidak punya (0,0) (0,0) (0,0) Kulkas: 2,9 13,7 8,3 Tidak punya punya (17,0) (34,6) (27,7) 8,8 3,9 6,4 Tetap (punya) (28,5) (19,5) (24,5) 87,3 81,4 84,3 Tetap (tidak punya) (33,5,) (39,1) (36,5) 1,0 1,0 1,0 Punya tidak punya (9,9) (9,9) (9,9) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 10,7 (31,0) 29,1 (45,7) 58,3 (49,6) 1,9 (13,9) 12,6 (33,4) 11,6 (32,2) 74,8 (43,7) 1,0 (9,9) 6,8 (25,3) 9,7 (29,8) 83,5 (37,3) 0,0 (0,0) 1,0 (9,9) 0,0 (0,0) 99,0 (9,9) 0,0 (0,0) 3,9 (19,4) 3,9 (19,4) 91,2 (28,4) 1,0 (9,9) 3,0 (17,1) 45,5 (50,0) 49,5 (50,2) 2,0 (14,0) 7,9 (27,1) 19,8 (40,0) 68,3 (46,8) 4,0 (19,6) 5,0 (21,8) 5,0 (21,8) 88,1 (32,5) 1,9 (14,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 100,0 (0,0) 0,0 (0,0) 4,0 (19,6) 4,9 (21,8) 90,1 (30,0) 1,0 (10,0) 6,9 (25,3) 37,2 (48,5) 53,9 (50,0) 2,0 (13,9) 10,3 (30,5) 15,7 (36,5) 71,6 (45,2) 2,4 (15,5) 5,9 (23,6) 7,3 (26,2) 85,8 (35,0) 1,0 (9,9) 0,5 (7,0) 0,0 (0,0) 99,5 (7,0) 0,0 (0,0) 3,9 (19,5) 4,4 (20,6) 90,7 (29,1) 1,0 (9,9) Total 8,3 (27,7) 34,1 (47,5) 52,0 (50,0) 5,6 (23,1) 14,2 (35,0) 16,2 (36,9) 67,2 (47,0) 2,4 (15,5) 10,0 (30,1) 6,6 (24,9) 82,4 (38,2) 1,0 (9,9) 0,7 (8,6) 0,3 (5,0) 99,0 (9,9) 0,0 (0,0) 6,1 (24,0) 5,4 (22,6) 87,5 (33,1) 1,0 (9,9)

135

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.4a. (lanjutan)


Jenis Barang & PeruSulawesi Tengah bahan Kepemilikannya Donggala Tolitoli Total Sepeda: 10,8 13,7 12,3 Tidak punya punya (31,2) (34,6) (32,9) 30,4 31,4 30,9 Tetap (punya) (46,2) (46,6) (46,3) 57,8 47,1 52,4 Tetap (tidak punya) (49,6) (50,2) (50,1) (1,0) 7,8 4,4 Punya tidak punya (9,9) (27,0) (20,6) Sepeda motor: 4,9 14,7 9,8 Tidak punya punya (21,7) (35,6) (29,8) 17,7 18,6 18,1 Tetap (punya) (38,3) (39,1) (38,6) 74,5 62,8 68,6 Tetap (tidak punya) (43,8) (48,6) (46,5) 2,9 3,9 3,4 Punya tidak punya (17,0) (19,5) (18,2) N 102 102 204 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 7,8 (26,9) 58,2 (49,6) 34,0 (47,6) 0,0 (0,0) 4,9 (21,6) 12,6 (33,4) 80,6 (39,7) 1,9 (13,9) 103 4,0 (19,6) 50,5 (50,2) 35,6 (48,1) 9,9 (30,0) 7,9 (27,1) 17,8 (38,5) 72,3 (45,0) 2,0 (14,0) 101 5,9 (23,6) 54,4 (49,9) 34,8 (47,8) 4,9 (21,6) 6,4 (24,5) 15,2 (36,0) 76,4 (42,5) 2,0 (13,9) 204 Total 9,1 (28,8) 42,6 (49,5) 43,6 (49,7) 4,7 (21,1) 8,1 (27,3) 16,7 (37,3) 72,5 (44,7) 2,7 (16,2) 408

136

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.4b. Proporsi Rumah Tangga Kontrol Berdasarkan Perubahan Kepemilikan Barang Berharga (%)
Jenis Barang & PeruSulawesi Tengah bahan Kepemilikannya Donggala Tolitoli Total Radio/tape recorder: 9,1 17,7 13,2 Tidak punya punya (29,0) (38,5) (34,0) 32,7 29,4 31,1 Tetap (punya) (47,4) (46,0) (46,5) 56,4 43,1 50,0 Tetap (tidak punya) (50,1) (50,0) (50,2) 1,8 9,8 5,7 Punya tidak punya (13,5) (30,0) (23,2) Televisi: 10,9 29,4 19,8 Tidak punya punya (31,5) (46,0) (40,0) 16,4 19,6 17,9 Tetap (punya) (37,3) (40,1) (38,5) 72,7 47,1 60,4 Tetap (tidak punya) (44,9) (50,4) (49,1) 0,0 3,9 1,9 Punya tidak punya (0,0) (19,6) (13,7) Video/cd/vcd/ld player: 5,4 21,6 13,2 Tidak punya punya (22,9) (41,5) (34,0) 7,3 7,8 7,6 Tetap (punya) (26,2) (27,2) (26,5) 87,3 68,6 78,3 Tetap (tidak punya) (33,6) (46,9) (41,4) 0,0 2,0 0,9 Punya tidak punya (0,0) (14,0) (9,7) Telepon/hand phone: 1,8 2,0 1,9 Tidak punya punya (13,5) (14,0) (13,7) 0,0 2,0 0,9 Tetap (punya) (0,0) (14,0) (9,7) 98,2 96,0 97,2 Tetap (tidak punya) (13,5) (19,6) (16,7) 0,0 0,0 0,0 Punya tidak punya (0,0) (0,0) (0,0) Kulkas: 3,6 11,8 7,5 Tidak punya punya (18,9) (32,5) (26,5) 3,6 3,9 3,8 Tetap (punya) (18,9) (19,6) (19,1) 92,8 80,4 86,8 Tetap (tidak punya) (26,2) (40,1) (34,2) 0,0 3,9 1,9 Punya tidak punya (0,0) (19,6) (13,7) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 23,1 (42,5) 21,2 (41,2) 53,8 (50,3) 1,9 (13,9) 1,9 (13,9) 21,2 (41,2) 75,0 (43,7) 1,9 (13,9) 3,8 (19,4) 15,4 (36,4) 80,8 (39,8) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 100,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 3,8 (19,4) 96,2 (19,4) 0,0 (0,0) 11,5 (32,3) 15,4 (36,4) 65,4 (48,0) 7,7 (26,9) 11,5 (32,3) 7,7 (26,9) 75,0 (43,7) 5,8 (23,5) 13,5 (34,5) 0,0 (0,0) 84,6 (36,4) 1,9 (13,9) 0,0 (0,0) 1,9 (13,9) 98,1 (13,9) 0,0 (0,0) 3,9 (19,4) 1,9 (13,9) 94,2 (23,5) 0,0 (0,0) 17,3 (38,0) 18,3 (38,8) 59,6 (49,3) 4,8 (21,5) 6,7 (25,2) 14,4 (35,3) 75,0 (43,5) 3,9 (19,3) 8,6 (28,3) 7,7 (26,8) 82,7 (38,0) 1,0 (9,8) 0,0 (0,0) 1,0 (9,8) 99,0 (9,8) 0,0 (0,0) 1,9 (13,8) 2,9 (16,8) 95,2 (21,5) 0,0 (0,0) Total 15,2 (36,0) 24,8 (43,3) 54,8 (49,9) 5,2 (22,3) 13,3 (34,1) 16,2 (36,9) 67,6 (46,9) 2,9 (16,7) 10,9 (31,3) 7,6 (26,6) 80,5 (39,7) 1,0 (9,7) 1,0 (9,7) 1,0 (9,7) 98,0 (13,7) 0,0 (0,0) 4,8 (21,3) 3,3 (18,0) 91,0 (28,8) 0,9 (9,7)

137

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.4b. (lanjutan)


Jenis Barang & PeruSulawesi Tengah bahan Kepemilikannya Donggala Tolitoli Total Sepeda: 9,1 11,8 10,4 Tidak punya punya (29,0) (32,5) (30,6) 16,4 23,5 19,8 Tetap (punya) (37,3) (42,8) (40,0) 70,9 58,8 65,1 Tetap (tidak punya) (45,8) (49,7) (47,9) 3,6 5,9 4,7 Punya tidak punya (18,9) (23,8) (21,3) Sepeda motor: 10,9 23,5 17,0 Tidak punya punya (31,5) (42,8) (37,7) 12,7 9,8 11,3 Tetap (punya) (33,6) (30,0) (31,8) 76,4 62,8 69,8 Tetap (tidak punya) (42,9) (48,8) (46,1) 0,0 3,9 1,9 Punya tidak punya (0,0) (19,6) (13,7) N 55 51 106 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 7,7 (26,9) 34,6 (48,0) 53,9 (50,3) 3,8 (19,4) 3,8 (19,4) 13,5 (34,5) 78,9 (41,2) 3,8 (19,4) 52 5,8 (23,5) 40,4 (49,5) 46,1 (50,3) 7,7 (26,9) 5,8 (23,5) 5,8 (23,5) 84,6 (36,4) 3,8 (19,4) 52 6,7 (25,2) 37,5 (48,6) 50,0 (50,2) 5,8 (23,4) 4,8 (21,5) 9,6 (29,6) 81,7 (38,8) 3,9 (19,3) 104 Total 8,6 (28,1) 28,6 (45,3) 57,6 (49,5) 5,2 (22,3) 10,9 (31,3) 10,5 (30,7) 75,7 (43,0) 2,9 (16,7) 210

138

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.4c. Selisih Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Perbedaan Perubahan Kepemilikan Barang Berharga (%)
Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Jenis Barang & Perubahan Kepemilikannya Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total Radio/tape recorder: -1,3 -5,9 -3,4 -12,4 -8,5 -10,4* Tidak punya punya (4,7) (6,3) (3,9) (6,6) (4,8) (4,1) -7,2 6,9 -0,2 7,9 30,1** 18,9** Tetap (punya) (7,7) (8,0) (5,6) (7,3) (7,1) (5,1) 7,3 -6,8 0,0 4,4 -15,9 -5,7 Tetap (tidak punya) (8,3) (8,5) (6,0) (8,5) (8,3) (6,0) 1,1 5,9 3,7 0,0 -5,7 -2,8 Punya tidak punya (2,5) (5,5) (3,0) (2,4) (4,0) (2,3) Televisi: -2,1 -2,0 -1,7 10,7** -3,6 3,6 Tidak punya punya (5,1) (7,8) (4,7) (3,8) (5,2) (3,3) 1,3 -3,9 -1,2 -9,6 12,1* 1,3 Tetap (punya) (6,3) (6,7) (4,6) (6,5) (5,5) (4,3) 0,8 4,9 2,3 -0,2 -6,7 -3,4 Tetap (tidak punya) (7,5) (8,6) (5,8) (7,4) (7,6) (5,3) 0,0 1,0 0,6 -0,9 -1,8 -1,5 Punya tidak punya (0,0) (3,5) (1,7) (2,2) (3,8) (2,2) Video/cd/vcd/ld player: 3,4 -2,0 1,0 3,0 -8,5 -2,7 Tidak punya punya (4,2) (7,0) (4,1) (3,7) (5,3) (3,2) -4,4 1,0 -1,7 -5,7 5,0* -0,4 Tetap (punya) (3,9) (4,7) (3,1) (5,8) (2,2) (3,2) 0,9 1,0 0,6 2,7 3,5 3,1 Tetap (tidak punya) (5,6) (8,0) (4,9) (6,6) (6,0) (4,5) 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 Punya tidak punya (0,0) (2,4) (1,2) (0,0) (2,4) (1,2) Telepon/hand phone: -1,8 0,0 -0,9 1,0 0,0 0,5 Tidak punya punya (1,8) (2,4) (1,5) (1,0) (0,0) (0,5) 0,0 -1,0 -0,4 0,0 -1,9 -1,0 Tetap (punya) (0,0) (2,2) (1,1) (0,0) (1,9) (1,0) 1,8 1,0 1,3 -1,0 1,9 0,5 Tetap (tidak punya) (1,8) (3,2) (1,8) (1,0) (1,9) (1,1) 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Punya tidak punya (1,0) (0,0) (0,0) (0,0) (0,0) (0,0) Kulkas: -0,7 1,9 0,8 3,9 0,1 2,0 Tidak punya punya (3,1) (5,7) (3,2) (1,9) (3,3) (1,9) 5,2 0,0 2,6 0,1 3,0 1,5 Tetap (punya) (3,8) (3,4) (2,5) (3,3) (2,9) (2,2) -5,5 1,0 -2,5 5,0 -4,1 -4,5 Tetap (tidak punya) (4,8) (6,8) (4,2) (3,9) (4,4)) (2,9) 1,0 -2,9 -0,9 1,0 1,0 1,0 Punya tidak punya (1,0) (2,9) (1,5) (1,0) (1,0) (0,7) Total -6,9* (2,8) 9,3* (3,8) -2,8 (4,2) 0,4 (1,9) 0,9 (2,9) -0,0 (3,1) -0,4 (4,0) -0,5 (1,4) -0,9 (2,6) -1,0 (2,2) 1,9 (3,3) 0,0 (0,8) 0,3 (0,8) -0,7 (0,7) 1,0 (1,1) 0,0 (0,0) 1,3 (1,9) 2,1 (1,7) -3,5 (2,6) 0,1 (0,8)

139

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.4c. (lanjutan)


Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Jenis Barang & PeruTotal bahan Kepemilikannya Donggala Tolitoli Total Muna Konsel Total Sepeda: 1,7 1,9 1,9 0,1 -1,8 -0,8 0,5 Tidak punya punya (5,0) (5,7) (3,8) (4,6) (3,8) (2,9) (2,4) 14,0* 7,9 11,1 23,6** 10,1 16,9** 14,0** Tetap (punya) (6,8) (7,6) (5,1) (8,3) (8,5) (5,9) (4,0) -13,1 -11,7 -12,7* -19,9 -10,5 -15,2* -14,0** Tetap (tidak punya) (7,9) (8,6) (5,8) (8,4) (8,5) (6,0) (4,2) -2,6 1,9 -0,3 -3,8 2,2 -0,9 -0,5 Punya tidak punya (2,7) (4,3) (2,5) (2,7) (4,8) (2,7) (1,9) Sepeda motor: -6,0 -8,8 -7,2 1,1 2,1 1,6 -2,8 Tidak punya punya (4,8) (7,0) (4,2) (3,4) (4,2) (2,7) (2,5) 5,0 8,8 6,8 -0,9 12,0* 5,6 6,2 Tetap (punya) (5,9) (5,7) (4,1) (5,8) (5,0) (3,8) (2,8) -1,9 0,0 -1,2 1,7 -12,3 -5,3 -3,2 Tetap (tidak punya) (7,2) (8,4) (5,5) (6,9) (6,7) (4,8) (3,7) 2,9 0,0 1,5 -1,9 -1,8 -1,9 -0,2 Punya tidak punya (1,7) (3,4) (1,8) (3,0) (3,0) (2,1) (1,4) Catatan:-Angka dalam kurung adalah error. -** signifikan pada tingkat 1 persen. - * signifikan pada tingkat 5 persen.

140

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.5a. Proporsi Rumah Tangga SAADP Berdasarkan Perubahan Kepemilikan Lahan dan Ternak (%)
Sulawesi Tengah Jenis Lahan/Ternak & Perubahan Kepemilikannya Donggala Tolitoli Total Lahan Kebun: 41,2 50,0 45,6 Tetap (49,5) (50,2) (49,9) 21,5 41,2 31,4 Bertambah (41,3) (49,5) (46,5) 2,0 3,9 2,9 Berkurang (13,9) (19,5) (16,9) 35,3 4,9 20,1 Tidak punya (48,0) (21,7) (40,2) Lahan Sawah: 2,0 33,3 17,7 Tetap (13,9) (47,4) (38,2) 0,0 6,9 3,4 Bertambah (0,0) (25,4) (18,2) 0,0 0,0 0,0 Berkurang (0,0) (0,0) (0,0) 98,0 59,8 78,9 Tidak punya (13,9) (49,3) (40,9) Perkarangan Rumah: 93,1 84,3 88,7 Tetap (25,4) (36,5) (31,7) 5,9 13,7 9,8 Bertambah (23,6) (34,6) (29,8) 1,0 2,0 1,5 Berkurang (9,9) (13,9) (12,1) 0,0 0,0 0,0 Tidak punya (0,0) (0,0) (0,0) Tambak/Kolam/Empang: 3,9 3,9 3,9 Tetap (19,5) (19,5) (19,5) 0,0 1,0 0,5 Bertambah (0,0) (9,9) (7,0) 1,0 0,0 0,5 Berkurang (9,9) (0,0) (7,0) 95,1 95,1 95,1 Tidak punya (21,7) (21,7) (21,6) Kepemilikan Ternak Sapi/Kerbau: 3,9 2,9 3,4 Tetap (19,5) (17,0) (18,2) 3,9 2,0 2,9 Bertambah (19,5) (13,9) (16,9) 3,9 2,0 2,9 Berkurang (19,5) (13,9) (16,9) 88,3 93,1 90,7 Tidak punya (32,4) (25,4) (29,1) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 35,9 (48,2) 32,0 (46,9) 0,0 (0,0) 32,0 (46,9) 22,3 (41,8) 7,8 (26,9) 0,0 (0,0) 69,9 (46,1) 99,0 (9,9) 1,0 (9,9) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 4,8 (21,6) 4,8 (21,6) 0,0 (0,0) 90,4 (29,8) 1,9 (13,9) 16,5 (37,3) 6,8 (25,3) 74,8 (43,7) 67,3 (47,1) 24,8 (43,4) 2,0 (14,0) 5,9 (23,8) 43,6 (49,8) 5,9 (23,8) 1,0 (10,0) 49,5 (50,2) 98,0 (14,0) 2,0 (14,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 4,0 (19,6) 1,0 (10,0) 0,0 (0,0) 95,0 (21,8) 13,9 (34,7) 16,8 (37,6) 11,9 (32,5) 57,4 (49,7) 51,5 (50,1) 28,4 (45,2) 1,0 (9,9) 19,1 (39,4) 32,8 (47,1) 6,9 (25,3) 0,5 (7,0) 59,8 (49,2) 98,5 (12,1) 1,5 (12,1) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 4,4 (20,6) 2,9 (16,9) 0,0 (0,0) 92,7 (26,2) 7,8 (27,0) 16,7 (37,4) 9,3 (29,1) 66,2 (47,4) Total 48,5 (50,0) 29,9 (45,8) 2,0 (13,9) 19,6 (39,8) 25,3 (43,5) 5,1 (22,1) 0,2 (5,0) 69,4 (46,2) 93,6 (24,4) 5,6 (23,1) 0,7 (8,6) 0,0 (0,0) 4,2 (20,0) 1,7 (13,0) 0,2 (5,0) 93,9 (24,0) 5,7 (23,1) 9,8 (29,8) 6,1 (24,0) 78,4 (41,2)

141

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.5a. (lanjutan)


Sulawesi Tengah Jenis Lahan/Ternak & Perubahan Kepemilikannya Donggala Tolitoli Total Kepemilikan Ternak Kambing: 1,0 2,0 1,5 Tetap (9,9) (13,9) (12,1) 2,0 5,9 3,9 Bertambah (13,9) (23,6) (19,5) 1,0 7,8 4,4 Berkurang (9,9) (27,0) (20,6) 96,0 84,3 90,2 Tidak punya (19,5) (36,5) (29,8) Kepemilikan Unggas: 4,9 27,4 16,2 Tetap (21,7) (44,8) (36,9) 7,8 20,6 14,2 Bertambah (27,0) (40,6) (35,0) 7,8 19,6 13,7 Berkurang (27,0) (39,9) (34,5) 79,4 32,4 55,9 Tidak punya (40,6) (47,0) (49,8) N 102 102 204 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 0,0 (0,0) 1,9 (13,9) 0,0 (0,0) 98,1 (13,9) 2,9 (16,9) 53,4 (50,1) 25,2 (43,7) 18,5 (39,0) 103 2,0 (14,0) 2,0 (14,0) 0,0 (0,0) 96,0 (19,6) 22,8 (42,1) 3,0 (17,1) 21,8 (41,5) 52,4 (50,2) 101 1,0 (9,9) 1,9 (13,9) 0,0 (0,0) 97,1 (16,9) 12,8 (33,4) 28,4 (45,2) 23,5 (42,5) 35,3 (47,9) 204 Total 1,2 (11,0) 2,9 (16,9) 2,2 (14,7) 93,6 (24,5) 14,5 (35,2) 21,3 (41,0) 18,6 (39,0) 45,6 (49,9) 408

142

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.5b. Proporsi Rumah Tangga Kontrol Berdasarkan Perubahan Kepemilikan Lahan dan Ternak (%)
Sulawesi Tengah Jenis Lahan/Ternak & Perubahan Kepemilikannya Donggala Tolitoli Total Lahan Kebun: 47,3 41,2 44,3 Tetap (50,3) (49,7) (49,9) 12,7 37,3 24,5 Bertambah (33,6) (48,8) (43,2) 3,6 13,7 8,5 Berkurang (18,9) (34,8) (28,0) 36,4 7,8 22,6 Tidak punya (48,5) (27,2) (42,0) Lahan Sawah: 3,6 15,7 9,4 Tetap (18,9) (36,7) (29,4) 0,0 9,8 4,7 Bertambah (0,0) (30,0) (21,3) 0,0 2,0 0,9 Berkurang (0,0) (14,0) (9,7) 96,4 72,5 84,9 Tidak punya (18,9) (45,1) (36,0) Perkarangan Rumah: 98,2 84,3 91,5 Tetap (13,5) (36,7) (28,0) 1,8 13,7 7,5 Bertambah (13,5) (34,8) (26,5) 0,0 2,0 0,9 Berkurang (0,0) (14,0) (9,7) 0,0 0,0 0,0 Tidak punya (0,0) (0,0) (0,0) Tambak/Kolam/Empang: 1,8 3,9 2,8 Tetap (13,5) (19,6) (16,7) 0,0 2,0 0,9 Bertambah (0,0) (14,0) (9,7) 0,0 0,0 0,0 Berkurang (0,0) (0,0) (0,0) 98,2 94,1 96,3 Tidak punya (13,5) (23,8) (19,1) Kepemilikan Ternak Sapi/Kerbau: 0,0 5,9 2,8 Tetap (0,0) (23,8) (16,7) 1,8 0,0 0,9 Bertambah (13,5) (0,0) (9,7) 3,6 2,0 2,8 Berkurang (18,9) (14,0) (16,7) 94,6 92,1 93,4 Tidak punya (22,9) (27,2) (25,0) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 48,1 (50,5) 32,7 (47,4) 0,0 (0,0) 19,2 (39,8) 5,8 (23,5) 3,8 (19,4) 0,0 (0,0) 90,4 (29,8) 100,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 3,8 (19,4) 0,0 (0,0) 96,2 (19,4) 3,8 (19,4) 17,3 (38,2) 3,8 (19,4) 75,0 (43,7) 75,0 (43,7) 9,6 (29,8) 3,8 (19,4) 11,5 (32,3) 32,7 (47,4) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 67,3 (47,4) 94,2 (23,5) 3,8 (19,4) 1,9 (13,9) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 100,0 (0,0) 11,5 (32,3) 9,6 (29,8) 15,4 (36,4) 63,5 (48,6) 61,5 (48,9) 21,2 (41,0) 1,9 (13,8) 15,4 (36,3) 19,2 (39,6) 1,9 (13,8) 0,0 (0,0) 78,9 (41,0) 97,1 (16,8) 1,9 (13,8) 1,0 (9,8) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 1,9 (13,8) 0,0 (0,0) 98,1 (13,8) 7,7 (26,8) 13,5 (34,3) 9,6 (29,6) 69,2 (46,4) Total 52,9 (50,0) 22,9 (42,1) 5,2 (22,3) 19,0 (39,4) 14,3 (35,1) 3,3 (18,0) 0,5 (6,9) 81,9 (38,6) 94,3 (23,3) 4,8 (21,3) 1,0 (9,7) 0,0 (0,0) 1,4 (11,9) 1,4 (11,9) 0,0 (0,0) 97,2 (16,7) 5,2 (22,3) 7,1 (25,8) 6,2 (24,2) 81,4 (39,0)

143

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.5b. (lanjutan)


Sulawesi Tengah Jenis Lahan/Ternak & Perubahan Kepemilikannya Donggala Tolitoli Total Kepemilikan Ternak Kambing: 3,6 2,0 2,8 Tetap (18,9) (14,0) (16,7) 1,8 5,9 3,8 Bertambah (13,5) (23,8) (19,1) 1,8 5,9 3,8 Berkurang (13,5) (23,8) (19,1) 92,7 86,2 89,6 Tidak punya (26,2) (34,8) (30,6) Kepemilikan Unggas: 1,8 25,5 13,2 Tetap (13,5) (44,0) (34,0) 5,5 15,7 10,4 Bertambah (22,9) (36,7) (30,6) 1,8 11,8 6,6 Berkurang (13,5) (32,5) (25,0) 90,9 47,0 69,8 Tidak punya (29,0) (50,4) (46,1) N 55 51 106 Catatan: Angka dalam kurung adalah standar deviasi. Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 100,0 (0,0) 7,7 (26,9) 50,0 (50,5) 15,4 (36,4) 26,9 (44,8) 52 1,9 (13,9) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 98,1 (13,9) 9,6 (29,8) 11,5 (32,3) 17,3 (38,2) 61,5 (49,1) 52 1,0 (9,8) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 99,0 (9,8) 8,7 (28,3) 30,8 (46,4) 16,3 (37,2) 44,2 (49,9) 104 Total 1,9 (13,7) 1,9 (13,7) 1,9 (13,7) 94,3 (23,3) 11,0 (31,3) 20,5 (40,4) 11,4 (31,9) 57,1 (49,6) 210

144

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.5c. Selisih Proporsi Rumah Tangga SAADP dan Kontrol Berdasarkan Perbedaan Perubahan Kepemilikan Lahan dan Ternak (%)
Jenis Lahan/Ternak & Perubahan Kepemilikannya Lahan Kebun: Tetap Bertambah Berkurang Tidak punya Lahan Sawah: Tetap Bertambah Berkurang Tidak punya Perkarangan Rumah: Tetap Bertambah Berkurang Tidak punya Tambak/Kolam/Empang: Tetap Bertambah Berkurang Tidak punya Kepemilikan Ternak Sapi/Kerbau: Tetap Bertambah Berkurang Tidak punya 3,9* (1,9) 2,1 (2,7) 0,3 (3,2) -6,3 (4,5) 3,0 (3,7) 2,0 (1,4) 0,0 (2,4) 1,0 (4,6) 0,6 (2,1) 2,0 (1,5) 0,1 (2,0) -2,7 (3,2) -1,9 (3,0) -0,8 (6,4) 3,0 (3,7) -0,2 (7,4) 2,4 (5,7) 7,2 (5,6) -3,5 (6,0) -6,1 (8,4) 0,1 (3,2) 3,2 (4,3) -0,3 (3,5) -3,0 (5,6) 0,5 (1,9) 2,7 (2,3) -0,1 (2,0) -3,0 (3,4) 2,1 (2,6) 0,0 (0,0) 1,0 (1,0) -3,1 (2,8) -0,0 (3,4) -1,0 (2,2) 0,0 (0,0) 1,0 (4,0) 1,1 (2,1) -0,4 (1,1) 0,5 (0,5) -1,2 (2,4) 4,8** (2,1) 1,0 (3,4) 0,0 (0,0) -5,8 (4,0) 4,0* (2,0) 1,0 (1,0) 0,0 (0,0) -5,0* (2,2) 4,4** (1,4) 1,0 (1,8) 0,0 (0,0) -5,4* (2,3) 2,8* (1,3) 0,3 (1,0) 0,2 (0,2) -3,3* (1,7) -5,1 (3,1) 4,1 (3,0) 1,0 (1,0) 0,0 (0,0) 0,0 (6,3) 0,0 (6,0) 0,0 (2,4) 0,0 (0,0) -2,8 (3,5) 2,3 (3,3) 0,5 (1,3) 0,0 (0,0) -1,0 (1,0) 1,0 (1,0) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 3,8 (3,5) -1,9 (3,0) -1,9 (1,9) 0,0 (0,0) 1,4 (1,9) -0,4 (1,6) -1,0 (1,0) 0,0 (0,0) -0,7 (2,0) 0,9 (1,9) -0,2 (0,8) 0,0 (0,0) -1,6 (2,9) 0,0 (0,0) 0,0 (0,0) 1,6 (6,2) 17,6* (7,0) -2,9 (4,9) -2,0 (2,0) -12,7 (8,0) 8,3* (3,9) -1,3 (2,4) -0,9 (0,9) -6,0 (4,5) 16,5** (5,3) 4,0 (3,8) 0,0 (0,0) -20,5** (6,1) 10,9 (8,2) 5,9* (2,4) 1,0 (1,0) -17,8* (8,3) 13,6** (5,1) 5,0 (2,2) 0,5 (0,5) -19,1** (5,3) 11,0** (3,2) 1,8 (1,6) -0,3 (0,5) -12,5** (3,5) Sulawesi Tengah Donggala Tolitoli Total -6,1 (8,4) 8,8 (6,1) -1,6 (2,9) -1,1 (8,1) 8,8 (8,6) 3,9 (7,1) -9,8 (5,2) -2,9 (4,4) 1,3 (6,0) 6,9 (4,5) -5,6 (3,0) -2,5 (5,0) Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total -12,2 (8,5) -0,7 (8,0) 0,0 (0,0) 12,8 (7,2) -7,7 (7,7) 15,2* (6,0) -1,8 (3,0) -5,6 (5,1) -10,0 (5,9) 7,2 (5,1) -0,9 (1,5) 3,7 94,5) Total -4,4 (4,2) 7,0 (3,7) -3,2 (1,7) 0,6 (3,4)

145

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.5c. (lanjutan)


Sulawesi Tengah Jenis Lahan/Ternak & Perubahan Kepemilikannya Donggala Tolitoli Total Kepemilikan Ternak Kambing: -2,6 0,0 -1,3 Tetap (2,7) (2,4) (1,8) 0,1 0,0 0,1 Bertambah (2,3) (4,1) (2,3) -0,8 2,0 0,6 Berkurang (2,1) (4,3) (2,3) 3,3 -2,0 0,6 Tidak punya (4,0) (6,1) (3,6) Kepemilikan Unggas: 3,1 1,9 3,0 Tetap (2,8) (7,6) (4,2) 2,3 4,9 3,8 Bertambah (4,1) (6,5) (3,9) 6,0 7,8 7,1 Berkurang (3,2) (6,0) (3,4) -11,5* -14,6 -13,9 Tidak punya (5,6) (8,5) (5,7) Catatan:-Angka dalam kurung adalah error. -** signifikan pada tingkat 1 persen. - * signifikan pada tingkat 5 persen. Sulawesi Tenggara Muna Konsel Total 0,0 (0,0) 1,9 (1,4) 0,0 (0,0) -1,9 (1,4) -4,8 (4,1) 3,4 (8,6) 9,8 (6,6) -8,4 (7,3) 0,1 (2,4) 2,0 (1,4) 0,0 (0,0) -2,0 (2,7) 13,2* (5,9) -8,5 (4,8) 4,5 (6,7) -9,1 (8,4) 0,0 (1,2) 2,0 (1,0) 0,0 (0,0) -2,0 (1,5) 4,1 (3,6) -2,4 (5,5) 7,2 (4,7) -8,9 (5,9) Total -0,7 (1,1) 1,0 (1,3) 0,3 (1,2) -0,7 (2,0) 3,5 (2,8) 0,8 (3,4) 7,2 (2,9) -11,5** (4,2)

146

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Tabel Lampiran 8.6. Kondisi Rumah dan Fasilitasnya*)


1 1. Atap rumah 2. Dinding terluas 3. Lantai terluas 4. Sumber penerangan utama Beton Tembok Marmer/keramik/ teraso Listrik 2 Genteng Kayu Ubin/tegel Petromak Jenis Bahan/Sumber 3 Seng Bambu Plester/semen Kayu Tanah 4 Daundaunan 5

Lampu tempel/pelita Minyak Kayu 5. Bahan bakar utama Gas Tanah bakar/arang Sumur tak 6. Sumber air minum Air Pipanisasi Sumur pompa terlindung/mata dan memasak sungai/hujan air 7. Sumber air untuk Sumur tak Air Pipanisasi Sumur pompa terlindung/mata mandi, cuci dan sungai/hujan kakus (MCK) air 8. Fasilitas MCK Pribadi Umum Sungai Keterangan: *) Kondisi rumah dan fasilitasnya dinilai membaik jika jenis bahan/sumber berubah ke kiri atau ke nomor jenis bahan/sumber yang lebih kecil, dan jika sebaliknya maka kondisinya dinilai memburuk.

147

Lembaga Penelitian SMERU, Juni 2004

Anda mungkin juga menyukai